Sejarah Bangsa Palestina (Bag ke-1)



Peninggalan manusia purba yang ditemukan dalam galian arkeologi di lembah al Nathuf menunjukkan bahwa penduduk yang mendiami Palestina pada zaman pra sejarah, mereka berasal dari keturunan yang disebut ras Laut Tengah. Sejak 3000 SM, ketika terjadi berbagai eksodus ras Smith, mereka datang dari wilayah Arab menguasai Palestina hingga menjadi mayoritas di sana. Pada saat itulah suku Kan’an sampai di Palestina sekitar tahun 2500 SM. Pada tahun 1500 SM terjadi lagi eksodus ras Smith dari suku Ma’abiya, Edomiya dan Amuniya. Mereka menetap di wilayah selatan Suriah yang membentang dari Laut mati hingga Teluk Aqabah. Kemudian terjadi eksodus ras Smith ketiga yang dilakukan oleh kabilah Anbath, mereka



menyebar dan menetap di wilayah Syam sekitar tahun 500 SM. (82) Di sisi lain, ada kelompok lain yang melakukan eksodus ke Palestina pada sekitar tahun 1200 SM. Mereka adalah kaum bahari yang datang dari wilayah barat Asia Kecil dan kepulauan laut Ijah. Mereka menetap di pantai Palestina, yang kemudian dikenal dengan PLST (Ba Lam Sin Ta). Dengan cepat mereka berasimilasi dan melebur dengan orang-orang Kan’an. Adapun orang-orang Bani Israel, mereka telah mencoba masuk Palestina dengan dipimpin Nabi Musa alaihis salam pada akhir abad ke 12 ( sekitar tahun 1230 SM), kemudian setelah itu mereka tinggal di wilayah-wilayah bagian timur laut Palestina. Namun setelah kejatuhan kedua negara mereka, 10 dari 12 suku Bani Israel yang ada melakukan eksodus. Termasuk sejumlah besar mereka yang dipindahkan oleh kerajaan Babilonia pada tahun 721 SM dan tahun 586 SM ke Irak, hingga jumlah mereka di Palestina menyusut drastis. Setelah itu mereka mengalami sedikit kebangkitan, ketika berhasil mendapatkan pemerintahan otonomi yang dipimpin oleh dinasti Mukabiya (tahun 164 – 37 SM), yaitu saat berada di bawah hegemoni Mesopotamia kemudian Romawi. Namun setelah abad kedua masehi (setelah tahun 135 M), tak satu pun peran mereka yang dapat dicatat. (83) Sementara itu jalur-jalur perdagangan di wilayah negeri Syam sejak milenium pertama SM telah dikuasai secara mayoritas oleh orang-orang Saba’ dan Muin dari Yaman. Dan di antara kabilah-kabilah Arab pertama termasyhur yang mendiami wilayah Syam, termasuk di dalamnya tanah Palestina, adalah kabilah Qadha’ah yang di kemudian hari menjadi pemeluk Nasrani. Mereka ditunjuk oleh raja- raja Romawi untuk memimpin orang-orang Arab Syam. Kemudian datang kabilah Sulaih yang menggantikan tempat kabilah Qadha’ah. Kemudian Bani Ghassan eksodus dari Yaman pada akhir abad ke 3 M dan menetap di wilayah utara Hijaz, kemudian mereka berpindah ke negeri Syam dan pihak Bizantium mengakui kepemimpinan mereka. Maka mereka pun mendirikan negara yang memisahkan antara kerajaan Romawi dan Persia. Kekuasaan mereka meluas menguasai kabilah- kabilah Arab di Palestina. Kerajaan mereka berlanjut hingga sekitar tahun 584 M yang mulai surut kekuasaanya setelah mereka menentang kerajaan Romawi. Dan ketika kerajaan Persia menyerbu negeri Syam pada tahun 713 , mereka menghabisi seluruh keturunan orang-orang Ghassan, peristiwa ini terjadi beberapa saat sebelum turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW, dan mulai tersebarnya Islam. Sebelum masa Islam, negeri Syam mengenal tiga entitas Arab. Pertama adalah kemunculan kabilah Anbath di wilayah selatan, Tadmur di wilayah utara dan kabilah Ghassan berada antara kedua kabilah tersebut. Kabilah Tadmur belum pernah sampai pengaruhnya ke Palestina, sementara kabilah Anbath telah memusatkan diri di el Batra’, bagian timur Yordania. Dengan cepat mereka memperluas pengaruhnya secara ekspansif dan mendirikan kerajaan untuk diri mereka yang dipimpin oleh al Harits I sejak tahun 169 SM. Pada masa kejayaannya, kerajaan mereka meliputi wilayah-wilayah timur dan selatan Palestina, wilayah Huran, Idum, Madyan dan wilayah pesisir Laut Merah. Kerajaan mereka mengepung wilayah orang-orang Mukabi ( Yahudi) dari tiga arah pada masa kekuasaan al Harits II dan III. Namun kerajaan mereka ini juga tidak bertahan lama, sampai akhirnya jatuh ke tangan Romawi pada akhir abad pertama masehi. (84) Setelah futuh islami, kabilah-kabilah Arab tersebar di Palestina dan berbaur dengan orang yang telah ada lebih dahulu termasuk dengan kaum Kan’an dan yang lainnya. Terus terjadi arabisasi secara bertahap dan alami di bawah panji Islam, sampai akhirnya agama warga Palestina Islam dan lisan (bahasa) mereka Arab. Secara umum, orang-orang Arab yang tinggal menetap di Palestina, mereka adalah kaum Qahthawi yaitu dari Arab Aribah, yakni mereka adalah dari kabilah Arab yang asal usulnya kembali kepada asli Yaman. Karena mayoritas pasukan futuh Islam waktu itu berasal dari kabilah ini. Dan menetap, misalnya, orang-orang dari kaum Asy’ariyah Thabari dan menjadi mayoritas di sana, dan menetap sebagian kaum keturunan Judzam di Beit Jibrin, selanjutnya menjadi Thabari, dan orang-orang dari kaum Bakar bin Wail tinggal menetap di Jenin, dan yang lainnya dari Mudhar bin Nazzar di Nablus. Di wilayah Hebron (al Khalil) dan sekitarnya telah menetap Lakham dan anak kabilah (marga) Bani Abdul Dar, mereka adalah anak keturunan Tamin al Dari radhiyallahu ‘anhu. Kabilah Aribah yang paling menonjol adalah suku Himyar, anggota suku ini menasabkan diri mereka ke kabilah Qudha’ah, yang anak kabilahnya tersebar di desa-desa el bathani (Gaza), Jama’in (Nablus), Lembah Hanin (Yafa) dan yang lainnya. Dari anak kabilah Qudha’ah yang tersebar di Palestina adalah kabilah kalb, bali, Jahinah, Jaram, Qudamah, Bani Bahra’, Bani’Adzrah, kabilah Qiin dan Maskah. Sedang dari Arab Aribah adalah Bani Kahlan – yang menonjol adalah suku Thai’ yang hari ini dikenal dengan nama Shamr -, Lakham, Zubaid, Aus dan Khazraj semuanya tersebar di tempat-tempat yang berbeda-beda di Palestina. Di sana juga ada sejumlah kabilah Arab dari wilayah utara Jazirah Arab yang dikenal dengan Bani Adnan atau Bani Ismail atau Bani Arab Musta’rabah. Termasuk yang menisbatkan diri ke kabilah ini adalah kaum Quraisy yang sejumlah marga (keluarga) keturunannya datang ke Palestina dari keturunan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abbas dan dari sahabat-sahabat yang lainnya. Di sana juga ada kabilah ‘Anzah, Harb dan yang lainnya. (85) Bangsa Palestina masih tetap muslim dan berlisan Arab sejak futuh islami hingga hari ini. mereka tidak pernah terpengaruh oleh masa perang salib dalam struktur pendudukan, kecuali sedikit sekali ketika orang-orang Salib Eropa menyerbu mereka. Maka dengan cepat umat Islam menguasai serangan tersebut dan mengembalikan identitas kemuslimannya. Palestina tetap menjadi tempat yang menarik untuk ditempati karena kedudukannya sebagai tanah suci, karena letak geografisnya yang strategis, karena cuacanya yang sedang, karena potensi pertanian, perdagangan dan yang lainnya. Karenanya, telah tinggal di Palestina orang-orang Israel dari bangsa Kurdi, Barbar (Afrika), Chechnya, Bosnia, Turki yang kemudian terjadi arabisasi dan berbaur dengan pendudukannya. Meski demikian di Palestina masih tetap ada minoritas Nasrani yang hidup dengan aman dan tenang di bawah pemerintahan umat Islam. Di antara orang- orang Nasrani Palestina, mereka yang masih tetap pada agama mereka, adalah penduduk Palestina. Dan juga orang-orang Nasrani yang ingin tinggal di Palestina berasal dari Armenia, Yunani dan yang lainnya. Toleransi Islam juga diberikan seluas-luasnya kepada orang-orang Yahudi untuk tinggal menetap di Palestina, mereka dianggap sebagai ahli dzimmah. Mereka hidup sebagai minoritas yang tidak memiliki obsesi politik. Pada awal abad ke-19 , jumlah mereka tidak lebih dari 5 ribu jiwa. Jumlah mereka meningkat menjelang program kerja aktif eksodus Yahudi ke Palestina sekitar tahun 1880 hingga mencapai 23 ribu jiwa. (86) Ketika pasukan Israel menduduki Palestina pada tahun 1918 , jumlah penduduk Palestina sekitar 665 ribu jiwa. Sebanyak 550 jiwa warga muslim, 60 ribu jiwa warga Nasrani dan 55 ribu jiwa warga Yahudi. Yakni orang Arab waktu itu mencapai 91 ,73 % dari seluruh jumlah penduduk. Sedang Yahudi 8 ,27 % yang mayoritasnya mereka itu adalah para pendatang asing yang datang dari Rusia dan Eropa Timur selama 40 tahun sebelumnya. (87) Di bawah penjajahan Inggris, yang telah berjanji mendirikan negara nasional bagi Yahudi di Palestina, terbuka lebar-lebar pintu migrasi Yahudi ke Palestina dan pembangunan permukiman-permukiman Yahudi. Sehingga selama tahun 1919 – 1948 saja orang-orang Yahudi yang migrasi ke Palestina sebanyak 483 ribu Yahudi. (88) Akan tetapi sampai keluarnya keputusan PBB mengenai pembagian Palestina pada November 1947 orang-orang Arab Muslim Palestina masih tetap mayoritas. Sesuai dengan maklumat ( informasi) dari lajnah PBB yang menyarankan pembagian Palestina, maka jumlah penduduk Arab Muslim Palestina mencapai 1 juta 237 ribu 374 jiwa atau 67 ,05 % dari total jumlah penduduk yang ada, sedang Yahudi sekitar 608 ribu 225 jiwa atau 32 ,95 % dari total jumlah penduduk. Angka ini berdasarkan data resmi pihak Inggris tahun 1946. (89) Keputusan PBB yang zhalim dengan membagi Palestina ini telah berupaya memberikan legalitas bagi pendirian entitas “negara” Zionis Yahudi di tanah Palestina. Wujud kezhaliman yang paling menonjol akibat dari keputusan PBB ini adalah tercerai-berai dan terusirnya warga Palestina. Di wilayah yang dibagi, di mana orang Yahudi mendapat bagian 54 % tanah, orang Yahudi yang tinggal hanya 498 orang dan orang Arab Muslimnya 497 ribu jiwa. Sedang di wilayah yang dibagi, di mana orang Arab Palestina Muslim mendapat 45 % tanah, orang Arab Palestina yang tinggal sebanyak 725 ribu jiwa sementara Yahudi hanya 10 ribu orang saja. Sementara itu diputuskan wilayah al Quds (1 % dari tanah Palestina) berada dalam kontrol internasional dengan dihuni 105 ribu Arab Muslim Palestina dan 100 ribu Yahudi. (90) Berdasarkan studi data yang mendalam, yang dilakukan Janeet Abu Laghad, bahwa jumlah orang-orang Palestina Arab Muslim pada akhir tahun 1948 sekitar 1 juta 398 ribu orang. Sedang menurut perkiraan Salman Abu Sittah, pada tahun yang sama, jumlah orang Palestina sekitar 1 juta 441 ribu jiwa. (91) Dikarenakan orang-orang Yahudi benar-benar telah siap menghadapi perang, dengan mendapat dukungan dari kekuatan super power untuk membagi Palestina, bahkan siap untuk melakukan ekspansi wilayah entitas Yahudi  dan mengusir orang-orang Palestina dari tanah yang telah beratus-ratus tahun mereka tempati, maka perang tahun 1948 benar-benar menjadi bencana dan prahara besar bagi rakyat dan bangsa Palestina. Berdasarkan data pihak PBB, sedikitnya 726 ribu orang Palestina terusir dari tanah tinggal mereka, dan menurut prediksi jumlah itu bertambah mencapai 900 ribu pengungsi. Artinya lebih dari 2 /3 rakyat Palestina telah terusir dari kampung halaman mereka. Di mana orang-orang Zionis Yahudi telah mempraktekkan salah satu cara paling biadab dalam melakukan pembersihan etnis dalam sejarah modern. Kemudian posisi orang-orang Palestina yang terusir digantikan oleh orang-orang Zionis Yahudi dari berbagai jenis bangsa dan warna. Pada tahun 1967 , penjajah Israel menganeksasi wilayah Palestina yang tersisa (Tepi Barat dan Jalur Gaza) dan mengusir 330 ribu rakyat Palestina berikutnya. (92) Dan penjajah Zionis Israel melarang, dan sampai saat ini masih tetap melarang, orang-orang Palestina kembali ke tanah-tanah mereka. Oleh karena itu, dalam jumlah yang sangat besar, lebih dari separo total penduduk Palestina, sebagai pengungsi di luar tanah Palestina. Yakni sekitar 4 juta 830 ribu pada tahun 2002 , atau sekitar 50 ,55 % dari total jumlah warga Palestina. (93) Masalah pengungsi Palestina adalah masalah kemanusiaan yang paling sulit dalam sepanjang sejarah modern. Mereka adalah para pemilik tanah, paling banyak jumlah dan paling lama mengalami tindak kejahatan bila dibandingkan dengan pengungsi-pengungsi seluruh dunia sejak tahun 1948. Meski demikian, dunia internasional masih tunduk dan mengamini kekuatan negara-negara adi daya, khususnya Amerika Serikat bersama Zionis Israel, yang melarang dan mencegah orang- orang Palestina kembali ke tanah air mereka. Meski sudah ada puluhan resolusi PBB yang menegaskan hak mereka untuk kembali. Bersambung… ___ Referensi: Dr. Muhsin Muhammad Shaleh, Warsito, Lc (pent), Ardhu Filistin wa Sya’buha (Tanah Palestina dan Rakyatnya), Seri Kajian Sistematis tentang Issu Palestina (1). ___ Catatan kaki: 82 Al Mausu’ah al Filistiniyah 1/362 83 Secara rinci dapat dilihat di al mausu’ah al filistiniyah 1 /37 , 3 /273 – 279, 4/174, sebagaimana telah diisyaratkan di buku Tarikh Filistin al Qadim oleh Dzufrul Islam Khan, yang telah merekomendasikan untuk membeca masalah tema ini. 84 Al mausu’ah al filistiniyah 3/218 – 219 dan 401 – 402. 85 Ibid. 1 /362 – 366, 3/253. Seputar rincian kabilah-kabilah Arab di Palestina lihat buku Mustafa Murad al Dibagh, al qabail al arabiyah wa salailuha fii biladina Filistin. 86 Hassan Hallaq, Ibid. hlm. 82 – 84. 87 Sebagian besar sumber (referensi) tidak ada kesamaan angka tertentu secara detail seputar jumlah penduduk tahun 1918 , meski perbedaan angka dari masing-masing sumber tidak begitu signifikan dan tidak terlalu urgen. Sedang taksiran jumlah orang Yahudi berdasarkan sumber-sumber yang ada berkisar antara 7 % – 10% dari jumlah total penduduk Palestina. Angka yang ada di atas adalah apa yang dilihat penulis mendekati kevalidan berdasarkan pada kajian perbandingan pada sejumlah sumber (referensi). Lihat misalnya: al Nehal, ibid. hlm. 87 , Muhammad Izet Daruza, Filistin wa Jihad al Filistiniyin, hlm. 11. Lihat juga laporan Komisi Palin (P.C. Palin) yang dibentuk oleh pemerintah Inggris untuk penyelidikan pada intifadhah Nabi Musa yang meletus pada 4 – 10 April 1920 , data ini masih tersimpan di F.O. 371 /5121 , hlm. 3. 88 Lihat: Muhammad Mi’ari mengenai “ komposisi penduduk” di dalam bukunya, Dalil Israil al ‘Am, hlm. 42 89 Al mausu’ah al filistiniyah 1/ 558. 90 Ibid. 1 /559 – 560. 91 Salman Abu Sita, Palestinian Right to Return (London: The Palestine Return Centre, 1999) hlm.16. 92 Lihat: Buletin Nasyrah al Audah, edisi 65 , Juli 1999. Dan Cliford Rait, Haqaiq wa Abathil fii al Shira’ al Arabi al Israili, terjemahan ( dalam bahasa Arab) oleh Abdullah Uraikat dan Abdullah Iyad (Aman: Darul Nashir, 1992) hlm. 36. Juga harian Kuwait al Anba’ edisi 3 Februari 1987. 93 Jumlah penduduk Palestina biasanya didasarkan kepada perkiraan bukan kepada penghitungan data yang detail. Di sana ada data statistic dan perkiraan tahunan khusus berkaitan dengan jumlah penduduk Palestina yang tinggal di entitas Zionis Israel dengan catatan bahwa jumlah mereka itu ditambah warga Palestina yang tinggal di al Quds ( Jerusalem) Timur (karena pihak penjajah menyatakan telah menggabungkan secara resmi al Quds Barat dan al Quds Timur) jumlah mereka diperkirakan mencapai 200 ribu. Pemerintah Palestina melakukan pendataan penduduk Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza pada tahun 1997 yang biasanya juga meliputi warga Palestina yang ada di al Quds Timur. Adapun data orang Palestina yang ada diluar maka angka-angka mereka adalah perkiraan berdasarkan ijtihad para peneliti. Dan memungkinkan mendapatkan angka perkiraan dengan mengetahui perkiraan pertambahan jumlah orang-orang Palestina dalam setiap tahunnya dari total jumlah mereka, yang diperkirakan rata-rata angka pertambahannya adalah sekitar 3 ,4 %. Lihat rinciannya pada halan-halaman berikutnya.

/@cwi

selengkapnya...

Tafsir Surah Al Fathihah




Written AL MAU’IDHOH بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Puji-pujian bagi Allah Yang Esa, yang telah menciptakan manusia dalam kejadian yang sangat indah dan sempurna. Dia yang telah menjadikan Al Quran sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Sholawat dan salam ditujukan atas Nabi Muhammad Salallahu’alahi Wassalam sebagai penutup para nabi dan rosul, bagi para ahli keluarga beliau serta para sahabatnya. Adapun dengan tersusunnya Tafsir Surah Al Fathihah ini yang sengaja di beri nama AL MAU’IDHOH adalah didasarkan semata-mata merasa berkewajiban, agar oleh anak-anakku yang sangat kusayangi dapat dijadikan sebagai washiyat dan nasihat.

Ya Allah, tiada lain hambaMu sangat berharap dan mendambakan akan ampunanMu dan kerihoanMu, karena hamba yaqin terhadap segala janji- janjiMu. Palembang, 1 Muharram 1406 16  September   1985 hamba Allah yang faqier Muhammad Bardan Kindarto   TENTANG BASMALAH بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah Yang Penyayang) Ucapan ‘basmallah’ yang tersebut di dalam Al Quran itu, sebenarnya bukan merupakan satu ayat dari suatu surah Al Quran.
Baikpun yang tersebut dalam Surah Al Fatehah atau pada setiap permulaan surah - terkecuali Surah At Taubah. Ucapan ‘basmallah’ kedudukan sebenarnya adalah sebagai berikut : 1.   Perintah Allah yang mengandung ‘ adab’, yang diterangkan dalam Al Quran Surah Al ‘Alaq ayat 1, yang berbunyi : اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ Bacalah dengan nama Rabb engkau ( Muhammad) yang menciptakan Perintah membaca pada ayat di atas dasar hukumnya adalah mengandung ‘ amr  lil  ijab’, yang maksudnya ‘wajib akan pelaksanaannya’. Akan tetapi disebabkan pertama, karena pada tiap- tiap Allah menurunkan surah Al Quran kepada RosulNya senantiasa didahului dengan lafadz ‘bismillahirrahmanirrahim’, kecuali hanya pada satu surah saja yaitu At Taubah. Kemudian sebab kedua, adanya riwayat yang diajarkan Allah kepada Muhammad SAW., tentang kisah Nabi Sulaiman as., ketika mengirim surat kepada Ratu Balqis yang dimulai dengan “bismillah”. Sebagaimana diterangkan dalam Al Quran Surah An Naml ayat 30 yang berbunyi : إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan Sesungguhnya (isi)nya: "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Oleh karena itu kedudukan ‘basmallah’ adalah ‘amr lil adab’, maksudnya ‘ perintah yang menunjukkan adab’, atau setinggi-tinggi kedudukannya adalah ‘ nadab’. Bukan berkedudukan sebagai ‘ ijab’ yaitu wajib, bukan pula salah satu daripada ayat, akan tetapi bagian atau potongan daripada ayat di dalam Al Quran Surah An Naml ayat 30 itu. Adapun penomoran ayat-ayat Al Quran terjadi pada masa mutakhir oleh para ulama untuk memudahkan mempelajarinya sehingga pada mushaf Al Quran sekarang lafadz ‘basmallah’ khusus pada Surah Al Fatehah diberi urutan penomoran pertama. 2. Dengan adanya keterangan dari al hadits tentang pemakaian basmallah untuk setiap memulai pebuatan baik semakin memperjelas akan kedudukan basmalah itu menjurus kepada “adab”. Dalam hadits tersebut dinyatakan : “ Segala perkara kebaikan yang tidak dimulai dengan bismillahirahmanirrahim maka ia akan terputus (dari rahmat)” ( Hadits riwayat Abdul Qodir Ar Rowahiy dari sahabat Abi Hurairah ra.). Adapun kedudukan hadits tersebut oleh Imam Jalaludin Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthiy di dalam Kitabnya yang bernama Al Jami’ush Shoqhier pada juz II halaman 92 , cetakan ke empat, terbitan tahun 911 Hijriyah, dinyatakannya lemah (dlo’if). Namun isi haditsnya adalah bersesuaian dengan kehendak hukum dari Al Quran. 3. Adanya keterangan atas dasar hadits- hadits Rasulullah yang menyangkut masalah pembacaan Al Fathihah di dalam sholat juga menunjukkan bahwa ucapan “basmallah” itu adalah bukan salah satu ayat dalam Surah Al Fathihah. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam beberapa hadits, yang antara lain sebagai berikut : “……berkata Rasulullah: Bagaimana engkau membaca ketika memulai sholat?, berkata (sahabat) : “Aku membaca Alhamdulillahirobbil ‘alamin hingga akhirnya”, maka berkata Rasulullah : Inilah surah, dan ia adalah tujuh yang diulang-ulang…….” (Hadits dari Aba Sa’id Al Maula ‘Amir bin Kuraiz yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitab Al Muwatho’ pada halaman 73). Hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam Al Bukhari dalam Kitab Shahih Al Bukhari juz I halaman 179. Juga dalam Kitab Shahih Muslim yang bernama “Al Jami’us Shahih Imam Abi Al Husain uslim bin Al Hajaj bin Muslim Al Qusyairiy An Nisyaburiy pada juz I halaman 149 dengan penjelasannya. Juga terdapat dalam Kitab Syarieh dari Mukhtashor Shahih Shahih At Turmudzi pada juz II halaman 143-144. Juga oleh Ibnu Hajar dalam Kitab Subulus Salam pada juz I halaman 263-264. Maka dengan keterangan demikian jelaslah bahwa ucapan “basmallah” itu termasuk amr (perintah) di dalam Dinul Islam, tapi pada posisi amr lil adab. Dan bukanlah dia itu termasuk salah satu ayat dari Surah Al Fathihah yang dinamakan “As Sab’u minal matasniy” ( tujuh yang diulang-ulang). Lanjutan.... Ayat ke 1 : الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ “Segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam. Bahwa yang dimaksud dengan kalimat Alhamdulillah adalah segala pujian itu seluruhnya milik Allah, hakNya, dan wajib dikembalikan kepadaNya. Karena hanya Allah saja Yang Maha Sempurna, Maha Pencipta dan Maha Berkehendak terhadap segala sesuatu ciptaanNYa. Perlu diketahui bahwa dalam pengertian pujian itu sendiri didalamnya mengandung suatu dorongan bagi hamba Allah untuk wajib mengenalNya. Sehingga segala sesuatu yang terjadi pada alam semesta ini keseluruhnya akan menjurus kepada pengertian tauhid dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu yang dimaksud pujian disini adalah meliputi beberapa hal, yaitu : 1 . Pujian Allah terhadap diriNya. 2 . Pujian Allah terhadap makhluqNya. 3 . Pujian makhluq terhadap Allah, dan 4 . Pujian makhluq terhadap makhluq. Adapun penjelasan makna dan tafsir dari kalimat alhamdulillah pada ayat tersebut diatas adalah sebagai berikut: a. Pujian Allah terhadap diriNya Maksud Pujian Allah terhadap diriNya disini adalah bahwa Allah menunjukkan tentang keadaan diriNya Yang Maha Terpuji, bahwa Dia Yang Maha Sempurna, Maha Pencipta, Maha Berkehendak melalui Nama-namaNya yang indah yang disebut Al Asma Al Husna, yang diterangkan melalui ayat-ayatNya. Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mempunyai sembilan puluh sembilan nama. إ ِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً غَيْرَ وَاحِدَةٍ مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ هُوَ اللَّهُ الَّذِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ…. الْوَارِثُ الرَّشِيدُ الصَّبُورُ . “Sesunguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu, barangsiapa menghafalnya ia akan masuk ke dalam jannah, Dialah Allah yang tiada ilah selain dari Dia, Arrahman (Maha Pengasih), Ar Rahim (Maha Penyayang)… , Al Warits (yang Maha Mewarisi) Ar Rasyid (Yang Maha Menunjukkan) Ash Shabur (Yang Maha Sabar)”. Hadits di atas dari Abi Hurairah yang diriwayatkan Turmudzi; Ibnu Hibban; Hakim; Al Baihaqi, dan dinyatakan berderajat shahih. Juga dishahihkan oleh Imam Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthiy dalam Kitabnya Al Jami’ ush Shoghier pada Juz I halaman 94 , cetakan ke empat hahun 911 Hijriyah. Ada pula hadits tentang Al Asma Al Husna dari Abu Syaeh dan Ibnu Mardawaih, juga dari Abu Naim dari Abi Hurairah, tetapi hadits tersebut dinyatakan dlo’if oleh Imam As Suyuthiy di dalam kitabnya. Namun pada intinya, sebagai hamba Allah dengan pengenalan Al Asma Al Husna olehNya bertujuan untuk menghayatinya dan mewujudkannya dalam bertauhid terhadap af’alNya atau sifat-sifatNya. Berkaitan tentang pengenalan ini diterangkan antara lain dalam Al Quran Surah Al Hasyr ayat 22 sampai 24 berikut: هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ ( ٢٢)هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ (٢٣)هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٢٤) “Dialah Allah yang tiada ilah selain Dia, yang mengetahui perkara ghaib dan yang nyata, Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada ilah selain Dia, Yang Merajai, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai nama-nama yang baik, bertasbih kepadaNya apa yang di langit dan bumi, dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Lanjutan.. Pada ayat-ayat tersebut di atas jelas adanya bahwa Allah Maha Sempurna dan Dia mengenalkan diriNya kepada hamba- hambaNya dengan nama-nama yang indah atau yang diistilahkan Al Asmaul Husna. Dan keadaan Dia tidak ada keserupaan sama sekali dengan segala apa yang diciptakanNya, sebagaimana yang tersebut dalam Al Quran Surah Al Ikhlas Ayat 4 : وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (٤) “Dan tidak ada sesuatupun yang sepadan (sama) denganNya. Maksudnya ialah bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini semuanya adalah diciptakan olehNya. Oleh karena itu mustahil apabila sifat Allah itu dipersamakan dengan makhluqNya, dan mustahil pula bahwa Allah itu mengambil manfaat terhadap makhluqNya. Dengan demikian maka Dzat Allah itu keadaanNya tidak akan dapat terjangkau oleh fikiran, bayangan atau angan-angan. Perihal ini ada tersebut di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Adie dalam Kitab Al Kamil, oleh Al Baihaqi dalam Syu’b Al Iman, serta oleh As Sayuthi dalam Al Jami’us Shoghir-kalaupun As Sayuthi memandang hadits ini adalah lemah (Al Jami’us Shaghier jus I halam 132) antara lain berbunyi : تَفَكَّرُوْا فِى الْخَلْقِ وَلاَتَفَكَّرُوْا فِى الْخَالِقِ ”Pikirkanlah oleh kamu tentang ciptaan ( Allah) dan janganlah kamu memikirkan tentang Yang Mencipta”. Hadits-hadits yang semakna dengan itu juga dikeluarkan oleh Abie Nuaim yang  Hadits menguatkan makna terhadap ayat dalam surah Al Ihlash tersebut diatas yaitu : -         Jelas bahwa Yang Pencipta itu keadaanNya tidak dapat terjangkau oleh fikiran, angan-angan dan ataupun bayangan dari makhluq. -         Dengan demikian mengandung hukum haram atau syirik apabila menyerupakan keadaan Dzat Allah dengan makhluqNya. Manusia di dalam hal berfikir hanya ditugaskan oleh Allah agar memikirkan tentang dirinya, kejadiannya dan sebagainya, dan bukan memikirkan tentang Dzat Allah, seperti tersebut dalam Al Quran surah Ar Rum ayat 8 yang berbunyi : أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ…. “Dan tidakkah mereka (mau) berfikir terhadap diri-diri mereka ? Maksud ayat tersebut diatas adalah memberi pelajaran kepada kita bahwa dengan berfikir akan hal-hal yang diperintahkan Allah, maka akan menjurus kepada tujuan utama yaitu mengenal akan adanya Yang Maha Pencipta, yaitu Allah. Selanjutnya diterangkan oleh Allah didalam Al Quran surah Ar Ra’du ayat 3, sebagai berikut : وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الأرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (٣) “dan Dialah yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan yang berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. Yang dimaksud berpasang-pasangan, ialah jantan dan betina, pahit dan manis, putih dan hitam, besar kecil dan sebagainya. Selengkapnya terdapat dalam Kitab Tafsir Al Mau'idhoh.
/@cwi

selengkapnya...

Delapan Tanda Orang Ikhlas

Oleh: Mochamad Bugi
Amal yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun. Pertama, amal itu harus didasari oleh keikhlasan dan niat yang murni: hanya mengharap keridhaan Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus sesuai dengan sunnah Nabi saw. Syarat pertama menyangkut masalah batin. Niat ikhlas artinya saat melakukan amal perbuatan, batin kita harus benar-benar bersih. Rasulullah saw. bersabda, “ Innamal a’ maalu bin-niyyaat , sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh Allah swt. sangat bergantung pada niat kita. Sedangkan syarat yang kedua, harus sesuai dengan syariat Islam. Syarat ini menyangkut segi lahiriah. Nabi saw. berkata, “ Man ‘amala ‘ amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun , barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka perbuatan itu ditolak.” ( Muslim). Tentang dua syarat tersebut, Allah swt. menerangkannya di sejumlah ayat dalam Alquran.
Di antaranya dua ayat ini. “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh….” ( Luqman: 22). “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan….” (An-Nisa: 125) Yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada Allah” di dua ayat di atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang yang dimaksud dengan “mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Fudhail bin Iyadh pernah memberi komentar tentang ayat 2 surat Al-Mulk, “ Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala , supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Menurutnya, maksud “yang lebih baik amalnya” adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi saw. Seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’ adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud ‘benar’ adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.” Setelah itu Fudhail bin Iyad membacakan surat Al-Kahfi ayat 110 , “ Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt. Delapan Tanda Keikhlasan Ada delapan tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda itu adalah: 1. Keikhlasan hadir bila Anda takut akan popularitas Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya. Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.” Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari khalayak ramai ( uzlah ). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya. 2. Ikhlah ada saat Anda mengakui bahwa diri Anda punya banyak kekurangan Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia  merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis. Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: “Dan orang-ornag yang mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Apakah mereka itu orang- orang yang mencuri, orang-orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan murka Allah ‘ Azza wa jalla? Rasulullah saw. menjawab, “ Bukan, wahai Putri Abu Bakar. Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementera mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan dan mereka orang-orang yang berlomba.” ( Ahmad). 3. Keikhlasan hadir ketika Anda lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan bangunan. Suatu hari Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?” Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi) 4. Ikhlas ada saat Anda tak masalah ditempatkan sebagai pemimpin atau prajurit Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.” Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab, ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid berjuang untuk mendapat ridha Allah swt. 5. Keikhalasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang- bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun. 6. Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah Adalah ikhlas saat Anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan Anda kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi Anda. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu. “Dan di antara mereka ada orang yang mencela tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58) 7. Keikhalasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran Anda untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. Seperti Nabi Nuh a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata, “Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku!” 8. Ikhlas ada saat Anda merasa gembira jika kawan Anda memiliki kelebihan Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader, orang seperti ini tidak segan- segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan.
/@cwi

selengkapnya...

Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |