Mengenang Letusan Gunung Krakatau 1883


Oleh T. BACHTIAR
TERDENGAR
dentuman yang sangat
keras, lalu langit
Pelembang gelap
gulita. Debu turun
tiada henti. Rentetan
letusan dahsyat Gunung
Krakatau di Selat
Sunda itu puncaknya
terjadi pada
tanggal 27 Agustus
1885 pukul 10.02 dan
10.52. Dentumannya
terdengar hingga di
Australia. Batu
apung dan debunya
dilontarkan ke
angkasa hingga
mencapai ketinggian
80 km. Abu yang
melayang-layang itu
telah menurunkan
suhu selama dua
tahun. Abunya kemudian
jatuh di
kawasan seluas
827.000 km2.
DENTUMANNYA
terdengar sampai ke
Sri Langka dan
Karaci (di barat). Dan ke
timur sampai ke Perth dan
Sydney. Abu letusan yang
disemburkan ke angkasa lalu
menyebar ke sebagian besar
dunia. Cahaya matahari
menjadi redup. Warna matahari
terlihat hijau, kadang
merah, atau kuning.
Abu Krakatau memenuhi
atmosfer, sehingga memengaruhi
cahaya matahari.
Kejadian di Surabaya, misalnya,
matahari terlihat
berwarna kuning beberapa
hari. Sedangkan di Tokyo
Jepang, warna matahari
menjadi merah tembaga.
Empat bulan setelah letusan
Krakatau, warna matahari
yang terlihat dari Hong Kong
berubah-ubah secara mengejutkan.
Kadang hijau, merah,
kemudian hijau kembali. Sedangkan
di Missouri Amerika,
6 bulan setelah letusan,
matahari menjadi kuning dengan
dikelilingi lingkaran
warna hijau.

Willard Person Wayne
memperkirakan besarnya letusan
Gunung Krakatau saat
itu mencapai 21.428 kali
bom atom yang diledakkan
di atas Los Alamos tahun
1945. Energi yang dipancarkannya
sebesar 0,019 mega
ton. Besarnya letusan Gunung
Krakatau 1883 mencapai
6 VEI-Volcanic Explosivity
Index (Tom Simkin,
1981). Sebagai bandingan,
letusan Gunung Galunggung
di Kabupaten Tasikmalaya
pada tahun 1982-1983
hanya berada pada level 2-3
VEL
Letusan maha dahsyat itu
telah meruntuhkan tubuh
gunungnya ke dalam laut.
Ambruknya tubuh gunung
seluas 18 km2 itulah yang
telah menimbulkan tsunami
raksasa yang menyapu pantai
Banten dan Lampung.
Menurut Matahelumual
(1992), tsunami Krakatau itu
bukan hanya akibat runtuhnya
tubuh gunung, namun
berbarengan dengan itu terjadi
pula gempa tektonik
yang berpusat di Selat Sunda.
Tsunami yang menyapu
pantai Banten dan Lampung
itu telah menewaskan 36.417
orang. Sebanyak 165 kampung
dan dusun musnah,
dan 132 lainnya hancur sebagian.
Napi berzikir
Kisah nyata Ny. Lindeman
yang berada di Kapal Loudon
dengan posisi di Selat Sunda
saat terjadi letusan Krakatau,
akan menambah penghayatan
kita terhadap bencana
tersebut.
Pagi sekitar pukul 7.00 tiba-
tiba datang gelombang
yang sangat besar dan semakin
dekat dengan kapal.
Kapal kami seperti dinding
terjal yang menjulang tinggi.
Gelombang sudah sangat
dekat. Tiba-tiba kapal terasa
seperti tercampakkan dan
terbenam ke jurang air yang
sangat dalam. Gelombang
segera berlalu, Loudon terbebas
dari malapetaka.
Pagi itu kami juga
menyaksikan gelombang seperti
air terjun raksasa yang
dahsyat mengamuk dan
menerjang kota Telukbetung.
Tiga kali gelombang
beruntun menghancurkan
ibu kota Keresidenan Lampung.
Kami menyaksikan bagaimana
mercusuar patah,
dan menyaksikan bagaimana
dahsyatnya gelombang
menyapu pemukiman penduduk.
Kapal Berauw ternyata
diterbangkan ke dataran
tinggi. Dari tempat kami
berdiri, diperikirakan setinggi
pohon kelapa. Telukbetung
yang indah, untuk beberapa
saat menjelma menjadi
bagian dari laut, dengan
keadaan yang sulit
dilukiskan.
Kejadian-kejadian itu berjalan
sangat cepat, dengan tiba-
tiba, dan tak terduga.
Terjadi pemusnahan yang
sukar ada tandingannya dengan
menelan korban jiwa.
Karena Telukbetung tak
bisa dihubungi dari laut,
akhirnya nakhoda Loudon
mengambil keputusan untuk
memutar haluan, balik lagi
ke Anyer, guna menyampaikan
laporan mengenai
apa yang terjadi di Telukbetung.
Semua penumpang
Loudon merasa beruntung,
dan sangat bersyukur, mereka
telah terhindar dari maut.
Pada malam yang mengerikan
itu, air laut
bergelombang raksasa, sehingga
penumpangnya tak
jadi turun karena kapal sulit
untuk merapat.
Walau baru jam 11.00,
hari semakin gelap, bahkan
tangan sendiri pun tak tampak.
Keadaan ini berlangsung
selama 18 jam. Dalam
kegelapan itu turun hujan
lumpur yang menimbun kapal
setebal setengah meter.
Lumpur gunungapi ihi telah
menutupi lubang telinga,
mulut dan hidung, sehingga
pernapasan menjadi sangat
terganggu.
Laut bergejolak hebat. Angin
kencang berubah menjadi
topan, menjadi puting beliung.
Terjadi serangkaian
gempa laut. Gelombang raksasa
terus mengancam.
Gelombang yang sangat besar
telah menyebabkan
Loudon terombang-ambing,
sehingga para
penumpangnya ketakutan,
khawatir kapal yang ditumpanginya
akan karam.
Suasana bertambah
mencekam. Di atas tiang kapal
yang tinggi, bermunculan
bunga-bunga api kecil warna
biru. Kami menyebutnya api
St. Elms. Menurut kepercayaan
para pelaut, bila ada
tanda-tanda itu, pertanda
kapal akan tenggelam.
Penumpang berusaha untuk
memadamkan api namun
gagal. Api muncul di tempat
lainnya. Saat-saat yang
mencemaskan. Menakutkan.
Di antara selang satu gempa
dengan gempa berikutnya,
suasana benar-benar
mencekam. Sunyi. Dalam kehampaan
itu, tak ada sesuatu
yang bergerak, kecuali suara
para narapidana yang diangkut
dengan kapal kami.
Mereka mendiami bagian
depan kapal. Mereka
dicekam oleh perasaan getir
melihat kenyataan bencana.
Tak henti-hentinya mereka
berzikir, La ila ha Illallah. La
ila ha Illallah. Terus bergema
tiada henti.
Nirca Sultan Muda
Sultan Palembang mempunyai
anak, sultan muda
yang bernama Prabu Jain.
Entah kenapa, sultan muda
itu kemudian diasingkan
oleh pemerintah kolonial ke
suatu tempat. Dalam pengasingannya
itulah Prabu
Jain mengadakan hubungan
terlarang dengan anak
tirinya yang bernama Bunju.
Nirca (perbuatan yang
melanggar hukum agama)
sultan muda dengan anak
tirinya itu diungkap oleh
A.B. Lapian dari Lembaga
Kebudayaan nasional-IJPI
(1983)."
Hubungan nirca itu diketahui
Sultan Palembang
bertepatan dengan bencana
Krakatau yang tiada henti.
Sultan percaya, penyebab
bencana itu karena seorang
gadis yang bernama Bunju,
yang mengadakan hubungan
terlarang dengan bapak
tirinya yang bernama Prabu
Jain. Agar bencana itu segera
berhenti, maka Bunju harus
segera dihukum mati.
Sovinisme laki-laki di kesultanan
itu memang tidak
adil. Perbuatan nirca dilakukan
berdua, namun,
yang harus menerima deritanya
hanya seorang diri,
yaitu Bunju. A.B. Lapian
menulis, "Walau pun ada
dua manusia yang
melakukan perbuatan dosa
dalam kisah percintaan gelap
tersebut, si wanitalah yang
dianggap sebagai "biang keladi
perbuatan iblis" itu.
Melihat kenyataan itu,
Residen Palembang (pejabat
kolonial) segera mengambil
tindakan untuk menyelamatkan
gadis malang tersebut.
Sultan Palembang terus
mendesak residen agar Bunju
diserahkan kepadanya
untuk dihukum mati agar
bencana segera berakhir.
Namun residen berketetapan
hati bahwa Bunju harus
diselamatkan. Sultan memberikan
pilihan, karena
Bunju tidak diserahkan,
Bunju harus segera meninggalkan
Palembang. Residen
setuju, akhirnya Bunju diasingkan
ke Kau, tempat yang
. berada di Pulau Halmahera.
Bunju yang telah menyimpan
benih dari sultan
muda harus berlayar sejauh
+ 2.500 km. untuk sampai
di Kau yang berada dekat
muara Sungai Kau, di
bagian utara Teluk Kau. Pulau
Halmahera merupakan
satu dari sekian puluh gugus
pulau yang berada di
tepian Samudra Pasifik.
Pulau Halmahera mempunyai
deretan gunung, terlebih
di bagian tengahnya.
Dataran rendahnya hanya
terdapat di sepanjang pantai,
seperti yang terdapat di
Kau seluas 15.000 ha. Pulau
ini beriklim tropis dengan
musim hujan berlangsung
antara Desember-Maret. Selama
musim hujan ini angin
bertiup dari barat dan barat
laut yang tidak teratur, dengan
curah hujan rata-rata
3.000 mm per tahunnya.
Pulau Halmahera termasuk
pulau yang cukup menerima
hujan bila dibandingkan dengan
pulau-pulau di selatannya.
Musim kemarau terjadi
antara Mei-Oktober.
Angin timur, tenggara, dan
selatan yang kering meniup
kawasan ini dengan suhu
rata-rata 26,30 °C. Suhu
puncaknya bisa mencapai
330 "C, dan terdingin mencapai
150 "C. Selama April-
November terjadi musim
pancaroba/peralihan.
Penduduk yang pertama
kali datang di kawasan ini
adalah keturunan ras Austro-
Melanesia dan Proto
Melayu. Suku Halmahera
adalah satu dari sedikitnya
43 suku bangsa yang ada di
kawasan ini. Di sini setiap
suku bangsa mempunyai bahasanya
sendiri. Tak kurang
dari 210 bahasa yang terdapat
di sini, namun bahasa
Halmahera cukup luas
penyebarannya.
Rumah aslinya bertiang
dengan atap daun sagu.
Dindingnya terbuat dari gaba-
gaba, tangkai daun sagu
yang kuat.
Halmahera terkenal dengan
hasil rempah-rempah,
seperti cengkeh, pala, dan
kelapa. Perairan lautnya
kaya rumput laut, ikan,
udang, kerang, penyu, cumicumi,
dan teripang. Sedangkan
dari kebun petani dihasilkan
jagung, ubi kayu, uji
jalar, kacang tanah, sayuran,
dan buah-buahan. Dari
hutannya dihasilkan kayu
meranti, kayu besi, kayu
linggua, kayu goppasa, cendana,
damar dan rotan. Pulau
ini menyimpan banyak
potensi bahan tambang,
seperti minyak bumi, nikel,
dan krom.
Di Pulau Halmahera itulah
Bunju diasingkan. Tak
ada kejelasan, apakah Bunju
terus menetap di Kau,
atau mendapatkan pengampunan
sehingga bisa pulang
ke Palembang?
Kalau masih di Halmahera,
pasti Bunju sudah
meninggal saat gugus kepulauan
di tepian Samudra
Pasifik ini dijadikan basis
pertahanan tentara Jepang
dan Sekutu saat berkecamuknya
Perang Pasifik. Tak
terkecuali di Kau. Di Pulau
Morotai, misalnya, ada prajurit
Jepang yang tertinggal
sendirian. Ia bertahan hidup
di hutan hujantropis dalam
perasaan masih berperang.
Saat ditemukan tahun 1980-
an, Nakanmra masih terus
bertahan layaknya dalam
situasi pertempuran.***
Penulis, anggota
Masyarakat Geografi Indonesia
dan Kelompok Riset
Cekungan Bandung./@cwi

selengkapnya...

Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |