Prasangka dan stigmatisasi pada keshalihan



Hidup di Indonesia bagi orang shalih, makin lama makin rumit. Sebelum bom mega kuningan Juli lalu, umat Islam yg Shalih sudah repot menghadapi tudingan 'Wahabisme hanya mengenakan pakaian tertutup (cadar, jubah) dan memelihara jenggot.
Tahun 2007, para santri di Indonesia harus diambil sidik jarinya, sebuah tindakan 'pre-emptive, mendata orang yg dicurigai berpotensi menebar teror.
Baru-baru ini, kepolisian menggeledah, menangkap dan menahan orang hanya karena mengenakan Atribut yg dianggap (oleh apaarat) 'identik dg potensi teror. Jubah, jenggot, celana cingkrang, cadar, sorban. Kepolisian menhadang bus yang berjalan, merazia lelaki yg berjubah dan berjenggot. Mereka memasuki mesjid di perkampungan, menahan orang yg dicurigai. Bahkan pangdam lV diponegoro menyatakan, sebagai kewaspadaan, orang asing dg atribut di atas patut dicurigai. Anehnya, WNI atau orang asing yg berpakaian hampir telanjang, berpotensi mengganggu ketertiban umum dan norma kesusilaan, justru diterima dg baik.
Pembentukan opini publik tentang ciri-ciri orang yg perlu di waspadai ini menuai hasil. Rakyatpun saling curiga antara sesamanya. Di purbalingga dan solo, jawa tengah, anggota jemaah tabligh yg melakukan kunjungan keagamaan dari mesjid ke mesjid, dilaporkan warga ke polisi karena dicurigai sebagai jaringan terorisme. Kesalahan mereka hanya: terlalu banyak mengaji, terlalu kelihat shalih, dan menggunakan busana yg 'tak lazim.
Seorang pemuda Jember yg menerima email dari 'Nurdin M Top mengaku 'tidak lg rajin shalat. Seolah-olah shalat adalah prilaku yg tak baik, bahkan membahayakan, karena dapat dituduh sebagai kakitangan teroris. Orang tua pun mungkin ragu-ragu, jika akan mengirim putra-putrinya kepesantren. Pesantren dan santrinya telah dipotret dan diberi stigma sebagai 'potential terroris group.
Kemaren, buku berjudul 'Blind Spot diluncurkan di Jakarta. Buku yg di shunting DR Paul Marshal dari 'Center for Religius Freedom ini mengupas, jurnalis Di AS ini sangat sekular dan melepaskan persoalan dari agama. Sub judul buku itu adalah 'When Journalist Don't Get Religion (bila wartawan tidak faham agama). Kata Paul, "kalau Jurnalis mengabaikan agama, liputan mrk tentang politik AS atau ekonomi global, kehilangan maknanya. 'they miss the point."DiIndonesia, semua wartawan menghubungkan sesuatu dg agama. "Journalis in Indonesian do get religion, but they get it wrong" kata saya.
Sesungguhnya media Baratlah yg mulai menghubungkan peristiwa keonaran dengan agama, terutama islam. Media di Indonesia mengikuti saja. Yg pertama kali menyebut agama dalam insiden yg mengawali konplik di ambon (maluku) adalah majalah 'Time. Desember 1998, time memuat berita perkelahian kelompok pemuda di Ketapang, Jakarta dg pendatang Ambon. Time juga memuat gambar pengejaran dan penyembelihan orang Ambon oleh penduduk Ketapang.
Paranhnya, Time menyebutkan agamanya: Ambon kristen dan 'Native Jakarta yg islam. Konflik karena lahan parkir dan perilaku ini dipotret sebagai konflik agama. Orang Ambon kembali ke Ambon, mereka kemudian membantai orang Islam yg sedang shalat Idul Fitri di Masjid Al Fatah, Februari 1999, dua bulan setelah laporan dari time. Kemudian media Barat memberitakan sebagai "ethnic cleansing"-pembantaian umat Kristen oleh umat Islam.
Media Barat dg mudah menyebut 'Islamic terrorist' untuk pengeboman di Indonesia. Mungkin benar, pengebomnya beragama Islam, tapi penempelan kata Terorism adalah stigatisasi sistematis. Praktik ini tak adil. Mrk tidak menyebut Hindi Terroris, Christian Terroris, Chatolic terroris, Budhis terroris, Shinto terorris dan lainnya. Meski teros dilakukan di Irlandia, India, Jepang, bahkan Amerika, juga didasarkan pada Agama. Tak ada koran atau televisi yg menyebut Teroris Yahudi di Israel, meski tindakan teror yg mereka lakukan terhadap penduduk Arab. (Islam maupun Kristen) berdasarkan kepercayaan 'Judaisme mereka.
Seperti yg disampaikan Paul Marshall, wartawan AS juga mengabaikan fatkta keterlibatan Agama dalam berbagai isu di dalam negeri mrk. Padahal, Rakyat merasakan tumbuhnya fundamentalisme Kristen di pemerintahan, yg mempengaruhi kebijakan. Namun mrk tidak konsisten. Untuk isu yg sama dibelahan dunia lain, media Barat buru-buru mencari keterkaitan agama. Bahkan kasus Timtim juga diberitakan sebagai ekstentif dan intensif oleh media barat sebagai 'perang mengentaskan wilayah Katolik dari jajahan bangsa Muslim'. Padahal, menurut George Adi Tjondro, ketika Indonesia masuk ke Timtim tahun 1975, hanya 21% penduduk Timtim yg beragama Katolik. Pemerintah Soehartolah yg menyuburkembangkan Katolik dengan membangun banyak gereja di sana.
Indonesia mestinya belajar dari kekacauan 1998-2003 yg berawal dari ketapang, berpindah ke Ambon, yg menyebabkan pengungsian besar-besaran ke Maluku Utara (Tobelo, Halmahera) dan Sulawesi Tengah (Poso). Ini semua diawali oleh sesuatu yg tak ada kaitannya dg agama. Sudah waktunya insan media belajar lebih dalam tentang agama, agar ketika memberitakan sesuatu yg berbau agama, mereka mengaitkannya dg benar. Stigma dan prasangka pada saudara-saudara kita yg shalih sudah waktunya untuk di hentikan./@bhu

pengunjung membaca ini juga:



0 komentar:

Posting Komentar


Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |