Khutbah Idul Fitri 1433 H: Kunci Kebahagiaan dan Kesejahteraan

Oleh: Drs. Ahmad Yani
الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ اِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ اَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ :اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَ اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu. Kaum Muslimin Yang Berbahagia. Ilustrasi (photobucket/onik_1980) dakwatuna.com -Suatu kebahagiaan bagi kita bila kewajiban yang Allah swt bebankan kepada kita dapat kita laksanakan dengan sebaiknya. Salah satunya adalah ibadah Ramadhan, khususnya puasa yang baru saja kita selesaikan. Kita berharap makna-makna penting dari ibadah Ramadhan memberi warna positif dalam kehidupan kita ke depan, paling tidak hingga Ramadhan tahun yang akan datang. Meskipun demikian setelah merenung dan mengevaluasi, kita juga menjadi sedih karena Ramadhan yang begitu cepat berlalu belum optimal rasanya kita isi dengan ibadah dan dakwah. Ya Allah, Ya Tuhan kami. Begitu banyak waktu kami tersita untuk hal-hal yang tidak penting, menghabiskan malam dan menunggu saat berbuka dengan sesuatu yang sekadar hobi dan hura-hura. Kurangnya rasa syukur atas rizki juga membuat kami selalu merasa kurang dengan apa yang sudah engkau berikan sehingga terlalaikanlah diri kami hingga tidak sedikit orang yang meskipun sedang berpuasa Ramadhan tetap saja menghalalkan segala cara dalam mendapatkan rizki. Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu. Kaum Muslimin Yang Dimuliakan Allah swt. Terwujudnya kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa yang bahagia dan sejahtera merupakan dambaan semua orang. Untuk mencapainya, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dari semua pihak. Paling tidak, ada tiga kunci yang harus kita miliki dan kita laksanakan dalam hidup ini. Pertama, Taqwa. Pada diri manusia, ada dua potensi sekaligus yang dapat membuat dirinya menjadi orang yang sangat baik atau sangat buruk, dua potensi itu adalah sifat taqwa dan sifat fujur (durhaka). Allah swt berfirman: وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa itu dan merugilah orang-orang yang mengotorinya” (QS. Asy Syams [91]:8-10). Taqwa adalah memelihara diri dari siksa Allah dengan mengikuti segala perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga, bahkan di manapun seseorang berada. Ketaqwaan kepada Allah swt merupakan kunci kemuliaan bagi manusia, karenanya setiap mukmin harus berusaha untuk bertaqwa dengan sebenar-benar ketaqwaan sehingga hal ini tidak hanya ditekankan kepada umat Nabi Muhammad saw, tapi juga kepada umat-umat sebelumnya, Allah swt berfirman: وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا “Dan kepunyaan Allahlah apa yang di langit dan di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertaqwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. An Nisa [4]:131). Manakala ketaqwaan kepada Allah swt sudah ditunjukkan, maka kebahagiaan dan kesejahteraan akan diraih manusia dengan diperolehnya jalan keluar atas persoalan hidup, memperoleh rizki, bahkan rizki yang tidak terduga, memperoleh kemudahan dari kesulitan dan yang lebih membahagiakan adalah memperoleh ampunan dan ditutupinya dosa, Allah swt berfirman: وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS Ath Thalaq [65]:2-3). Pada ayat lain, Allah swt juga berfirman: وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا “Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS Thalaq [65]:4). Sedangkan yang juga amat membahagiakan ketaqwaan disebutkan oleh Allah swt: وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا “Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (QS Thalaq [65]:5). Bila taqwa sudah bisa kita wujudkan dalam hidup ini, maka kita pun akan menjadi manusia yang paling mulia di hadapan Allah swt: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu terdiri dari seorang lelaki dan perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat [49]:13). Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu. Kaum Muslimin Yang Dimuliakan Allah swt. Kunci Kedua untuk meraih Kebahagiaan dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat adalah saling sayang menyayangi dengan sesama. Di samping itu keindahan hidup juga bisa dilihat dan dirasakan bila kasih sayang antar sesama menjelma dalam kehidupan sehari-hari. Paling tidak, ada empat hal yang harus diwujudkan sebagai cermin dari saling sayang menyayangi antar sesama kita. Pertama, saling menghormati sehingga tidak ada buruk sangka, tidak mengejek, dan tidak memanggil dengan panggilan yang buruk, tidak mencari aib atau kejelekan, serta tidak menggunjing, Allah SWT berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan) dan jangan pula wanita wanita-wanita mengolok-olokan wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Al Hujurat [49]:11-12). Kedua, Tolong Menolong, ini merupakan sesuatu yang saling dibutuhkan, sehebat dan sekuat apapun manusia ia membutuhkan pertolongan. Kerjasama dalam kebaikan, bahkan sedapat mungkin menolongnya bila dalam kesusahan, meskipun dia sendiri berada dalam kesusahan, dia harus berusaha mencintai saudaranya sesama muslim sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri, seperti dalam firman Allah: “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al Maidah [5]:2). Di dalam satu hadits, Rasul SAWbersabda: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas). Di antara maksud ta’awun dalam kebajikan adalah menghilangkan atau paling tidak mengurangi kesulitan orang lain, bila ini dilakukan, keutamaannya adalah ia akan dihilangkan kesusahannya oleh Allah Swt dalam kehidupan di akhirat, bahkan orang yang suka menolong akan mendapatkan pertolongan dari Allah Swt, Rasulullah saw bersabda: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَعَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيْهِ “Barangsiapa menghilangkan kesusahan seorang muslim, niscaya Allah akan menghilangkan satu kesusahannya di hari kiamat. Barangsiapa menutup aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutup aibnya di hari kiamat. Allah selalu menolong seorang hamba selama dia menolong saudaranya.” (HR. Muslim). Ketiga, Saling Memberi Nasihat (taushiyah), sehingga seorang muslim yang hendak melakukan kesalahan akan meninggalkannya, dan bila terlanjur salah, maka kesalahan itu tidak sampai menjadi kebiasaan. Oleh karena itu, orang baik membutuhkan nasihat agar ia bisa mempertahankan dan meningkatkan kebaikan, sedangkan orang yang belum baik membutuhkan nasihat agar menjadi baik, ini akan mencegah manusia dari kerugian, Allah SWT berfirman: وَالْعَصْرِ.إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ”Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih serta nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al Ashr [103]:2-3). Keempat, Melindungi Keselamatan Harta dan Jiwa sehingga adanya seorang muslim akan memberikan ketenangan bagi muslim lainnya, Rasulullah saw bersabda: مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ “Siapa saja yang melindungi harta benda saudaranya, Allah akan lindungi wajahnya dari sentuhan api neraka.” (HR. Ahmad).” Di dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda: أَلْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ الْمُؤْمِنُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ “Seorang mukmin adalah mereka yang mampu memberikan keamanan bagi mukmin lainnya, baik keamanan diri maupun harta.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Hakim). Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu. Kaum Muslimin Yang Dimuliakan Allah swt. Kunci ketiga untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan adalah melaksanakan Tanggung jawab. Kehidupan yang baik akan terwujud manakala masing-masing orang, sebagai apapun dia dan di manapun berada dapat menunjukkan rasa tanggungjawab, baik sebagai pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa. Karena itu, harus kita sadari bahwa banyak sebutan yang ada pada diri kita, dibalik itu ada kewajiban yang harus kita tunaikan, sebutan sebagai suami, istri, orang tua, anak, pengurus masjid hingga pemimpin dan pejabat pada setiap tingkatannya. Namun, yang amat kita sayangkan adalah banyak orang yang tidak bertanggung jawab sehingga terjadi kekacauan dan kesengsaraan, padahal segala sesuatu akan dimintai pertanggungjawaban, Allah SWT berfirman: وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al Isra [17]:36) Dalam kehidupan pribadi dan keluarga, masing-masing orang bertanggung jawab hingga ke akhirat nanti, karenanya Allah swt menegaskan kepada kita agar jaga dirimu dan keluargamu dari api neraka. Bahkan dalam konteks kepemimpinan, kita juga memahami bahwa Rasulullah saw pernah bersabda yang menyebutkan bahwa setiap kita adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan itu. Karena itu, pemimpin yang bertaqwa kepada Allah swt amat kita butuhkan dalam hidup ini. Dengan demikian, setiap kita harus berusaha untuk terus berjuang mengembangkan kehidupan yang baik dan sejahtera, meskipun kendala yang kita hadapi sangat besar. Akhirnya mari kita tutup ibadah shalat Id kita hari ini dengan berdoa: اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ النَّاصِرِيْنَ وَافْتَحْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ وَاغْفِرْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ وَارْحَمْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ وَارْزُقْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ وَاهْدِنَا وَنَجِّنَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ. “Ya Allah, tolonglah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Menangkanlah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi kemenangan. Ampunilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi ampun. Rahmatilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rahmat. Berilah kami rizki sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rizki. Tunjukilah kami dan lindungilah kami dari kaum yang zhalim dan kafir.” اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَناَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَ الَّتِى فِيْهَا مَعَاشُنَا وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِى فِيْهَا مَعَادُنَا وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شرٍّ “Ya Allah, perbaikilah agama kami untuk kami, karena ia merupakan benteng bagi urusan kami. Perbaiki dunia kami untuk kami yang ia menjadi tempat hidup kami. Perbaikilah akhirat kami yang menjadi tempat kembali kami. Jadikanlah kehidupan ini sebagai tambahan bagi kami dalam setiap kebaikan dan jadikan kematian kami sebagai kebebasan bagi kami dari segala kejahatan.” اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا “Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini. Ya Allah, anugerahkan kepada kami kenikmatan melalui pendengaran, penglihatan dan kekuatan selama kami masih hidup dan jadikanlah ia warisan bagi kami. Dan jangan Engkau jadikan musibah atas kami dalam urusan agama kami dan janganlah Engkau jadikan dunia ini cita-cita kami terbesar dan puncak dari ilmu kami dan jangan jadikan berkuasa atas kami orang-orang yang tidak mengasihi kami.” اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ. “Ya Allah, ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Dekat dan Mengabulkan doa.” رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. “Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kehidupan yang baik di dunia, kehidupan yang baik di akhirat dan hindarkanlah kami dari azab neraka.” Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/22229/khutbah-idul-fitri-1433-h-kunci-kebahagiaan-dan-kesejahteraan/#ixzz23VnaKuhg /@cwi

selengkapnya...

Memahami Kembali Makna Idul Fitri

gus-makmunOleh : Muhammad Makmun, M.HI (Dosen Fakultas Agama Islam Unipdu Jombang) Ketika mendengar kata Idul Fitri, tentu dalam benak setiap orang yang ada adalah kebahagiaan dan kemenangan. Dimana pada hari itu, semua manusia merasa gembira dan senang karena telah melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Dalam Idul Fitri juga ditandai dengan adanya ”mudik (pulang kampung)” yang notabene hanya ada di Indonesia. Selain itu, hari raya Idul Fitri juga kerap ditandai dengan hampir 90% mereka memakai sesuatu yang baru, mulai dari pakaian baru, sepatu baru, sepeda baru, mobil baru, atau bahkan istri baru (bagi yang baru menikah). Maklum saja karena perputaran uang terbesar ada pada saat Lebaran. Kalau sudah demikian, bagaimana sebenarnya makna dari Idul Fitri itu sendiri. Apakah Idul Fitri cukup ditandai dengan sesuatu yang baru, atau dengan mudik untuk bersilaturrahim kepada sanak saudara dan kerabat?. Idul Fitri (kembali ke fitrah), ya suatu hari raya yang dirayakan setelah umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan satu bulan penuh. Dinamakan Idul Fitri karena manusia pada hari itu laksana seorang bayi yang baru keluar dari dalam kandungan yang tidak mempunyai dosa dan salah. Idul Fitri juga diartikan dengan kembali ke fitrah (awal kejadian). Dalam arti mulai hari itu dan seterusnya, diharapkan kita semua kembali pada fitrah. Di mana pada awal kejadian, semua manusia dalam keadaan mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Dalam istilah sekarang ini dikenal dengan ”Perjanjian Primordial” sebuah perjanjian antara manusia dengan Allah yang berisi pengakuan ke Tuhan an, sebagaimana yang terekam dalam surah al-A’raf (7) ayat 172 : وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ (Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhan-mu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”). Seiring dengan perkembangan itu sendiri, banyak di antara manusia dalam perjalanan hidupnya yang melupakan Allah serta telah melakukan dosa dan salah kepada Allah dan kepada sesama manusia. Untuk itu, memahami kembali makna Idul Fitri (kembali ke fitrah) dengan membangun kembali pengabdian hanya kepada Allah adalah sebuah keharusan sehingga kita semua dapat menjadi hamba-hamba muttaqin dan hamba yang tidak mempunyai dosa. Dosa kepada Allah terhapus dengan jalan bertaubat dan dosa kepada sesama manusia dapat terhapus dengan silaturrahim. Cara Menghapus Dosa Kepada Allah Adalah dengan Taubat Dosa merupakan catatan keburukan di sisi Allah yang telah dilakukan oleh setiap manusia karena mereka tidak menjalankan perintah atau karena mereka melanggar larangan Allah dan RasulNya. Bulan Ramadhan merupakan bulan khusus yang dikhususkan Allah untuk Umat Islam. Di bulan ini terdapat maghfirah, rahmah dan itqun minan nar. Selain itu, bulan Ramadhan juga menjadi sarana umat manusia untuk memohon dan meminta pengampunan dari Allah dengan jalan melaksanakan ibadah puasa dan shalat tarawih. Sebagaimana hadis Rasul: أخرج البخاري: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلاَمٍ قَالَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (Dari Muhammad bin Salam dari Muhammad bin Faudhail dari Yahya bin Sa’id dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : Barangsiapa yang berpuasa pada bulan ramadhan dengan kepercayaan bahwa perintah puasa itu dari Allah dan hanya mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosanya). Begitu juga Allah menyediakan Qiyam Ramadhan (Tarawih) sebagai sarana penghapusan dosa apabila dilakukan karena Allah dan hanya mengharap pahala dari Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam hadis shahih pada kitab Sunan Abi Dawud أخرج ابي داود : حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُتَوَكِّلِ قَالاَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ بِعَزِيمَةٍ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ كَانَ اْلأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ فِي خِلاَفَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَصَدْرًا مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ (Dari al-Hasan bin Ali dan Muhammad bin al-Mutawakkil keduanya dari Abd al-Razaq dari al-Ma’mar dari al-Hasan dan Malik bin Anas dari al-Zuhri dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW senang melaksanakan Qiyam Ramadhan (Tarawih) meskipun tidak mewajibkannya. Kemudian bersabda :”Barangsiapa melaksanakan Qiyam ramadhan (tarawih) karena Allah dan mencari pahala dari Allah akan diampuni dosanya yang telah lalu. Kemudian Rasulullah wafat, sedang masalah Qiyam Ramadhan tetap seperti sediakala pada pemerintahan Abu Bakar dan pada awal pemerintahan Umar bin Khattab). Dengan rajin dan tekun melaksanakan puasa dan shalat tarawih dengan tulus mencari ridho dan pahala dari Allah, niscaya dosa dan kesalahan kita kepada Allah telah terampuni kecuali dosa syirik sehingga kita menjadi hamba yang bersih dari dosa. Setelah dosa kita diampuni Allah, maka tahapan selanjutnya adalah membersihkan dosa kita kepada sesama manusia. Idul Fitri atau kembali ke fitrah akan sempurna tatkala terhapusnya dosa kita kepada Allah diikuti dengan terhapusnya dosa kita kepada sesama manusia. Terhapusnya dosa kepada sesama manusia dengan jalan kita memohon maaf dan memaafkan orang lain. Nah, dengan momentum Idul Fitri ini kita mari jadikan sebagai sarana meminta maaf dan memaafkan orang lain dengan bersilaturrahim (menyambung kasih sayang) baik kepada suami atau istri, kedua orang tua, anak, keluarga, sanak kerabat, tetangga serta teman dan relasi kita ketika ada kebencian terhadap mereka. Sebab kasih sayang merupakan lawan dari kebencian. Sehingga orang yang dalam dirinya ada kebencian pada suami atau istri, orang tua, anak, keluarga, sanak kerabat, tetangga, teman dan relasi disebut dengan pemutus kasih sayang (Qathiul Rahim). Orang yang memutuskan kasih sayang (Qathiul Rahim) dalam hadis shahih dijelaskan bahwa mereka ini tidak akan masuk surga. Sebagaimana sabda Rasul: أخرج البخاري: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ إِنَّ جُبَيْرَ بْنَ مُطْعِمٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ (Dari Yahya bin Bukair dari al-Lais dari Uqail dari Ibn Syihab bahwa Muhammad bin Jubair bin Muth’im berkata bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda : pemutus kasih sayang tidak akan masuk surga). Di hadis lain juga dijelaskan: أخرج أحمد: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنِي الْخَزْرَجُ يَعْنِي ابْنَ عُثْمَانَ السَّعْدِيَّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ يَعْنِي مَوْلَى عُثْمَانَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَعْمَالَ بَنِي آدَمَ تُعْرَضُ كُلَّ خَمِيسٍ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَلاَ يُقْبَلُ عَمَلُ قَاطِعِ رَحِمٍ (Dari Yunus bin Muhammad dari al-Khazraj (Ibn Usman al-Sa’diy dari Abi Ayub (Maula Usman) dari Abi Hurairah berkata : aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sungguh perbuatan Bani Adam (manusia) dilaporkan setiap kamis malam jum’at, maka tidak akan diterima perbuatan (baik) orang yang memutuskan kasih sayang). Di samping kita meminta maaf dan memberi maaf, kita juga harus dan wajib sebisa mungkin menjadi pribadi pemaaf. Memberi maaf berbeda dengan pemaaf. Kalau memberi maaf itu terjadi ketika ada orang yang meminta maaf, sedang pemaaf adalah orang yang memberi maaf atas kesalahan orang lain sebelum orang tersebut meminta maaf kepadanya. Hal ini dengan tegas ada dalam surah Ali-Imran (3) ayat 134 : الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (Penghuni surga adalah) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dengan demikian, mari kita jadikan Idul Fitri tahun ini berbeda dengan Idul Fitri di tahun-tahun sebelumnya karena kita telah memahami akan makna Idul Fitri. Dengan kita maksimalkan bersilaturahim untuk meminta maaf, memberi maaf dan menjadi seorang pemaaf. Jangan biarkan kedengkian dan kebencian merasuk kembali ke jiwa kita yang telah fitri (suci). Dengan momentum ini pula, saya Muhammad Makmun sebagai mahluk yang banyak dan penuh dengan kesalahan dan dosa, baik yang saya sengaja atau tidak, dengan tulus saya memohon maaf lahir batin atas semua kesalahan dan dosa saya kepada anda semua. Begitu juga sebaliknya, jika ada kesalahan dan dosa anda semua kepada saya, dengan lapang dada saya memaafkan anda. Dengan harapan, semoga kita semua menjadi manusia bersih sebagaimana bayi yang baru dilahirkan dari kandungan yang tak punya salah dan dosa. من العائدين والفائزين, كل عام وأنتم بخير“” /@cwi

selengkapnya...

Bersegera dalam Membayar Zakat. Jangan Ditahan Saat Ramadhan

Termasuk perkara yang kebanyakan manusia jatuh terjerumus kepadanya adalah menunda-nunda perkara kebaikan. Karena merasa masih memiliki waktu luang. Terkadang kita membiarkan waktu dan kesempatan yang ada untuk melakukan suatu kebaikan, sehingga di belakang hari datang sakit, kesibukan dan sesuatu yang lain akhirnya kita tidak mampu melaksanakan kebaikan tersebut. Oleh karena itulah para ulama memperingatkan kepada kita untuk selalu menjaga perkara ini. Rasulullah SAW mengingatkan kita semua akan artinya bersegera berbuat kebaikan dan jangan ditunda-tunda untuk berbuat kebaikan. Dari Uqbah bin Harits r.a, ia berkata, “Saya pernah salat Ashar di belakang Nabi SAW, di Madinah Munawwarah. Setelah salam, beliau berdiri dan berjalan dengan cepat melewati bahu orang-orang, kemudian beliau masuk ke kamar salah seorang istri beliau, sehingga orang-orang terkejut melihat perilaku beliau SAW. Ketika Rasulullah SAW keluar, beliau merasakan bahwa orang-orang merasa heran atas perilakunya, lalu beliau bersabda, “Aku teringat sekeping emas yang tertinggal di rumahku. Aku tidak suka kalau ajalku tiba nanti, emas tersebut masih ada padaku sehingga menjadi penghalang bagiku ketika aku ditanya pada hari Hisab nanti. Oleh karena itu, aku memerintahkan agar emas itu segera dibagi-bagikan.” (HR Bukhari). Jika kita bisa bersegera untuk menunaikannya, mengapa harus ditunda-tunda? Demikian sikap Rasulullah SAW dalam berbuat kebaikan. Sehingga beliau terlihat tergesa-gesa untuk segera menunaikannya. Namun, kini kebanyakan orang justru suka menunda atau menahan-nahan kebaikan? Dan apa yang dicontohkan Rasulullah di atas patut kita renungkan. Sebab, dengan bersegera dalam kebaikan, kita juga bersegera meraih ridlo-Nya. Harta yang dikeluarkan di jalan Allah, diganti dengan pahala yang berlipat ganda. Menundanya, kadang malah membuat kita terlena. Harta yang mestinya untuk kebaikan, bisa-bisa terseret habis untuk memenuhi keinginan konsumtif belaka. Jadi kalau ingin beruntung, bersegeralah menuju kebaikan. Jangan menunda atau menahan-nahan sebuah pekerjaan. Demikian petuah yang sangat popular di telinga kita. Menunda pekerjaan akan banyak membawa bahaya pada pekerjaan yang akan kita lakukan. Bila menunda pekerjaan akan berdampak buruk, maka sebaliknya dengan menyegerakan pekerjaan akan membuahkan kenikmatan dan keberkahan. Menyegerakan akan memperluas pintu rizki. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/07/21958/bersegera-dalam-membayar-zakat-jangan-ditahan-saat-ramadhan/#ixzz23VkfCjOz Itulah alasan mengapa setiap mukmin harus mengambil kesempatan pertama untuk melaksanakan sebuah pekerjaan, seperti bersegera melaksanakan salat, bersegera istighfar, bersegera berbuka puasa, termasuk bersegera dalam berzakat dan jangan ditahan-tahan. Allah SWT berfirman memerintahkan kepada kita untuk bersegera kepada maghfirohNya bersegera berbuat kebaikan dan jangan ditunda-tunda untuk berbuat kebaikan. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. (QS Ali Imran: 133) Bersegera, bergegas, bercepat-cepat dan jangan ditahan-tahan inilah yang seharusnya menjadi salah satu ciri pelaksanaan zakat, yaitu dengan menyegerakan pembayaran zakat pada saat memperoleh penghasilan, gaji, komisi, barang temuan dan lain sebagainya. Sebagaimana para petani yang mengeluarkan zakat pada saat panen, atau para peternak yang menunaikan kewajibannya saat memasuki haul dan hisab. Hal itu pula yang harus dilakukan oleh profesi manapun, apakah dia seorang dokter, insinyur, atlet, pesepakbola, akuntan, direktur, manager dan lain sebagainya dengan bersegera dan jangan ditahan-tahan untuk mengeluarkan zakat, infak-sedekah saat menerima penghasilan, gaji, bonus, komisi, honor, dan lainnya. Allah SWT berfirman: “…dan tunaikanlah haknya pada waktu memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)…”. (QS Al An’am: 141) Karena pada hakekat membayar zakat adalah untuk membersihkan harta, karena kita semua meyakini bahwa harta yang didapatkan tidak semuanya suci. Bisa jadi masih ada harta atau hak orang lain dalam harta kita, sehingga ini menjadi kewajiban untuk membersihkan harta kita. Rasulullah SAW selalu bersegera dalam kebaikan karena hati beliau memang benar-benar yakin bahwa berzakat, infak-sedekah akan mengundang rahmatNya. Dan beliau tak mau menunda-nundanya karena khawatir akan murkaNya. Bagi mereka yang suka menunda-nunda mengeluarkan hartanya, sebenarnya bukan keuntungan yang didapat. Justru harta yang demikian itu bisa kehilangan berkahnya. Bukannya membuat hati ini menjadi tenteram dan bahagia, justru semakin gundah gulana. Oleh karena itu, dalam hal kebaikan, janganlah menunda atau menahan-nahan. Bersegeralah dalam menunaikan zakat, infak-sedekah. Bahkan kita diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Lihatlah orang yang lebih bersegera dari kita, agar diri termotivasi untuk lebih baik lagi. Lebih bersegera, lebih bergegas. Itulah yang telah dicontohkan Rasulullah SAW dalam hal melakukan kebaikan. “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan”. (QS Al Baqarah: 148) Sungguh sama sekali tidak kerugian untuk bersegera dalam kebaikan, justru akan dapat banyak keuntungan. Dengan menyebar rahmatNya kepada sesama, Allah yang Maha Pemurah tak akan terlambat mengganti dan mengalirkan rahmat dan berkah-Nya pada harta kita. Wallahua’lam. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/07/21958/bersegera-dalam-membayar-zakat-jangan-ditahan-saat-ramadhan/#ixzz23Vl16LLM /@cwi

selengkapnya...

Jilbab Akan Senantiasa Memuliakanmu, Saudariku

Maha Suci Allah yang tidak pernah keliru di dalam merencanakan segala sesuatu. Skenario yang diciptakannya sangat sempurna, tidak terdapat cacat sedikitpun. Setiap risalah yang Dia turunkan kepada umat manusia senantiasa selaras dengan fitrahnya sehingga sungguh tidak masuk akal ketika terdapat penentangan atau mosi tidak percaya yang ditujukan kepada kalam-Nya yang suci. Satu hal yang perlu diketahui bahwa semua aturan yang diciptakan oleh-Nya dilandasi oleh rasa yang merupakan perpaduan antara cinta, kasih sayang, kelembutan, dan perhatian-Nya. Perlakuan-Nya yang indah untuk hamba-hambaNya ini tidak terdikotomikan oleh hal apapun, pun dalam masalah jilbab. Sungguh luar biasa Allah, telah memberikan aturan yang apabila dicermati, maka aturan tersebut justru akan semakin meningkatkan derajat wanita. Aturan itu adalah bagaimana wanita harus menutupi auratnya. “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri orang-orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu.” – (Al-Ahzab: 59) Penggalan ayat di atas merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah untuk kaum Hawa. Paras yang rupawan dan penampilan yang dapat menimbulkan ketertarikan merupakan sunnatullah yang terdapat di dalam diri kaum wanita. Keindahan yang Allah berikan secara khusus kepada wanita ini dapat menimbulkan fitnah dan bencana apabila diletakkan di tempat yang salah. Di zaman Jahiliyyah dahulu, banyak sekali wanita yang dilecehkan bak binatang. Hal tersebut terjadi karena wanita yang tidak pandai menjaga auratnya dengan baik. Perintah berjilbab justru bentuk perhatian Allah pada kaum Hawa agar kaum Hawa terhindar dari pelecehan dan perlakuan kurang senonoh. Di zaman kekhalifahan Abbasiyah, Khalifah al-Mu’tashim menunjukkan pada dunia saat itu bahwa betapa Islam sangat meninggikan kedudukan seorang wanita. Izzah yang ditunjukkan oleh al-Mu’tashim saat itu sangat terasa, bahkan membuat pihak kawan dan lawan segan terhadapnya. Dikisahkan ada seorang wanita yang roknya sengaja dikaitkan pada paku oleh seorang Romawi sehingga membuat aurat wanita tersebut tersingkap saat ia hendak beranjak berdiri. Wanita tersebut tidak menerima perlakuan seperti itu kemudian ia melaporkan hal tersebut kepada khalifah. Mendengar wanita tersebut dilecehkan seperti itu, khalifah dengan segera mengumpulkan pasukan untuk menyerang Romawi. Hal yang membuat siapapun gemetar kala itu adalah pasukan yang al-Mu’tashim kirim sangat banyak jumlahnya, bahkan tidak terputus sejak pintu luar istana hingga masuk daerah kekuasaan Romawi. Semua itu dilakukan oleh al-Mu’tashim hanya karena ia tidak ingin melihat kemuliaan wanita yang seharusnya terselimuti jilbab itu terampas secara hina. Subhanallah. Kecantikan fisik pada wanita merupakan sebuah harta yang sangat berharga karena Allah sendiri yang mengistilahkan bahwa aurat wanita adalah perhiasan. Perhiasan wanita ini akan sangat tinggi nilainya manakala keotentikan serta keindahannya tetap dijaga dan dilindungi. Semakin baik seorang wanita menjaga perhiasannya, semakin mulia pula kedudukan seorang wanita. Kecantikan ini juga merupakan salah satu nikmat dan anugerah yang diberikan Allah untuk kaum wanita. Oleh karena itu, salah satu bentuk syukur atas nikmat ini adalah dengan cara menjaga perhiasan itu dengan baik. Proses menjaganya pun tidak hanya sekedar menjaga, namun dengan cara yang disukai Allah. Allah berfirman, “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” – (An-Nur: 31) Ayat tersebut menekankan 2 hal tentang jilbab : Larangan untuk menampakkan perhiasan (aurat) kecuali yang boleh tampak Perintah untuk menjulurkan jilbab hingga ke dada Rasulullah menegaskan batasan bagian tubuh wanita yang boleh tampak di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu anha, “Dari Aisyah RA, bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah berpaling darinya dan berkata : Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haidh (akil baligh) maka tak ada yang layak terlihat kecuali ini (sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan)” (HR. Abu Daud dan Baihaqi) Dengan tertutupnya aurat dengan jilbab, wanita tidak akan terjerumus menjadi media bagi setan untuk menggoda dan melecehkan akhlaq manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Pakaian yang sesuai dengan anjuran Allah akan melindungi pemakainya dari godaan setan dimanapun ia berada. Bagi wanita yang memakai jilbab, pada umumnya dapat merasakan adanya semacam pengingat diri untuk tidak melakukan hal-hal yang terlarang dan dicela oleh syara. Dengan kata lain, jilbab dapat dikategorikan sebagai pengontrol perilaku wanita guna menyelamatkan kehormatan dirinya dari berbagai macam godaan setan. Hal terakhir yang menjadi buah manis dari pengenaan jilbab sadar ataupun tidak adalah bertambahnya level kecantikan. Tidak hanya terlihat cantik di mata manusia, namun terlihat elok juga di mata Allah. Tiada kebahagiaan yang paling indah dirasa selain terlihat mulia di mata Allah hingga Allah secara pribadi mengeluarkan pujian indah-Nya. Kedudukan yang tinggi di mata Allah akan menjadikan kedudukan di mata manusia menjadi tidak berarti sama sekali. Oleh karena itu, sungguh beruntung bagi wanita yang mendapatkan lirikan khusus dari Allah karena kerendahan hatinya untuk tunduk patuh pada anjuran yang telah Allah tawarkan dalam mengenakan jilbab. Berbahagialah bagi wanita yang telah rapi dalam mengenakan jilbabnya. Ketenangan hati, perlindungan khusus dari Allah, kemuliaan di mata manusia dan di mata-Nya, nikmat yang melimpah, jiwa yang bersih, petunjuk dan hidayah-Nya yang mahal, dan syurga-Nya yang indah insya Allah akan ia dapatkan manakala wanita mengindahkan anjuran yang Allah tawarkan ini. Semoga Allah senantiasa merahmati dan memuliakan kedudukan wanita yang senantiasa menjaga dirinya dengan menutupi tubuhnya dengan jilbab yang dianjurkan-Nya. Wallahu’alam bisshawab Oleh: Fauzi Achmad Zaky, Cimahi /@cwi

selengkapnya...

Zakat Fithr

Meski orang banyak menyebut istilah “zakat fitrah”, sebenarnya yang tepat penyebutannya adalah Zakat Fithr, tidak pakai..”ah” di belakangnya. Karena mengacu kepada Fithr, bukan hari Fithrah. Bukankah kita menyebut ‘Idul Fithr dan bukan ‘Idul Fithrah? Terkadang juga digunakan istilah shadaqah al-fithr. Karena zakat terkadang disebut juga dengan istilah shadaqah di dalam Al-Quran. Dasar pensyariatannya adalah dalil berikut iniRasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memfardhukan Zakat Fithr bulan Ramadhan kepada manusia sebesar satu shaa’ kurma atau sya’ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim. (HR Jamaah kecuali Ibnu Majah dari hadits Ibnu Umar) Maka dari dalil di atas, jelas sekali bahwa zakat ini dikaitkan dengan bulan Ramadhan. Zakat Fithr sebenarnya diutamakan untuk diberikan pada malam 1 Syawwal hingga shalat ‘Idul Fithr, sebagaimana hadits berikut ini. Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan Zakat Fithr sebesar 1 sha’ kurma atau 1 sha’ tepung (syair), atas setiap hamba atau tuan, laki atau perempuan, kecil atau besar yang beragama Islam. Dan memerintahkan agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat. (HR Muttafaq ‘alaihi) Namun para ulama mengatakan bahwa meski waktu yang utama adalah pagi hari sebelum shalat hari raya, tetapi pelaksanaannyaboleh dimajukan dua tiga hari sebelum itu. Dengan pertimbangan adanya kesibukan dan sedikitnya waktu penyalurannya. Sehingga ditakutkan bila zakat itu malah tidak sampai kepada yang berhak tepat pada waktunya. Bahkan ada juga para ulama lain yang berijtihad untuk membolehkan pembayaran Zakat Fithr ini dilakukan sejak awal Ramadhan. Karena mengingat hadits di atas tidak membatasi masa awal mula mulai berlakunya pemberian zakat ini. Yang disebutkan di hadits itu hanya masa akhir berlakunya sekaligus merupakan masa yang paling utama (afdhal). Ukuran dan Bentuk Zakat Kalau kita bicara ukuran dan bentuk zakat ini, sesungguhnya kembali kepada tujuan dasar disyariatkannya, yaitu untuk mencukupkan kekurangan orang-orang faqir pada hari Raya Fithr. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Cukupkanlah makan mereka untuk hari ini.” Maka esensi Zakat Fithr adalah bagaimana memastikan tidak ada orang yang kelaparan hari itu karena tidak bisa makan lantaran miskin. Pokoknya upayakan bagaimana agar pada hari itu semua orang miskin bisa makan dan tidak perlu puasa. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan puasa di hari itu. Kemudian tentang ukuran dan bentuk makanannya, tentu kita kembalikan kepada masing-masing negeri. Kalau melihat hadits nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, sudah bisa dipastikan bahwa ukurannya adalah ukuran untuk makan satu hari menurut kebiasaan penduduk Madinah. Dari Abi Said Al-Khudhri radhiyallahu ‘anh, “Kami mengeluarkan Zakat Fithr ketika dahulu Rasulullah bersama kami sebanyak satu shaa’ tha’aam (hinthah), atau satu shaa’ kurma, atau satu shaa’ sya’ir, atau satu shaa’ zabib, atau satu shaa’ aqith. Dan aku terus mengeluarkan Zakat Fithr sedemikian itu selama hidupku.” (HR Jamaah – Nailul Authar) Jelas sekali hadits ini menceritakan bahwa makanan sehari-hari orang Madinah di zaman nabi adalah seperti disebutkan di atas. Akan tetapi masalahnya, apakah ukuran dan jenis makanan yang sama harus diterapkan di negeri di mana masyarakatnya tidak memakan jenis bahan pangan itu? Apakah orang Papua yang makanan pokoknya sagu harus menerima zakat dalam bentuk kurma? Apakah bangsa Amerika yang makanannya kentang harus makan hinthah? Pertanyaanya, apakah mereka doyan makan makanan yang bukan makanan pokok mereka sehar-hari? Oleh karena itu, mujtahid mutlak pertama, Al Imam Abu Hanifah jauh-jauh hari sudah memikirkan hal ini. Beliau mencoba mengambil esensi hadits-hadits tentang Zakat Fithr ini dan menuliskan kerangkanya. Initnya menurut beliau, ukurannya adalah ukuran yang cukup agar seseorang tidak lapar di hari itu. Bahkan dalam mazhab Hanafi, pembayarannya boleh dikonversikan dalam bentuk uang seharga 1 sha‘ itu sesuai dengan jenis makanan di negeri masing-masing. Lalu para mujtahid di negeri kita berupaya juga untuk mengkonversikan ke bentuk makanan pokok bangsa kita, yaitu beras. Sudah pasti ada perbedaan pendapat ketika mengkonversikannya. Namanya saja konversi. Maka jangan heran kalau ada yang mengatakan bahwa satu sha’ dzabib, kurma, hinthah, sya’ir atau ‘athiq setara dengan 2, 176 kg. Tetapi ada juga yang membulatkan menjadi 2, 5 kg. Bahkan ada juga yang mengukurnya dengan volume bukan dengan berat, sehingga menjadi 3, 5 liter beras. Sebab menurut mereka, ukuran 1 sha’ itu bukan ukuran berat melainkan ukuran volume. Tentu saja melebihkan ukurannya menjadi lebih utama dan lebih berpahala. Bahkan ada yang mengatakan seharusnya jenis berasnya disesuaikan dengan jenis beras yang kita makan sehari-hari. Janganlah kita memberi berat untuk zakat dari jenis yang bau apek, berkutu dan full batu, padahal yang kita makan sehari-hari dari jenis yang bermutu. Tetapi pendeknya, makanan itu cukup untuk membuat seseorang tidak kelaparan dalam sehari itu, yaitu Hari Raya Fithr. Kapan Zakat Fithr Diberikan? Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan Zakat Fithr sebesar 1 sha’ kurma atau 1 sha’ tepung (syair), atas setiap hamba atau tuan, laki atau perempuan, kecil atau besar yang beragama Islam. Dan memerintahkan agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat. (HR Muttafaq ‘alaihi) Dengan berdasarkan hadits ini, memang benar sebaiknya Zakat Fithr itu diberikan sebelum shalat Idul Fithr dilaksanakan. Sebab tujuannya adalah agar fakir miskin pada hari raya itu tidak kelaparan. Kalau diberikan jauh sebelum waktunya, mungkin dikhawatirkan kehilangan momentumnya. Namun para ulama sepakat mengatakan bahwa waktu untuk mengeluarkan Zakat Fithr bukan hanya boleh sebelum shalat Idul Fithri. Waktu itu hanya yang paling afdhal, tetapi tidak melarang bila diberikan pada malam 1 Syawwal hingga shalat Iedul Fitri. Juga boleh dimajukan pembayarannya dua tiga hari sebelum itu. Bahkan ada juga yang membolehkan sejak awal Ramadhan. Kalau membagikan Zakat Fithr di pagi hari sebelum shalat Idul Fithr dilaksanakan dirasa sulit, karena berbagai pertimbangan dan faktor, boleh saja dilakukan pada malam harinya. Atau boleh dua tiga hari sebelumnya. Kecuali anda punya team amil zakat yang solid dan bisa bekerja cepat sejak selesai shubuh hingga menjelang jam pelaksanaan shalat Ied. Yang pasti teamnya harus banyak, karena kalau terlambat akan sia-sia. Atau bisa juga disiasati agar para mustahik zakat mengambil haknya di tempat pelaksanaan shalat dan waktunya sebelum shalat dimulai. Sehingga baik panitia shalat maupun para mustahik zakat sudah berdatangan sejak shubuh untuk pendistribusian. Akan tetapi cara seperti ini barangkali masih terasa aneh dan kurang populer. Kalau tidak terbiasa, pasti merepotkan. Misalnya, kalau seorang mustahiq menerima beras sebelum shalat dimulai, maka selama shalat dan mendengarkan khutbah, dia harus membawa-bawa beras ke sana ke mari. Kalau diantar ke rumah masing-masing, bisa jadi mustahik zakatnya tidak ada di rumah, karena sudah pergi untuk shalat Ied. Maka kalau mau diberikan setelah shubuh dan sebelum shalat Ied, perlu dipikirkan teknis pendistribusiannya yang paling efektif, cepat dan tepat. Jangan ditanya bagaimana dengan yang terjadi di masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebab penduduk Madinah di masa itu hanya sedikit. Konon menurut para ahli sejarah, luas kota Madinah di masa itu hanya seluas masjid Nabawi di hari ini. Maka mendistribusikan zakat ke sebuah wilayah yang hanya seluas masjid Nabawi, pasti tidak terlalu sulit. Sedangkan di masa sekarang ini, terkadang coverage area distribusi zakat bisa sangat luas dan kompleks, sehingga membutuhkan trik khusus agar bisa tepat sampai sasaran pada waktunya. Wallahu a’lam bish shawab. Rep/Red: Shabra Syatila Sumber: rumahfiqih.com /@cwi

selengkapnya...

5 Kesalahan Seputar Praktik Pembayaran Zakat

Ada beberapa bentuk pelaksanaan syariat zakat di tengah masyarakat yang terlanjur sulit diluruskan, kecuali lewat berbagai edukasi yang tidak pernah berhenti. Dan ini menjadi sebuah proyek besar yang butuh keseriusan, dalam rangka meluruskan persepsi umat secara menyeluruh. Di antara contoh pelurusan yang harus mendapatkan porsi agak lebih besar antara lain karena adanya beberapa kekuran akuratan. 1. Zakat Dibayarkan Langsung Kepada Mustahik Seorang kaya secara langsung mengeluarkan hartanya diberikan kepada orang miskin dengan niat ibadah zakat, bukan berarti zakatnya tidak sah. Namun kalau kita merujuk kepada contoh nyata apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, nampak jelas sekali perbedaannya.Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah mengangkat beberapa shahabat yang cakap dan mumpuni, untuk diserahkan tanggung jawab memanage zakat secara profesional. Ibnu Sa’ad menerangkan nama nama petugas zakat itu dan juga nama nama suku suku yang diatanginya, yaitu : Uyayinah bin Hisn di utus ke Banu Tamim Buraidah bin Hasib, ada juga yang menyatakan Ka’ab bin Malik, di utus ke Banu Aslam dan Banu Ghifar, Abbad Ibnu Bisyr Asyhali diutus ke banu Sulaim dan Banu Muzainah Rafi’ bin Makis diutus ke Bani Juhainah Amr bin Ash diutus ke Banu Fazarah Dhahhak bin Syufyan al kilabi diutus ke Banu Kilab Burs bin Sufyan al Ka’bi diutus ka Banu Ka’ab Ibnu Lutibah Azdi Azdi di utus ke Banu Zibyan Seorang laki laki dari Banu Sa’ad Huzaim diutus untuk mengambil zakat banu Sa’ad Huzaim. Ibnu Ishaq mengemukakan tentang adanya golongan lain yang diutus Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam ke daerah dan suku lain di Jazirah Arabia, seperti : Muhajir bin Umayyah yang diutus ke Sana’, Zaid bin Labid ke Hadramaut, ‘Adi bin Hatim ke Banu Thay dan Banu As’ad, Malik bin Nuwairah ke Banu Hanzalah, Zabraqan bin Nadr, Qais bin Ashim ke Banu Sa’ad, Ala’ bin Hadrami ke Bahrain dan Ali di utus ke Najran. Beberapa hadits dan periwayatan diatas menunjukkan bahwa pengelolaan zakat oleh Negara sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan diikuti oleh pemerintah pemerintah Islam sesudahnya dan masih banyak lagi hadits dan periwayatan yang menunjukkan akan hal itu. Tapi alasan sebagian kalangan yang tidak mau menyalurkan zakat lewat amil zakat kalau direnungkan, memang beralasan juga. Misalnya, zakat lewat amil itu kadang meninggalkan kekhawatiran apabila amil itu tidak amanah. Selain itu juga seringkali amil zakat kurang bijaksana, mereka hanya menyedot dana zakat dari tengah masyarakat untuk disetorkan ke pusat, sementara orang orang miskin di daerah itu sendiri malah tidak mendapatkan harta zakat. Padahal prinsip zakat itu bukan dana daerah disedot ke pusat, sebaliknya zakat adalah menarik sebagian harta milik orang kaya dan langsung dikembalikan kepada orang miskin, dalam satu lingkungan, komunitas atau lingkungan. Inilah yang ditekankan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika beliau mengutus Muadz bin Jabal ke negeri Yaman : خُذْهَا مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِهِمْ “Ambillah harta zakat itu dari orang orang kaya diantara mereka dan kembalikan kepada orang orang faqir di antara mereka juga.” (HR. Bukhari) 2. Zakat Dibayarkan Bukan Pada Waktunya Fenomena datangnya bulan Ramadhan memang menarik, karena dimana mana begitu banyak bermunculan stand dan outlet penerimaan zakat, khususnya di berbagai mal dan pusat perbelanjaan. Keberadaan stand atau outlet zakat itu tentu menggembirakan, karena selain memudahkan mereka yang mau bayar zakat, nampak kesan bahwa bulan Ramadhan itu sedemikian syiar dan penuh suasana religi. Tetapi di balik dari fenomena menarik itu, ada tertinggal sebuah pertanyaan, kenapa outlet outlet zakat itu hanya bermunculan di bulan Ramadhan saja? Kenapa selesai lebaran dan 11 bulan berikutnya, kita tidak menemukan outlet outlet seperti itu? Apakah hal itu berarti bahwa membayar zakat hanya dilakukan di bulan Ramadhan saja? Dan sayang sekali, ternyata kekhawatiran itu terbukti. Mereka yang bayar zakat di bulan Ramadhan ternyata memang tidak tahu menahu kalau ternyata zakat itu bukan hanya wajib dikeluarkan di bulan Ramadhan, tetapi tergantung jenis zakatnya, dan kapan mulai jatuh tempo haul dan nishab dari harta itu. 3. Zakat Dibayarkan Tidak Sesuai Besarannya Dan sedikit sekali yang tahu tentang jenis jenis zakat dari harta yang mana yang harus dikeluarkannya. Umumnya mereka hanya bilang bahwa zakat yang dikeluarkan adalah zakat mal. Adapun bagaimana hitung hitungannya, dan berapa yang harus dikeluarkan, ternyata yang bayar dan yang menerima pembayaran, sama sama gelap alias tidak tahu. Petugas yang menerima zakat pun menerima begitu saja dan memberi tanda terima sambil tidak lupa membaca doa. Lucunya, dalam prakteknya pembacaan doa dan serah terima itu malah nyaris mirip orang lagi akad nikah, karena pakai acara bersalaman segala. Sesuatu yang sama sekali tidak penting untuk dikerjakan. Sementara yang jauh lebih penting, yaitu syarat dan ketentuan zakat, malah ditinggalkan begitu saja. Ibarat orang shalat, tetap saja ada ketentuan dan syarat. Kita tidak boleh asal main shalat secara sembarangan. Shalat Dhuhur misalnya, tidak boleh dikerjakan di waktu Dhuha’, dan kalau dikerjakan juga, tentu shalat itu tidak sah. Shalat Dzhuhur juga tidak sah bila dikerjakan kurang atau malah lebih dari empat rakaat. Tidak mentang mentang dikerjakan 12 rakaat, lantas dianggap shalat Dhuhur itu lebih besar pahalanya. Demikian juga dengan zakat. Bila belum mencapai nisab dan haul, tentu belum mewajibkan zakat. Bila ada orang kebelet ingin bersedekah, tentu tidak boleh dilarang, tetapi bukan berarti disalurkan sebagai zakat. Seharusnya disalurkan lewat jalur sedekah yang lain, seperti wakaf, sumbangan sosial, sedekah sunnah, dan sejenisnya, yang penting bukan zakat. Sebab zakat punya ketentuan ketentuan yang unik, yang hanya boleh dikerjakan bila semua syarat dan ketentuan itu terpenuhi. 4. Zakat Dijadikan Pencucian Harta Kekeliruan persepsi yang juga sering melanda umat ini antara lain adalah menganggap berzakat itu sebagai bentuk pensucian harta. Sekilas pandangan ini kelihatannya benar, namun kalau ditelusuri lebih dalam, sesungguhnya ini merupakan sebuah kekeliruan fatal. Sebab kalau dikatakan bahwa zakat itu mensucikan harta kita, akan terselip sebuah pesan bahwa harta yang kita miliki ini tidak bersih, alias harta yang haram. Dan karena harta itu haram, untuk membersihkannya lantas dikeluarkan zakatnya. Akibatnya, zakat menjadi sebuah legalitas untuk upaya jahat dan licik, money laundring. Padahal sejatinya zakat itu bukan mesin pencuci harta haram, zakat bukan money laundring. Zakat tidak berfungsi sebagai pembersihkan harta yang haram agar menajdi halal. Sebaliknya, harta yang tidak halal justru hukumnya haram untuk dizakati. Yang benar adalah bahwa zakat itu berfungsi untuk membersihkan diri dan jiwa orang yang melakukannya. Orang dapat mensucikan jiwa dan membersihkan hatinya dengan cara menunaikan zakat. Hal itu ditegaskan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman Nya : خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا “Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan diri mereka.” (QS. At Taubah :103). Ayat ini tidak mengatakan bahwa harta zakat berfungsi untuk mensucikan harta yang kita miliki, sebab harta yang kita miliki itu seharusnya memang sudah suci, karena kita dapat dengan jalan yang halal. Yang dimaksud di dalam ayat ini adalah disucikannya diri dan jiwa kita dengan cara berzakat. 5. Zakat Penentu Diterimanya Puasa Ramadhan? Di tengah keawaman masyarakat Islam, beredar hadits palsu yang terlanjur dianggap sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, yaitu tentang pahala puasa yang menggantung di antara langit dan bumi, maksudnya tidak diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala, selama seorang hamba belum membayar zakat fithr. Lafadz hadits palsu itu kurang lebih demikian : أَنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ مُتَعَلِّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لاَ يَرْفَعُ إِلاَّ بِزَكاَةِ الفِطْرِ “(Pahala puasa di) bulan Ramadhan itu menggantung di antara langit dan bumi, tidak terangkat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala kecuali dengan ditunaikannya zakat fihr.” a. Kritik Sanad Al Imam As Suyuthi, seorang muhaddits besar dalam kitabnya, Al Jami’ Ash Shaghir, menuturkan bahwa hadits ini adalah hadits yang dhaif meski tanpa menyebutkan alasannya. Lafadz hadits diriwayatkan oleh Imam Ibnu Syahin dalam kitabnya, At Targhib. Juga diriwayatkan oleh Imam Al Dhiya”. Kedua orang ini meriwayatkan dari Jabir. Ibnul Jauzi dalam kitabnya, Al Wahiyat, mengatakan bahwa di dalam sanad hadits itu adalah seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ubaid Al Bishri. Orang ini termasuk orang yang tidak dikenal identitasnya. Ibnu Hajar Al Asqalani menguatkan penjelasan dari Ibnul Jauzi bahwa hadits ini tidak memiliki muttabi’. Maksudnya, tidak ada hadits lain yang senada dengan hadits itu secara esensi namun dengan sanad yang berbeda. Prof. Ali Mustafa Ya’qub, MA menyebutkan bahwa dirinya juga tidak menemukan penjelasan tentang orang ini. Jadi kesimpulan hadits ini tidak dapat dinilai karena ada perawi yang tidak dikenal alias majhul. b. Kritik Matan Hadits Selain lewat kritik sanad hadits, kita bisa melakukan kritik suatu hadits lewat matannya. Bila matannya bertentangan dengan ushul dan aqidah atau dengan dalil dalil qoth’i yang lain secara berseberangan dan tajam, maka kritik dari segi matan bisa dilakukan. Secara matan hadits ini bertentangan dengan pendapat para ulama. Dan memang belum pernah kita mendengar ada ulama yang mengatakan bahwa amal amal di bulan Ramadhan menjadi sia sia selama belum mengeluarkan zakat fithr. Hubungan antara zakat dengan puasa tidak terkait sebagaimana hubungan antara wudhu’ dengan shalat. Kalau dalam masalah shalat, kita memang mengakui bahwa salah satu syarat sah nya adalah suci dari hadats. Sehingga bila seseorang shalat dalam keadaan hadats kecil tanpa berwudhu’, para ulama sepakat bahwa shalat itu tidak sah. Namun hubungan antara zakat dengan puasa tidak terjalin sebagai hubungan syarat dan masyrut. Masing masing berdiri sendiri dan tidak saling menjadi syarat atas sah nya ibadah yang lain. Artinya, seorang yang melakukan berbagai aktifitas ibadah di bulan Ramadhan, asalkan dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya, insya Allah telah sah secara hukum di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tidak ada kaitannya apakah dirinya sudah menunaikan zakat atau belum. Wallahu ‘alam Rep/Red: Shabra Syatila Sumber: Ustadz Ahmad Sarwat /@cwi

selengkapnya...

Kasultanan Kutai Kartanegara: Hindu, Islam, Kolonial, hingga Kemerdekaan

Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura merupakan sebuah kesultanan yang terletak di daerah yang kini kita kenal dengan nama Tenggarong,Provinsi Kalimantan Timur. Kesultanan Kutai Kartanegara diperkirakanberdiri pada tahun 1300-an Masehi (abad ke-14) dan sempat dihapus pada tahun 1960. Akan tetapi, Kesultanan Kutai Kartanegara kembali eksis pada tahun 2001 dengan mengangkat seorang sultan bergelar gelar Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II. Sejarah Awal dan Interaksi dengan Kerajaan MajapahitSejarah berdirinya Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura tidak bisa dipisahkan dari berdirinya Kerajaan Kutai. Keberadaan Kerajaan Kutai dibuktikan dengan ditemukan tujuh prasasti (tiang batu) yang disebut yupa di Kalimantan Timur. Ketujuh yupa tersebut ditulis dalam bahasa Sanskerta dan menggunakan huruf Pallawa yang lazim dipakai pada abad ke-5 M atas titah seorang raja bernama Mulawarman. Jika membandingkan huruf yang dipakai dalam prasasti di Kerajaan Kutai dengan huruf Pallawa yang berasal dari India, maka diperkirakan Kerajaan Kutai berdiri pada abad 4-5 M. Sampai saat ini, kajian secara ilmiah dan komprehensif yang menyoroti hubungan antara Kerajaan Kutai dengan Kerajaan Kutai Kartanegara – yang merupakan cikal bakal Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura — belum pernah dilakukan. Adanya missing link antara pendirian dua kerajaan yang mempunyai lokasi berdekatan ini masih menjadi problematika tersendiri di kalangan para arkeolog maupun sejarawan. Hanya saja, baik para arkeolog maupun sejarawan sampai saat ini masih sepakat bahwa pada dasarnya antara Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara masih mempunyai hubungan sejarah. Kerajaan Kutai berlokasi di tepi sungai Mahakam, tepatnya di Muara Kaman, sedangkan Kerajaan Kutai Kartanegara berada lebih ke muara atau kini dikenal dengan nama Kutai Lama. Kutai Lama merupakan sebuah daerah yang dekat dengan kota Samarinda sekarang. Pemilihan lokasi Kutai Lama sebenarnya lebih disebabkan karena pilihan pragmatis sekaligus logis. Pertama, Kutai Lama adalah sebuah daerah yang dilalui oleh sungai Mahakam yang juga berfungsi sebagai jalur perdagangan. Kedua, daerah Muara Kaman (Kutai Lama) terkenal akan kesuburan tanah yang sesuai untuk pertanian. Waktu pendirian Kerajaan Kutai Kartanegara sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Catatan sejarah yang sempat teridentifikasi menyebutkan bahwa raja pertama Kerajaan Kutai Kartanegara memerintah pada tahun 1300-1325 M. Eiseuberger dalam buku Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh sejarah Kalimantan dalam Soetoen (1975), menyatakan bahwa raja pertama Kerajaan Kutai Kartanegara memerintah pada tahun 1380-1410 M. Di sisi lain, nama Kerajaan Kutai Kartanegara telah tercatat di buku Negarakretagama pada tahun 1365 M. Terakhir, Ibn Batuta dalam catatannya telah menulis bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara telah ada pada tahun 1304-1378. Sehingga dilihat dari berbagai data di atas, maka besar kemungkinan bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara telah berdiri pada abad ke-14 M. Nama Kutai berasal dari bahasa Cina “Kho Thay” yang berarti “negara yang besar”. Sedang Kartanegara berarti “mempunyai peraturan”. Jadi arti nama Kutai Kartanegara adalah “negara besar yang mempunyai peraturan”. Pada awal berdiri, nama Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura adalah Kerajaan Kutai Kartanegara. Nama Kerajaan Kutai Kartanegara ini digunakan sebagai pembeda dengan Kerajaan Kutai. Pendiri Kerajaan Kutai Kartanegara adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti, seorang pemuda dari daerah bernama Jaitan Layar. Aji Batara Agung Dewa Sakti memerintah hingga tahun 1320 M. Setelah wafat, pemimpin Kerajaan Kutai Kartanegara adalah Aji Batara Agung Paduka Nira (1320-1370 M). Aji Batara Agung Nira mempunyai 7 orang anak, 5 laki-laki dan 2 perempuan. Dari kelima anak laki-laki tersebut, hanya dua orang yang tampak paling menonjol dibandingkan dengan para saudaranya, yaitu Maharaja Sakti (anak sulung) dan Maharaja Sultan (anak kelima). Ketika Aji Batara Agung Paduka Nira mangkat, tampuk kepemimpinan Kerajaan Kutai Kartanegara tidak diserahkan kepada putra sulungnya, Maharaja Sakti, tetapi jatuh ke tangan Maharaja Sultan. Keputusan untuk menempatkan Maharaja Sultan sebagai pewaris tahta memang menjadi keputusan bersama di antara ketujuh bersaudara tersebut. Di sisi lain, para saudara Maharaja Sultan tetap mendampingi sebagai menteri. Maharaja Sultan memerintah di Kerajaan Kutai Kartanegara antara tahun 1370-1420 M. Pada masa pemerintahan Maharaja Sultan dijalin hubungan yang erat dengan Kerajaan Majapahit di Jawa. Salah satu bentuk hubungan tersebut adalah kunjungan Maharaja Sultan bersama dengan Maharaja Sakti ke Kerajaan Majapahit untuk belajar tentang adat istiadat dan tatacara pemerintahan. Kerajaan Majapahit yang waktu itu diperintah oleh Hayam Wuruk menyambut baik kedatangan Maharaja Sultan dan Maharaja Sakti. Kedua putra Borneo ini kemudian diperlakukan layaknya tamu dan diajarkan tentang adat istiadat dan tatacara mengelola pemerintahan kerajaan. Setelah selesai menimba ilmu di Kerajaan Majapahit, dua saudara kandung ini kembali ke Kerajaan Kutai Kartanegara untuk menerapkan ilmu yang didapatkan di Kerajaan Majapahit. Interaksi antara dua kerajaan tersebut berujung pada hubungan saling mempengaruhi. Di satu sisi Kerajaan Kutai Kartanegara mendapat pengaruh Hindu dari Kerajaan Majapahit. Di sisi lain, Kerajaan Majapahit mendapatkan tempat tersendiri di Kerajaan Kutai Kartanegara, yaitu kedudukan Majapahit sebagai negara induk, sedangkan Kerajaan Kutai Kartanegara adalah negara taklukan. Sebagai cara untuk mempertegas pengakuan tersebut, maka Kerajaan Majapahit menempatkan seorang patih sebagai representasi pengakuan kekuasaan di Kerajaan Kutai Kartanegara. Mulai dari sini pengaruh agama Hindu masuk dan menjadi agama negara di Kerajaan Kutai Kartanegara. Masuknya Islam di Kerajaan Kutai Pada masa pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525-600 M) Kerajaan Kutai Kartanegara kedatangan dua orang ulama dari Makassar, yaitu Tuan Ri Bandang dan Tunggang Pararang. Seperti dikisahkan dalam Salasilah Kutai, tujuan kedatangan dua ulama tersebut adalah menyebarkan agama Islam dengan cara mengajak Aji Raja Mahkota untuk memeluk Islam. Pada awalnya ajakan kedua ulama ini ditolak oleh Aji Raja Mahkota dengan alasan bahwa agama negara di Kerajaan Kutai Kartanegara adalah Hindu. Langkah diplomasi kedua ulama ini untuk mengajak Aji Raja Mahkota ditolak oleh sang raja. Bahkan karena langkah diplomasi buntu, Tuan Ri Bandang akhirnya memutuskan kembali ke Makassar dan meninggalkan Tunggang Pararang di Kerajaan Kutai Kartanegara. Sebagai jalan akhir, Tunggang Pararang menawarkan solusi kepada Aji Raja Mahkota untuk mengadu kesaktian dengan taruhan apabila Aji Raja Mahkota kalah, maka sang raja bersedia untuk memeluk agama Islam. Akan tetapi jika Aji Raja Mahkota menang maka Tunggang Pararang akan mengabdikan hidupnya untuk Kerajaan Kutai Kartanegara. Solusi dari Tunggang Pararang disetujui oleh Aji Raja Mahkota. Adu kesaktian akhirnya digelar dan berujung dengan kekalahan Aji Raja Mahkota. Sebagai konsekuensi kekalahan, maka Aji Raja Mahkota akhirnya masuk Islam. Sejak Aji Raja Mahkota masuk Islam maka pengaruh Hindu yang telah tertular lewat interaksi dengan Kerajaan Majapahit lambat laun luntur dan berganti dengan pengaruh Islam. Sebagian rakyat yang masih memilih untuk memeluk agama Hindu kemudian tersisih dan berangsur-angsur pindah ke daerah pinggiran kerajaan. Dari Kerajaan Kutai Kartanegara Menuju Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura Perkembangan Kerajaan Kutai Kartanegara yang mempunyai lokasi berdekatan dengan Kerajaan Kutai yang lebih dulu ada di Muara Kaman pada awalnya tidak menimbulkan friksi yang berarti. Hanya saja ketika Kerajaan Kutai Kartanegara diperintah oleh Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing Martadipura (1605-1635 M) terjadi perang besar antara dua kerajaan ini. Di akhir perang Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara dilebur menjadi satu dengan nama Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Raja pertama dari penggabungan dua kerajaan ini adalah Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing Martadipura (1605-1635 M). Pada masa pemerintahan Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing Martadipura, pengaruh Islam yang telah masuk sejak pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525-1600 M) telah mengakar kuat. Islam sangat berpengaruh pada sistem pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Indikator dari pengaruh Islam terlihat pada pemakaian Undang-Undang Dasar kerajaan yang dikenal dengan nama “Panji Salaten” yang terdiri dari 39 pasal dan memuat sebuah kitab peraturan yang bernama “Undang-Undang Beraja Nanti” yang memuat 164 pasal peraturan. Kedua undang-undang tersebut berisi tentang peraturan yang disandarkan pada Hukum Islam. Pemimpin pertama yang memakai gelar “sultan” adalah Aji Sultan Muhammad Idris. Beliau merupakan menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng, seorang bangsawan Bugis di Sulawesi Selatan. Pada saat rakyat Bugis di Sulawesi Selatan sedang berperang melawan VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie), Sultan Wajo La Madukelleng meminta bantuan Aji Sultan Muhammad Idris. Permintaan bantuan dipenuhi oleh Aji Sultan Muhammad Idris. Berangkatlah rombongan Aji Sultan Muhammad Idris ke Sulawesi Selatan untuk membantu Sultan Wajo La Madukelleng. Dalam upaya memberikan bantuan tersebut, Aji Sultan Muhammad Idris meninggal dunia. Selama kepergian Aji Sultan Muhammad Idris ke Sulawesi, kursi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dipegang oleh dewan perwalian. Tetapi ketika Aji Sultan Muhammad Idris meninggal dalam pertempuran di Sulawesi, timbul perebutan tahta tentang pengganti sultan. Perebutan tahta terjadi antara kedua anak Aji Sultan Muhammad Idris, yaitu Putera Mahkota Aji Imbut dan Aji Kado. Pada awal perebutan tahta, Aji Imbut terdesak oleh Aji Kado dan lari ke Sulawesi, ke tanah kakeknya, yaitu Sultan Wajo La Madukelleng. Aji Imbut menggalang kekuatan untuk kembali menyerang Aji Kado yang kini menduduki ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang terletak di Pemarangan, karena ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara telah berpindah dari Kutai Lama ke Pemarangan sejak tahun 1732. Aji Imbut akhirnya menyerang Aji Kado di Pemarangan. Didukung oleh orang-orang Wajo dan Bugis, Aji Imbut berhasil mengalahkan Aji Kado dan menduduki singgasana Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar Aji Marhum Muhammad Muslihudin (1739-1782 M). Sedangkan Aji Imbut dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan. Masuknya Pengaruh Kolonial Sekitar abad ke-16 Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi taklukan Kesultanan Banjar yang kala itu dipimpin oleh Pangeran Samudera (1526-1545 M). Status sebagai daerah taklukan Kesultanan Banjar ternyata mengantarkan Kesultanan Kutai Kartanegara masuk menjadi daerah vasal Pemerintah Hindia Belanda. Pengalihan kekuasaan ini terjadi pada tahun 1787 setelah Sultan Tamjidillah II menandatangani pengalihan kekuasaan atas daerah taklukan Kesultanan Banjar sebagai kompensasi atas bantuan Pemerintah Hindia Belanda ketika membantu untuk memerangi Pangeran Amir. Isi perjanjian antara Sultan Tamjidillah II dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda berbunyi, “Sultan Banjar menyerahkan segala tanah kerajaannya kepada Pemerintah Belanda, di antaranya itu sebagian besar akan diterimanya kembali sebagai pinjaman. Yang tetap diserahkan kepada Pemerintah Belanda yaitu: Tanah Bumbu, Pagatan, Pasir, Kutai, Berau, Bulongan, dan Kotawaringin.” Lewat perjanjian tersebut, maka sejak tahun 1787 secara de facto Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura menjadi daerah taklukan Belanda. Pengalihan kekuasaan dari Kesultanan Banjar kepada Pemerintah Hindia Belanda terjadi ketika Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura diperintah oleh Aji Sultan Muhammad Salehudin (1782-1845 M). Pengalihan kekuasaan atas Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dari Kesultanan Banjar kepada Pemerintah Hindia Belanda, pada dasarnya masih bersifat de facto (belum de jure) mengingat para sultan di Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura tidak pernah dilibatkan atau menandatangani perjanjian pengalihan kekuasaan secara langsung. Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura hanya menerima pengalihan fungsi kewenangan sebagai konsekuensi negara taklukan Kesultanan Banjar. Pada tahun 1825, atas usaha dari G. Muller, Residen Banjarmasin, Pemerintah Hindia Belanda mengikat secara resmi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan menandatangani sebuah perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Aji Sultan Muhammad Salehudin (1782-1845 M). Isi perjanjian tersebut, secara garis besar, berbunyi bahwa Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura mengakui Pemerintah Hindia Belanda sebagai yang dipertuan, sultan menyerahkan urusan pengadilan, bea cukai, pajak orang-orang Cina, pajak tambang emas, dan sebagainya. Sebagai kompensasi, Pemerintah Hindia Belanda memberikan santunan kepada sultan sebesar 8.000 gulden pertahun. Sejak ditandatangani perjanjian ini, Pemerintah Hindia Belanda kemudian menempatkan seorang civiel gezaghebber (penguasa sipil) di Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura bernama H. van Dewall. Pada tahun 1871 pusat pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara berpindah dari Pemarangan ke Tenggarong ketika diperintah oleh Aji Sultan Muhammad Muslihuddin. Salah satu alasan perpindahan pusat pemerintahan adalah gangguan keamanan karena adanya bajak laut dari Sulu yang mulai mengacau di wilayah perairan Kesultanan Kutai Kartanegara. Pengaruh Belanda bertahan hingga Jepang datang pada tahun 1942. Selama penjajahan Jepang tidak terlihat perubahan yang signifikan dalam sistem pemerintahan. Jepang tetap mempertahankan bentuk swapraja bagi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang waktu itu diperintah oleh Aji Sultan Muhammad Parikesit (1920-1960) memilih sikap untuk bekerjasama dengan Pemerintah Pendudukan Jepang. Sikap ini didasari atas tindakan brutal yang dilakukan Jepang dengan cara membunuh sekitar 300 orang keluarga Kesultanan Pontianak dengan alasan tidak mau bekerjasama dengan Pemerintah Pendudukan Jepang. Penghapusan Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura Akhir penjajahan Jepang ditandai oleh Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Pada tahun 1947, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang notabene berstatus daerah swapraja dimasukkan ke dalam wilayah Federasi Kalimantan Timur bersama dengan Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur, dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Pada tanggal 27 Desember 1949, Dewan Kesultanan tergabung ke dalam Republik Indonesia Serikat. Lalu pada tahun 1953, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai melalui UU Darurat No.3 Th.1953 menjadi daerah otonomi tingkat kabupaten. Berdasarkan UU No. 27 tahun 1959 tentang “Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan”, wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yaitu: 1. Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong 2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan 3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda. Pada tanggal 20 Januari 1960, APT Pranoto selaku Gubernur Kalimantan Timur, atas nama Menteri Dalam Negeri melantik ketiga kepala Daerah Tingkat II, salah satunya adalah Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai. Sehari kemudian, 21 Januari 1960, bertempat di Balairung Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura di Tenggarong, diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda), dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Dengan serah terima pemerintahan tersebut berarti Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Aji Sultan Muhammad Parikesit berakhir. Era Kebangkitan Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais melakukan upaya untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara. Upaya ini ditempuh dengan alasan untuk menggalakkan pariwisata sekaligus sebagai penjaga cagar budaya. Upaya tersebut menuai hasil karena pada tahun 2001, Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Abdurrahman Wahid mengizinkan dan mengakui pendirian kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan pengangkatan Putra Mahkota, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat. Pada tanggal 22 September 2001, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat ditabalkan sebagai sultan di Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II. kerajaannusantara | kasultanan.kutaikartanegara | berbagai sumber /@cwi

selengkapnya...

Pesan Malaikat Jibril yang Mulai Terlupakan

Di Kufah, Abu Hanifah memiliki seorang tetangga tukang sepatu. Sepanjang hari bekerja, menjelang malam ia baru pulang ke rumah. Biasanya ia membawa oleh-oleh berupa daging untuk dimasak atau seekor ikan besar untuk dibakar. Selesai makan, ia minum-minum seraya bernyanyi-nyanyi dan berhenti jauh malam setelah ia merasa mengantuk sekali, kemudian tertidur pulas. Abu Hanifah yang telah terbiasa melaksanakan shalat sepanjang malam, tentu saja merasa terganggu oleh suara nyanyian tukang sepatu tersebut. Namun, ia diam saja. Pada suatu malam, Abu Hanifah tidak mendengar tetangganya itu bernyanyi-nyanyi seperti biasanya. Sesaat ia keluar untuk mencari kabarnya, ternyata menurut keterangan tetangga lain, ia baru saja ditangkap polisi dan ditahan.Seusai shalat subuh, Abu Hanifah naik bighalnya menuju istana. Ia hendak menemui Amir Kufah. Kedatangan Abu Hanifah disambut dengan penuh khidmat dan hormat. Sang Amir sendiri yang berkenan menemuinya. “Ada yang bisa aku bantu?” tanya sang Amir. “Tetanggaku tukang sepatu kemarin ditangkap polisi. Tolong lepaskan ia dari tahanan Amir,” jawab Abu Hanifah. “Baiklah,” kata sang Amir yang segera menyuruh seorang polisi penjara untuk melepaskan tetangga Abu Hanifah yang baru ditangkap kemarin petang. Abu Hanifah pulang dengan naik bighalnya secara perlahan. Sementara, si tukang sepatu berjalan kaki di belakangnya. Ketika tiba di rumah, Abu Hanifah turun dan menoleh kepada tetangganya itu seraya berkata, “Bagaimana? Aku tidak mengecewakanmu kan?” “Tidak, bahkan sebaliknya,” jawab si tukang sepatu. “Terima kasih. Semoga Allah memberimu balasan kebajikan,” lanjut si tukang sepatu Sejak itu ia tidak lagi mengulangi kebiasaannya, sehingga Abu Hanifah dapat merasa lebih khusyu’ dalam ibadahnya setiap malam. Tembok Pembatas Di era globalisasi, kini merupakan sebuah hal biasa ketika setiap kita terlihat sibuk dalam kesehariannya, bahkan terdapat sebuah ungkapan “pulang dan pergi seharian sehingga tak mampu melihat matahari terbit dan tenggelam”. Tingginya tingkat egoisme, individualisme dan hedonisme mengakibatkan terciptanya “tembok pembatas” dalam bermasyarakat. Adakalanya “tembok pembatas” dalam bermasyarakat timbul dikarenakan kurangnya intensitas bersosialisasi dalam bermasyarakat. Padatnya aktifitas dan besarnya peranan kita dalam sebuah institusi ataupun organisasi, tak jarang menjadikan sedikitnya waktu untuk bersosialisasi dalam bermasyarakat. Dalam hal ini, Rasulullah saw telah mengingatkan umatnya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah saw menjadikan akhlak kepada tetangga sebagai acuan penilaian kebaikan seseorang. ”Sebaik-baik kawan di sisi Allah adalah yang paling baik (budi pekertinya) terhadap kawannya, sebaik-baik tetangga adalah yang paling baik kepada tetangganya.” Dan Allahpun berfiman dalam QS. An Nisa’:36, “Berbuat baiklah kepada kedua orang, ibu bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan membangga-banggakan diri”. Letak Sebuah Kebermanfaatan “Khairun naasi anfa’uhum linnaas”, sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain. Manusia bukan sekedar makhluk indvidu, melainkan manusia adalah makhluk social, yang mana segala yang ada dalam dirinya berpotensi membawa pengaruh terhadap lingkungan disekitarnya. Menjadi manusia bermanfaat disini tidaklah sekedar bermanfaat bagi institusinya, golongannya ataupun organisasinya, melainkan meliputi seluruh aspek kehidupan dalam bermasyarakat pada umumnya. “Menjadi ada adalah karunia, sebab kita tak dapat mengadakan diri kita sendiri. Tapi menjadi ada saja tidaklah cukup, kita ada karena diperintahkan untuk memiliki makna,” kata Ustadz Ahmad Zairofi. Bagaimana kita dapat menjadi manusia yang bermanfaat jika enggan untuk bersosialisasi dalam bermasyarakat? Sebagaimana kisah Abu Hanifah yang tetap menebarkan kebaikan terhadap tetangganya dengan membantunya mendapatkan ampunan dari sang amir hingga menjadikan si tukang sepatu tersadar dan tidak mengulangi kebiasaan buruknya. Sebagaimana pula kisah khalifah umar yang begitu memperhatikan kondisi masyarakat disekitarnya, hingga rela menggendong karung gandum seorang diri guna membantu kekurangan tetangga disekitarnya. Islam memerintahkan umatnya untuk bertetangga secara baik. Bahkan, Rasulullah saw pernah mengira tetangga termasuk dalam ahli waris, dikarenakan seringnya Jibril mewasiatkan agar bertetangga dengan baik. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jibril selalu mewasiatkan kepadaku tentang tetangga sampai aku menyangka bahwa ia akan mewarisinya” (HR Bukhari-Muslim). Namun, ternyata waris atau warisan yang dimaksud Jibril adalah agar umat Islam selalu menjaga hubungan baik dengan sesama tetangga. Bertetangga dengan baik itu, termasuk menyebarkan salam ketika bertemu, menyapa, menanyakan kabarnya, menebar senyum, dan mengirimkan hadiah. Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak sayur maka perbanyaklah airnya dan bagikanlah kepada tetanggamu” (HR Muslim) Dan dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh bukhari, terdapat seorang wanita bersusah payah melaksanakan shalat wajib, bangun malam, menahan haus dan lapar, serta mengorbankan harta untuk berinfak, namun menjadi mubazir lantaran buruk dalam bertutur sapa dengan tetangganya. Rasulullah bersumpah terhadap orang yang berperilaku demikian, tiga kali, dengan sumpahnya, ”Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman…!” Sahabat bertanya, ”Siapa, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Orang yang tetangganya tidak pernah merasa aman dari keburukan perilakunya” *** “Ya Tuhan, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami, niscaya kami termasuk orang-orang yg merugi” (QS.Al A’raf : 23) Oleh : Meylina Hidayanti, Sragen Guru IPS Terpadu SMPIT Az Zahra Sragen /@cwi

selengkapnya...

Hikayat Medan Badar

Tidak ada sama sekali niat awal Rasulullah untuk berperang, maka tak heran hanya 314 kaum Anshar dan Muhajirin yang berangkat menuju Badar, niat hanya sekedar menghadang dan mengambil barang bawaan kau kafir Quraisy musyrikin yang hendak menuju Mekkah ternyata berbuntut peperangan yang secara kuantitas sungguh timpang. Berita keberangkatan Rasulullah dan Sahabat untuk menghadang Kafilah Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan ternyata ditengah jalan diketahui oleh mereka, diutuslah Dhamdham bin Amer al-Ghifari, kurir kaum Quraisy yang bertugas mengabarkan meminta bala bantuan kaum Quraisy Mekkah. Seketika seluruh kaum Quraisy yang sejak awal sudah sangat membenci kaum muslimin bergerak, tidak tanggung tanggung, 1000 lebih kaum Quraisy berangkat menuju medan Badar.Disinilah kebijaksaaan Rasulullah terlihat, meskipun bertitel seorang utusan Allah, Rasulullah tidak semena-mena mengambil keputusan tanpa berdialog dengan kaum muslimin yang lain. Seketika mendengar keberangkatan bala bantuan kaum Quraisy musyrikin Mekkah menuju Badar, Rasulullah meminta pendapat para Sahabat. Kaum Muhajirin yang sejak awal mengikuti Rasulullah hijrah dan sangat percaya kepada Rasulullah seketika sepakat untuk melanjutkan penghadangan. Disisi lain, Disinilah ukhuwah islamiyah Kaum Anshar diuji, apakah kembali menuju Madinah dan menghindari bentrok fisik dengan kaum Quraisy yang berjumalh 3 kali lipat lebih banyak atau terus maju ke medan laga menghadap kaum Quraisy dan menjemput janji Surga Allah swt. “Wahai Rasulullah, sepertinya engkau berbicara kepada kami. Mungkin engkau khawatir bahwa kaum anshar merasa tidak wajib menolongmu kecuali engkau berada diwilayah mereka saja, sesungguhnya aku akan berkata atas nama kaum Anshar dan aku akan menjawab atas nama mereka” Sa’ad Bin Mu’adz membuka pembicaraan, mewakili Anshar. Kemudian Ia melanjutkan. “Teruskanlah wahai Rasulullah apa yang engkau inginkan. Sambunglah hubungan dengan orang yang engkau kehendaki dan putuslah hubungan dengan orang yang engkau kehendaki. Musuhilah siapa yang engkau kehendaki dan berdamailah dengan siapapun yang engkau kehendaki. Ambilah dari harta kami apa yang engaku kehendaki dan berilah kami apa yang engkau kehendaki. Apapun yang engkau ambil dari kami lebih sukai daripada apa yang engkau tinggalkan. Perintahkan apa saja kepada kami, maka urusan kami hanya mengikuti perintahmu. Demi Allah seandainya engkau berjalan hingga sampai ke Barak Ghamdan, niscaya kami akan berjalan bersamamu. Demi Allah seandainya engkau membawa kami ke lautan dan menyelam. Niscaya kami akan menyelam bersamamu”. Pernyataan Saad Bin Muadz itu menjadi pertanda betapa ukhuwah kaum Anshar tidak diragukan lagi, sekaligus menjadi tanda berlanjutnya misi penghadangan tersebut. Kaum Muslimin sudah siap siaga, Panji Perang dipegang Mushab bin Umair, bendera kaum Muhajirin dipegang Ali Bin Abi Tahlib dan bendera kaum anshar dipegang Sa’ad Bin Mu’adz. Perang insidental tersebut pun terjadi dan sejarah mencatatkan kualitas mengalahkan kuantitas. Jumlah kaum muslimin yang hanya sepertiga kaum kafir Quraisy nyatanya tidak menghalangi kemenangan Kaum Muslimin, karena pertolongan Allah bersama kaum Muslimin. Rasulullah pun bersabda “Allahu Akbar, segala puji bagi Allah yang sungguh terbukti janji-Nya, Dia menolong hamba-Nya dan dia telah menghancurkan sendiri tentara-tentara musuh.” Allah pun mengabadikan kemenangan kaum muslimin itu dalam firmannya. “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah supaya kamu mensyukurinya” (QS. Ali Imran 123) Sejarah mencatatkan Kaum Muslimin dengan jumlah 314 orang dapat mengalahkan kaum kafir Quraisy yang berjumlah 1000 orang. Kemenangan ini tidak saja sebagai bukti kualitas kaum Muslimin, kemenangan ini juga sebagai peningkatan Bargaining Position Kaum Muslimin di mata kabilah lain. Kemenangan Badar ini pula yang mempermudah ekspansi dakwah Rasulullah. Semoga kita terus dapat mengambil hikmah dari Kisah perang Badar ini. Oleh : Denny Reza Kamarullah, Bandung /@cwi

selengkapnya...

Punk Muslim, Komunitas Anak Jalanan yang Berideologi Islam

Apa yang terbayang saat anda mendengar kata ‘anak punk’? Mungkin yang terlintas dalam pikiran adalah pengamen, rambut mohawk, narkoba, anarkisme, anti kemapanan dan segala dinamika kehidupan jalanan lainnya. Namun, terlepas dari stigma tersebut, di salah satu sudut Kota Jakarta, terdapat puluhan punkers yang memilih dakwah sebagai orientasi pergerakannya. Punk Muslim, sebuah komunitas punk yang bermarkas di Jalan Swadaya, Pulogadung, Jakarta Timur. Embel-embel kata Muslim di nama komunitas ini bukan tanpa alasan. Ya, sejak berdirinya komunitas ini mereka berkomitmen akan membawa Islam sebagai jalur dalam segala kegiatannya.
Tak mau disebut sebagai anggota, mereka lebih memilih disebut ‘penghuni’ Punk Muslim. Kalau boleh membahas penampilan, mereka tak berbeda dengan punkers lain yang biasa ditemui. Mereka bercelana jeans kumal, gaya bicara yang tidak pernah serius, dan hampir semuanya memakai kaos berwarna hitam bergambar cadas. Baru kemudian ketika berkenalan dan berbincang lebih jauh, karakter mereka yang berbeda dari punkers pada umumnya akan tampak jelas. “Punk Muslim itu seperti komunitas punk lainnya. Kita tetap membawa counter-culture yang sama, yaitu mendobrak kebiasaan lama, anti maintream. Mungkin bedanya di sini adalah kita mengangkat ideologi Islam. Sederhananya seperti itu,” jelas salah satu penghuni Punk Muslim, Lutfi (27) seperti yang dilansir oleh detikRamadan, Sabtu (28/7/2012). Sementara punkers pada umumnya membawa ideologi anarkisme, mereka memilih untuk menjadikan Al Quran dan Hadits sebagai pedoman pergerakannya. Lutfi menegaskan komunitas ini ingin merubah stigma negatif yang menempel pada punk jalanan atau lebih banyak disebut street punk. Ketika banyak pihak yang menilai street punk hanyalah sampah, Punk Muslim memilih untuk merangkul mereka. “Di sisi lain, teman-teman yang lain bilang street punk itu tidak ada, mereka cuma ikut-ikutan, cuma sampah, cuma menjelek-jelekkan punk. Punk muslim merangkul mereka, memberikan penjelasan, bahwa temen-temen punk tidak harus melakukan apa yang dilakukan oleh street punk. Misalkan tidur di jalanan, berdekil-dekil di jalanan. Tidak harus seperti itu. Kita merangkul mereka, bukan menyumpahi mereka,” tuturnya. Walau dengan aliran musik punk, mereka membawakan pesan dakwah dalam lirik-liriknya. Mereka merasa ideologi anarkisme tak cocok bagi mereka yang muslim. “Kalau karya sama, bedanya ya di pesan dan liriknya. Kita semua ini muslim, kalau kita muslim ya Islam lah pedoman kami. Kalau mengangkat anarkisme, tidak nyambung juga. Kan kebanyakan komunitas punk di Indonesia membawa ideologi anarkisme. Karena kita muslim ya kita angkat Islam, akan bertabrakan terus kalau sama anarkisme,” lanjutnya. Komunitas ini awalnya berbentuk band punk yang bernama Band Punk Muslim yang terdiri dari 10 orang personil. Ketika sang vokalis, Budi Choironi atau yang lebih akrab dipanggil teman-temannya dengan nama Buce meninggal dunia, para personil band lainnya memilih untuk melanjutkan perjuangan dakwah mereka. Buce menjadi sosok inspiratif dalam pergerakan komunitas ini. “Buce itu juga ketua persaudaraan anak jalanan se-Indonesia. Setelah almarhum meninggal, ya sudah sekalian kita bikin komunitas. Jadi tidak hanya main band tapi ada pergerakannya juga. Konsep yang ada sudah baik, kenapa gak diterusin. Jadi ada komunitas biar untuk mengajak temen-temen street punk yang ada di jalanan,” cerita pria yang ikut memprakarsai band dan komunitas Punk Muslim. Komunitas Punk Muslim saat ini sudah memiliki 50 orang penghuni. Sekitar 20 orang penghuni pria di antaranya tinggal di markas mereka di Pulo Gadung. Beberapa di antara mereka bergabung karena ada ajakan dari penghuni komunitas, ada juga yang atas keinginannya sendiri untuk datang ke markas. “Ya kita ngajak dan ada juga yang mereka tau ada Punk Muslim terus bergabung. Ngajaknya ya dengan kita kan mainnya di jalanan, pasti ketemu lalu ngobrol-ngobrol. Ayo main-main ke markas, ngopi-ngopi, ngrokok-ngrokok dan ngobrol santai dulu”, kata Lutfi. Lutfi bercerita dalam prosesnya, tak mudah mengajak para penghuni Punk Muslim untuk mengikuti pola kehidupan di dalam markas yang agamis. Karakter anak jalanan yang keras menjadi tantangan yang tak pernah usai, namun tak membuat para punggawa Komunitas Punk ini menyerah. “Ya memang mereka keras, tapi biarlah mengalir kita arahkan ke yang positif. Pasti ada kesulitan, tapi memang harus kita kasih contoh terus, kita usahakan agar mereka ikut pada budaya kita. Kita biasakan mereka dengan budaya yang Punk Muslim bangun di markas. Kalau shalat ya shalat, kalau mereka nggak ikut dulu ya tidak apa-apa, biarin aja, mereka ngliatin dulu,” ujarnya. Kegiatan di markas Punk Muslim di Pulo Gadung, selain berlatih musik adalah mengaji, shalat berjamaah, dan tausiyah. Sementara untuk bulan Ramadan ini, Punk Muslim sedang bersiap untuk menggelar Pesantren Jalanan di daerah Ciputat pada 11-13 Agustus 2012 nanti. Sesuai dengan namanya, pesantren ini diperuntukkan bagi anak-anak jalanan. “Insya Allah, kalau Ramadan begini kita Tarawih, belajar membaca Al Quran, ya kalau bisa. Temen-temen di jalanan, sudah tua juga masih alif ba ta. Dan belajarnya gak bisa cepat seperti anak kecil, Iqra jilid satu bisa berapa hari,” pungkas Lutfi. Rep/Red: Farid Zakaria Sumber: detikRamadhan /@cwi

selengkapnya...

Hukum I’tikaf bagi Wanita

Sebagian manusia menyangka bahwa i’tikaf yang disunnahkan oleh Islam hanya berlaku bagi kaum laki-laki saja, dan tidak berlaku bagi perempuan. Sementara itu, sebagian manusia yang lain menyatakan sebaliknya, bahwa perempuan juga diperbolehkan melakukan i’tikaf seperti halnya laki-laki tanpa dibeda-bedakan. Sebenarnya, bagaimana pandangan Islam mengenai i’tikaf bagi wanita? Dalam hal ini ada dua pendapat: 1. Dimakruhkan Wanita I’tikaf di Masjid Mereka berdalil sebagai berikut,Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan untuk melepas kemah-kemah istrinya ketika mereka hendak beri’tikaf bersama beliau. (HR Ibnu Khuzaimah, no. 2224) Hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anhu yang lainnya, beliau mengatakan, لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِى إِسْرَائِيلَ “Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengetahui apa kondisi wanita saat ini tentu beliau akan melarang mereka (untuk keluar menuju masjid) sebagaimana Allah telah melarang wanita Bani Israil.” (HR. Bukhari: 831 dan Muslim: 445) 2. Disunnahkan Wanita I’tikaf di Masjid Dalil pendapat ini adalah Firman Allah ta’ala, كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ “Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab…” (Ali ‘Imran: 37). dan firman-Nya, فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا “Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka…” (Maryam: 17). Dalam hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anh: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ الله تَعَالَى، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِه Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau (HR Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An Nasa’i, dan Ahmad) Dalam Shahih Al Bukhari (2033) dan Muslim (1173) dari jalur Yahya bin Sa’id bin Amrah, dari Aisyah, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلَمَّا انْصَرَفَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ إِذَا أَخْبِيَةٌ خِبَاءُ عَائِشَةَ وَخِبَاءُ حَفْصَةَ وَخِبَاءُ زَيْنَبَ “Bahwasanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam hendak beri’tikaf. Maka ketika beliau beranjak ke tempat yang hendak dijadikan beri’tikaf, di sana sudah ada beberapa kemah, yaitu kemah Aisyah, kemah Hafshah, dan kemah Zainab.” Pendapat yang Rajih Berdasarkan dalil-dalil yang dipaparkan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa hukum i’tikaf bagi wanita adalah sunnah adalah pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran. Hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah para istri beliau ketika mereka beri’tikaf bukanlah menunjukkan ketidaksukaan beliau apabila para pemudi turut beri’tikaf. Namun, motif beliau memerintahkan hal tersebut adalah kekhawatiran jika para istri beliau saling cemburu dan berebut untuk melayani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, dalam hadits tersebut beliau mengatakan, “Apakah kebaikan yang dikehendaki oleh mereka dengan melakukan tindakan ini?” Akhirnya beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun baru beri’tikaf di bulan Syawal. Sedangkan berdasarkan hadits tentang kemah ‘Aisyah, Hafshah, dan Zainab dalam Shahih Bukhari dan Muslim menunjukkan bahwa i’tikaf di masjid tidak menjamin keamanan seorang wanita, oleh karena itu perlu dibuat kemah sebagai tabir atau hijab bagi para wanita dari pandangan para lelaki. I’tikaf bagi wanita di masjid ini tentunya dengan syarat tidak melalaikannya dari kewajibannya mengurus kewajibannya sebagai isteri dan ibu. Hal ini diukur dengan pemberian izin dari suami untuknya beri’tikaf di masjid. I’tikaf Wanita di Masjid Rumahnya DR Rajab Abu Malih mengatakan, ada perbedaan pandangan tentang hal itu. Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpandangan bahwa seorang perempuan tidak diizinkan beri’tikaf di kamar atau mushalanya sendiri di dalam rumah. Ketiga mazhab itu merujuk pada Al Quran Surat Al Baqarah ayat 187. ” … Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf dalam masjid ….” Maliki, Syafi’i, dan Hambali juga merujuk pada peristiwa ketika Abdullah bin Abbas ditanya tentang seorang perempuan yang bersumpah untuk beri’tikaf di mushala di rumahnya. Abdullah bin Abbas lalu mengatakan, “Itu adalah bid’ah, dan tindakan yang paling dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah melakukan bid’ah. Tidak ada i’tikaf selain di masjid di mana shalat lima waktu dilaksanakan.” Berdasarkan pandangan itu, kamar atau mushala di rumah tidak bisa dianggap sebagai masjid, dan jika i’tikaf dalam kamar atau mushala di rumah dibolehkan, maka para istri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam seharusnya sudah melakukannya, meski cuma sekali. Sebaliknya, para ulama penganut mazhab Hanafi membolehkan kaum perempuan beri’tikaf di ruangan khusus atau mushala di rumahnya. Mereka berpendapat bahwa tempat i’tikaf bagi perempuan adalah tempat yang mereka sukai dan tempat mereka melakukan salat lima waktu sehari-hari, karena tidak seperti laki-laki, lebih baik bagi kaum perempuan untuk salat dirumah dibandingkan di masjid. Berdasarkan pendapat itu, tempat i’tikaf perempuan selayaknya di sebuah ruangan khusus atau mushala di rumahnya sendiri. Abu Hanifah dan Ats Tsauri menyatakan, “Seorang perempun boleh melakukan i’tikaf di rumah. Itu lebih baik bagi mereka, karena salat mereka di rumah lebih baik daripada di masjid.” Disampaikan pula oleh Abu Hanifah bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan i’tikafnya di masjid ketika Beliau melihat tenda-tenda istrinya berada masjid. Rasullah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu berkata, “Apakah kebenaran yang dimaksudkan dengan melakukan hal yang demikian?” (HR Ibnu Khuzaimah) Pendapat yang membolehkan perempuan i’tikaf di drumah juga mengatakan bahwa mushala di rumah adalah tempat terbaik bagi kaum perempuan menunaikan salat, maka tempat mereka i’tikaf adalah seperti masjid bagi kaum lelaki dimana mereka mereka melaksanakan i’tikaf. Demikian perbedaan pendapat mengenai i’tikaf bagi wanita di masjid rumahnya. Dalam hal ini, kami lebih cenderung pada pendapat jumhur, bahwa tidak sah seorang perempuan i’tikaf di masjid dalam rumahnya. Abu Saif Kuncoro Jati Rep/Red: Shabra Syatila Sumber: priyayimuslim /@cwi

selengkapnya...

Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |