Ulama Klasik Telah Teliti Gua Kahfi







Mencari kebenaran letak Gua Al Kahfi, membuat para ilmuwan kontemporer tertarik untuk meneliti, tapi sebenarnya para ulama klasik sudah melakukannya

Hidayatullah.com--Kisah Ashab Al Kahfi yang ditidurkan Allah dalam gua selama 309 tahun, tertulis dalam Al-Quran. Bahkan peristiwa itu diabadikan menjadi sebuah surat secara khusus, yakni surat ke-18, surat Al Kahfi.

Saat ini ada 33 lokasi yang diklaim sebagai gua Ashab Al Kahfi. Yang paling banyak disoroti, situs gua yang berada di Yordan. Tepatnya di wilayah Ar Rahib, berada di 1,5 km timur kota Abu Alanda. Situs bersejarah ini sendiri dikenal dengan nama Ar Raqim.



Tentu teka-teki tempat Ashab Al Kahfi bersembunyi, menarik para ilmuwan untuk melakukan penelitian. Hingga saat ini sudah ada 104 penelitian mengenai masalah ini.

Dari hasil penelitian itu, Dr. Muhammad Wahib, yang memperoleh gelar doktoral dalam bidang arkeologi dan manuskrip, berkesimpulan bahwa gua yang berada di situs bersejarah Ar Raqim adalah gua tempat Ashab Al Kahfi bersembunyi.

Beberapa bukti yang mendukung situs Ar Raqim ini tempat persembunyian Ashab Al Kahfi, antara lain merujuk kepada beberapa periwayatan yang menyebutkan bahwa beberapa sahabat Rasulullah Shalallallahu Alaihi Wasallam (SAW), seperti Ubadah bin Shamid, Muawiyah bin Abi Sufyan, Habib bin Maslamah dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhum (RA), pernah melintasi tempat itu di masa kekhalifahan Umar bin Al Khattab, kemudian memasuki gua tersebut dan menyaksikan tulang belulang Ashab Al Kahfi.

Beberapa bukti arkeologis menguatkan kesimpulan itu. Sebagaimana diketahui bahwa Allah telah berfirman dalam Al-Quran, yang maknanya, ”…Dan mereka mengatakan, ‘dirikanlah bangunan di atas (gua) mereka. Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka. ’ Dan orang-orang yang berkuasa atas mereka mengatakan, ’Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.’” (Al Kahfi [18] : 21).

Setelah dilakukan penggalian, ditemukan sebuah bangunan yang berada tepat di atas gua tersebut. Pada awalnya berupa gereja, kemudian tempat ibadah itu berubah menjadi masjid saat Islam datang. Dan telah dilakukan pemugaran terhadap bangunan ini beberapa kali, sebagaimana tertulis di beberapa batu yang berada di lokasi itu, yakni pada tahun 117, 277, dan 900 hijriah.

Tak jauh di lokasi, tepatnya di arah kiblat dari gua, dibangun pula sebuah masjid, yang hingga kini mimbarnya masih utuh, yang tertulis di lantainya bahwa Khalifah Al Muwaffaq di masa kekhalifahan Abasiyah telah memerintahkan perbaikan masjid ini.

Bukan hanya para ahli kontemporer yang melakukan penelitian, para ulama Muslim klasik sebenarnya telah melakukan penelitian, di mana lokasi gua itu sebenarnya. Dan –yang selama ini diketahui- mereka menilai bahwa gua Kahfi berada di Yordan. Dan penelitian mereka juga menjadi rujukan para ilmuwan saat ini.

Beberapa ulama klasik telah berkali-kali mengunjungi gua untuk melakukan hal yang sama, dengan berpatokan terhadap gerakan matahari di atas gua. Mereka menilai bahwa kondisi gua Yordan sesuai dengan ciri-ciri gua Ashab Al Kahfi yang digambarkan Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman, yang maknanya, ”Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri…” (Al Kahfi [18]: 17).

Imam Al Waqidi juga menilai bahwa di tempat inilah Ashab Al Kahfi bersembunyi. Beliau mengatakan dalam kitabnya Futuhat As Syam, ”Dan kami telah sampai di gua Kahfi pada sore hari, dan saat itu di dekat gua ada mata air, dan di situlah kami berwudhu, lalu melakukan shalat dan bermalam, dan di pagi harinya kami menuju negeri Al Jinan yang berada di dekat Amman.” Hingga kini, lokasi air mengalir itu masih ada di situs Al Kahfi Yordan.

Imam Al Qurthubi, dalam Jami’ li Ahkam Al-Quran, juga menyebutkan bahwa beliau telah mendatangi situs yang terdapat di Yordan ini, dan beliau juga telah mendatangi situs Turki, yang kedua-duanya diklaim sebagai gua Ashab Al Kahfi. Menurut beliau, jika dibandingkan dengan situs di Turki yang berada di wilayah Tharsus, situs Yordan ini lebih tepat dengan gambaran Al-Quran yang telah menunjukkan beberapa ciri-ciri gua yang ditempati Ashab Al Kahfi. [tho/hid/www.hidayatullah.com]

/@cwi

selengkapnya...

Ketika Para IbuTak Mau Lagi Memberi ASI


Sebelum para ilmuwan melakukan penelitian tentang manfaat air susu ibu, Islam sudah memerintahkan agar para ibu menyusui anak-anaknya. Perintah itu terdapat Surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi;

"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang maruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. "


Berdasarkan ayat tersebut, hubungan intim dengan ibu melalui kegiatan menyusui adalah hak seorang anak yang dilahirkan dari keluarga Muslim. Apalagi berabad-abad kemudian para ilmuwan yang melakukan penelitian mengakui bahwa ASI (Air Susu Ibu) memberikan banyak manfaat bagi perkembangan anak. Bayi-bayi diberi ASI dengan cukup memiliki kekebalan tubuh yang kuat dan memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang lebih baik dibandingkan bayi-bayi yang diberi susu formula.

Meski sudah tahu manfaat ASI, banyak kaum perempuan zaman sekarang yang enggan memberikan ASI pada anak-anaknya, termasuk ketakutan untuk melahirkan secara normal dan lebih memilih melahirkan lewat operasi. Ada fenomena para ibu bersikap lunak terhadap asupan makanan untuk anak-anaknya. Mereka lebih memilih memberikan susu formula dan makanan bayi instan, karena produk susu dan makanan itu kini sudah banyak tersedia di pasaran.

Kecenderungan itu juga terjadi di kalangan perempuan Muslim. Kesadaran untuk memberikan ASI pada anak-anaknya justeru masih tinggi di kalangan muslimah konservatif dengan tingkat pendidikan tinggi. Di balik pakaian tertutup mereka, masih mau memberikan ASI pada anak-anaknya yang masih bayi. Mereka masih memegang teguh kebiasaan kalangan kaum muslimin di awal-awal perkembangan Islam. Para ibu ketika itu, menyapih anaknya setelah berusia dua tahun dan tidak memberikan makanan padat sebelum gigi si anak tumbuh. Jika mereka tidak mampu menyusui bayi-bayi mereka karena alasan yang kuat, maka mereka akan mencari perempuan lain yang bisa menyusui bayi mereka.

Di zaman sekarang, banyak hal yang menyebabkan anak-anak Muslim kehilangan kesempatan untuk mendapatkan ASI. Baik dari faktor si ibu, anak dan faktor luar seperti sistem rumah sakit yang tidak mempromosikan pemberian ASI Eksklusif pada bayi yang baru lahir. Baru belakngan ini saja, Indonesia mengkampanyekan inisiasi menyusui dini di rumah-rumah sakit.

Rumah-rumah sakit kadang memberikan susu formula pada bayi yang baru lahir. Kadang terjadi praktik yang tidak etis, dimana terjadi kesepakatan antara pihak rumah sakit dan produsen susu atau obat tertentu untuk mempromosikan produk-produk mereka pada pasien. Ada juga kaum perempuan yang hanya mau menyusui bayinya sampai usia enam bulan dengan alasan produksi ASI nya sudah berkurang. Padahal hal itu bisa diatasi dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi dan berkalori.

Di sisi lain, karena faktor sang bayi, banyak para ibu yang harus berjuang agar bayinya mau menyusu ASI dan menolak memberikan susu botol pada bayinya yang baru lahir. Untuk kasus seperti ini, seorang ibi membutuhkan dukungan dari suami dan anggota keluarga lainnya dan si ibu dibiarkan untuk bersama-sama dengan bayinya paling tidak di 40 hari pertama kehidupan sang bayi.

Mengingat pentingnya ASI, patut disayangkan jika kaum perempuan Muslim enggan memberikan ASI pada bayi-bayinya yang baru lahir.Karena pemberian ASI yang baik akan menciptakan generasi-generasi Muslim yang kuat, sehat dan cerdas baik dari sisi intelektual maupun emosional, seperti hasil penelitian para ilmuwan tentang manfaat ASI. (ln/iol)
sumber:eramuslim.com
/@cwi

selengkapnya...

Cuma Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah Bisakah Masuk Surga?

Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillah washalatu wassalamu ‘ala rasulillah wa ‘ala Aalihi washahbihi wa Man Ihtadaa bi hudaahu.

Banyak dalil syar’i dari dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menunjukkan bahwa siapa yang bertauhid dan meninggal di atasnya pasti masuk surga. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَمَنْ قَالَهَا فَقَدْ عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلَّا بِحَقِّهِ

“Aku diperitahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa Ilaaha Ilallah, maka apabila mereka telah mengucapkannya, darah dan harta mereka diharamkan atasku kecuali dengan hak-nya.” (HR. al-Bukhari)

Hadits Ubadah bin Tsamit radhiyallahu 'anhu:

مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ الْعَمَلِ

“Barangsiapa yang mengatakan, ‘Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang hak kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, bahwa Isa adalah hamba Allah dan anak dari hamba wanita-Nya, (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya, bahwasanya jannah (surga) adalah hak dan neraka juga hak (benar adanya),’ pasti Allah akan memasukkannya ke dalam surga seberapapun amalnya.” (HR. Al-Bukhari)

Masih banyak hadits lain yang menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah dengan jujur dan bertauhid, ucapannya mengandung sikap bara’nya (berlepas diri) dari syirik dan beriman bahwa Allah semata yang berhak diibadahi, maka dia akan masuk surga. Dia termasuk orang Islam. Bersamaan itu ia juga beriman bahwa Muhammad adalah Rasulullah dengan membenarkan segala yang Allah dan Rasul-Nya sampaikan pada waktu itu. Kemudian dia dituntut melaksanakan syariat Islam, maka apabila telah datang waktu shalat, wajib ia melaksanakannya. Seperti itu juga zakat, puasa, dan haji. Jika ia meninggal setelah bertauhid, pasti masuk surga. Kalau dia masuk Islam lalu meninggal dunia setelahnya, pasti masuk surga, karena dia tidak sempat melakukan amal kebaikan dan tidak pula pernah melakukan keburukan sedikitpun. Dan Islam memutus/menghapus perbuatan-perbuatan sebelumnya, sedangkan taubat menghapuskan kesalahan-kesalahan yang lalu. Jika ia sempat hidup hingga mendapatkan shalat, maka wajib baginya shalat. Jika ia menolak dan menentangnya maka kafirlah ia, dan jika meninggalkannya maka ia telah kafir. Seperti itu pula apabila dia mendapatkan perintah zakat, ia wajib menunaikan zakat. Jika ia menolak membayar zakat maka ia telah bermaksiat dan berhak masuk neraka. Begitu juga kalau ia mendapati perintah puasa, jika ia tidak berpuasa maka ia telah bermaksiat dan harus masuk neraka, kecuali kalau Allah memaafkan dirinya. Begitu juga ketika dia berzina, mencuri atau semisalnya, maka ia telah bermaksiat yang harus masuk neraka kecuali kalau Allah memaafkan dirinya, ia berada di bawah Masyi’ah (kehendak) Allah.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Nisa’: 48)

Maksudnya kapan saja dia masuk Islam dan mentauhidkan Allah, belepas dari kesyirikan dan beriman kepada semua kabar dari Allah dan Rasul-Nya, maka ia menjadi muslim. Kemudian dia dituntut melaksanakan hak-hak Islam berupa shalat, dan selainnya serta meninggalkan maksiat. Jika ia meninggalkan maksiat dan melaksanakan tuntutan Islam, maka sempurna Islam dan Imannya. Jika ia meninggal saat itu juga belum sempat beramal, maka baginya surga, karena Islamnya menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya. Jika ia masih hidup dan melaksanakan beberapa kemaksiatan atau meninggalkan sebagian amal wajib, maka ia berada di bawah masyi’ah (kehendak) Allah, jika Allah berkehendak maka akan mengampuninya dan memasukkannya ke dalam surga dengan tauhidnya. Dan jika berkehendak, Allah akan menyiksanya sebanding dengan maksiatnya yang ia bawa mati sebagaimana firman Allah Ta’ala yang lalu,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Nisa’: 48)

kapan saja dia masuk Islam dan mentauhidkan Allah, belepas dari kesyirikan dan beriman kepada semua kabar dari Allah dan Rasul-Nya, maka ia menjadi muslim.

Jika ia meninggal saat itu juga belum sempat beramal, maka baginya surga, karena Islamnya menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya.

Ini merupakan ijma’ (consensus) kaum muslimin dan sesuai dengan ijma Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Orang yang bermaksiat berada di bawah masyi’ah (kehendak) Allah, tidak dikafirkan sebagaimana keyakinan khawarij. Dia tidak kekal dalam neraka sebagaimana yang diucapkan kaum Khawarij dan Mu’tazilah. Tidak, tapi ia berada di bawah masyi’ah Allah. Apabila ia meninggal di atas zina, pencurian, durhaka kepada orang tua, menenggak minuman keras, memakan harta riba tapi tidak sampai menganggapnya halal dan tetap menilainya sebagai kemaksiatan, tanpa menghalalkannya tapi dia dikalahkan oleh hawa nafsu dan syetan dan dia tahu betul itu adalah maksiat, maka ia ia berada di bawah masy’iah Allah. Jika Dia berkehendak maka akan memaafkan mereka, dan jika berkehendak maka Allah akan menyiksanya di neraka sesuai kadar kemaksiatan yang ia bawa mati. Sesudah disucikan dan dibersihkan maka Allah akan mengeluarkannya dari neraka sebagaimana ijma’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak akan kekal di neraka kecuali orang-orang kafir. Ini berbeda dengan paham Khawarij dan Mu’tazilah yang mereka berkata, “Sesungguhnya seorang yang bermaksiat apabila mati di atas kemaksiatannya ia akan kekal di neraka.” Kelompok Khawarij mengatakan, “Ia kafir”. Perkataan mereka ini batil menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pendapat tersebut sangat batil dan telah dibantah oleh satu ayat yang mulia, yaitu firman Allah Ta’ala:

ِإِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Nisa’: 48)

Sedangkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang orang yang berzina “Seorang pezina tidak akan jadi berzina ketika ingin berzina kalau dia masih seorang mukmin. Dan tidak akan jadi meminum minuman keras ketika akan meminumnya kalau dia masih seorang mukmin. Dan tidak akan jadi mencuri (seorang puncuri) ketika akan mencuri sementara dia masih seorang mukmin.” Maksudnya adalah anacaman dan peringatan keras. Yakni bukan seorang mukmin yang sempurna imannya. Ada cacat dalam imannya yang maknanya bukan seorang kafir. Karena ayat-ayat saling membenarkan satu dengan lainnya begitu juga hadits, saling membenarkan satu dengan lainnya. Kitab Allah, sebagiannya tidak akan menduskan sebagian yang lain. Sunnah juga tidak akan menyalahi Al-Qur’an. Dan wajib menafsirkan nash dengan nash lainnya.

Sabda Nabi “Seorang pezina tidak jadi berzina ketika akan berzina kalau dia seorang mukmin,” yakni iman yang wajib dan sempurna. Kalau dia memiliki iman yang sempurna, pasti tidak akan berzina. Tai imannya lemah dan ada cacatnya, karenanya ia terjerumus melakukan zina dan minum minuman keras karena lemahnya iman yang ia miliki. Maknanya bukan ia seorang kafir, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan ditegakkan had (hukuman) atas pezina, dan had merupakan kafarah (penghapus dosa) baginya. Dan jika seorang pezina meninggal dunia setelah ditegakkan had atasnya, maka ia masuk surga dan had tersebut menjadi penebus untuknya. Karena itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda dalam hadits ‘Ubadah yang terdapat dalam Shahihain sesudah beliau menyebutkan tentang dosa-dosa maksiat, beliau bersabda:

“Siapa yang didapati oleh Allah di dunia –maksudnya ditegakkan had syar’i- maka itu menjadi kafarah (penghaphus) baginya. Dan siapa yang Allah tangguhkan sampai akhirat maka urusannya diserahkan kepada Allah.” Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Dan akan mengampuni dosa selainnya bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Nisa’: 48)

Maka Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berkata: Bahwasanya para pelaku maksiat berada di bawah masyi’ah (kehendak Allah). Jika maksiat bukan syirik dan ia tidak menghalalkannya, maka ia berada di bawah masyi’ah Allah sebagaimana pezina, peminum khamer, pemakan riba, anak durhaka kepada orang tuanya, dan semisalnya. Adapun orang yang menghalalkan maksiat, menghalalkan zina dan berkata bahwa zina halal, maka ditegakkan hujjah padanya. Jika dalil sudah jelas padanya lalu ia tetap ngotot bahwa zina halal maka ia kafir dan termasuk pelaku kufur akbar yang mengeluarkannya dari Islam. Begitu juga orang yang mengatakan: Bahwasanya khamer halal, lalu ditegakkan dalil kepadanya. Jika ia tetap ngotot dengan perkataannya maka ia menjadi kafir. Seperti itu juga orang yang mengatakan mencuri adalah halal atau riba halal, maka ditegakkan dalil padanya. Jika tetap ngotot dengan keyakinanya bahwa riba halal, ia telah kafir. Begitu juga orang yang berkata tentang durhaka kepada orang tua adalah halal, maka dijelaskan persoalan itu padanya. Jika ia tetap ngotot sesudah dijelaskan dalil-dalilnya, maka ia kafir. Seperti itu pula kondisi orang yang berkata bahwa liwath (homoseksual/hubungan sejenis) adalah halal.

Seperti itulah keadaan orang yang menghalalkan maksiat yang sudah sudah jelas dalam dien. Jika ia menghalalkannya dan sudah ditegakkan hujjah (argumentasi) dan dalil baginya, lalu ia tetap pada pendapatnya maka ia kafir. Sedangkan orang yang meninggal dengan membawa kemaksiatan dan ia tahu itu adalah maksiat, ia tidak menganggapnya halal, ia sadar telah berbuat maksiat, ia mati dalam keadaan berzina, mati dalam keadaan mabuk, mati dalam keadaan memakan riba, namun ia menyadari bahwa ia berbuat maksiat maka ia berada di bawah masyi’ah Allah. Jika Allah berkehendak, maka akan mengampuni dosanya melalui amal-amal shalihnya dan tauhidnya. Dan jika Dia berkehendak lain, maka akan menyiksanya sekadar dengan kejahatan yang ia bawa mati. Kemudian sesudah suci dan bersih di neraka, Allah mengeluarkan mereka dan memasukkannya ke surga. Banyak sekali hadits Rasul shallallahu 'alaihi wasallam yang menunjukkan banyak pelaku maksiat yang masuk neraka dan disiksa di dalamnya, lalu Allah mengeluarkan mereka dari neraka dalam keadaan gosong terbakar lalu dicelupkan dalam sungi kehidupan, setelah itu ia tumbuh sebagaimana tumbuhnya biji kecambah. Jika sudah sempurna tubuh mereka, maka Alla memasukkannya ke dalam surga.

Orang yang menghalalkan maksiat yang sudah sudah jelas dalam dien. Jika ia menghalalkannya dan sudah ditegakkan hujjah (argumentasi) dan dalil baginya, lalu ia tetap pada pendapatnya maka ia kafir.

Banyak sekali hadits Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam dan ijma’ Ahlis Sunnah wal Jama’ah bahwa tidak akan kekal dalam neraka kecuali orang-orang kafir, --kita memohon keselamatan kepada Allah darinya--. Sementara ahli maksiat, tidak. Terkadang dia tinggal di neraka dalam waktu cukup lama, dan terkadang dinamakan kekal tapi kekal yang terbatas dan akan selesai. Jika selesai jatah waktu yang sudah Allah tertapkan baginya usai maka Allah mengeluarkannya dari neraka, lalu di bawa ke surga karena tauhid dan Islamnya.

Syarat Kalimat Tauhid

Tauhid memilihi beberapa syarat yang telah disebutkan sebagian ulama yang berjumlah tujuh, sebagian lainnya menyebutkannya delapan. Yaitu: Ilmu, yakin, ikhlas, jujur, cinta, inqiyad (tunduk), qabul (menerima), dan ditambah yang delapan kufur terhadap tuhan selain Allah. Apabila seorang penuntut ilmu memahami, meyakini, dan melaksanakannya maka ini adalah kesempurnaan tauhid dan iman. Jika ia seorang awam yang tidak mengetahui syarat-syarat ini tapi ia berlepas diri dari kesyirikan dan beriman keapda Allah, mentauhidkan-Nya maka sudah cukup walaupun ia tidak tahu syarat-syarat tersebut. Kapan ia berlepas diri dari syirik dan kekufuran, dan meyakini kebatilannya serta beriman kepada Allah semata, maka ia sudah cukup.

Banyak sekali hadits Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam dan ijma’ Ahlis Sunnah wal Jama’ah bahwa tidak akan kekal dalam neraka kecuali orang-orang kafir, sementara ahli maksiat, tidak.

Ilmu, yakni mengetahui bahwa Allah 'Azza wa Jalla adalah yang berhak diibadahi. Sedangkan makna Laa Ilaaha Illallaah adalah tidak ada yang diibadahi dengan hak kecuali Allah. Yakin, ia mengucapkannya dengan penuh keyakinan tanpa ragu-ragu. Ia mentauhidkan Allah dengan keyakinan. Ikhlas, yakni ia tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya, tapi ia ikhlaskan ibadah kepada Allah dengan kejujuran. Ini berbeda dengan orang-orang munafikin, mereka mengatakannya dengan dusta. Orang-orang munafik adalah kafir apabila dia mengucapkannya secara dzahir padahal ia berdusta dalam batinnya, orang ini telah kafir.

Dengan penuh cinta, adalah mencinai Allah dan mencintai untuk mentauhidkannya. Orang yang kafir tidak akan mencintai Allah, membenci tauhid, atau membenci iman.

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 9)

Begitu juga qabul, ia menerima dien (agama), menerima kebenaran, dan mengikutinya. Adapun jika ia menolak kebenaran, tidak menerimanya, dan tidak tunduk kepada kebenaran, bahkan ia tidak menerima untuk mentauhidkan Allah dan tidak meninggalkan kesyirikan, maka ia menjadi kafir. Dan harus mengingkari setiap yang diibadahi selain Allah sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ

“Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al-Baqarah: 256) Yakni kufur terhadap peribadatan kepada selain Allah, yakni mengingkarinya. Meyakini kebatilan ibadah kepada selain Allah, mengingkarinya dan berlepas diri darinya. Inilah makna perkataan sya’ir: “Dan ditambahkan kedelapannya kufurmu terhadap segala sesuatu selain Allah yang dijadikan tuhan.” Maksudnya: seorang mukmin mngetahui kebenaran, meyakininya, dan membenarkannya. Ia berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya, serta mengikuti kebenaran dan mantap dengannya, mencintai Allah dan Rasul-Nya. Seperti inilah seorang mukmin, walaupun ia tidak mengetahui syarat-syarat kalimat tauhid. Kapan ia menerima kebenaran dan tunduk untuk mentauhidkan Allah, mengikhlaskan ibadah kepada Allah, mencintai Allah dan tunduk kepada syariat-Nya dan tidak berdusta seperti orang-orang munafikin, maka imannya shahih. Walllahu Ta’ala a’lam. [PurWD/voa-islam.com]
Ditarjamahkan oleh Badrul Tamam dari dari www.binbaz.org.sa /@cwi

selengkapnya...

Sejarah Ringkas Kerajaan Mataram Islam



Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia yang bersifat maritim, kerajaan Mataram bersifat agraris. Kerajaan yang beribu kota di pedalaman Jawa ini banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu baik pada lingkungan keluarga raja maupun pada golomngan rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai dengan perebutan tahta dan perselisihan antaranggota keluarga yang sering dicampuri oleh Belanda. Kebijaksanaan politik pendahulunya sering tidak diteruskan oleh pengganti-penggantinya. Walaupun demikian, kerajaan Mataram merupakan pengembang kebudayaan Jawa yang berpusat di lingkungan keraton Mataram. Kebudayaan tersebut merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam.
Banyak versi mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram berdasarkan mitos dan legenda. Pada umumnya versi-versi tersebut mengaitkannya dengan kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan juga terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang memberikan hadiah kepada 2 orang yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.
Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak pada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senapati bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601.
Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senapati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.

Senapati digantikan oleh putranya, Mas Jolang, yang bertahta tahun 1601-1613. Maas Jolang lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak. Pada masa pemerintahannya, dibangun taman Danalaya di sebelah barat kraton. Panembahan Seda Krapyak hanya memerintah selama 12 tahun Ia meninggal ketika sedang berburu di Hutan Krapyak.
Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Ia pun merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur.
Di samping dalam bidang politik dan militer, Sultan Agung juga mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan. Upayanya antara lain memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Kerawang, Jawa Barat, di mana terdapat sawah dan ladang yang luas serta subur. Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya Garebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak itu dikenal Garebeg Puasa dan Garebeg Mulud. Pembuatan tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing merupakan karya Sultan Agung yang lainnya.
Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 dengan meninggalkan Mataram dalam keadaan yang kokoh, aman, dan makmur. Ia diganti oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengasn banyak pembunuhan/kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta.
Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya) melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya wafat.
Ia digantikan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang.
Oleh karena Kraton Kerta telah rusak, ia memindahkan kratonnya ke Kartasura (1681). Kraton dilindungi oleh benteng tentara VOC. Dalam masa ini Amangkurat II berhasil menyelesaikan persoalan Pangeran Puger (adik Amangkurat II yang kelak dinobatkan menjadi Paku Buwana I oleh para pengikutnya). Namun karena tuntutan VOC kepadanya untuk membayar ganti rugi biaya dalam perang Trunajaya, Mataram lantas mengalami kesulitan keuangan. Dalam kesulitan itu ia berusaha ingkar kepada VOC dengan cara mendukung Surapati yang menjadi musuh dan buron VOC.
Hubungan Amangkurat II dengan VOC menjadi tegang dan semakin memuncak setelah Amangkurat II mangkat (1703) dan digantikan oleh putranya, Sunan Mas (Amangkurat III). Ia juga menentang VOC. Pihak VOC yang mengetahui rasa permusuhan yang ditunjukkan raja baru tersebut, maka VOC tidak setuju dengan penobatannya. Pihak VOC lantas mengakui Pangeran Puger sebagai raja Mataram dengan gelar Paku Buwana I. Hal ini menyebabkan terjadinya perang saudara atau dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota I (1704-1708). Akhirnya Amangkurat III menyerah dan ia dibuang ke Sailan oleh VOC. Namun Paku Buwana I harus membayar ongkos perang dengan menyerahkan Priangan, Cirebon, dan Madura bagian timur kepada VOC.
Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan digantikan oleh Amangkurat IV (1719-1727) atau dikenal dengan sebutan Sunan Prabu , dalam pemerintahannya dipenuhi dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dan seperti biasa VOC turut andil pada konflik ini, sehinggga konflik membesar dan terjadilah Perang Perebutan Mahkota II (1719-1723). VOC berpihak pada Sunan Prabu sehingga para pemberontak berhasil ditaklukkan dan dibuang VOC ke Sri Langka dan Afrika Selatan.
Sunan Prabu meninggal tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC. Paku Buwana II memihak China dan turut membantu memnghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura berhasil menaklukan pemberontak China. Hal ini membuat Paku Buwana II merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC. Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang bersama pemberontak China menggempur kraton, hingga Paku Buwana II melarikan diri ke Panaraga. Dengan bantuan VOC kraton dapat direbut kembali (1743) tetapi kraton telah porak poranda yang memaksanya untuk memindahkan kraton ke Surakarta (1744).
Hubungan manis Paku Buwana II dengan VOC menyebabkan rasa tidak suka golongan bangsawan. Dengan dipimpin Raden Mas Said terjadilah pemberontakan terhadap raja. Paku Buwana II menugaskan adiknya, Pangeran Mangkubumi, untuk mengenyahkan kaum pemberontak dengan janji akan memberikan hadiah tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Usaha Mangkubumi berhasil. Tetapi Paku Buwana II mengingkari janjinya, sehingga Mangkubumi berdamai dengan Raden Mas Said dan melakukan pemberontakan bersama-sama. Mulailah terjadi Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755).
Paku Buwana II dan VOC tak mampu menghadapi 2 bangsawan yang didukung rakyat tersebut, bahkan akhirnya Paku Buwana II jatuh sakit dan wafat (1749). Namun menurut pengakuan Hogendorf, Wakil VOC Semarang saat sakratul maut Paku Buwana II menyerahkan tahtanya kepada VOC. Sejak saat itulah VOC merasa berdaulat atas Mataram. Atas inisiatif VOC, putra mahkota dinobatkan menjadi Paku Buwana III (1749).
Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai.
Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana III.
Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III. /@cwi

selengkapnya...

Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |