Bila Hati Bercahaya

Adakah di antara kita yang merasa mencapai sukses hidup karena telah berhasil meraih segalanya: harta, gelar, pangkat, jabatan, dan kedudukan yang telah menggenggam seluruh isi dunia ini? Marilah kita kaji ulang, seberapa besar sebenarnya nilai dari apa apa yang telah kita raih selama ini.

Di sebuah harian pernah diberitakan tentang penemuan baru berupa teropong yang diberi nama telescope Hubble. Dengan teropong ini, berhasil ditemukan sebanyak lima milyar gugusan galaksi. Padahal yang telah kita ketahui selama ini adalah suatu gugusan bernama galaksi bimasakti, yang di dalamnya terdapat planet-planet yang membuat takjub siapa pun yang mencoba bersungguh-sungguh mempelajarinya. Matahari saja merupakan salah satu planet yang sangat kecil, yang berada dalam gugusan galaksi di dalam tata surya kita. Nah, apalagi planet bumi ini sendiri yang besarnya hanya satu noktah. Sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan lima milyar gugusan galaksi tersebut. Sungguh alangkah dahsyatnya.


Sayangnya, seringkali orang yang merasa telah berhasil meraih segala apa pun yang dirindukannya di bumi ini—dan dengan demikian merasa telah sukses—suka tergelincir hanya mempergauli dunianya saja. Akibatnya, keberadaannya membuat ia bangga dan pongah, tetapi ketiadaannya serta merta membuat lahir batinnya sengsara dan tersiksa. Manakala berhasil mencapai apa yang diinginkannya, ia merasa semua itu hasil usaha dan kerja kerasnya semata. Sedangkan ketika gagal mendapatkannya, ia pun serta merta merasa diri sial. Bahkan tidak jarang kesialannya itu ditimpakan atau dicarikan kambing hitamnya pada orang lain.

Orang semacam ini tentu telah lupa bahwa apa pun yang diinginkannya dan diusahakan oleh manusia sangat tergantung pada izin Allah Azza wa Jalla. Mati-matian ia berjuang mengejar apa-apa yang dinginkannya, pasti tak akan dapat dicapai tanpa izin-Nya. Laa haula walaa quwwata illaabillaah! Begitulah kalau orang hanya bergaul dengan dunia yang ternyata tidak ada apa-apanya ini.

Padahal, seharusnya kita bergaul hanya dengan Allah Azza wa Jalla, Zat yang Maha Menguasai jagat raya, sehingga hati kita tidak akan pernah galau oleh dunia yang kecil mungil ini. Laa khaufun alaihim walaa hum yahjanuun! Sama sekali tidak ada kecemasan dalam menghadapi urusan apa pun di dunia ini. Semuanya tidak lain karena hati selalu sibuk dengan Dia, Zat Pemilik Alam Semesta yang begitu hebat dan dahsyat.

Sikap inilah sesungguhnya yang harus senantiasa kita latih dalam mempergauli kehidupan di dunia ini. Tubuh lekat dengan dunia, tetapi jangan biarkan hati turut lekat dengannya. Ada dan tiadanya segala perkara dunia ini di sisi kita jangan sekali-kali membuat hati goyah karena toh sama pahalanya di sisi Allah. Sekali hati ini lekat dengan dunia, maka adanya akan membuat bangga, sedangkan tiadanya akan membuat kita terluka. Ini berarti kita akan sengsara karenanya, karena ada dan tiada itu akan terus menerus terjadi.

Betapa tidak! Tabiat dunia itu senantisa dipergilirkan. Datang, tertahan, diambil. Mudah, susah. Sehat, sakit. Dipuji, dicaci. Dihormati, direndahkan. Semuanya terjadi silih berganti. Nah, kalau hati kita hanya akrab dengan kejadian-kejadian seperti itu tanpa akrab dengan Zat pemilik kejadiannya, maka letihlah hidup kita.

Lain halnya kalau hati kita selalu bersama Allah. Perubahan apa saja dalam episode kehidupan dunia tidak akan ada satu pun yang merugikan kita. Artinya, memang kita harus terus menerus meningkatkan mutu pengenalan kita kepada Allah Azza wa Jalla.

Di antara yang penting utnuk diperhatikan sekiranya ingin dicintai Allah adalah kita harus zuhud terhadap dunia ini. Rasulullah saw pernah bersabda, "Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia, niscaya Allah mencintainya, dan barangsiapa yang zuhud terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia mencintainya."

Zuhud terhadap dunia bukan berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat duniawi, melainkan kita lebih yakin dengan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita. Bagi orang-orang yang zuhud terhadap dunia, sebanyak apa pun yang dimiliki sama sekali tidak akan membuat hati merasa tenteram karena ketenteraman itu hanyalah apa-apa yang ada di sisi Allah.

Rasulullah SAW bersabda, "Melakukan zuhud dalam kehidupan di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia itu ialah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada apa yang ada pada Allah." (HR Ahmad, Mauqufan)

Andaikata kita merasa lebih tenteram dengan sejumlah tabungan di bank, maka berarti kita belum zuhud. Seberapa besar pun uang tabungan kita, seharusnya kita lebih merasa tenteram dengan jaminan Allah. Ini dikarenakan apa pun yang kita miliki belum tentu menjadi rezeki kalau tidak ada izin Allah.

Sekiranya kita memiliki orangtua atau sahabat yang memiliki kedudukan tertentu, hendaknya kita tidak sampai merasa tenteram dengan jaminan mereka atau siapa pun. Karena, semua itu tidak akan datang kepada kita, kecuali dengan izin Allah.

Orang yang zuhud terhadap dunia melihat apa pun yang dimilikinya tidak menjadi jaminan. Ia lebih suka dengan jaminan Allah karena walaupun tidak tampak dan tidak tertulis, tetapi Dia Maha Tahu akan segala kebutuhan kita. Jangan ukur kemuliaan seseorang dengan adanya dunia digenggamannya. Sebaliknya jangan pula meremehkan seseorang karena ia tidak memiliki apa-apa. Kalau kita tidak menghormati seseorang karena ia tidak memiliki apa-apa. Kalau kita menghormati seseorang karena kedudukan dan kekayaannya. Kalau meremehkan seseorang karena ia papa dan jelata, maka ini berarti kita sudah mulai cinta dunia. Akibatnya akan susah hati ini bercahaya di sisi Allah.

Mengapa demikian? Karena, hati kita akan dihinggapi sifat sombong dan takabur dengan selalu mudah membeda-bedakan teman atau seseorang yang datang kepada kita. Padahal siapa tahu Allah mendatangkan seseorang yang sederhana itu sebagai isyarat bahwa Dia akan menurunkan pertolongan-Nya kepada kita.

Hendaknya dari sekarang mulai diubah sistem kalkulasi kita atas keuntungan-keuntungan. Ketika hendak membeli suatu barang dan kita tahu harga barang tersebut di supermarket lebih murah ketimbang membelinya pada seorang ibu tua yang berjualan dengan bakul sederhananya, sehingga kita merasa perlu untuk menawarnya dengan harga serendah mungkin, maka mulailah merasa beruntung jika kita menguntungkan ibu tua berimbang kita mendapatkan untung darinya. Artinya, pilihan membeli tentu akan lebih baik jatuh padanya dan dengan harga yang ditawarkannya daripada membelinya ke supermarket. Walhasil, keuntungan bagi kita justru ketika kita bisa memberikan sesuatu kepada orang lain.

Lain halnya dengan keuntungan diuniawi. Keuntungan semacam ini baru terasa ketika mendapatkan sesuatu dari orang lain. Sedangkan arti keuntungan bagi kita adalah ketika bisa memberi lebih daripada yang diberikan oleh orang lain. Jelas, akan sangat lain nilai kepuasan batinnya juga.

Bagi orang-orang yang cinta dunia, tampak sekali bahwa keuntungan bagi dirinya adalah ketika ia dihormati, disegani, dipuji, dan dimuliakan. Akan tetapi, bagi orang-orang yang sangat merindukan kedudukan di sisi Allah, justru kelezatan menikmati keuntungan itu ketika berhasil dengan ikhlas menghargai, memuliakan, dan menolong orang lain. Cukup ini saja! Perkara berterima kasih atau tidak, itu samasekali bukan urusan kita. Dapatnya kita menghargai, memuliakan, dan menolong orang lain pun sudah merupakan keberuntungan yang sangat luar biasa.

Sungguh sangat lain bagi ahli dunia, yang segalanya serba kalkulasi, balas membalas, serta ada imbalan atau tidak ada imbalan. Karenanya, tidak usah heran kalau para ahli dunia itu akan banyak letih karena hari-harinya selalu penuh dengan tuntutan dan penghargaan, pujian, dan lain sebagainya, dari orang lain. Terkadang untuk mendapatkan semua itu ia merekayasa perkataan, penampilan, dan banyak hal demi untuk meraih penghargaan.

Bagi ahli zuhud tidaklah demikian. Yang penting kita buat tatanan kehidupan ini seproporsional mungkin, dengan menghargai, memuliakan, dan membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Inilah keuntungan-keuntungan bagi ahli-ahli zuhud. Lebih merasa aman dan menyukai apa-apa yang terbaik di sisi Allah daripada apa yang didapatkan dari selain Dia.

Walhasil, siapa pun yang merindukan hatinya bercahaya karena senantiasa dicahayai oleh nuur dari sisi Allah, hendaknya ia berjuang sekuat-kuatnya untuk mengubah diri, mengubah sikap hidup, menjadi orang yang tidak cinta dunia, sehingga jadilah ia ahli zuhud.

"Adakalanya nuur Illahi itu turun kepadamu," tulis Syaikh Ibnu Atho’illah dalam kitabnya, Al Hikam, "tetapi ternyata hatimu penuh dengan keduniaan, sehingga kembalilah nuur itu ke tempatnya semula. Oleh sebab itu, kosongkanlah hatimu dari segala sesuatu selain Allah, niscaya Allah akan memenuhinya dengan ma’rifat dan rahasia-rahasia."

Subhanallaah, sungguh akan merasakan hakikat kelezatan hidup di dunia ini, yang sangat luar biasa, siapa pun yang hatinya telah dipenuhi dengan cahaya dari sisi Allah Azza wa Jalla. "Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing (seorang hamba) kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki ..." (QS An-Nuur [24]: 35)



/@cwi

selengkapnya...

Budaya Bersahaja


Kecenderungan manusia berperilaku boros terhadap harta memang sudah ada di dalam dirinya. Ditambah lagi perilaku boros adalah salah satu tipu daya setan terkutuk yang membuat harta yang dimiliki tidak efektif mengangkat derajat kita. Harta justru efektif menjerumuskan, membelenggu, dan menjebak kita dalam kubangan tipu daya harta karena salah dalam menyikapinya.

Hal ini dapat diperhatikan dalam hidup keseharian. Orang yang punya harta, kecenderungan untuk menjadi pecinta harta cenderung lebih besar. Makin bagus, makin mahal, makin senang, maka makin cintalah ia kepada harta yang dimilikinya. Lebih dari itu, maka ingin pulalah ia untuk memamerkannya. Terkadang apa saja ingin dipamer-pamerkan. Ada yang pamer kendaraan, pamer rumah, pamer mebel, pamer pakaian, dan lain-lain. Sifat ini muncul karena salah satunya kita ingin tampil lebih wah, lebih bermerek, atau lebih keren dari orang lain. Padahal, makin bermerek barang yang dimiliki justru akan menyiksa diri.


Suatu pengalaman ketika seseorang memberi sebuah ballpoint. Dari tampangnya ballpoint ini saya pikir sangat bagus, mengkilat, dan ketika dipakai untuk menulis pun enak. Tapi tiba-tiba ballpoint ini menjadi barang yang menyengsarakan ketika ada yang memberi tahu bahwa ballpointballpoint. Mulanya tidak mengerti sama sekali. Tadinya saya kira harganya paling cuma ribuan rupiah saja. Nah, gara-gara tahu itu ballpoint mahal, sikap pun jadi berubah. Tiba-tiba jadi takut hilang, ketika dibawa takut jatuh, ketika dipinjam takut cepat habis tintanya karena tintanya pun mahal, mau disimpan takut jadi mubazir, mau dikasihkan ke orang lain sayang, ditambah lagi saat dipakai pun malu, mungkin nanti ada yang komentar "Wah, Aa ballpoint-nya mahal!". Begitulah, nasib punya barang bermerek, tersiksa! yang mereknya "MP" itu adalah sebuah merek terkenal untuk ukuran sebuah benda bernama

Sebaliknya, kalau kita terbiasa dengan barang yang biasa-biasa, dapat dipastikan hidup pun akan lebih ringan. Karenanya, hati-hatilah saudaraku. Kita harus benar-benar mengendalikan penuh beragam keinginan jika ingin membeli suatu barang. Ingat, yang paling penting adalah bertanya pada diri apa yang paling bermamfaat dari barang yang kita beli tersebut. Buat pula skala prioritas, misalnya, haruskah membeli sepatu seharga 1 juta rupiah padahal keperluan kita hanya sebentuk sepatu olahraga. Apalagi dihadapan tersedia aneka pilihan harga, mulai dari yang 700 ribu, 400 ribu, 200 ribu, sampai yang 50 ribu rupiah. Mereknya pun beragam, tinggal dipilih mana kira-kira yang paling sesuai. Nah, kalau kita ada dalam posisi seperti ini, maka carilah sepatu yang paling tidak membuat kita sombong ketika memakainya, yang paling tidak menyikasa diri dalam merawatnya, dan yang paling bisa bermanfaat sesuai tujuan utama dari pembelian sepatu tersebut. Hati-hatilah, sebab yang biasa kita beli adalah mereknya, bukan awetnya, karena kalau terlalu awet pun akan bosan pula memakainya. Jangan pula tergesa-gesa, dan ketahuilah bahwa pemboros-pemboros itu adalah saudaranya setan.

Dalam hal ini Allah SWT berfirman, "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu saudaranya setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhan-Nya." (QS. Al-Israa [17]: 26-27). Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula mereka kikir. Dan adalah pembelanjaan itu ditengah-tengah yang demikian itu." (QS. Al-Furqan [25]: 67).

Jelaslah kiranya bahwa sikap boros lebih dekat kepada perilaku setan, naudzubillaah. Karenanya, budaya bersahaja adalah salah satu budaya yang harus kita tanamkan kuat-kuat dalam diri. Memilih hidup dengan budaya bersahaja bukan berarti tidak boleh membeli barang-barang yang bagus, mahal, dan bermerek. Silahkan saja! Tapi ternyata kalau kita berlaku boros, sama sekali tidak akan menjadi amal kebaikan. Tidak setiap keinginan harus dipenuhi. Karena jika kita ingin membeli sesuatu karena ingin dan senang, ketahuilah bahwa keinginan itu cepat berubah. Kalau kita membeli sesuatu karena suka, maka ketika melihat yang lebih bagus, akan hilanglah selera kita pada barang yang awalnya lebih bagus tadi. Belilah sesuatu hanya karena perlu dan mampu saja. Sekali lagi, hanya karena perlu! Perlukah saya beli barang ini? Matikah saya kalau tidak ada barang ini? Kalau tidak ada barang ini saya hancur tidak? Itulah yang harus selalu kita tanyakan ketika akan membeli suatu barang. Kalau saja kita masih bisa bertahan dengan barang lain yang lebih bersahaja, maka lebih bijak jika kita tidak melakukan pembelian.

Misalnya, ketika tersirat ingin membeli motor baru, tanyakan apakah perlu membeli motor baru? Sudah wajibkah kita membelinya? Nah, ketika alasan pertanyaan tadi sudah logis dan dapat diterima akal sehat, maka kalau pun jadi membeli pilihlah yang skalanya paling irit, paling hemat, dan paling mudah perawatannya. Jangan berpikir dulu tentang keren atau mereknya. Cobalah renungkan, mending keren tapi menderita atau irit tapi lancar? Tahanlah keinginan untuk berlaku boros dengan sekuat tenaga, yakinlah makin kita bisa mengendalikan keinginan kita, Insya Allah kita akan makin terpelihara dari sikap boros. Sebaliknya, jika tidak dapat dikendalikan, maka pastilah kita akan disiksa oleh barang-barang kita sendiri. Kita akan disiksa oleh kendaraan dan disiksa oleh harta yang dimiliki. Rugi, sangat rugi orang yang memperturutkan hidupnya karena sesuatu yang dianggap keren atau bermerek. Apalagi, keren menurut kita belum tentu keren menurut orang lain, bahkan sebaliknya bisa jadi malah dicurigai. Karena ada pula orang yang ketika memakai sesuatu yang bermerek, justru disangka barang temuan.

Seperti kisah santri di sebuah pesantren. Saat ada santri yang memakai sepatu yang sangat bagus dengan merek terkenal, justru disangka sepatu jamaah yang ketika berkunjung ke pesantren tersebut tertinggal di masjid. Lain waktu, ada juga yang memakai arloji sangat bagus dengan merek terkenal buatan dari negeri Swiss, tapi orang lain justru malah berprasangka kalau arloji itu barang temuan dari tempat wudhu. Begitulah, bagi orang yang maqam-nya murah meriah, ketika memakai barang mahal justru malah dicurigai.

Karenanya, biasakanlah untuk senantiasa bersahaja dalam setiap yang kita lakukan. Dan mudah-mudahan Allah mengkaruniakan kepada kita kemampuan untuk menjadi orang yang terpelihara dari perbuatan sia-sia dan pemborosan.



/@cwi

selengkapnya...

Barangsiapa Mencaci Waktu (Masa) maka Dia Telah Menyakiti Allah

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Allah Subhanahu wata’ala berfirman : “Anak adam (manusia) menyakiti Aku, mereka mencaci masa, padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Akulah yang menjadikan malam dan siang silih berganti”. Dan dalam riwayat yang lain dikatakan : “janganlah kalian mencaci masa, karena Allah Subhanahu wata’ala adalah Pemilik dan Pengatur masa.” (Hadits al Bukhary).

Firman Allah Subhanahu wata’ala :

]وقالوا ما هي إلا حياتنا الدنيا نموت ونحيا وما يهلكنا إلا الدهر وما لهم بذلك من علم إن هم إلا يظنون[

“Dan berkata mereka : ‘Kehidupan ini tak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiah, 24).

Diriwayatkan dalam shoheh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“قال الله تعالى : يؤذيني ابن آدم، يسب الدهر، وأنا الدهر أقلب الليل والنهار” وفي رواية : “لا تسبوا الدهر فإن الله هو الدهر”.

“Allah Subhanahu wata’ala berfirman : “Anak adam (manusia) menyakiti Aku, mereka mencaci masa, padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Akulah yang menjadikan malam dan siang silih berganti”. Dan dalam riwayat yang lain dikatakan : “janganlah kalian mencaci masa, karena Allah Subhanahu wata’ala adalah Pemilik dan Pengatur masa.” (Hadits al Bukhary)(1).


Kandungan bab ini :

-Larangan mencaci masa.

-Mencaci masa berarti menyakiti Allah.

-Perlu renungan akan sabda Nabi Shallallahu’alaihi wasallam : “Karena Allah sesungguhnya adalah Pemilik dan Pengatur masa” (2).

-Mencaci mungkin saja dilakukan seseorang, meskipun ia tidak bermaksud demikian dalam hatinya.

(1)Orang-orang Jahiliyah, kalau mereka tertimpa suatu musibah, bencana atau malapetaka, mereka mencaci masa. Maka Allah melarang hal tersebut, karena yang menciptakan dan mengatur masa adalah Allah Yang Maha Esa. Sedangkan menghina pekerjaan seseorang berarti menghina orang yang melakukannya. Dengan demikian, mencaci masa berarti mencela dan menyakiti Allah sebagai Pencipta dan Pengatur masa.

(2)Sabda beliau itu menunjukkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah dengan takdir Allah, karena itu wajib bagi seorang muslim untuk beriman dengan qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit.

Dikutip dari: file chm kitab tauhid penulis Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi, Judul Asli : Kitabut-Tauhid, Bab 45: Mencela masa berarti menyakiti Allah.

Entri ini dituliskan pada 28/05/2009 pada 3:29 am dan disimpan dalam Fatawa Ulama, Tauhid dan Kesyirikan. Bertanda: macam macam marah amarah, mencaci karena iri hati, type orang pemarah banyak mencaci. Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Anda bisa tinggalkan tanggapan, atau lacak tautan dari situsmu sendiri.

/@cwi

selengkapnya...

Ada Tujuh Keajaiban Dunia Yang Lebih Ajaib lagi

Menara Pisa, Tembok Cina, Candi Borobudur, Taaj Mahal, Ka’bah, Menara Eiffel, dan Piramida di mesir, inilah semua keajaiban dunia yang kita kenal. Namun sebenarnya semua itu belum terlalu ajaib, karena di sana masih ada tujuh keajaiban dunia yang lebih ajaib lagi. Mungkin para pembaca bertanya-tanya, keajaiban apakah itu?

Memang tujuh keajaiban lain yang kami akan sajikan di hadapan pembaca sekalian belum pernah ditayangkan di TV, tidak pernah disiarkan di radio-radio dan belum pernah dimuat di media cetak. Tujuh keajaiban dunia itu adalah:

1. Hewan Berbicara di Akhir Zaman

Maha suci Allah yang telah membuat segala sesuatunya berbicara sesuai dengan yang Ia kehendaki. Termasuk dari tanda-tanda kekuasaanya adalah ketika terjadi hari kiamat akan muncul hewan melata yang akan berbicara kepada manusia sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an, surah An-Naml ayat 82,

“Dan apabila perkataan Telah jatuh atas mereka, kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa Sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami“.

Mufassir Negeri Syam, Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy berkomentar tentang ayat di atas, “Hewan ini akan keluar diakhir zaman ketika rusaknya manusia, dan mulai meninggalkan perintah-perintah Allah, dan ketika mereka telah mengganti agama Allah. Maka Allah mengeluarkan ke hadapan mereka hewan bumi. Konon kabarnya, dari Makkah, atau yang lainnya sebagaimana akan datang perinciannya. Hewan ini akan berbicara dengan manusia tentang hal itu”.[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/498)]


Hewan aneh yang berbicara ini akan keluar di akhir zaman sebagai tanda akan datangnya kiamat dalam waktu yang dekat. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

“Sesungguhnya tak akan tegak hari kiamat, sehingga kalian akan melihat sebelumnya 10 tanda-tanda kiamat: Gempa di Timur, gempa di barat, gempa di Jazirah Arab, Asap, Dajjal, hewan bumi, Ya’juj & Ma’juj, terbitnya matahari dari arah barat, dan api yang keluar dari jurang Aden, akan menggiring manusia“. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2901), Abu Dawud dalam Sunan-nya (4311), At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2183), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (4041)]

2. Pohon Kurma yang Menangis

Adanya pohon kurma yang menangis ini terjadi di zaman Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , mengapa sampai pohon ini menangis? Kisahnya, Jabir bin Abdillah-radhiyallahu ‘anhu- bertutur,

“Jabir bin Abdillah -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Adalah dahulu Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berdiri (berkhutbah) di atas sebatang kurma, maka tatkala diletakkan mimbar baginya, kami mendengar sebuah suara seperti suara unta dari pohon kurma tersebut hingga Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- turun kemudian beliau meletakkan tangannya di atas batang pohon kurma tersebut” .[HR.Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (876)]

Ibnu Umar-radhiyallahu ‘anhu- berkata,

“Dulu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkhuthbah pada batang kurma. Tatkala beliau telah membuat mimbar, maka beliau berpindah ke mimbar itu. Batang korma itu pun merintih. Maka Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya sambil mengeluskan tangannya pada batang korma itu (untuk menenangkannya)“. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3390), dan At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (505)]

3. Untaian Salam Batu Aneh

Mungkin kalau seekor burung yang pandai mengucapkan salam adalah perkara yang sering kita jumpai. Tapi bagaimana jika sebuah batu yang mengucapkan salam. Sebagai seorang hamba Allah yang mengimani Rasul-Nya, tentunya dia akan membenarkan seluruh apa yang disampaikan oleh Rasul-Nya, seperti pemberitahuan beliau kepada para sahabatnya bahwa ada sebuah batu di Mekah yang pernah mengucapkan salam kepada beliau sebagaimana dalam sabdanya,

Dari Jabir bin Samurah dia berkata, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu di Mekah yang mengucapkan salam kepadaku sebelum aku diutus, sesungguhnya aku mengetahuinya sekarang“.[HR.Muslim dalam Shohih-nya (1782)].

4. Pengaduan Seekor Onta

Manusia adalah makhluk yang memiliki perasaan. Dari perasaan itu timbullah rasa cinta dan kasih sayang di antara mereka. Akan tetapi ketahuilah, bukan hanya manusia saja yang memiliki perasaan, bahkan hewan pun memilikinya. Oleh karena itu sangat disesalkan jika ada manusia yang tidak memiliki perasaan yang membuat dirinya lebih rendah daripada hewan. Pernah ada seekor unta yang mengadu kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mengungkapkan perasaannya.

Abdullah bin Ja’far-radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Pada suatu hari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah memboncengku dibelakangnya, kemudian beliau membisikkan tentang sesuatu yang tidak akan kuceritakan kepada seseorang di antara manusia. Sesuatu yang paling beliau senangi untuk dijadikan pelindung untuk buang hajatnya adalah gundukan tanah atau kumpulan batang kurma. lalu beliau masuk kedalam kebun laki-laki Anshar. Tiba tiba ada seekor onta. Tatkala Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihatnya, maka onta itu merintih dan bercucuran air matanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya seraya mengusap dari perutnya sampai ke punuknya dan tulang telinganya, maka tenanglah onta itu. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah pemilik onta ini, Onta ini milik siapa?” Lalu datanglah seorang pemuda Anshar seraya berkata, “Onta itu milikku, wahai Rasulullah”.

Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam binatang ini, yang telah dijadikan sebagai milikmu oleh Allah, karena ia (binatang ini) telah mengadu kepadaku bahwa engkau telah membuatnya letih dan lapar”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (1/400), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/99-100), Ahmad dalam Al-Musnad (1/204-205), Abu Ya’la dalam Al-Musnad (3/8/1), Al-Baihaqiy dalam Ad-Dala’il (6/26), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqa (9/28/1). Lihat Ash-Shahihah (20)]

5. Kesaksian Kambing Panggang

Kalau binatang yang masih hidup bisa berbicara adalah perkara yang ajaib, maka tentunya lebih ajaib lagi kalau ada seekor kambing panggang yang berbicara. Ini memang aneh, akan tetapi nyata. Kisah kambing panggang yang berbicara ini terdapat dalam hadits berikut:

Abu Hurairah-radhiyallahu ‘anhu- berkata,

“Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menerima hadiah, dan tak mau makan shodaqoh. Maka ada seorang wanita Yahudi di Khoibar yang menghadiahkan kepada beliau kambing panggang yang telah diberi racun. Lalu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun memakan sebagian kambing itu, dan kaum (sahabat) juga makan. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Angkatlah tangan kalian, karena kambing panggang ini mengabarkan kepadaku bahwa dia beracun“. Lalu meninggallah Bisyr bin Al-Baro’ bin MA’rur Al-Anshoriy. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengirim (utusan membawa surat), “Apa yang mendorongmu untuk melakukan hal itu?” Wanita itu menjawab, “Jika engkau adalah seorang nabi, maka apa yang aku telah lakukan tak akan membahayakan dirimu. Jika engkau adalah seorang raja, maka aku telah melepaskan manusia darimu”. Kemudian Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan untuk membunuh wanita itu, maka ia pun dibunuh. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda ketika beliau sakit yang menyebabkan kematian beliau,”Senantiasa aku merasakan sakit akibat makanan yang telah aku makan ketika di Khoibar. Inilah saatnya urat nadi leherku terputus“. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (4512). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shohih Sunan Abi Dawud (hal.813), dengan tahqiq Masyhur Hasan Salman]

6. Batu yang Berbicara

Setelah kita mengetahu adanya batu yang mengucapkan salam, maka keajaiban selanjutnya adalah adanya batu yang berbicara di akhir zaman. Jika kita pikirkan, maka terasa aneh, tapi demikianlah seorang muslim harus mengimani seluruh berita yang disampaikan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, baik yang masuk akal, atau tidak. Karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah pernah berbicara sesuai hawa nafsunya, bahkan beliau berbicara sesuai tuntunan wahyu dari Allah Yang Mengetahui segala perkara ghaib.

Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

“Kalian akan memerangi orang-orang Yahudi sehingga seorang diantara mereka bersembunyi di balik batu. Maka batu itu berkata, “Wahai hamba Allah, Inilah si Yahudi di belakangku, maka bunuhlah ia“. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (2767), dan Muslim dalam Shohih-nya (2922)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- berkata, “Dalam hadits ini terdapat tanda-tanda dekatnya hari kiamat, berupa berbicaranya benda-benda mati, pohon, dan batu. Lahiriahnya hadits ini (menunjukkan) bahwa benda-benda itu berbicara secara hakikat”.[Lihat Fathul Bari (6/610)]

7. Semut Memberi Komando

Mungkin kita pernah mendengar cerita fiktif tentang hewan-hewan yang berbicara dengan hewan yang lain. Semua itu hanyalah cerita fiktif belaka alias omong kosong. Tapi ketahuilah wahai para pembaca, sesungguhnya adanya hewan yang berbicara kepada hewan yang lain, bahkan memberi komando, layaknya seorang komandan pasukan yang memberikan perintah. Hewan yang memberi komando tersebut adalah semut. Kisah ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qur’an,

“Dan Sulaiman Telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai manusia, kami Telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) Ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”.Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan). Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.Maka dia (Sulaiman) tersenyum dengan tertawa Karena (mendengar) perkataan semut itu. dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah Aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah Aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh“. (QS.An-Naml: 16-19).

Inilah beberapa perkara yang lebih layak dijadikan “Tujuh Keajaiban Dunia” yang menghebohkan, dan mencengangkan seluruh manusia. Orang-orang beriman telah lama meyakini dan mengimani perkara-perkara ini sejak zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampai sekarang. Namun memang kebanyakan manusia tidak mengetahui perkara-perkara itu. Oleh karena itu, kami mengangkat hal itu untuk mengingatkan kembali, dan menanamkan aqidah yang kokoh di hati kaum muslimin

Sumber : http://www.almakassari.com dari Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 46 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp). Judul: Tujuh Keajaiban dunia

/@cwi

selengkapnya...

Potret Ummat di Akhir Zaman

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُُرُ الْهَرْجُ

“Zaman akan saling mendekat, diangkatnya ilmu, munculnya berbagai fitnah, diletakkan kerakusan, dan banyaknya peperangan”. (HR. Al-Bukhoriy no.989 dan Muslim no.157)

Di akhir zaman, seperti zaman kita ini, sebelum datangnya hari kiamat akan ada hari-hari yang di dalamnya turun dan tersebar kejahilan yang disebabkan oleh malasnya manusia dan enggannya mereka dari menuntut ilmu agama, yaitu ilmu tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Nabi-shollallahu alaihi wasallam- bersabda,

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لَأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيْهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ الْعِلْمُ

“Sesungguhnya di depan hari kiamat ada hari-hari yang kejahilan diturunkan di dalamnya, dan ilmu diangkat”. [HR. Al-Bukhoriy (6654)]

Banyak diantara agama, dan sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang dilalaikan orang pada hari ini sehingga terkadang menjadi sesuatu yang mahjur (ditinggalkan).

Inilah yang pernah diisyaratkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika beliau bersabda dalam sebuah hadits,

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali (asing), sebagaimana ia muncul dalam keadaan asing. Maka beruntunglah orang-orang asing“. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Iman (232)]


Semua ini disebabkan karena kurangnya perhatian kaum muslimin terhadap agamanya dan sunnah Rasul-Nya-shollallahu alaihi wasallam-. Kurangnya perhatian mereka menuntut ilmu syar’i karena kesibukan duniawi yang memalingkan mereka. Sementara mereka tak ada perhatian lagi dengan majelis ilmu dan majelis ta’lim. Akibatnya, agama dan Sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- terasa asing dan aneh di sisi mereka.

Memang mereka terkadang mendatangi majelis ta’lim. Namun jika mereka hadir, nampak pada wajah mereka lelah dan keterpaksaan ikut majelis ta’lim. Yah, hanya sekedar hadir agar orang tidak mencelanya. Maka anda akan lihat orang semacam ini jika hadir di majelis ta’lim, ada yang ngantuk , bahkan tidur. Ada yang bersandar di tembok, jauh dari ustadz. Ada yang sengaja duduk di belakang untuk sembunyi; jika ngantuk dan tertidur, ia bisa sembunyikan wajahnya di balik punggung kawannya. Ada yang cerita dengan temannya sehingga mengganggu ceramah ustadz. Ada yang melayang pikirannya sampai Amerika. Inilah kondisi mereka sehingga tak heran jika mereka tetap jahil terhadap agamanya.

Jika mendengar cerita yang menguntungkan dunianya, maka matanya terbelalak. Betul dunia adalah nikmat yang Allah berikan. Namun jangan dijadikan tujuan hidup dan pusat perhatian. Dunia diambil sekedar bekal menuju Allah Ta’ala. Allah tidak memberikan nikmat kepada seorang hamba-Nya, kecuali nikmat itu hanya sekedar alat dan sarana yang dipakai untuk beribadah dan beramal sholeh. Dunia dengan segala nikmatnya bukanlah merupakan tujuan dan terminal terakhir bagi seorang muslim. Akan tetapi merupakan tempat persinggahan mengambil bekal menuju perjalanan akhir, yaitu akhirat.

Fenomena berlombanya kaum muslimin memperbanyak harta benda dan fasilitas duniawi sehingga membuat mereka lupa terhadap agamanya merupakan sebab tersebarnya kejahilan. Jika semakin hari, semakin tersebar kejahilan, maka ketahuilah bahwa ini adalah salah satu diantara ciri dan tanda dekatnya hari kiamat.

Nabi-shollallahu alaihi wasallam- bersabda,

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ : أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَ يُثْبَتَ الْجَهْلُ

“Diantara tanda-tanda kiamat: Diangkatnya ilmu, dan kokohnya (banyaknya) kejahilan”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (80), dan Muslim dalam Shohih-nya (2671)]

Di akhir zaman, seperti zaman kita ini, sebelum datangnya hari kiamat akan ada hari-hari yang di dalamnya turun dan tersebar kejahilan yang disebabkan oleh malasnya manusia dan enggannya mereka dari menuntut ilmu agama, yaitu ilmu tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Nabi-shollallahu alaihi wasallam- bersabda,

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لَأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيْهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ الْعِلْمُ

“Sesungguhnya di depan hari kiamat ada hari-hari yang kejahilan diturunkan di dalamnya, dan ilmu diangkat”. [HR. Al-Bukhoriy (6654)]

Di tengah kabut kejahilan menyelimuti manusia, tersebarlah berbagai macam maksiat berupa pembunuhan, pencurian, perzinaan, dan kerakusan terhadap harta. Ini semua diakibatkan oleh hilangnya ilmu agama yang bermanfaat di tengah manusia. Nabi-shollallahu alaihi wasallam- bersabda dalam riwayat lain ketika menyebutkan tanda dekatnya hari kiamat,

يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُُرُ الْهَرْجُ

“Zaman akan saling mendekat, diangkatnya ilmu, munculnya berbagai fitnah (masalah), diletakkan kerakusan, dan banyaknya peperangan”. [HR. Al-Bukhoriy (989) dan Muslim (157)]

Al-Imam Ibnu Baththol –rahimahullah- berkata , “Semua yang dikandung oleh hadits ini berupa tanda-tanda kiamat sungguh kami telah melihatnya dengan mata kepala. Ilmu sungguh telah diangkat, kejahilan muncul, diletak kannya penyakit rakus dalam hati, fitnah (musibah) merata, dan pembunuhan banyak”. [Lihat Fath Al-Bari (13/16)]

Ini di zamannya Ibnu Baththol rahimahullah-, maka bagaimana lagi di zaman kita ini kejahilan merata dimana-mana, baik di kota maupun di pedalaman. Kejahilan di negeri kita bukan hanya mengenai rakyat jelata yang tak berpendidikan agama, bahkan juga mengenai kaum terpelajar. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi-shollallahu alaihi wasallam-,

إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اِتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُسًا جُهَّالًا فُسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا

“Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan sekali mencabutnya dari manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’ sehingga apabila Allah tidak menyisakan lagi seorang ulama’pun, maka manusiapun mengangkat pemimpin-pemimpin yang jahil. Mereka (para pemimpin tsb) ditanyai, lalu merekapun memberikan fatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (manusia)” .[HR.Al-Bukhory dalam Kitab Al-Ilm (100), dan Muslim dalam Kitab Al-Ilm (2673)]

Al-Imam Abu Zakariya An-Nawawiy-rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadits di atas, “Hadits ini menjelaskan maksud tercabutnya ilmu dalam hadits-hadits lalu yang muthlak (umum), bukan menghapusnya dari dada para penghafal (pemilik) ilmu itu. Akan tetapi maknanya, para pembawa ilmu itu (yakni para ulama) akan mati. Lalu manusia mengangkat orang-orang jahil (sebagai pemimpin dalam agama). Orang-orang jahil itu memutuskan perkara berdasarkan kejahilan-kejahilannya. Lantaran itu ia sesat, dan menyesatkan orang“. [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim ibn Al-Hajjaj (16/224), cet. Dar Ihya’ At-Turots Al-Arabiy]

Alangkah banyaknya pemimpin dan ustadz-ustadz seperti ini. Mereka diangkat oleh manusia sebagai seorang ulama’ dan ustadz. Padahal ia tidaklah pantas dijadikan panutan, karena ia jahil. Kalaupun ia berilmu, namun ilmu itu di buang di belakang punggungnya. Manusia jenis ini banyak bermunculan bagaikan jamur di musim hujan.

Coba lihat disana, manusia mengangkat seorang pelawak sebagai “da’i sejuta ummat”. Padahal bisanya cuma tertawa dan menggelitik para pendengar.

Dari arah lain, muncul para normal yang dulunya dijauhi oleh manusia, karena dikenal memiliki sihir. Sesaat kemudian berubah menjadi “da’i sejuta ummat”, karena sekedar pernah memimpin dzikir jama’ah yang dihadiri oleh sebagian kiyai jahil dan orang-orang yang memiliki kedudukan. Dulunya tukang sihir dan dukun (para normal), kini menjadi ustadz, bahkan terakhir bergelar “KH”.

Artis pun tak ketinggalan ambil job dalam kancah dakwah dengan bermodalkan semangat kemampuan tampil di depan publik dan wajah ganteng sebagai modal dengkul untuk menarik ummat menuju ke neraka. Bagaimana tidak, sebab seorang yang berdakwah tanpa ilmu akan mengantarkan dirinya berbicara tanpa batas, sehingga terkadang ia telah merusak dan menghancurkan agama pendengarnya, namun ia tak sadar karena memandang dirinya lebih pandai dari pendengar. Padahal ia jahil atau mungkin lebih jahil dari pendengar. Nas’alullahal afiyah wassalamah minal fitan.

Lebih para lagi, jika dakwah yang ditangani oleh orang-orang jahil dihiasi dengan perkara-perkara yang melanggar syari’at, seperti dakwah dihiasi dengan musik dengan istilah “Nada dan Dakwah“. Ini adalah cara dakwah yang keliru, karena menyalahi tuntunan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- . Dengarkan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda dalam mengharamkan musik,

لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنِ الْحِرَّ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

“Sesungguhnya akan ada beberapa kaum dari ummatku akan menghalalkan zina, kain sutra, minuman keras (khomer), dan musik“. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Asyribah (5590)]

Muhaddits Negeri Syam Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy Al-Atsariy –rahimahullah- berkata dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Thorb (hal 105), “Sesungguhnya para ulama dan fuqoha –diantaranya empat imam madzhab- sepakat mengharamkan alat-alat musik karena berteladan dengan hadits-hadits Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam dan atsar-atsar Salaf ”.

Jadi, berdakwah dengan musik merupakan perkara kejahilan dan kebatilan yang menyalahi tuntunan Allah -Ta’ala-, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan para ulama’ kaum msulimin dari dulu sampai hari ini. Oleh karena itu, kita sesalkan adanya sebagian orang-orang jahil atau pura-pura jahil yang menyemarakkan program “Nada dan Dakwah” yang jelas dan nyata menyelihi agama !! Ini lebih diperparah lagi dengan bantuan “Guru Besar” alias televisi dalam menyemarakkannya demi meraih keuntungan duniawi yang semu, dan memperturutkan hawa nafsu.

Realita ummat yang demikian ini membuat dahi berkerut dan kepala sakit karena banyaknya dan bertambahnya “PR” yang perlu diselesaikan oleh para dai kebenaran. Dengan realita kejahilan ummat seperti ini, tak pelak jika banyak menimbulkan masalah. Tak heran jika terkadang ada sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang ingin diamalkan di zaman ini, mereka serta merta merasakannya sebagai suatu yang asing, menolaknya, menganggapnya bukan dari Islam!! Bahkan memusihi dan menyakiti sebagian hamba-hamba Allah -Ta’ala- yang mengamalkannya.

Jika kejahilan tentang agama merata di tubuh ummat, maka akan tersebar berbagai macam pelanggaran, syirik, kekafiran, bid’ah, dan maksiat, baik yang nampak, maupun yang tersemunyi. Inilah awal kehinaan yang akan menimpa ummat Islam yang dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam.

Jika ummat Islam sibuk dengan dunia, sibuk dengan peternakan, pertanian, perdagangan apalagi riba sehingga lupa mempelajari agamanya dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka Allah akan timpakan kehinaan atas mereka. Inilah kehinaan yang tak mungkin akan tercabut dari tubuh ummat kecuali mereka mau kembali kepada agamanya dengan ilmu agama yang benar, dan berguna.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Jika kalian berjual-beli dengan cara ‘inah (salah satu bentuk riba), kalian memegang ekor-ekor sapi, ridho dengan bercocok tanam, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang tak akan dicabut oleh Allah sampai kalian kembali kepada agama kalian“. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (3462). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Muhaddits Al-Atsariy Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (11)]

Kesibukan dengan dunia menyebabkan kita akan semakin cinta kepadanya, dan takut mati untuk menghadap Allah Ta’ala- .Seakan-akan kita mengharapkan diri dan harta benda yang melalaikan kita agar kekal di dunia, tanpa menghadapi hisab.

Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

يُوْشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ ؟ قَالَ : بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيْرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُوْرِ عَدَوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللهُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ الْوَهْنَ ” فَقَالَ قَائِلٌ: يَارَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْوَهْنُ ؟ قَالَ : حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

“Hampir saja ummat-ummat saling memanggil (menyerang) menuju kalian sebagaimana orang-orang yang mau makan saling memanggil kepada nampannya”. Ada yang bertanya, “Apakah karena kita sedikit saat itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian saat itu banyak, tapi kalian buih laksana buih ombak. Allah benar-benar akan mencabut perasaan segan terhadap kalian dari dada musuh kalian; Allah akan mencampakkan kelemahan dalam hati kalian”. Ada yang bertanya, “Apa kelemahan itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia, dan takut mati“.[HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Malahim (4297). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (958)]

Dikutip dari http://almakassari.com/?p=261 Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah, Judul: Potret Ummat di Akhir Zaman

/@cwi

selengkapnya...

Menyibak Misteri Ibnu Shayyad

فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ يَكُنْهُ فَلَنْ تُسَلَّطَ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْهُ فَلاَ خَيْرَ لَكَ فِي قَتْلِهِ

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu: “Jika ia (Ibnu Shayyad) adalah dia (Dajjal), engkau tidak akan mampu mengalahkannya. Dan jika bukan, sia-sialah kamu membunuhnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu no. hadits 6075 dan 6076. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitabul Jana`iz no. hadits 1354, Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Kitabul Fitan wa Asyrathus Sa’ah no. hadits 2930, Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu, dalam Kitabul Malahim bab Fi Khabari Ibnu Sha’id no. hadits 4329, Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Kitabul Fitan ‘an Rasulillah no. hadits 2175.

Hadits di atas secara lengkap diriwayatkan dari jalan Az-Zuhri dari Salim bin Abdillah, beliau memberitakan:

أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَخْبَرَهُ: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ انْطَلَقَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَهْطٍ قِبَلَ ابْنِ صَيَّادٍ حَتَّى وَجَدَهُ يَلْعَبُ مَعَ الصِّبْيَانِ عِنْدَ أُطُمِ بَنِي مَغَالَةَ، وَقَدْ قَارَبَ ابْنُ صَيَّادٍ يَوْمَئِذٍ الْحُلُمَ، فَلَمْ يَشْعُرْ حَتَّى ضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ظَهْرَهُ بِيَدِهِ، ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاِبْنِ صَيَّادٍ: أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُوْلُ اللهِ؟ فَنَظَرَ إِلَيْهِ ابنُ صَيَّادٍ فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُوْلُ اْلأُمِّيِّيْنَ. فَقَالَ ابْنُ صَيَّادٍ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُوْلُ اللهِ؟ فَرَفَضَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: آمَنْتُ بِاللهِ وَبِرَسُوْلِهِ، ثُمَّ قَال لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَاذَا تَرَى؟ قَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: يَأْتِيْنِي صَادِقٌ وَكَاذِبٌ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُلِّطَ عَلَيْكَ اْلأَمْرُ. ثُمَّ قَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ لَكَ خَبِيْئاً. فَقَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: هُوَ الدُّخُّ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْسَأ، فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ. فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: ذَرْنِي، يَا رَسُوْلَ اللهِ أَضْرِبْ عُنُقَهُ. فَقَال لهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ يَكُنْهُ فَلَنْ تُسَلِّطَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْهُ فَلاَ خَيْرَ لَكَ فِي قَتْلِهِ. وَقالَ سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ يَقُوْلُ: بَعْدَ ذَلِكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ (اْلأَنْصَارِيُّ) إِلَى النَّخْلِ الَّتِي فِيْهَا ابْنُ صَيَّادٍ، إِذَا دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّخْلَ طَفِقَ يَتَّقِي بِجُذُوْعِ النَّخْلِ وَهُوَ يَخْتِلُ أَنْ يَسْمَعَ مِنِ ابْنِ صَيَّادٍ شَيْئاً قَبْلَ أَنْ يَرَاهُ ابْنُ صَيَّادٍ، فَرَآهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ عَلَى فِرَاشٍ فَي قَطِيْفَةٍ لَهُ فِيْهَا زَمْزَمَةٌ، فَرَأَتْ أُمُّ ابْنِ صَيَّادٍ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَّقِي بِجُذُوْعِ النَّخْلِ، فَقَالَتْ لاِبْنِ صَيَّادٍ: يَا صَافِ! – وَهُوَ اسْمُ ابْنِ صَيَّادٍ – هَذَا مُحَمَّدٌ، فَثَارَ ابْنُ صَيَّادٍ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ تَرَكَتْهُ بَيَّنَ


Bahwasanya Abdullah ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberitakan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berangkat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sekelompok orang menemui Ibnu Shayyad. Mereka melihatnya tengah bermain-main dengan sejumlah anak laki-laki di dekat benteng dari tembok batu Bani Maghalah. Ketika itu Ibnu Shayyad adalah seorang bocah yang usianya mendekati baligh, dalam keadaan tidak memerhatikan (kami) hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuknya dengan tangan beliau dan berkata: “Apakah engkau bersaksi bahwa aku utusan Allah?” Ibnu Shayyad melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan bagi al-ummiyyin (orang-orang yang ummi).” Kemudian Ibnu Shayyad bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah anda bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangkalnya dan berkata: “Aku beriman kepada Allah dan rasul-Nya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (kepada Ibnu Shayyad): “Apa yang kamu lihat?” Ibnu Shayyad menjawab: “Datang kepadaku yang jujur dan yang dusta.” Rasulullah berkata kepadanya: “Tercampur padamu persoalan ini.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya (bermaksud menguji): “Aku sembunyikan sesuatu untukmu?” Ibnu Shayyad menebak: “Ad-Dukh (asap/kabut).” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tetaplah di tempatmu. Engkau tidak akan melampaui apa yang telah Allah takdirkan padamu.” Mendengar hal itu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ya Rasulullah, izinkan aku memenggal lehernya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apabila dia (adalah Dajjal), engkau tidak mampu mengalahkannya. Dan jika bukan, sia-sialah membunuhnya.”

(Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menambahkan): “Di kemudian hari ketika Rasulullah pergi bersama Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu ke (kebun) kurma, bertemu kembali dengan Ibnu Shayyad di sana (yang sedang berbaring). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud mendengarkan sesuatu (igauan) dari Ibnu Shayyad sebelum Ibnu Shayyad melihatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Ibnu Shayyad berbaring di atas kasur ditutupi selembar selimut. Terdengar mulutnya bergumam dari balik sebuah batang pohon kurma. Kemudian ibu Ibnu Shayyad melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun membangunkan Ibnu Shayyad: “Wahai Shaf! Ada Muhammad di sini.” Ibnu Shayyad pun bangun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Jika ibunya membiarkan dia (tidak mengganggunya), maka perkara Ibnu Shayyad akan terungkap (jelas).”

Penjelasan Mufradat Hadits

فِي رَهْطٍ Artinya sekumpulan dari kaum laki-laki, mulai dari 3 sampai 10 orang.

ابْنِ صَيَّادٍ Pada sebagian riwayat menggunakan ابْنِ صَائِدٍ seperti dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah dan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhuma, hadits no 2926 dan 2927, Sunan Abi Dawud bab Fi Khabari Ibni Sha`id dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma no hadits 4329. (Lihat Sunan Abi Dawud ta’liq Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu, cet. Maktabah Al-Ma’arif)

الصِّبْيَانِ Dalam riwayat lain dengan lafadz الْغِلْمَانِ jamak dari kata غُلَامٌ dengan men-dhammah huruf ghain dan memfathah huruf lam tanpa ditasydid, yaitu masa sejak kelahiran hingga baligh, dan jika yang dimaksud adalah seorang anak setelah masa baligh, maka dinamai dengannya sebagai kiasan. (Lihat Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 1/155)

عِنْدَ أُطُمِ Dengan men-dhammah huruf hamzah dan tha, maka jamaknya أُطُمُ atau أُطُومٌ artinya benteng yang dibangun dengan tembok batu, atau setiap rumah persegi empat beratapkan semuanya.

بَنِي مَغَالَةَ Pada sebagian naskah ابْنِ مَغَالَةَ dan yang masyhur dengan بَنِي مَغَالَةَ dengan mem-fathah mim dan ghain tanpa di-tasydid.

Dalam riwayat Muslim rahimahullahu dari jalan Al-Hasan bin ‘Ali Al-Hulwani dengan lafadz Bani Mu’awiyah dengan men-dhammah mim dan menggunakan ‘ain bukan ghain.

Ulama berkata: “Yang masyhur dan dikenal adalah yang pertama بَنِي مَغَالَةَ.”

Al-Qadhi rahimahullahu berkata: “بَنِي مَغَالَةَ yaitu mereka yang di bagian kanan atau di sisi kanan seseorang jika berdiri menghadap ke Masjid Nabawi.”

وَقَدْ قَارَبَ ابْنُ صَيَّادٍ

Dalam riwayat lain قَدْ نَهَزَ الْـحُلُمَ yaitu قَدْ قَارَبَ الْبُلُوغَ maknanya mendekati masa baligh.

فَلَمْ يَشْعُرْ Dengan men-dhammah huruf ‘ain bermakna Ibnu Shayyad tidak mengetahui kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena dalam keadaan lalai.

Ibnu Shayyad berkata:

أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُوْلُ اْلأُمِّيِّيْنَ

“Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan bagi al-ummiyyin (orang-orang yang ummi).” Maksudnya adalah orang-orang Arab, karena kebanyakan mereka tidak bisa menulis dan membaca. Meskipun ditinjau dari sisi lafadz benar, tetapi ditinjau dari sisi makna mengandung kebatilan, yaitu kalimat ini mengandung makna bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus hanya untuk orang-orang Arab dan tidak kepada orang-orang ‘ajam, sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi. Kalimat ini walaupun dimaksudkan untuk membenarkan kerasulan, tapi termasuk dari sekian jumlah bisikan kedustaan yang didatangkannya. Dan itu berasal dari setan.

فَرَفَضَهُ Riwayat ini terdapat dalam Al-Bukhari dan Muslim. Maknanya menyangkal.

Al-Qadhi rahimahullahu berkata: “Riwayat kami, dalam hal ini dari jamaah, menggunakan shad (فَرَفَصَهُ) yang bermakna menendang. Sebagian ulama berkata: الرَّفَصُ dengan shad maknanya adalah memukul dengan kaki seperti الرَّفس dengan menggunakan huruf sin artinya menendang/menyepak. Jika benar riwayat ini, maka itulah maknanya.”

Dan di dalam Shahih Al-Bukhari dari riwayat Al-Marwazi dengan lafadz فَرَقَصَهُ dengan huruf qaf dan shad.

Al-Khaththabi rahimahullahu dalam Gharib-nya meriwayatkan dengan lafadz فَرَصَّهُ dengan shad yaitu menekannya hingga badannya terhimpit. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

بُنْيَانٌ مَرْصُوْصٌ

“Bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 4)

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

آمَنْتُ بِاللهِ وَبِرَسُوْلِهِ

Jika muncul pertanyaan: Mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuhnya, padahal ia menyeru kenabian di saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya ditinjau dari dua sisi:

Pertama: ia dalam keadaan belum baligh.

Kedua: ia berada pada waktu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang terikat perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi dan para pembesarnya.

Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu dalam Ma’alimus Sunan memastikan jawaban yang kedua. Beliau berkata: “Menurut saya, kisah ini terjadi pada hari-hari perdamaian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Yahudi dan tokoh-tokoh mereka. Hal itu terjadi setelah kehadiran beliau di Madinah. Maka ditulislah sebuah perjanjian antara beliau dengan orang-orang Yahudi. Di dalamnya terdapat ishlah agar tidak saling menyerang serta menjauhi urusan masing-masing. Dan Ibnu Shayyad termasuk kalangan mereka atau bagian dari mereka. Dan telah sampai kabar kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perdukunan dan pengakuan mengetahui perkara ghaib yang diserunya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengujinya supaya perkaranya jelas. Maka ketika beliau berbicara dengannya barulah diketahui bahwa ia adalah seorang penyeru kebatilan dari kalangan tukang sihir. Atau orang yang mendatangkan perkataan bangsa jin atau setan yang seringkali menemuinya dan dibisikkan padanya sebagian ucapan mereka.

قَال لَهُ رَسُوْلُ اللهِ: مَاذَا تَرَى

Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi menggunakan lafadz مَا يَأتِيْكَ. Maknanya, apa yang datang kepadamu berupa berita-berita ghaib dan yang semisalnya.

قَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: يَأتِيْنِي صَادِقٌ وَكَاذِبٌ

Maknanya adalah terkadang datang berita yang benar dan terkadang datang berita dusta.

خُلِّطَ عَلَيْكَ اْلأَمْرُ

خُلِّطَ adalah kata kerja (fi’il) dalam bentuk pasif berasal dari kata التَّخْلِيطُ bermakna mencampuradukkan.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Tercampur aduk berita yang dibawa setanmu.”

Al-Khaththabi rahimahullahu berkata: “Maknanya, dia mempunyai beberapa keadaan. Sebagiannya benar dan sebagiannya salah. Karena itu perkaranya menjadi kabur baginya.”

إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ Artinya, aku telah sembunyikan (di dalam diriku).

خَبِيْئاً

Dalam sebagian riwayat dengan lafadz خَبِيْأَةً (kata yang tersembunyi), supaya kamu beritahukan kepadaku.

هُوَ الدُّخُّ

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Yaitu dengan men-dhammah huruf dal dan men-tasydid huruf kha` yaitu suatu istilah bagi ad-dukhan (kabut). Dan penulis Nihayatul Gharib, menghikayatkan dengan mem-fathah dan men-dhammah huruf dal. Adapun yang masyhur pada kitab-kitab lughah dan hadits adalah dengan dhammah saja. Jumhur ulama berpendapat bahwa maksud dari kata ini adalah ad-dukhan, dan itulah bahasanya.”

Dalam hal ini, Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu tidak sependapat. Beliau berkata: “Tidaklah kata الدُّخُّ mengandung makna ad-dukhan (kabut), karena ia bukanlah perkara yang dapat disembunyikan pada telapak atau lengan baju. Kecuali kalau makna ‘aku sembunyikan untukmu’ itu adalah nama kabut dan nama kabut itu sendiri dalam hal ini diperbolehkan. Dan yang benar serta yang masyhur bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikannya dari Ibnu Shayyad ayat ad-dukhan yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِيْنٍ

“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata.” (Ad-Dukhan: 10)

Pendapat yang paling benar dalam hal ini adalah bahwa ia tidak mampu menunjukkan sebagian ayat yang disembunyikan Nabi kecuali sekedar lafadz yang tidak sempurna, sebagaimana kebiasaan para dukun apabila setan membisikkan kepada mereka sesuai (berita dari langit) yang mampu ia curi sebelum meteor mengenainya.

اخْسَأْ

Dengan mem-fathah huruf sin dan mensukun hamzah. Kalimat ini digunakan saat mengusir atau menghalau anjing. Berasal dari kata الْخُسُوءُ bermakna زَجَرَ (mengusir atau menghalau) dan juga dipakai untuk merendahkan atau menghinakan seperti:

زَجْرُ الْكَلْبِ أَيْ امْكُثْ صَاغِرًا أَوْ ابْعُدْ حَقِيْرًا أَوْ اسْكُتْ مَزْجُوْرًا

“Tinggallah engkau dalam keadaan hina, menjauhlah engkau dalam keadaan rendah, diamlah engkau dalam keadaan terusir.”

فَلَنْ تَعْدُوَ Dengan mendhammah dal, maknanya kamu tidak mampu melampaui.

قَدْرَكَ Yaitu kemampuan yang dicapai dukun berupa pengetahuan sebagian perkara dan hal-hal yang tidak jelas hakikatnya, serta tidak bisa menjelaskan hakikat perkara ghaib.

فَلَنْ تُسَلَّطَ عَلَيْهِ

Dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu bermakna: “Biarkan dia. Jika dia adalah orang yang kamu takuti, kamu tidak akan mampu membunuhnya. Tidak ada kebaikan bagimu membunuhnya.” Hal itu disebabkan karena ia masih anak-anak atau tercela (cacat).

Dan disebutkan dalam sebuah hadits dalam Syarhus Sunnah yang artinya: “Jika ia adalah Dajjal maka kamu bukanlah orang (yang membunuhnya), yang membunuhnya hanyalah ‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam. Dan jika dia bukan Dajjal, tidak ada kebaikan bagimu dalam membunuh seorang yang masih dalam perjanjian damai.”

وَهُوَ يَخْتِلُ

Artinya merahasiakan dan mengharapkan ia lalai, agar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat mendengar sesuatu dari pembicaraannya. Dan beliau serta para shahabatnya ingin mengetahui keadaannya, apakah dia dukun ataukah tukang sihir.

فَي قَطِيْفَةٍ لَهُ فِيْهَا زَمْزَمَةٌ

زَمْزَمَةٌ pada sebagian naskah tertulis رَمْرَمَةٌ seperti yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari. Al-Qadhi rahimahullahu telah menukil dari jumhur riwayat yang tersebut dalam Shahih Muslim dengan زَمْزَمَةُ dan pada sebagiannya tertulis رَمْزَةُ . Itu semuanya bermakna suara yang lirih/pelan, nyaris tidak difahami atau tidak difahami (sama sekali).

فَثَارَ ابْنُ صَيَّادٍ

Maknanya adalah beranjak dari tempat tidurnya dan bangun berdiri.

لَوْ تَرَكَتْهُ بَيَّنَ

Dalam riwayat lain dari jalan Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’d, ia berkata: Ubai bin Ka’ab berkata: “Maksud kalimat ini adalah:

لَوْ تَرَكَتْهُ أُمُّهُ بَيَّنَ أَمْرَهُ

(Kalau saja ibunya membiarkan dia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan perkaranya).” (lihat Al-Minhaj, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi)

Perselisihan Pendapat tentang Ibnu Shayyad

Seperti yang disebutkan dalam hadits di atas bahwa Ibnu Shayyad atau dikenal juga dengan Ibnu Sha`id namanya adalah Shaf. Al-Imam Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dalam kitabnya At-Tadzkirah lil Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah (hal. 570), tentang perkara Ibnu Shayyad, bahwa ada sejumlah hadits dari beberapa shahabat seperti Jabir bin Abdillah, Ibnu ‘Umar, Abu Sai’d Al-Khudri, Abdullah bin Mas’ud, Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhum.

Abu Sulaiman Al-Khaththabi rahimahullahu mengatakan telah terjadi perselisihan yang banyak dan rumit di kalangan manusia menyangkut Ibnu Shayyad. Di antara shahabat yang menyatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal yaitu ‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Umar, Jabir bin Abdillah, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhum (At-Tadzkirah li Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah hal. 571-572)

Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya (Kitabul Fitan no. hadits 2929) dari jalan Muhammad ibnul Munkadir, ia berkata: “Aku melihat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma bersumpah (dengan menyebut nama Allah) bahwa sesungguhnya Ibnu Sha`id adalah Dajjal. Aku bertanya: “Apakah engkau bersumpah dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku mendengar ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bersumpah dalam perkara ini di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya.”

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan: “Riwayat ini dijadikan dalil oleh beberapa ahlul ilmi akan bolehnya bersumpah dalam perkara yang tidak pasti (zhan) dan tidak disyaratkan harus dalam perkara yang pasti (al-yaqin). Dan ini adalah perkara yang disepakati menurut madzhab kami (Asy-Syafi’iyyah).” (Al-Minhaj, 18/ 258-259)

Dalam riwayat yang lain dari jalan Ibnu ‘Aun, dari Nafi’, ia berkata: Nafi’ berkata tentang Ibnu Shayyad: Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku bertemu dengannya dua kali. Pertemuan (pertama) aku berkata kepada salah seorang dari mereka: ‘Apakah kalian membicarakan bahwa dia adalah Dajjal?’ Salah seorang menjawab: ‘Bukan, demi Allah!’ Aku berkata: ‘Demi Allah, engkau berdusta kepadaku. Sungguh sebagian kalian telah mengabarkan kepadaku bahwa Dajjal tidak akan mati sampai ia menjadi orang yang terbanyak harta dan anaknya di antara kalian sebagaimana dia yang dibicarakan hari ini.” Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma melanjutkan: “Kami berbincang-bincang setelah itu. Lalu aku berpisah dengannya.” Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Aku bertemu dengannya lagi dan matanya telah membengkak. Aku bertanya: ‘Kapan matamu bengkak seperti yang aku lihat?’ Ia menjawab: ‘Aku tidak tahu.’ Kemudian aku bertanya lagi: ‘Engkau tidak tahu, padahal mata itu berada di kepalamu?’ Ia pun menjawab: ‘Jika Allah menghendaki, Allah akan menciptakan mata itu pada tongkatmu ini.’ Ibnu ‘Umar berkata: ‘Diapun mendengus keras seperti suara dengusan keledai yang pernah aku dengar. Hingga sebagian sahabatku mengira aku memukulnya dengan tongkat yang bersamaku hingga patah. Dan demi Allah, aku tidak merasa’.”

Kemudian diriwayatkan dari jalan Abu Nadhrah, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku menemani Ibnu Shayyad dalam sebuah perjalanan menuju Makkah. Ia pun berkata kepadaku: ‘Aku telah menjumpai beberapa orang. Mereka menyangka bahwasanya aku ini adalah Dajjal. Tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya Dajjal itu tidak beranak?’ Aku menjawab: ‘Benar.’ Iapun berkata: ‘Sungguh telah lahir dariku seorang anak -dalam sebagian riwayat: aku tinggalkan anakku di Madinah-.’

‘Bukankah engkau telah mendengar Rasulullah berkata: ‘Dajjal tidak akan masuk Madinah dan Makkah’?’ Aku menjawab: ‘Benar.’ Ia pun berkata: ‘Aku dilahirkan di Madinah dan sekarang ini aku menuju Makkah.’

Pada riwayat yang lain: “Bukankah Nabiyullah telah berkata bahwa dia seorang Yahudi dan sungguh aku seorang muslim?”

Kemudian di akhir pembicaraannya ia berkata kepadaku: “Demi Allah, sungguh aku tahu di mana lahirnya, tempatnya, dan di mana dia sekarang.”

Abu Sa’id berkata: “Ia pun mengacaukan/mengaburkan perkara ini terhadapku.”

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menjelaskan: “Hikmah yang terdapat dalam perkara Ibnu Shayyad adalah sebuah fitnah (ujian) yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji hamba-hamba-Nya yang mukmin. Agar orang yang binasa itu menjadi binasa dengan keterangan yang nyata, dan agar orang yang hidup itu menjadi hidup dengan keterangan yang nyata pula. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menguji kaum Nabi Musa ‘alaihissalam di zamannya dengan seekor anak sapi. Binasalah sebagiannya dan selamatlah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk.

Telah terjadi perselisihan riwayat tentang perkara Ibnu Shayyad setelah dia tua. Ada riwayat yang menyatakan ia bertaubat dari apa yang telah ia ucapkan. Ia kemudian meninggal di Madinah. Tatkala mereka ingin menyalatkan jenazahnya disingkaplah wajahnya sampai orang-orang melihatnya dan dikatakan kepada mereka: ‘Saksikanlah oleh kalian.’ Kemudian beliau berkata: Syaikh (Abu Sulaiman) berkata: ‘Yang benar dalam perkara ini adalah sebaliknya, berdasarkan sumpah Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu,, yang menyatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Dan diriwayatkan pula bahwa Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Dia adalah Dajjal’.” (At-Tadzkirah li Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah hal. 572)

Ibnu Hajar rahimahullahu menguatkan pendapat bahwa Ibnu Shayyad bukanlah Dajjal yang dimaksud dalam hadits-hadits, yang akan keluar di akhir zaman, dengan beberapa alasan, yang bisa dilihat dalam Fathul Bari dan Asyrathus Sa’ah (ed). Wallahu a’lam.

Dikutip dari www.asysyariah.com Penulis : Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin, Judul: Menyibak Misteri Ibnu Shayyad



/@cwi

selengkapnya...

Spanyol, Jaya di Masa Islam


Masuk dan menyebarnya Islam di Spanyol menjadi fakta sejarah yang membantah kesan bahwa dakwah Islam disampaikan dengan kekerasan. Tak hanya itu, Islam di Spanyol juga telah mengantarkan wilayah ini mencapai kejayaannya dengan sejumlah penemuan ilmiah revolusioner.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa di kalangan orientalis Barat berkembang persepsi, dalam dakwahnya para tokoh Islam ibarat menggenggam Al-Qur'an di tangan kanan dan menghunus sebilah pedang di tangan kiri.

Seolah-olah, demikian dikesankan para orientalis, satu-satunya pilihan bagi mereka yang tidak menerima Islam adalah: mati! Penilaian tersebut untuk menstigma bahwa Islam adalah ajaran kejam dan pengikutnya tidak lebih dari seorang jagal. Padahal peperangan yang dilakukan Islam di masa Rasul dan sahabatnya ataupun masa sesudahnya, jauh dari kesan kejam dan brutal. Syari'at Islam menjelaskan perang dalam Islam terdiri dari dua jenis. Pertama adalah perang defensif karena diserang dan dalam rangka mempertahankan diri atau mempertahankan wilayah kaum muslimin. Kedua, perang ofensif dengan tujuan menghancurkan penghalang dakwah. Biasanya penghalang dakwah berupa digelarnya pasukan oleh penguasa kafir yang menolak wilayahnya dimasuki ajaran Islam dan kaum muslimin. Karena menyebarkan dakwah adalah kewajiban syara', maka peperangan menjadi metoda yang absah dalam konteks syari'at Islam dan sejarah perkembangan Islam.


Lagipula perang dalam Islam untuk menghidupkan umat manusia, bukan memusnahkan. Oleh karena itu, ketika kaum muslimin menang perang dan menguasai wilayah, tidak bertujuan menjajahnya.

Masuk dengan Damai

Islam sendiri, jelas mengutamakan perdamaian. Perjalanan sejarah masuk dan menyebarnya Islam di Spanyol, menjadi salah satu buktinya. Dalam proses yang memakan waktu relatif singkat, tiga tahun, Islam berhasil menyebar ke seantero Spanyol. Hebatnya lagi, para pendakwah yang memperkenalkan Islam di Spanyol dari tahun 711 hingga 714 Masehi itu, hanya mengalami satu kali peperangan.

Peperangan itu pecah pada awal masuknya Islam ke sana, yaitu sekitar tahun 709 Masehi di Guadelete, sebuah kota terkemuka dekat Cadiz. Peperangan itu sebenarnya bermula dari pertikaian antara sesama umat Kristen Spanyol. Raja Roderick yang berkuasa saat itu memaksakan keyakinan trinitas Kristen yang dianutnya kepada umat Nasrani Aria. Berbeda dengan para pendukung Roderick yang meyakini Nabi Isa sebagai Yesus, yaitu Allah Bapak, Anak Tuhan, dan Ruh Kudus, kaum Nasrani Aria meyakini Nabi Isa semata sebagai Rasulullah. Pemaksaan keyakinan Trinitas oleh Raja Roderick ini menimbulkan penindasan di kalangan Nasrani Aria. Lantas pimpinan merekapun mendukung pasukan Muslim pimpinan Tariq bin Ziyad, sesaat setelah memasuki wilayah Andalusia melalui selat Giblatar. Maka pecahlah perang antara pasukan Raja Roderick dengan pasukan Muslim pimpinan Tariq bin Ziyad. Sejarawan Barat yang beraliran konservatif, W. Montgomery Watt dalam bukunya Sejarah Islam di Spanyol mencoba meluruskan persepsi keliru para orientalis Barat yang menilai umat Islam sebagai yang suka berperang. Menurutnya, "Mereka (para orientalis) umumnya mengalami mispersepsi dalam memahami jihad umat Islam. Seolah-olah seorang muslim hanya memberi dua tawaran bagi musuhnya, yaitu antara Islam atau pedang. Padahal bagi pemeluk agama lain, termasuk ahli kitab, mereka bisa saja tidak masuk Islam meski tetap dilindungi oleh pemerintahan Islam".

Itulah yang terjadi sepanjang perjalanan sejarah masuknya Islam ke Spanyol. Islam tak hanya masuk dengan damai, namun dengan cepat menyebar dan membangun peradaban tinggi hingga Spanyol mencapai puncak kejayaannya. Kota-kota terkemuka Spanyol seperti Andalusia dan Cordova menjadi center of excellent peradaban dunia.

Montgomery menganalisa, ini karena Islam tak mengenal pemisahan yang kaku antara ilmu pengetahuan, etika, dan ajaran agama. Satu dengan yang lain dijalankan dalam satu tarikan nafas. Pengamalan syari'at Islam sama pentingnya dan memiliki prioritas yang sama dengan riset-riset ilmiah.

Tak mengherankan jika para ulama terkemuka seperti Ibnu Rusyd (1126-1198) misalnya, yang di Barat dikenal dengan Averous, diakui pula sebagai ilmuwan yang handal di bidangnya. Demikian halnya dengan Ibnu Arabi (1165-1240) yang juga telah mengharumkan Islam di Spanyol.

Ilmu pengetahuan bukanlah bagian yang terpisahkan dari syari'at Islam dan etika moral. Menurut Montgomery, tak ada yang dapat melukiskan relasi antara ilmu pengetahuan, agama, dan etika daripada kata-kata filosofis Ibnu Rusyd. Filsafat tak berarti apa-apa jika tak bisa menghubungkan ilmu pengetahuan, agama, dan etika dalam suatu relasi harmonis. Ilmu pengetahuan, demikian Ibnu Rusyd, dibangun di atas fakta-fakta dan logika hingga sampai kepada suatu penjelasan rasional. Etika, merefleksikan manfaat setiap riset ilmiah, sehingga harus dapat memberi nilai tambah bagi kehidupan. Sedangkan firman Allah, itulah Al-Qur'an, menjadi satu-satunya pembimbing kita untuk sampai pada tujuan hakiki dari hidup ini.


Temuan-temuan Iptek


Membicarakan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Spanyol, tak bisa lepas dari kerja besar pembangunan peradaban yang dilakukan para pembawa risalah Islam ke kawasan Eropa itu. Tak bisa juga dipisahkan dari kajian etika serta syari'at Islam yang didakwahkan para da'i.

Itulah yang mendorong semangat para ilmuwan Muslim Spanyol: Pengetahuan itu satu karena dunia juga satu, dunia satu karena Allah juga satu. Prinsip "tauhid" semacam ini yang menjadi koridor berpikir para ilmuwan muslim dalam mengembangkan sains dan teknologi.

Tak mengherankan jika temuan-temuan para ilmuwan muslim pada zaman ini sangat revolusioner. Jauh sebelum Wilbur Wright dan Oliver Wright menemukan pesawat terbang pada abad 20, usaha menemukan alat transportasi penerbangan sudah dilakukan oleh Abu Abbas Al-Fernass. Bahkan ia sudah mencoba terbang, meski kendaraan yang ditemukannya tak sempurna. Sayangnya, sejarah peradaban dunia Islam yang berbasis di Andalusi, Spanyol itu, tak terekam oleh Barat. Sementara catatan-catatan sejarah Islam, ditutup rapat untuk tak dijadikan referensi.

Toh sejarah tak bisa berdusta. Demikian halnya dalam pengembangan ilmu kedokteran oleh para pakar muslim. Selain Ibnu Rusyd, adalah Az-Zahrawi yang dikenal sebagai orang pertama yang memperkenalkan teknik pembedahan manusia. Az-Zahrawi yang lahir dekat Cordova pada 936 Masehi, dikenal sebagai penyusun ensiklopedi pembedahan yang karya ilmiahnya itu dijadikan referensi dasar bedah kedokteran selama ratusan tahun. Sejumlah universitas, termasuk yang ada di Barat, menjadikannya sebagai acuan.

Demikian halnya kontribusi ilmuwan Islam di bidang astronomi. Adalah Az-Zarqalli, astronom muslim kelahiran Cordova yang pertama kali memperkenalkan astrolabe. Yaitu suatu instrumen yang digunakan untuk mengukur jarak sebuah bintang dari horison bumi. Penemuan ini menjadi revolusioner karena sangat membantu navigasi laut. Dengan demikian, transportasi pelayaran berkembang pesat selepas penemuan astrolabe. Sementara pakar geografi, Al-Idrisi, yang lahir di Ceuta pada 1099 Masehi, setelah menuntut ilmu di Cordova juga menemukan dan memperkenalkan teknik pemetaan dengan metode proyeksi. Suatu metode yang sama dengan yang dikembangkan Mercator, empat abad kemudian.

Eropa Berhutang Budi Temuan sains dan teknologi, serta kajian filsafat Muslim Spanyol, mengalir ke seluruh kawasan ibarat mengairi kekeringan kehidupan intelektual Eropa. Para pelajar dari Eropa Barat memenuhi perpustakaan-perpustakaan serta kampus-kampus perguruan tinggi yang dibangun oleh ilmuwan muslim di sana.

Pola pendidikan yang dikembangkan para ilmuwan muslim di sana, sungguh memikat para pelajar dari Eropa. Dalam kitabnya yang berjudul Muqaddimah, ulama Muslim terkemuka Ibnu Khaldun menilai metode pendidikan yang dikembangkan saat itu sebagai "Mengarahkan seseorang untuk mengerti sesuatu melalui apa yang dikerjakannya". Secara sederhana Ibnu Khaldun menyebutnya sebagai "Metode belajar dengan hati" atau "Learning by doing" dalam bahasa kita sekarang.

Kondisi inilah yang mencerahkan paradigma berpikir orang-orang Eropa. Menurut Montgomery, cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi "dinamo"nya, Barat bukanlah apa-apa.

Inilah yang sesungguhnya menjadi momentum Eropa memasuki masa Renaissance. Pada abad sembilan, demikian Montgomery, Universitas Cordoba menjadi gerbang Eropa memasuki zaman pencerahan. Sayangnya orang-orang Eropa merasa pencerahan mereka berawal pada abad enam belas dari Florence di Italy.

Yaitu pada saat pemimpin Eropa bersepakat 'meninggalkan' agama dalam segala aspek kehidupan dan mengembangkan apa yang disebut sekularisme. Akibatnya, keagungan peraaban Islam yang dibangun di Spanyol berakhir dengan tragis. Yaitu pada saat penguasa di sana menghancurkan semua karya pemikiran para ilmuwan muslim. Tidak hanya karya-karyanya yang dimusnahkan, para ilmuwannya pun disingkirkan.

Ibnu Massarah diasingkan, Ibnu Hazm diusir dari tempat tinggalnya di Majorca, kitab-kitab karya Imam Ghazali dibakar, ribuan buku dan naskah koleksi perpustakaan umum al Ahkam II dihanyutkan ke sungai. Ibnu Tufail, Ibnu Rushdy disingkirkan. Nasib yang sama, juga dialami Ibnu Arabi.

Akhirnya, kebijakan bumi hangus tersebut telah menyebabkan kesulitan merekonstruksi perjalanan sejarah Islam di Sevila, Cordoba, dan Andalusia sebagai bukti keagungan peradaban Islam di Spanyol tidak bias dipungkiri, meski kemudian sirna dihancurkan dalam Perang Salib. Tepat pada 2 Januari 1492, Sultan Islam di Granada, Abu Abdullah, untuk terakhir kalinya melihat Al Hambra...



sumber: islamuda.com

/@cwi

selengkapnya...

Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |