Hikayat Medan Badar

Tidak ada sama sekali niat awal Rasulullah untuk berperang, maka tak heran hanya 314 kaum Anshar dan Muhajirin yang berangkat menuju Badar, niat hanya sekedar menghadang dan mengambil barang bawaan kau kafir Quraisy musyrikin yang hendak menuju Mekkah ternyata berbuntut peperangan yang secara kuantitas sungguh timpang. Berita keberangkatan Rasulullah dan Sahabat untuk menghadang Kafilah Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan ternyata ditengah jalan diketahui oleh mereka, diutuslah Dhamdham bin Amer al-Ghifari, kurir kaum Quraisy yang bertugas mengabarkan meminta bala bantuan kaum Quraisy Mekkah. Seketika seluruh kaum Quraisy yang sejak awal sudah sangat membenci kaum muslimin bergerak, tidak tanggung tanggung, 1000 lebih kaum Quraisy berangkat menuju medan Badar.Disinilah kebijaksaaan Rasulullah terlihat, meskipun bertitel seorang utusan Allah, Rasulullah tidak semena-mena mengambil keputusan tanpa berdialog dengan kaum muslimin yang lain. Seketika mendengar keberangkatan bala bantuan kaum Quraisy musyrikin Mekkah menuju Badar, Rasulullah meminta pendapat para Sahabat. Kaum Muhajirin yang sejak awal mengikuti Rasulullah hijrah dan sangat percaya kepada Rasulullah seketika sepakat untuk melanjutkan penghadangan. Disisi lain, Disinilah ukhuwah islamiyah Kaum Anshar diuji, apakah kembali menuju Madinah dan menghindari bentrok fisik dengan kaum Quraisy yang berjumalh 3 kali lipat lebih banyak atau terus maju ke medan laga menghadap kaum Quraisy dan menjemput janji Surga Allah swt. “Wahai Rasulullah, sepertinya engkau berbicara kepada kami. Mungkin engkau khawatir bahwa kaum anshar merasa tidak wajib menolongmu kecuali engkau berada diwilayah mereka saja, sesungguhnya aku akan berkata atas nama kaum Anshar dan aku akan menjawab atas nama mereka” Sa’ad Bin Mu’adz membuka pembicaraan, mewakili Anshar. Kemudian Ia melanjutkan. “Teruskanlah wahai Rasulullah apa yang engkau inginkan. Sambunglah hubungan dengan orang yang engkau kehendaki dan putuslah hubungan dengan orang yang engkau kehendaki. Musuhilah siapa yang engkau kehendaki dan berdamailah dengan siapapun yang engkau kehendaki. Ambilah dari harta kami apa yang engaku kehendaki dan berilah kami apa yang engkau kehendaki. Apapun yang engkau ambil dari kami lebih sukai daripada apa yang engkau tinggalkan. Perintahkan apa saja kepada kami, maka urusan kami hanya mengikuti perintahmu. Demi Allah seandainya engkau berjalan hingga sampai ke Barak Ghamdan, niscaya kami akan berjalan bersamamu. Demi Allah seandainya engkau membawa kami ke lautan dan menyelam. Niscaya kami akan menyelam bersamamu”. Pernyataan Saad Bin Muadz itu menjadi pertanda betapa ukhuwah kaum Anshar tidak diragukan lagi, sekaligus menjadi tanda berlanjutnya misi penghadangan tersebut. Kaum Muslimin sudah siap siaga, Panji Perang dipegang Mushab bin Umair, bendera kaum Muhajirin dipegang Ali Bin Abi Tahlib dan bendera kaum anshar dipegang Sa’ad Bin Mu’adz. Perang insidental tersebut pun terjadi dan sejarah mencatatkan kualitas mengalahkan kuantitas. Jumlah kaum muslimin yang hanya sepertiga kaum kafir Quraisy nyatanya tidak menghalangi kemenangan Kaum Muslimin, karena pertolongan Allah bersama kaum Muslimin. Rasulullah pun bersabda “Allahu Akbar, segala puji bagi Allah yang sungguh terbukti janji-Nya, Dia menolong hamba-Nya dan dia telah menghancurkan sendiri tentara-tentara musuh.” Allah pun mengabadikan kemenangan kaum muslimin itu dalam firmannya. “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah supaya kamu mensyukurinya” (QS. Ali Imran 123) Sejarah mencatatkan Kaum Muslimin dengan jumlah 314 orang dapat mengalahkan kaum kafir Quraisy yang berjumlah 1000 orang. Kemenangan ini tidak saja sebagai bukti kualitas kaum Muslimin, kemenangan ini juga sebagai peningkatan Bargaining Position Kaum Muslimin di mata kabilah lain. Kemenangan Badar ini pula yang mempermudah ekspansi dakwah Rasulullah. Semoga kita terus dapat mengambil hikmah dari Kisah perang Badar ini. Oleh : Denny Reza Kamarullah, Bandung /@cwi

selengkapnya...

Punk Muslim, Komunitas Anak Jalanan yang Berideologi Islam

Apa yang terbayang saat anda mendengar kata ‘anak punk’? Mungkin yang terlintas dalam pikiran adalah pengamen, rambut mohawk, narkoba, anarkisme, anti kemapanan dan segala dinamika kehidupan jalanan lainnya. Namun, terlepas dari stigma tersebut, di salah satu sudut Kota Jakarta, terdapat puluhan punkers yang memilih dakwah sebagai orientasi pergerakannya. Punk Muslim, sebuah komunitas punk yang bermarkas di Jalan Swadaya, Pulogadung, Jakarta Timur. Embel-embel kata Muslim di nama komunitas ini bukan tanpa alasan. Ya, sejak berdirinya komunitas ini mereka berkomitmen akan membawa Islam sebagai jalur dalam segala kegiatannya.
Tak mau disebut sebagai anggota, mereka lebih memilih disebut ‘penghuni’ Punk Muslim. Kalau boleh membahas penampilan, mereka tak berbeda dengan punkers lain yang biasa ditemui. Mereka bercelana jeans kumal, gaya bicara yang tidak pernah serius, dan hampir semuanya memakai kaos berwarna hitam bergambar cadas. Baru kemudian ketika berkenalan dan berbincang lebih jauh, karakter mereka yang berbeda dari punkers pada umumnya akan tampak jelas. “Punk Muslim itu seperti komunitas punk lainnya. Kita tetap membawa counter-culture yang sama, yaitu mendobrak kebiasaan lama, anti maintream. Mungkin bedanya di sini adalah kita mengangkat ideologi Islam. Sederhananya seperti itu,” jelas salah satu penghuni Punk Muslim, Lutfi (27) seperti yang dilansir oleh detikRamadan, Sabtu (28/7/2012). Sementara punkers pada umumnya membawa ideologi anarkisme, mereka memilih untuk menjadikan Al Quran dan Hadits sebagai pedoman pergerakannya. Lutfi menegaskan komunitas ini ingin merubah stigma negatif yang menempel pada punk jalanan atau lebih banyak disebut street punk. Ketika banyak pihak yang menilai street punk hanyalah sampah, Punk Muslim memilih untuk merangkul mereka. “Di sisi lain, teman-teman yang lain bilang street punk itu tidak ada, mereka cuma ikut-ikutan, cuma sampah, cuma menjelek-jelekkan punk. Punk muslim merangkul mereka, memberikan penjelasan, bahwa temen-temen punk tidak harus melakukan apa yang dilakukan oleh street punk. Misalkan tidur di jalanan, berdekil-dekil di jalanan. Tidak harus seperti itu. Kita merangkul mereka, bukan menyumpahi mereka,” tuturnya. Walau dengan aliran musik punk, mereka membawakan pesan dakwah dalam lirik-liriknya. Mereka merasa ideologi anarkisme tak cocok bagi mereka yang muslim. “Kalau karya sama, bedanya ya di pesan dan liriknya. Kita semua ini muslim, kalau kita muslim ya Islam lah pedoman kami. Kalau mengangkat anarkisme, tidak nyambung juga. Kan kebanyakan komunitas punk di Indonesia membawa ideologi anarkisme. Karena kita muslim ya kita angkat Islam, akan bertabrakan terus kalau sama anarkisme,” lanjutnya. Komunitas ini awalnya berbentuk band punk yang bernama Band Punk Muslim yang terdiri dari 10 orang personil. Ketika sang vokalis, Budi Choironi atau yang lebih akrab dipanggil teman-temannya dengan nama Buce meninggal dunia, para personil band lainnya memilih untuk melanjutkan perjuangan dakwah mereka. Buce menjadi sosok inspiratif dalam pergerakan komunitas ini. “Buce itu juga ketua persaudaraan anak jalanan se-Indonesia. Setelah almarhum meninggal, ya sudah sekalian kita bikin komunitas. Jadi tidak hanya main band tapi ada pergerakannya juga. Konsep yang ada sudah baik, kenapa gak diterusin. Jadi ada komunitas biar untuk mengajak temen-temen street punk yang ada di jalanan,” cerita pria yang ikut memprakarsai band dan komunitas Punk Muslim. Komunitas Punk Muslim saat ini sudah memiliki 50 orang penghuni. Sekitar 20 orang penghuni pria di antaranya tinggal di markas mereka di Pulo Gadung. Beberapa di antara mereka bergabung karena ada ajakan dari penghuni komunitas, ada juga yang atas keinginannya sendiri untuk datang ke markas. “Ya kita ngajak dan ada juga yang mereka tau ada Punk Muslim terus bergabung. Ngajaknya ya dengan kita kan mainnya di jalanan, pasti ketemu lalu ngobrol-ngobrol. Ayo main-main ke markas, ngopi-ngopi, ngrokok-ngrokok dan ngobrol santai dulu”, kata Lutfi. Lutfi bercerita dalam prosesnya, tak mudah mengajak para penghuni Punk Muslim untuk mengikuti pola kehidupan di dalam markas yang agamis. Karakter anak jalanan yang keras menjadi tantangan yang tak pernah usai, namun tak membuat para punggawa Komunitas Punk ini menyerah. “Ya memang mereka keras, tapi biarlah mengalir kita arahkan ke yang positif. Pasti ada kesulitan, tapi memang harus kita kasih contoh terus, kita usahakan agar mereka ikut pada budaya kita. Kita biasakan mereka dengan budaya yang Punk Muslim bangun di markas. Kalau shalat ya shalat, kalau mereka nggak ikut dulu ya tidak apa-apa, biarin aja, mereka ngliatin dulu,” ujarnya. Kegiatan di markas Punk Muslim di Pulo Gadung, selain berlatih musik adalah mengaji, shalat berjamaah, dan tausiyah. Sementara untuk bulan Ramadan ini, Punk Muslim sedang bersiap untuk menggelar Pesantren Jalanan di daerah Ciputat pada 11-13 Agustus 2012 nanti. Sesuai dengan namanya, pesantren ini diperuntukkan bagi anak-anak jalanan. “Insya Allah, kalau Ramadan begini kita Tarawih, belajar membaca Al Quran, ya kalau bisa. Temen-temen di jalanan, sudah tua juga masih alif ba ta. Dan belajarnya gak bisa cepat seperti anak kecil, Iqra jilid satu bisa berapa hari,” pungkas Lutfi. Rep/Red: Farid Zakaria Sumber: detikRamadhan /@cwi

selengkapnya...

Hukum I’tikaf bagi Wanita

Sebagian manusia menyangka bahwa i’tikaf yang disunnahkan oleh Islam hanya berlaku bagi kaum laki-laki saja, dan tidak berlaku bagi perempuan. Sementara itu, sebagian manusia yang lain menyatakan sebaliknya, bahwa perempuan juga diperbolehkan melakukan i’tikaf seperti halnya laki-laki tanpa dibeda-bedakan. Sebenarnya, bagaimana pandangan Islam mengenai i’tikaf bagi wanita? Dalam hal ini ada dua pendapat: 1. Dimakruhkan Wanita I’tikaf di Masjid Mereka berdalil sebagai berikut,Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan untuk melepas kemah-kemah istrinya ketika mereka hendak beri’tikaf bersama beliau. (HR Ibnu Khuzaimah, no. 2224) Hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anhu yang lainnya, beliau mengatakan, لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِى إِسْرَائِيلَ “Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengetahui apa kondisi wanita saat ini tentu beliau akan melarang mereka (untuk keluar menuju masjid) sebagaimana Allah telah melarang wanita Bani Israil.” (HR. Bukhari: 831 dan Muslim: 445) 2. Disunnahkan Wanita I’tikaf di Masjid Dalil pendapat ini adalah Firman Allah ta’ala, كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ “Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab…” (Ali ‘Imran: 37). dan firman-Nya, فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا “Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka…” (Maryam: 17). Dalam hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anh: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ الله تَعَالَى، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِه Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau (HR Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An Nasa’i, dan Ahmad) Dalam Shahih Al Bukhari (2033) dan Muslim (1173) dari jalur Yahya bin Sa’id bin Amrah, dari Aisyah, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلَمَّا انْصَرَفَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ إِذَا أَخْبِيَةٌ خِبَاءُ عَائِشَةَ وَخِبَاءُ حَفْصَةَ وَخِبَاءُ زَيْنَبَ “Bahwasanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam hendak beri’tikaf. Maka ketika beliau beranjak ke tempat yang hendak dijadikan beri’tikaf, di sana sudah ada beberapa kemah, yaitu kemah Aisyah, kemah Hafshah, dan kemah Zainab.” Pendapat yang Rajih Berdasarkan dalil-dalil yang dipaparkan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa hukum i’tikaf bagi wanita adalah sunnah adalah pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran. Hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah para istri beliau ketika mereka beri’tikaf bukanlah menunjukkan ketidaksukaan beliau apabila para pemudi turut beri’tikaf. Namun, motif beliau memerintahkan hal tersebut adalah kekhawatiran jika para istri beliau saling cemburu dan berebut untuk melayani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, dalam hadits tersebut beliau mengatakan, “Apakah kebaikan yang dikehendaki oleh mereka dengan melakukan tindakan ini?” Akhirnya beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun baru beri’tikaf di bulan Syawal. Sedangkan berdasarkan hadits tentang kemah ‘Aisyah, Hafshah, dan Zainab dalam Shahih Bukhari dan Muslim menunjukkan bahwa i’tikaf di masjid tidak menjamin keamanan seorang wanita, oleh karena itu perlu dibuat kemah sebagai tabir atau hijab bagi para wanita dari pandangan para lelaki. I’tikaf bagi wanita di masjid ini tentunya dengan syarat tidak melalaikannya dari kewajibannya mengurus kewajibannya sebagai isteri dan ibu. Hal ini diukur dengan pemberian izin dari suami untuknya beri’tikaf di masjid. I’tikaf Wanita di Masjid Rumahnya DR Rajab Abu Malih mengatakan, ada perbedaan pandangan tentang hal itu. Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpandangan bahwa seorang perempuan tidak diizinkan beri’tikaf di kamar atau mushalanya sendiri di dalam rumah. Ketiga mazhab itu merujuk pada Al Quran Surat Al Baqarah ayat 187. ” … Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf dalam masjid ….” Maliki, Syafi’i, dan Hambali juga merujuk pada peristiwa ketika Abdullah bin Abbas ditanya tentang seorang perempuan yang bersumpah untuk beri’tikaf di mushala di rumahnya. Abdullah bin Abbas lalu mengatakan, “Itu adalah bid’ah, dan tindakan yang paling dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah melakukan bid’ah. Tidak ada i’tikaf selain di masjid di mana shalat lima waktu dilaksanakan.” Berdasarkan pandangan itu, kamar atau mushala di rumah tidak bisa dianggap sebagai masjid, dan jika i’tikaf dalam kamar atau mushala di rumah dibolehkan, maka para istri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam seharusnya sudah melakukannya, meski cuma sekali. Sebaliknya, para ulama penganut mazhab Hanafi membolehkan kaum perempuan beri’tikaf di ruangan khusus atau mushala di rumahnya. Mereka berpendapat bahwa tempat i’tikaf bagi perempuan adalah tempat yang mereka sukai dan tempat mereka melakukan salat lima waktu sehari-hari, karena tidak seperti laki-laki, lebih baik bagi kaum perempuan untuk salat dirumah dibandingkan di masjid. Berdasarkan pendapat itu, tempat i’tikaf perempuan selayaknya di sebuah ruangan khusus atau mushala di rumahnya sendiri. Abu Hanifah dan Ats Tsauri menyatakan, “Seorang perempun boleh melakukan i’tikaf di rumah. Itu lebih baik bagi mereka, karena salat mereka di rumah lebih baik daripada di masjid.” Disampaikan pula oleh Abu Hanifah bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan i’tikafnya di masjid ketika Beliau melihat tenda-tenda istrinya berada masjid. Rasullah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu berkata, “Apakah kebenaran yang dimaksudkan dengan melakukan hal yang demikian?” (HR Ibnu Khuzaimah) Pendapat yang membolehkan perempuan i’tikaf di drumah juga mengatakan bahwa mushala di rumah adalah tempat terbaik bagi kaum perempuan menunaikan salat, maka tempat mereka i’tikaf adalah seperti masjid bagi kaum lelaki dimana mereka mereka melaksanakan i’tikaf. Demikian perbedaan pendapat mengenai i’tikaf bagi wanita di masjid rumahnya. Dalam hal ini, kami lebih cenderung pada pendapat jumhur, bahwa tidak sah seorang perempuan i’tikaf di masjid dalam rumahnya. Abu Saif Kuncoro Jati Rep/Red: Shabra Syatila Sumber: priyayimuslim /@cwi

selengkapnya...

Panduan Ringkas I’tikaf Ramadhan

Ada suatu amalan di bulan Ramadhan yang mesti kita ketahui bersama demi meraih banyak pahala di bulan tersebut. Amalan tersebut adalah i’tikaf. Bagaimanakah tuntunan Islam dalam menjalankan i’tikaf di bulan Ramadhan? Berikut panduan ringkas yang semoga bermanfaat bagi para pengunjung www.fimadani.com yang kami kutip dengan perubahan dari nukilan Buku Panduan Ramadhan karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal. Semoga Allah senantiasa memberkahi beliau dan kita semua.I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat. Dalil Disyari’atkannya I’tikaf Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.” Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR Bukhari) Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.” (HR Bukhari) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu. I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.” Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid. I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. Imam Bukhari membawakan bab dalam kitab Shahih-nya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu.” Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272. Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana? Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, mushalla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu mushalla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan Masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala, “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at. Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid. Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah mengatakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.” Wanita Boleh Beri’tikaf Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.” (HR Bukhari) Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”(HR Bukhari dan Muslim) Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian. Lama Waktu Berdiam di Masjid Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk. Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari. Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” Yang Membatalkan I’tikaf Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak. Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyarah dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim). Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid. Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya. Mandi dan berwudhu di masjid. Membawa kasur untuk tidur di masjid. Mulai Masuk dan Keluar Masjid Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.” (HR Bukhari) Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam. Adab I’tikaf Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat. Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan amalan tentunya. Rep/Red: Shabra Syatila /@cwi

selengkapnya...

Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |