Nasib Bahasa Arab di Tengah Arus Globalisasi

Tak diragukan lagi pentingnya bahasa Arab bagi umat Islam, terutama. Ia bahasa al- Qur\'an dan Hadis, dua pilar pokok dalam Islam. Hal yang wajar dan tak bisa disederhanakan, apalagi dituduh arabisme ketika Imam Syafi\'i dalam ar-Risalahnya, disusul kemudian pengarang kitab yang lagi digandungi sarjana Islam – Imam Syathibi dalam Muwafaktnya - mensyaratkan bagi siapa-siapa yang mau berijtihad untuk terlebih dahulu menguasai ilmu bahasa Arab. Bahasa Arab juga adalah bahasa Ilmu, terutama keilmuan Islam klasik. Beratus-ratu ribu buku dari berbagai disiplin ilmu warisan nenek moyang kita memakai bahas Arab. Keistimewaan lain bahasa Arab, dibanding bahasa-bahasa dunia lainnya, adanya ikatan kuat dengan agama. Karena kitab suci agama Islam diturunkan dengan bahasa Arab. Sementara bahasa asli Taurat dan Injil kini sudah punah.
  Pada masanya dulu, tepatnya sebelum Barat memasuki masa renaissance , berabad-abad lamanya bahasa Arab jadi bahasa dunia. Ia merupakan bahasa politik, ekonomi, bahkan dunia keilmuan. Ada beberapa sebab yang membuatnya jadi bahasa peradaban dunia, dimana setiap orang yang berkeinginan maju, merasa berkewajiban menguasainya. Diantaranya yang paling penting adalah: -    Adanya proyek Arabisasi buku-buku administrasi pemerintahan pada masa dinasti Mu\'awiyah (Khalifah Abd. Malik * 685-705 M* dan anaknya al-Walid * 705-710 M*) yang mau tidak mau memaksa para pegawai pemerintahan yang tak bisa berbahasa Arab untuk belajar bahasa Arab. -        Proyek terjemahan, terutama buku-buku keilmuan, secara besar-besaran pada masa dinasti Abasiah (200 H/ 900 M), dari bahasa Yunani, India, Suryani ke dalam bahasa Arab, yang mengakibatkan orang Islam menjadi bangsa yang luar biasa kreatif dan kemudian menjadikan Islam sebagai kiblat keilmuan dan peradaban dunia Kondisi Bahasa Arab Sekarang Keadaan diatas itu terjadi dulu. Kalau kita amati sekarang, kondisinya akan tampak berbalik. Apalagi sejak memasuki era globalisasi, keadaannya makin mengkhawatirkan. Bahasa Arab perlahan tapi pasti posisinya mulai tergusur, dan bahasa Inggris menahbiskan diri sebagai bahasa nomor satu dunia. Pemasalahannya tidak berhenti sampai di situ. Akibat globalisasi zaman, dan budaya konsumtif yang tinggi dikalangan negara Arab, ditambah ledakan informasi, secara sadar atau tidak sadar, mau atau tak mau, bahasa Inggris meringsek masuk ke dalam sistem-sistem sosial di kalangan Arab sendiri. Misalnya, dalam bidang pendidikan, banyak sekolah-sekolah di sana, terutama dalam mata pelajaran eksakta: Kimia, Fisika, Matematika dan biologi, bukunya menggunakan bahasa Inggris. Begitu juga dalam dunia teknologi, kosa kata asing tak kuasa untuk dibendung. Celakanya kemudian bahasa itu diterima apa adanya, karena secara level sosial akan dinggap sebagai orang modern. Perubahan kalimat asing hanya dari sisi tulisan –dari latin ke arab-, bunyi tetap sama: laptop, mouse, keybord, mobile, oke, dll. Kondisinya tidak seperti abad dua Hijriah dulu. Walaupun kosa-kata asing banyak bermunculan, tapi tidak langsung dimakan mentah-mentah. Ada proses yang sangat ketat, dimana kosa kata asing sedapat mungkin dicarikan kosa kata yang semakna, kalau tidak ada dilakukan penerjemahan, kemudian kalau masih tak bisa baru diterima apa adanya. Dalam kehidupan sosial juga penggunaan bahasa yang keinggris-inggrisan sedang digandrungi masyarakat Arab. Kondisi yang sungguh memprihatinkan. Kita selalu berharap pada lembaga-lembaga kajian bahasa Arab untuk segera melakukan tindakan-tindakan preventif, misalnya melakukan penerjemahan kata-kata asing dan melakukan gerakan cinta bahasa Arab, dst. Kita tak memungkiri apalagi anti bahasa Inggris, atau bahasa asing lainnya. Semuanya penting untuk kita pelajari dan kita kuasai! Tapi sikap toleran itu tidak kemudian menggerus dan meninggalkan bahasa Ibu, sebagai identitas bangsa yang punya harga diri. Karena fenomena yang terjadi, penggunaan bahasa asing itu, ada indikasi, lebih sebagai sebentuk keminderan atas bahasa sendiri. Mereka merasa sebagai orang \' maju\' ketika menggunakan bahasa asing. Himbauan kepada lembaga-lembaga kajian bahasa Arab saja tidak cukup tentunya. \' Serangan\' itu akan terus bertubi-tubi, bahkan makin dahsyat selama mereka tak mau mencontoh nenek moyangnya dulu, yaitu menjadi bangsa yang sangat kreatif . Menjadi produsen, bukan konsumtif dan pemalas seperti sekarang ini. Walllahu \'alam


/@cwi

selengkapnya...

Feminisme dalam Ibadah (Studi Singkat Kasus Aminah Wadud)

Kasus ini sebetulnya sudah agak usang dibenak kita. Namun yang hendak dibedah dalam rubrik ini bukan dari apek berita yang gampang kadaluwarsa. Melainkan sebuah studi kasus hingga tetap menarik disimak dan menemukan relevansinya dalam konteks kekinian. Yang jelas hikmah dibalik peristiwa tersebut, kita merasa umat Islam sejak memasuki masa taqlid, hingga kini, yang diidentifikasikan sebagai masa kebangkitan Islam (al-Shahwah al- Islamiyah) masih belum mampu merumuskan skala prioritas (fiqh awlawiyat) sebagai peta pergerakan. Dalam banyak kasus, kita lebih suka bikin sensasi daripada membuat gerakan yang punya dampak sosial positif. Akibatnya, kadang hal-hal penting bagi kepentingan masa depan, seperti isu pendidikan, kemiskinan, atau lingkungan hidup merasa bukan bagian dari ajaran Islam. Syahdan, Jum"at (18 /3 /2005) , adalah hari " bersejarah" bagi umat Islam. Bagaimana tidak?


Setelah kurang lebih 14 abad yang lalu, semenjak Islam lahir, baru kali ini ada seorang wanita tampil menjadi khatib, sekaligus imam shalat jum"at. Dia adalah Dr Amina Wadud, profesor Studi Islam di Virginia Commonwealth University. Kontan saja, momen langka dan kontroversial ini memancing polemik keras dan beragam tanggapan. Satu sama lain saling bertentangan secara diametral, antara yang menolak dan yang meneguhkan. Beberapa media cetak di Timur Tengah menjadikannya sebagai headline berita selama berhari-hari. Bahkan, beberapa diantaranya menyediakan rubrik khusus. Di Dunia Arab, Mesir khususnya, kasus ini menjadi perdebatan hangat dari mulai masyarakat awam hingga ulama kelas dunia. Sebut saja, Prof. Dr. Sayyed Thanthawi (Grand Syeikh al-Azhar), Syeikh Yusuf Qardhawi, hingga para ulama-pemikir lainnya, ikut-ikutan memperbincangkan. Dalam tulisan ini, sekurang-kurangnya ada dua demensi yang akan kita telaah sebagai studi kasus: Pertama, dimensi hukum (Fiqh): sahkah shalat jum"atnya Dr. Amina Wadud berikut jamaah-nya?. Kedua, dan ini yang terpenting dilihat dari dimensi sosial: sejauh mana daya efektivitas momen ini dalam pemberdayaan sumber daya wanita? Dimensi Hukum Terlepas dari adanya perbedaan sikap para ulama mengenai status boleh tidaknya seorang wanita menjadi imam shalat bagi makmum laki- laki (yang akan dibahas), kita berpikir, pada akhirnya shalat jum"at Dr. Amina Wadud, cs, dalam perspektif fiqh, tetap dihukumi tidak sah ( wallahu ‘alam). Kenapa? Karena perbuatannya tetap tidak menemukan celah justifikasi hukum, legal-formal. Dalam hal ibadah, kaidah yang berlaku adalah: al-ashlu fi al-ibadah al-hurmah illa ma dalla al-dalil "ala ibahatihi (bahwa hukum asal dalam lingkup ibadah adalah ikut pada apa yang telah digariskan). Atau dalam bahasa lain: al-ittiba" fi al-din, wal ibtid"a fi al-dunya (dalam urusan ibadah, kita hanya ikut pada apa yang diperintah Allah, sedang untuk masalah duniawi, menyangkut hubungan sosial/mu"amalah, kita berlomba-lomba untuk terus berkarya, berkreasi). Kaidah ini amat bijak dan sangat sarat dengan nuansa perikemanusiaan. Allah tidak menghendaki hambanya menambah beban berat dalam hal ibadah, apalagi sampai menyusahkan diri sendiri, cukup melaksanakan apa-apa yang telah digariskan. Membaca praktek ritual jum"at yang dilaksanakan Amina Dawud, minimal ada tiga problem hukum (fiqh) yang perlu dipersoalkan. Pertama, apakah boleh seorang wanita menjadi imam bagi makmum laki-laki? Kedua, bolehkah seorang wanita menjadi khatib jum"at? Ketiga, adakah dalil, atau pendapat fuqaha yang memperbolehkan shalat jum"at ala Dr. Amina Wadud, dimana wanita bercampur satu baris ( shaf) dengan laki-laki, apalagi beberapa diantaranya tak berkerudung. Di bawah ini, kita akan coba mengurai secara ringkas jawaban ketiga pertanyaan tersebut: Untuk soal pertama: Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama, termasuk mazhab empat (Malikiyah, Hanafiyah, Syafi"iyyah, Hanbaliyah) mengatakan tidak boleh seorang wanita menjadi imam untuk makmum laki-laki. Bahkan dalam mazhab mazhab Maliki ada pendapat yang mengatakan, seorang wanita mutlak tidak boleh menjadi imam shalat, baik makmumnya laki-laki, maupun wanita. Sementara minoritas kalangan ulama yang diwakili Imam al-Thabari, Abu Tsaur, dan al- Muzani menyatakan bahwa seorang wanita boleh dan sah menjadi imam shalat secara mutlak, baik makmumnya laki-laki, maupun wanita. Mereka bersandar pada hadits Ummi Waraqah -riwayat Abi Dawud dan al-Daraqutni- di mana Nabi mengizinkan Ummi Waraqah menjadi imam shalat bagi keluarganya. Padahal, dalam keluarganya ada yang berjenis kelamin laki-laki.   Namun dalil dari kalangan minoritas ini ‘ dimentahkan’ oleh mayoritas ulama, bahwa kasus Ummi Waraqah terjadi dalam konteks shalat sunnah, bukan shalat fardhu, atau khusus untuk mengimami keluarganya yang berjenis kelamin wanita saja. Kemungkinan lain, benar bahwa Ummi Waraqah diizinkan menjadi imam untuk laki-laki, akan tetapi kasus ini lebih sebagai khususiyah dari Nabi yang berlaku hanya untuk Ummi Waraqah. Jadi tidak bisa diqiyaskan, bahwa wanita lain pun boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki. Secara ringkas, boleh tidaknya wanita menjadi imam bagi makmum laki-laki adalah khilaf. Pada titik nadir ini, apa yang dilakukan Amina Wadud, yakni pada tataran konteks wacana wanita jadi imam, sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Justru yang baru di sini adalah ranah aplikasinya hukum setelah sekian abad lamanya belum pernah terjadi dalam sejarah panjang Islam. (Ibn Rusyd dengan sangat baik mendokumentasikan perdebatan ini di Bidâyah al-Mujtahid wa Nihayâh al-Maqashid, cet. Dar al-Manar, jilid 1 , hal. 125) - ( lihat juga pendapat Imam Syafi"i dalam al-Umm, cet. Dar al-Fikr, Beirut,1990 , jilid 1 , hal 191). Soal kedua, tentang bolehkah seorang wanita menjadi khatib jum"at? Sejauh bacaan saya, tidak satu ulama pun yang memperbolehkan. Hal ini sempat diperkuat juga oleh Mufti Mesir: Syeikh "Ali Jum"ah (Sawt al- Azhar, 25 /3 /2005). Dan karena problem inilah saya kemudian berkesimpulan shalat Jum"atnya Dr. Amina Wadud, cs, ‘bermasalah’. Soal yang terakhir, dari berbagai penelusuran beberapa sumber, tampaknya praktek shalat yang dilakukan oleh Amina Wadud, di mana shaf shalat antara laki-laki dan wanita dicampur, selain menyisakan kesan provokatif, juga nampak problematis dalam kacamata hukum; haruskah wacana kesetaraam gender diseret ke ruang ibadah? Apa manfa"atnya? Dimensi Sosial Selain menuai reaksi keras, apa kira-kira ‘ sesuatu’ yang didapatkan oleh Dr. Aminah Wadud jika melihat kemaslahatan atau skala prioritas di level sosial? Melihat reaksi keras orang-orang yang menentang Dr. Aminah Wadud, saya melihat, bahwa reaksi orang-orang yang kontra, tidak murni karena merasa Dr. Amina telah mendobrak otorianisme dan hegemoni Fiqh yang telah mapan semenjak 14 abad lalu. Ada sisi lain yang perlu dipertimbangkan, sisi implementasi di lapangan. Pada sisi ini, saya menilai Dr. Amina telah bertindak tidak bijak. Coba pembaca perhatikan. Dari tayangan beberapa media, tampak ada beberapa hal kontroversial yang tidak pernah dilakukan dalam ritual shalat jum" at selama 14 abad lalu, siang itu, secara sekaligus dipraktekan dengan vulgar dan provokatif. Misalnya: 1. Imam dan Khatibnya seorang wanita 2. Yang adzannya juga seorang wanita, tanpa berjilbab lagi 3. Shof (barisan) shalat antara laki-laki dan wanita campur 4. Dilakukan di sebuah Gereja Akhirnya, bagi yang kontra, mari kasus di atas kita jadikan media intropeksi diri, jangan-jangan kegiatan mereka hanyalah reaksi dan protes sosial atas adanya semacam diskriminasi terhadap ruang gerak wanita dipanggung publik. Yang pasti Islam sangat menghargai kaum wanita dan mendukung untuk maju terus dalam berbagai aspek.

/@cwi

selengkapnya...

Salafisme-Baru?

Salafiyah Tidak seperti yang saya duga sebelumnya, mungkin juga anda, almarhum Syeikh Ghazali, DR. Yusuf Qaradhawi, DR. Ramdhan al-Bouti, DR. Aly Gum\'ah –Mufti Mesir, dan sejumlah tokoh Islam lainnya yang selama ini dikenal moderat, ternyata juga tak luput dari hujatan, dibid\'ahkan, bahkan kadang dianggap berpikiran sesat, oleh sekelompok orang yang mengaku salafi. Syeikh Ghazali menamakan kelompok yang kerap mengaku paling salafi ini sebagai Salafi-Baru. Tak cukup individu saja yang dikecam, organisasi-organisasi sosial-keagamaan yang tidak sejalan dengan pemikirannya, seperti Jama\'ah Tabligh, Ikhwan Muslimin, dll, pun juga kena semprot. Seringkali yang terakhir ini diplesetkan menjadi Ikhwanul Muflisin. Selanjutnya, Anda bisa mereka-reka sendiri bagaimana dengan nasib pemikir-pemikir Islam yang dianggap, katakan saja, "liar”? F enomena ini, dalam konteks kepentingan Islam global, tentu sangat tidak menarik, bahkan mengkhawatirkan! Karena mengganggu soliditas dan persaudaraan umat. Juga mengganggu konsentrasi primer yang lebih mendesak untuk digarap umat Islam dewasa ini, yaitu pendangkalan pemahaman hakikat Islam, mengentas kemiskinan, mengejar ketinggalan dalam bidang pendidikan, hi-tec , wawasan peran global dan hal krusial lainnya.
Terma Salaf Secara etimologi s, kata salaf sepadan dengan kata qablu . Artinya setiap sesuatu yang sebelum kita. Lawan kata salaf adalah khalaf (generasi setelah kita). Kata ini kemudian menjadi sebuah terminologi untuk menunjuk pada generasi keemasan Islam, tiga generasi pertama Islam: para Sahabat, Tabi\'in dan Tabi\' Tabi\'in atau Salaf Shalih. Istilah ini merujuk pada hadis Nabi: Khairul quruni qarni..... (H.R. Bukhari dan Muslim) . Dalam wacana Islam kontemporer, kat a salaf kemudian diimbuhi ya nisbat pada hurup akhirnya: menjadi salafi, kadang juga salafiyah – dengan penambahan ta, setelah ya, untuk menunjuk pada kelompok Islam yang menjadikan cara berpikir dan suluk generasi salaf sebagai sumber inspirasi. Bahkan beberapa kelompok salafi menganggapnya sebagai mazhab. T erma salafi pada perkembangan berikutnya, mengalami metamorfosis dan tidak bisa diartikan tunggal lagi. Kalimat itu menjadi multi makna. Sikap tak terburu-buru dalam analisis menjadi sebuah keniscayaan ketika menemukan kalimat salafi. Karena pada tingkat sesama pemikir saja, umpamanya, konotasinya bisa berbeda satu sama lain. Misalnya, Goerge Tharabisi dan Aziz Azmah, menggunakan kata salafi untuk sesuatu yang pejoratif: untuk menunjuk arus pemikiran atau kelompok yang anti segala hal yang berbau modernitas dan anti pembaharuan. Lawan dari terma salafi model ini adalah progresif (taqadumi). Sementara, Abid Jabiri, Fahmi jad\'an, dan sebagian orientalis menggunakan istilah salafi untuk menunjuk pada setiap gerakan atau pemikiran Islam, yang menjadikan al-Qur\'an dan Hadis sebagai sumber utama pemikirannya. Makna yang terakhir ini cakupan lebih luas: memasukan banyak tokoh dan kelompok Islam, baik yang moderat, "literal" -dzahiriyah judud, dan semua kecenderungan pemikiran yang menjadikan al-Qur\'an dan Hadis sebagai rujukan utama. Pada tingkatan klaim antar sesama kelompok pengikut salafi, juga tak kalah ruwetnya. Banyak sekali kelompok yang mengklaim dirinya sebagai salafi hakiki. Di Kuwait, misalnya, data menunjukkan ada lima kelompok yang sama- sama mengaku sebagai salafi, satu sama lain saling kecam dan mendaku sebagai yang paling sah. Sejatinya, s alaf bukanlah sebuah mazhab dan juga bukan personifikasi individu. Seperti pernah disinggung di atas, ia adalah sebuah generasi yang disabdakan Nabi sebagai generasi terbaik, yang mencakup tiga generasi Islam pertama. Kenapa dianggap yang terbaik? Karena mereka adalah generasi yang paling dekat, dengan pengertian seluas-luasnya, dengan masa kenabian. Terutama generasi pertama yang langsung dapat bimbingan dari Rasulullah Saw. Apa makna hadis ini bagi generasi setelahnya? Hadis ini mengajak kita semua untuk menjadikan metode berpikir dan cara bersikap mereka sebagai sumber inspirasi. Bukan malah dijadikan mazhab! Maka tak semua yang mengaku salafi akan otomatis berpikiran kolot. Tergantung kepada artikulasi dan cara memahami pola berpikir dan suluk salaf shalih itu sendiri. Dalam pandangan saya, salafi sejati tidak akan berpikir dan bersikap kaku. Dan kata salaf sendiri secara bahasa sangat netral dan sama sekali tidak mengandung arti pejoratif. Hanya saja , karena berbagai faktor, pada akhirnya, istilah salafi sangat identik dengan kelompok Wahabi, sebuah aliran yang didirikan Syeikh Muhamad Bin Abdul Wahab ( 1703-1791) di Najd, Arab Saudi. Sebagian dari mereka, ada perasaan bahwa dirinya lah yang paling salafi. Mereka sendiri, sebetulnya lebih enjoy dipanggil salafi, daripada Wahabi. Tapi, sayangnya ditangan mereka, makna salafi kemudian dicederai, dikerangkeng pada permasalahan furu\'iyah dan perdebatan- perdebatan lama ulama klasik, baik di bidang Fikih, Ilmu Kalam, Tashawuf. Dalam Fikih mereka lebih konsen: membid\'ah-bid\'ahkan tradisi maulid nabi, ziarah, tawasul dan yang sejenisnya. Dalam Ilmu Kalam, alih-alih menanamkan hakikat makna tauhid, mereka memperdebatkan kembali tentang, misalnya, asma wa sifat dan bahayanya menta\'wil ayat ar-Rahmanu \'ala al- \'arsyi istawa dengan tawil sebagai kinayah dari keagungan Allah Swt, dll. Mereka akan mengecam siapa pun yang tidak sejalan dengan alur pemikirannya. Tak heran, kalau dicermati karya-karyanya, maka kita akan menemukan daftar-daftar bid\'ah mulai yang klasik sampai bid\'ah kontemporer. Judulnya pun bisa kita tebak seputar rad wa al\'tirad mandul: fulan dalam timbangan Islam, mengcounter pemikiran fulan atau menelanjangi pemikiran fulan. Tentu saja bukan berarti kita tidak boleh untuk mendiskusikan kembali soal-soal di atas. Yang tidak boleh adalah menjadikan permasalahan di atas sebagai prioritas utama. Tulisan ini dimaksudkan sebagai pengantar singkat untuk membedah dan mendiskusikan kembali metode dan gerakan Salafi-Wahabi saja. Tak akan membahas gerakan salafi secara umum. Sudah kita maklumi semua, akhir-akhir ini, dalam beberapa hal, sebagian oknum yang berafiliasi pada kelompok Salafi-Wahabi dianggap kerap melakukan tindakkan-tindakkan yang berpotensi merusak citra Islam, meresahkan dan banyak menimbulkan perpecahan dikalangan intern umat Islam. Tidak hanya di Timur Tengah, tapi juga di negara- negara dimana ada komunitas Islamnya, termasuk di Barat. "Lawannya" pun di batasi hanya dari kelompok-kelompok moderat saja: Syeikh Qaradhawi cs. Artinya, kritikan-kritkan keras Wahabi yang ada di tulisan ini, ditunjukkan buat tokoh-tokoh di atas yang selama ini dianggap moderat dan diakui otoritas keilmuannya. Poinnya, betapa sama tokoh moderat pun Wahabi masih merasa kegerahan. Sebelum mengenal lebih jauh tentang dasar pemikiran Salafi-Wahabi, ada baiknya kita petakan secara sederhana dulu gerakan awal salafi, dengan menjadikan Mesir, Maroko dan Saudi sebagai sampel. Peta Gerakan Salafi Gerakan Salafi, lebih-lebih mulai awal abad 19 M. tidak hanya disuarakan di Arab Saudi saja, tapi juga di berbagai negara Islam, diantaranya Mesir, dan Maroko. Yang menyatukan gerakan salafi ditiga negara itu adalah keseriusannya terhadap pemberantasan bid\'ah, purifikasi akidah, perlawanan atas gerakan tasawuf. Mungkin karena suasana dan tuntutan lingkungan yang berbeda, membuat Salafi Maroko dan Mesir dengan Jamaludin al-Afghani dan Muhamad Abduh sebagai pionirnya kemudian mempunyai kekhasan yang tidak dimiliki Salafi- Saudi atau Salafi-Wahabi. Misalnya, Salafi Maroko dan Mesir bisa lebih terbuka dengan modernitas dan tidak berhenti berkutat pada persoalan purifikasi akidah saja. Mereka mengalami lompatan perjuangan. Dalam kasus salafi Mesir, mereka langsung bergelut dengan problem kebangsaan yang sedang dihadapi. Abduh berani melakukan pembaharuan keagamaan, bahasa Arab dan reformasi fundamental metode pendidikan di universitas al-Azhar. Salafi Mesir juga bergabung bersama pemerintah mengangkat senjata untuk mengusir penjajahan Perancis. Hal yang sama pun berlaku bagi kelompok Salafi Maroko. Sementara Salafi Arab Saudi dihadapkan pada kenyataan lain. Mereka sibuk bertempur dengan saudara seagama. Secara eksternal dan dengan di back-up Inggris, mereka berperang melawan Dinasti Ustmani. Pada tingkat internal mereka keasyikan melakukan purifikasi akidah dan memberantas tarekat-tarekat sufi yang saat itu berkembang pesat di Arab Saudi. Latar belakang inilah mungkin yang kemudian bisa menjelaskan kenapa kelompok salafi Arab Saudi sangat keras: berpikir sempit dan kolot. Dasar-Dasar Pemikiran Salafi-Wahabi A presiasi kita sama Wahabi yang sangat peduli dengan laku sunah, otentifikasi sanad hadis, purifikasi akidah dengan memberantas bid\'ah- bid\'ah, tak bisa menghapus kesan kuat, bahwa secara umum, baik dalam bidang pemikiran, keagamaan, sosial dan politik sebagian orang yang berafiliasi kepada Wahabi banyak mengadopsi pendapat-pendapat keras-kaku. Mulai dari mengharamkan sistem demokrasi, sistem partai, konsep nation-state, kepemimpinan wanita –bahkan wanita tidak boleh menyetir mobil sendiri, membid\'ahkan maulid Nabi, ziarah kubur, zikir jama\'ah, anti sufi sampai fatwa haram menggunakan sendok makan (lihat misalnya fatwa salah satu tokoh Salafi-Wahabi Yaman, Syeikh Muqbil dalam bukunya: as-Shawaiq Fi Tahrim Malaiq atau Halilintar: Tentang Haramnya Memakai Sendok. Men cermati daftar permasalahan-permasalahan yang disesatkan-dibid\'ahkan oleh mereka, maka kita akan berkesimpulan, bahwa kebanyakan daftar itu masuk wilayah mukhtaf fihi : suatu wilayah yang masih dan akan selalu diperdebatkan karena berangkat dari dalil yang tidak qath\'i ats-tsubut wa ad-dilalah atau tidak ada ijma ulama. Sebetulnya sikap ulama klasik sudah sangat jelas dan bijak, bahwa dalam wilayah yang masih mukhtalaf fihi , siapa pun tidak boleh memaksakan pendapatnya. Karena akan terjebak pada fanatisme bermazhab dan perpecahan seperti sekarang ini. Semua orang bebas dengan pilihannya. Pertanyaannya: apa gerangan yang menyebabkan konsentrasi mayoritas dari mereka tersedot pada hal-hal yang masih diperdebatkan? Apa yang membuat mereka seolah lupa bahwa masalah pokok umat Islam sekarang adalah kemiskinan, ketinggalan dalam bidang pendidikan, hi-tech dan bidang primer lainnya? Realitas di atas terjadi karena dasar pemikiran mereka banyak berlandaskan pada , diantaranya: 1 . Ada pembalikan skala prioritas pada cara berpikir dan bertindaknya. Misalnya, mereka lebih memilih meneriakan slogan bid\'ah-sesat pada orang yang merayakan acara maulid, ziarah kubur, dll yang hukumnya masih mukhtaf fihi , walapun berpotensi mengancam persatuan umat. Karena jelas sikap keras itu akan menimbulkan ketersinggungan dan menimbulkan aksi balas yang kontra-produktif. 2 . Dalam bidang pengetahuan agama , mereka terlalu konsen dengan menghafalkan tumpukan matan-syarah kitab, dan sibuk dengan fikih furu\'iyah yang sering tidak di bandingi dengan pengetahuan kontemporer, sehingga yang terjadi adalah keluarnya fatwa-fatwa keras pada soal khilafiyah yang sering bertabrakan dengan kemaslahatan umat. 3 . Menutup pintu kebenaran dari pendapat orang lain. Seolah yang benar hanya dirinya saja. Efeknya mereka menekan orang lain untuk ikut pendapatnya. Bahkan sebagian dari mereka tak segan untuk menyesatkan ulama yang berfatwa kebalikan dari pendapatnya. Lihat misalnya kasus yang menimpa pengarang buku best seller , La Tahzan , Dr. \'Aidh al-Qarni yang dikecam habis gara-gara berfatwa wanita boleh tak memakai cadar dan boleh ikut pemilu. Hal yang sama juga pernah menimpa almarhum Syeikh Ghazali dan Syeikh Qaradhawi. 4 . Sering me- blowup permasalahan ajaran sufi, ziarah kubur, maulid nabi, tawasul dan sejenisnya, seolah-olah ukuran tertinggi antara yang hak dan bathil. Tapi pada saat yang sama mereka tidak peduli pada kebijakan publik dari pemerintahnya yang kadang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan umat Islam. Mereka taat total pada penguasa yang kadang kebijakannya tidak arif. Sangat jarang, kalau tak dikatakan tak ada, tokoh-tokoh Wahabi melakukan kritik pedas pada pemerintahan Arab saudi soal soal sistem pemerintah, kebijakan penjualan minyak, kebijakan politik luar negeri, lebih-lebih mengkritik "kedekatan" pemerintahanya sama Amerika dan sekutunya. 5 . Terlalu mengagungkan tokoh-tokoh kuncinya, semisal Ibnu Taymiah, Bin Baz, dll, sehingga mengurangi nalar kritis. Padahal, pada saat yang sama mereka berteriak anti taklid! 6 . Terlalu asyik dengan permasalahan mukhlataf fihi , sehingga sering lalai dengan kepentingan global umat Islam 7 . Terlalu tekstualis, sehingga sering menyis ihkan pentingnya akal dan kerap alergi dengan hal-hal baru. P oin-poin di atas, menggiring kita pada kesimpulan bahwa Salafi-Modern mengalami krisis metodologis dan krisis fikih prioritas. Maka tak terlalu mengherankan kalau mereka juga biasa mengecam keras, dan sering gerah dengan sikap dan pendapat tokoh yang saya sebutkan di mukadimah yang dikenal moderat dan mumpuni secara keilmuan. Kesimpulan ini tentu tidak bisa digenerilisir begitu saja kepada semua Salafi- Wahabi. Karena ini sikap yang tidak ilmiah dan tak adil. Tapi, minimal, kalau kita amati buku- buku yang beredar tentang salafi yang ditulis oleh kalangan mereka, juga mengamati milist, maupun website yang dikelolanya, sedikit banyak anda mungkin akan setuju dengan kesimpulan saya. Lebih-lebih kalau yang dijadikan sampel adalah kalangan generasi mudanya. Ada satu hal yang perlu digarisbawahi, dengan kritikan ini tidak berarti kita memandang remeh pada hal-hal yang mereka bahas. Juga tak berarti mereka tidak boleh memilih pendapat- pendapat yang menjadi keyakinannya. Itu adalah hak mereka. Yang salah adalah ketika pendapat- pendapat itu diekspor melewati teritorialnya kemudian dipaksakan kepada orang lain. Dan siapa saja yang menolak atau tidak ikut pendapatnya maka akan dihukumi bid\'ah, bodoh akan hukum Islam dan disesatkan! Yang paling mengkhawatirkan bagi saya, krisis ini menyebabkan mereka sering kehilangan akal kesadaran akan kepentingan global umat Islam, bahwa kita sedang dikepung arus globalisasi dan era pasar bebas yang tak mungkin dihindari. Arus ini bisa menggerus siapa saja yang tak berdaya. Ya, saya takut kita kehilangan rasa persaudaran, rasa sepenanggungan dan militansi akan kepentingan umat Islam! Padahal sekarang ini umat Islam bukan pemegang pentas dunia, baik sosial, politik maupun ekonomi. Artinya kita butuh ukhuwah untuk menegaskan identitas kita, lebih dari pada masa-masa sebelumnya. Bukan Ukhuwah yang hanya berhenti untuk membangkitkan romantisisme masa kejayaan silam. Ukhuwah yang dimaksud adalah untuk membangkitkan tekad membangun kembali peradaban Islam. Sebagai penutup, marilah kita sadar fikih prioritas dan saling bahu-membahu pada hal yang kita sepakati, dan memberikan kebebasan memilih pada hal yang masih mukhtalaf fihi . Dan dalam bidang hukum Islam, khususnya, dan pemikiran pada umumnya mestinya sekarang ini jangan hanya mencukupkan diri pada apa yang telah dihasilkan ulama klasik sambil berteriak: ma taraka al-awal lil-akhir ! (bahwa semuanya telah dibahas ulama klasik). Tapi harus menggabungkan antara apa yang pernah diwariskan ulama klasik dengan produk kontemporer. Dengan begitu kita tak tercerabut dari akar identitas kita, juga tak kaku-gagap dengan segala hal kebaruan. Konsep ini berdasarkan pada kenyataan bahwa setting formulasi-formulasi pemikiran ulama klasik banyak dihasilkan tepat pada saat umat Islam memegang kendali dunia. Ingat data sejarah mencatat -+ 700 tahun kita memegang peradaban dunia. Misalnya saja konsep bahwa non muslim yang tinggal di negara Islam harus mengenakan pakaian tertentu atau konsep uang yang wajib dizakati adalah uang yang berbentuh dinar dan dirham saja. Padahal dua jenis uang itu, kesaktiannya telah digantikan oleh uang kertas, khususnya dollar, dll. Realitas saat ini sangat berbeda. Umat Islam sedang terpuruk dalam banyak hal. Data dilapangan menunjukan 50 % umat Islam pendapatan perkapitanya dibawah 2 dollar. Dengan pendapatan itu jangan berpikir bisa meningkatan kualitas pendidikan. Membuat anaknya tidak kelaparan saja sudah sangat layak mendapatkan gelar Bapak Teladan! Akibat dari keterpurukan ini maka cermatilah hasil-hasil keputusan hukum fikih yang ditelorkan baik, oleh Majma\' Buhust Mesir, Bahtsul Masail PBNU, Majelis tarjih PP. Muhamadiyah, dll seringkali yang temukan adalah fikih solusi, bukan hukum normal yang berdiri dengan gagah. Kaidah adh-dharurat tubihu al-mahdhurat, al-amru idza dzaka it- tasa\', konsep sadz- adz-dzari , dan kaidah-kaidah lain yang mengisyaratkan kita dalam posisi " kalah hidup" pun menjadi kaidah yang paling laris. Kenapa? Karena realitas kebijakan hitam- putih dunia sekarang ini tidak ditangan kita. Mereka yang punya otoritas kebijakan dunia. Bukan kita! Sekarang pertanyaannya: Sudah siapkah kita untuk lebih mendahulukan persatuan dan kepentingan umat? Astagfirullah Li Walakum . Takaballah Mina wa Minkum Ajma\'in. Wallahu \'alam bi as-shawab.


/@cwi

selengkapnya...

Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |