Tak Hanya Kritis Media, Produksi Siaran TV dan Film Anak adalah Harga Mati


Pada akhir tahun 80-an, masyarakat
Indonesia dikejutkan oleh berita seorang
anak berusia 14 tahun yang membunuh
temannya setelah ia menonton film
kehidupan bebas. Kasus tersebut mendorong
pemerintah untuk membuat UU Perlindungan Anak. Dimana anak memiliki hak untuk
mendapatkan tayangan yang positif, jauh
dari konten negatif seperti kekerasan,
pornoaksi, mistis, dll. Beberapa tahun kemudian yaitu tanggal 17
Agustus 2011, di Medan Sumatera Utara 4
orang siswa SD memperkosa teman
putrinya setelah mereka menonton film
porno yang diputar dirumah salah satu dari
mereka. Kedua kasus diatas merupakan sebagian
kecil dari maraknya penyimpangan yang
terjadi akibat dampak dari menonton
tayangan TV dan film. Maka benarlah teori
seorang psikolog kelahiran Kanada, Albert
Bandura yang mengatakan media yang paling kuat mempengaruhi perilaku sosial
adalah film dan tayangan televisi. Maka
tidak berlebihan jika keduanya merupakan
media pembentuk karakter bangsa yang bisa
dimulai pada anak usia dini. Terlebih
media televisi, ia membuat yang tidak bisa menjadi bisa, yang tidak mampu menjadi
mampu, sehingga acara televisi dan film
mengemban tanggung jawab moral bagi
pembentukan pilar–pilar positif bangsa.
Memproduksi program siaran TV dan film
dengan segmentasi anak pada dasarnya
sama seperti membuat program–program
yang lain, ia harus berhitung soal
perekonomian, segmentasi, riset dan
lainnya. Namun membuat program anak ternyata memiliki keunikan tersendiri,
seperti mengetahui apa yang dibutuhkan
bagi pendidikan anak. Sebagai contoh
keikutsertaan pembuat program atau film
anak tersebut dalam seminar–seminar
kurikulum pendidikan atau mengundang pakar untuk sharing desain pengembangan
pendidikan anak, setelah memiliki masukan
yang cukup, sama seperti guru pendidik
sekolah, pembuat program TV dan film
anak pun harus menyusun kurikulum yang
akan diaplikasikan. Selanjutnya, kurikulum yang telah disusun akan diadaptasi pada
tahapan produksi sehingga menghasilkan
program siaran atau film yang siap tayang. Tidak cukup sampai disitu, setelah program
siap ditayangkan, ada proses uji coba
dimana anak diminta untuk menonton
program tersebut agar diketahui apakah
mereka menangkap pesan yang dimaksud
serta apakah mereka tertarik atau tidak. Anak usia dini dengan segmentasi umur 0–6
tahun memiliki jumlah yang tidak sedikit
yaitu 31 juta jiwa, hanya sekitar 35% saja
yang sudah terlayani pada payung
pendidikan anak usia dini, baik itu formal
dan non formal, selebihnya yaitu sekitar 65% tidak memiliki akses pendidikan yang
layak. Maka, memproduksi media–media
pendidikan anak terutama program TV dan
film haruslah menjadi langkah strategis
demi meningkatnya kualitas pendidkan
anak usia dini. Tentunya semua itu mudah, ada tantangan
yang harus di atasi, dua hal paling utama
adalah pendanaan dan misi produser/
televisi itu sendiri. Memang benar, kita
tidak terlalu banyak berharap terhadap
televisi karena ada hal lain yang dipertimbangkan yaitu perhitungan
ekonomi, namun kita bisa mencari produser
yang memiliki visi misi yang sama serta
kreatif dalam hal penghimpunan dana.
Pemerintahpun harus membuka lebar pintu
dan dukungan demi berhasilnya misi pembangunan karakter bangsa sejak dini.
Maka, kita sebagai masyarakat tak hanya
menjadi kelompok–kelompok yang aktif
bersama KPI menekan pemerintah untuk
membuat regulasi, namun juga aktif
berkarya memproduksi program siaran dan film yang mendidik serta ramah untuk anak. Oleh: Katarina Zahra, Tangerang Selatan Direktur Media Cinta Anak/@cwi

selengkapnya...

Ihsan, Rukun yang Sering Terlupa


Dalam Islam terdapat landasan-landasan
yang wajib difahami, karena landasan ini
yang menjadi ‘ruh’ dari seluruh kegiatan
berislam. Islam mengajarkan bahwa
sedikitnya terdapat 3 landasan utama yang
harus difahami dan dimaknai secara mendalam kemudian diimplementasikan
dengan sebaik-baiknya. Makna berislam
akan tidak sempurna ketika ketiga
landasan ini tidak tersinkronisasi dan
termaksimalkan dengan baik. Tiga landasan
tersebut adalah rukun iman, rukun islam, dan rukun ihsan. Rukun Iman dan Rukun Islam adalah dua hal
yang sudah tidak asing lagi di telinga kita.
Rukun iman melandasi aqidah para
pemeluk dien Islam. Saat syarat dari rukun
ini tidak terpenuhi, maka aqidahnya akan
dipertanyakan. Sedangkan rukun Islam menjadi tiang pancang kegiatan berislam.
Syahadat yang menjadi pintu gerbang
masuk Islam, shalat yang menjadi amalam
paling utama, zakat yang menjadi
pembersih harta, shaum yang merupakan
amalan khusus hanya untuk Allah, dan naik haji yang disyariatkan bagi yang mampu,
semuanya memiliki keutamaan masing-
masing. Kelima poin rukun Islam tersebut
merupakan ibadah mahdah yang menjadi
‘identitas’ dari dien Islam. Namun ada satu
rukun lagi yang seringkali luput dari perhatian kita, padahal rukun ketiga ini
memiliki dampak yang sangat besar ketika
diimplementasikan. Rukun ini menjadi
penjaga bahkan peningkat kualitas setiap
amalan yang dilaksanakan. Hadits yang
diriwayatkan oleh Umar bin Khattab ra di dalam hadits arba’in menyebut rukun ini
dengan sebutan rukun ihsan.
Definisi Ihsan yang dilontarkan Rasulullah
di dalam hadits dari Umar ra tersebut
adalah kita, umat Islam, beribadah kepada
Allah seolah-olah kita melihat Allah namun
ketika kita merasa tidak dapat melihatNya,
maka kita harus senantiasa yakin bahwa sesungguhnya Allah tidak pernah luput
untuk memperhatikan dan mengawasi kita
dimanapun dan kapanpun kita berada. Hadits ini menghikmahkan kepada kita
agar kita senantiasa menjaga kekhusyu’an
dalam beribadah, memperhatikan hak-hak
Allah, dan menyadari adanya keagungan
dan kebesaran Allah selama menjalankan
ibadah. Rukun ihsan juga mengajarkan kepada seluruh Muslim untuk bersikap
professional dalam setiap aktivitas yang
dilakukannya. Meningkatkan kualitas,
memperbanyak kuantitas, menebar
kebermanfaatan, dan mempersembahkan
yang terbaik yang ia mampu merupakan syarat-syarat seorang Muslim untuk berlaku
professional. Karena memang, hakikat
hidup ini adalah sebagai ajang untuk
berlomba-lomba mempersembahkan amal
terbaik. Sebagaimana firman Allah : “Mahasuci Allah yang menguasai (segala)
kerajaan, Dan Dia Mahakuasa atas segala
sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup,
untuk menguji kamu siapa diantara kamu
yang paling baik amalnya. Dan Dia
Mahaperkasa, Maha Pengampun” (QS Al- Mulk :1-2) Selain itu, setiap Muslim harus tetap
menjaga bahkan meningkatkan kualitas
dirinya dan amalannya dengan dilandasi
sebuah keyakinan bahwa sesungguhnya
Allah senantiasa mengawasi dan menilai
amalan-amalannya dimanapun dan kapanpun. Tidak sedikit orang yang merasakan banyak
manfaat setelah menghiasi amal dan
aktivitasnya dengan ihsan. Berbuat ihsan
dapat dikatakan bentuk lain dari syukur
atas segala nikmat dan hidayah yang Allah
berikan kepada manusia. Sudah merupakan hal yang mutlak bahwa karunia dan nikmat
Allah senantiasa menghujani hamba-
hambaNya dengan atau tanpa mereka
sadari. Namun terkadang hambaNya itu
sering luput untuk mensyukurinya bahkan
untuk menyadarinya saja jarang terjadi. Oleh karena itu, tidak heran ketika orang
menghiasi setiap amalannya dengan ihsan,
dia akan mendapatkan balasan dari Allah
yang jauh dari apa yang ia pikirkan, karena
barangsiapa yang bersyukur kepada Allah,
maka Allah akan melipatgandakan nikmatNya. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya
Aku akan menambah (nikmat) kepadamu,
tetapi jika kamu mengingkari, (nikmat
Allah), maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya, Maha Terpuji” (QS Ibrahim : 7) Oleh: Fauzi Achmad Zaky/@cwi

selengkapnya...

Menikah dengan Niat Cerai


Ada sebuah kasus, seorang laki-laki Mesir
yang sudah mempunyai istri dan anak pergi
ke Negara Arab Saudi untuk bekerja selama
dua tahun. Untuk menghindari perzinaan,
akhirnya dia menikah dengan wanita yang
berasal dari Pilipina yang kebetulan juga mempunyai kontrak kerja di Negara
tersebut. Laki-laki Mesir tersebut ketika
menikah, ada niat dalam dirinya, jika telah
selesai kontrak kerjanya di Arab Saudi,
maka istrinya yang dari Pilipina tersebut
akan diceraikan, boleh jadi istrinya yang dari Pilipina tersebut mengetahui niat
tersebut, boleh jadi juga dia tidak
mengetahuinyaBagaimana hukum pernikahan tersebut
menurut pandangan Islam? Jawaban: Para ulama berbeda pendapat tentang
hukum menikah dengan niat cerai,
sebagaimana dalam kasus di atas: Pendapat Pertama menyatakan bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya boleh. Ini
adalah pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Al Zurqani dari madzhab
Maliki di dalam Syarh Al Muwaththa’: “Dan
mereka sepakat bahwasanya siapa yang
menikah secara mutlak, sedangkan dia
berniat untuk tidak bersamanya (istrinya)
kecuali sebatas waktu yang dia niatkan, maka hal itu dibolehkan dan bukan
merupakan nikah mut’ah.” Berkata Imam Nawawi dari madzhab
Syafi’i di dalam Syarh Shahih Muslim
(9/182): “Berkata Al Qadhi: “Mereka
sepakat bahwa seseorang yang menikah
dengan akad nikah mutlak (akad yang telah
memenuhi rukun dan syaratnya), tetapi di dalam hatinya ada niat untuk tidak
bersama istrinya kecuali dalam jangka
waktu tertentu sesuai dengan niatnya, maka
nikah tersebut sah, dan bukan termasuk
nikah mut’ah.” Berkata Ibnu Qudamah dari madzhab
Hambali di dalam Al Mughni (7/537): “Jika
seseorang menikahi perempuan tanpa ada
syarat, hanyasaja di dalam hatinya ada
niat untuk menceraikan setelah satu bulan ,
atau menceraikannya jika dia telah menyelesaikan pekerjaannya di kota ini,
maka jika seperti itu, maka pernikahannya
tetap sah menurut pendapat mayoritas
ulama, kecuali Al Auza’i yang mengatakan
bahwa hal tersebut termasuk nikah mut’ah.
Tetapi pendapat yang benar bahwa hal tersebut tidaklah apa-apa, dan niat
tersebut tidak berpengaruh.”.
Mereka beralasan bahwa pernikahan
tersebut telah memenuhi syarat dan
rukunnya, sehingga secara lahir hukumnya
sah. Adapun hati dan niat diserahkan
urusannya kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, selama itu tidak tertulis di dalam akad nikah. Karena, barangkali calon suami
ada niat untuk menceraikannya, tapi
ternyata setelah menikah dia senang dan
merasa cocok dengan istrinya tersebut,
atau karena pertimbangan lain, sehingga
dia tidak jadi menceraikannya. Pendapat Kedua menyatakan bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya haram. Ini
adalah pendapat madzhab Ahmad dalam
riwayat yang masyhur dan pendapat Imam
Auza’i, serta Al Majma’ Al Fiqh Al Islami,
Rabithah Al Ulama Al Islami pada
pertemuannya yang ke- 18 yang diadakan di Mekkah pada tanggal 10-14 Rabi’ul Awal
1427 H / 8-12 April 2006 M. Maksud dari haram disini adalah tidak
boleh dilakukan, tetapi jika seseorang
tetap melakukannya, maka ia berdosa,
karena di dalamnya mengandung unsur
penipuan, tetapi walaupun begitu
pernikahan tersebut tetap sah, sedang niatnya batil dan niat tersebut harus
diurungkan. Mereka beralasan bahwa tujuan pernikahan
adalah mendapatkan ketenangan, kasih
sayang, dan ketentraman, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya
adalah Dia menciptakan untukmu istri-
istrimu dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tentram kepadanya
dan menjadikan diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-
orang yang mau berfikir.” (QS Ar Rum: 31) Menikah dengan niat cerai telah menyalahi
tujuan dari pernikahan sebagaimana yang
tersebut pada ayat di atas. Selain itu, bahwa pada dasarnya
kehormatan (kemaluan) seorang wanita
adalah haram, kecuali melalui pernikahaan
yang sah prosesnya dan benar maksudnya.
Di dalam pernikahan yang ada niat untuk
menceraikan istrinya adalah pernikahan yang maksudnya sudah tidak benar dahulu,
sehingga menjadi tidak boleh. Ini sesuai
dengan hukum nikah muhalil, yaitu
pernikahan dengan maksud hanya ingin
menghalalkan wanita yang telah diceraikan
suaminya tiga kali, dan suami ingin kembali lagi kepada istri tersebut, tetapi syaratnya
dia harus dinikahi oleh lelaki lain dan
keduanya telah melakukan hubungan suami
istri, setelah itu istri itu diceraikan, agar
suami yang pertama bisa menikahinya
kembali. Pernikahan semacam ini hukumnya haram, karena niatnya tidak benar, yaitu
hanya sekedar untuk menghalalkan wanita
tersebut. Kalau nikah muhalil diharamkan,
maka begitu juga halnya dengan menikah
dengan niat cerai. Niat dalam masalah ini
sangat berpengaruh di dalam pernikahan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya perbuatan itu tergantung
kepada niatnya.” (HR Bukhari) Pendapat ketiga menyatakan bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya boleh tapi
makruh. Ini pendapat Abul Khair Al Imrani
dan Ibnu Taimiyah, sebagaimana di dalam
(Majmu’ Fatawa: 32/107-108), tetapi di
tempat lain Ibnu Taimiyah berpendapat
boleh (Majmu’ Fatawa: 32/ 147) Berkata Abu Al Khair Al Imran yang wafat
pada tahun 558 H, di dalam bukunya Al
Bayan, (Dar Al Minhaj): 9/ 279: “Jika ia
menikahinya dan berniat di dalam hatinya
akan hal tersebut (yaitu ingin
menceraikannya), kemudian ia menikahinya dengan pernikahan mutlak, maka hal
tersebut makruh, tetapi tetap sah. “ (Bisa
dirujuk pula dalam Mujib Al Muthi’i,
Takmilah Al Majmu’: 17/ 352) Kalau dikatakan nikah ini seperti nikah
mut’ah, maka penyamaan seperti ini tidak
benar, karena keduanya ada perbedaan
yang sangat menyolok diantaranya: 1. Nikah Mut’ah menyebutkan syarat
tersebut di dalam akad pernikahan,
sedang nikah ini (nikah dengan niat
talak) tidak disebutkan. 2. Nikah Mut’ah tidak ada perceraian
dan tidak ada masa iddah, jika
masanya habis, pernikahan tersebut
dengan sendirinya bubar. Sedang
dalam nikah ini ada perceraian dan
ada iddahnya juga, sebagaimana pernikahan pada umumnya. 3. Nikah Mut’ah jika masa kontraknya
habis, maka pernikahan tersebut harus
dibubarkan. Kalau keduanya ingin
melangsungkan pernikahannya lagi,
harus dengan akad baru. Sedang
dalam pernikahan dengan niat cerai, bisa jadi tidak terjadi perceraian
sebagaimana diniatkan, bahkan
mungkin berlangsung terus
sebagaimana pernikahan pada
umumnya. Kesimpulan dari keterangan di atas, bahwa
menikah dengan niat cerai hukumnya boleh
menurut pendapat mayoritas ulama, tetapi
makruh, maka sebaiknya ditinggalkan.
Maksud dari boleh dan sah di sini adalah
bahwa hasil dari pernikahan tersebut diakui oleh Islam, yaitu anak yang lahir
dari pernikahan tersebut adalah anak yang
sah dan dinisbatkan kepada orang tuanya,
suami diwajibkan untuk memberikan nafkah
kepada istri dan anak-anaknya, jika salah
satu dari kedua orangtuanya meninggal dunia, maka anak-anaknya berhak
mendapatkan warisan darinya, dan hal-hal
lainnya. Dan ini berlaku bagi orang-orang yang
sedang dalam perjalan keluar negri atau
tempat yang jauh dalam suatu tugas atau
berdagang atau belajar ilmu, sedangkan dia
takut untuk terjerumus di dalam maksiat
atau perzinaan. Dalam keadaan seperti ini, mayoritas ulama memberikan jalan keluar
yaitu membolehkan menikah dengan niat
cerai jika telah menyelesaikan tugasnya.
Dan ini lebih baik dari pada terjerumus di
dalam maksiat atau perzinaan. Walaupun
demikian, para ulama menganjurkan untuk menikah sebagaimana biasanya, tanpa
harus berniat untuk menceraikannya,
karena tanpa itupun, dibolehkan baginya
untuk menceraikan istrinya. Kenapa harus
mempersulit diri sendiri dengan
menyertakan niat cerai dan menjerumuskan diri pada hal-hal yang para ulama masih
berselisih tentang hukumnya. Nikah Kontrak di Puncak Adapun kasus yang terjadi di puncak Bogor,
atau tepatnya di daerah Cisarua, yaitu
banyaknya perempuan Indonesia yang
melakukan pernikahan dengan sebagian
orang asing yang berasal dari Timur
Tengah dengan nikah kontrak, bukanlah termasuk dalam pembahasan kita. Karena
pernikahan tersebut hanyalah untuk
membungkus tindakan tercela mereka untuk
melampiaskan syahwat seksual dan syahwat
materi. Dalam nikah kontrak tersebut, tidak
ada sama sekali terdetik di dalam hati kedua mempelai tersebut untuk tinggal dan
hidup bersama pasangannya dalam waktu
yang panjang atau selama-lamanya.
Bahkan keduanya sudah mengetahui bahwa
pernikahan yang berlangsung tersebut
hanyalah bersifat sementara antara satu minggu sampai satu bulan saja. Setelah sampai batas waktu yang mereka
sepakati bersama, maka mereka berpisah,
mungkin dengan cara suaminya
menceraikan istrinya atau sekedar
berpisah begitu saja. Dengan pernikahan
tersebut seorang laki-laki bisa melampiaskan syahwat seksualnya sesuka
hatinya, dan sebaliknya seorang wanita bisa
melampiaskan syahwat materinya dengan
mendapatkan harta yang melimpah dari
laki-laki tersebut. Oleh karenanya, kadang
kita dapatkan seorang wanita bisa menikah dalam satu tahun dengan sepuluh laki-laki,
atau seperti yang diungkap oleh salah satu
sumber yang dipercaya bahwa seorang laki-
laki yang masih sangat muda sudah
melakukan pernikahan dengan 100 wanita
lebih dengan cara nikah kontrak sepert ini. Sampai sekarang belum kita dengar satu
ulamapun yang membolehkan pernikahan
kontrak seperti yang terjadi di Cisarua ini,
karena kerusakan yang ditimbulkan darinya
sangat banyak dan dahsyat serta
membahayakan generasi Islam. Wallahu A’lam. Jakarta Pusat, 6 Muharram 1431 H/ 23
Desember 2009 M Oleh: DR Ahmad Zain An Najah DR. Ahmad Zain An Najah merupakan
lulusan Universitas Al Azhar pada Fakultas
Studi Islam. Saat ini aktif sebagai Direktur
Sekolah Tinggi Al Islam Bekasi, Pengurus
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat,
dan Peneliti INSIST./@cwi

selengkapnya...

Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |