Tak Perlu Malu Berkata “Tidak Tahu’’

Ulama saja tidak gengsi berkata, “saya tidak tahu”, kenapa justru kita malu berterus terang kalau memang kita tidak tahu?

Hidayatullah.com--Para ulama terdahulu tidak pernah malu berterus terang jika mereka benar-benar tidak tahu. Karena mereka tahu, bahwa konsekwensi berfatwa tidak didasari ilmu adalah berat. Dan sifat mereka yang hati-hati inilah yang justru menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu. Banyak yang bisa kita tiru dari sifat-sifat baik mereka.

Al Khatib Al Baghdadi mengisahkan bahwa Imam Malik ditanya 48 masalah, hanya dua yang dijawab, dan 30 masalah lainnya dijawab dengan, “la adri“ (saya tidak tahu) (Al Faqih wa Al Mutafaqqih, 2/170).


Kejadian ini tidak hanya sekali. Dirwayatkan juga oleh Ibnu Mahdi bahwa seorang lelaki bertanya kepada Imam Malik, akan tetapi tidak satupun dijawab oleh beliau hingga lelaki itu mengatakan:“Aku telah melakukan perjalanan selama 6 bulan, diutus oleh penduduk bertanya kepadamu, apa yang hendak aku katakan kepada mereka?“ Imam Malik menjawab, “katakan bahwa Malik tidak bisa menjawab!“ (Nukilan dari Al Maqalat Al Kautsari, 398).

Seorang faqih besar Madinah, Imam Madzhab yang dianut ribuan ulama hingga kini, yang madzhabnya menyebar hingga Andalusia tidak segan-segan menyatakan bahwa dirinya tidak mampu menjawab. Tidak hanya beliau, para ulama Madinah juga amat berhati-hati dalam menjawab masalah halal dan haram. Karena jika tidak mengetahui masalah, kemudian memaksakan menjawab, sama dengan menisbatkan suatu perkara yang bukan syari’at kepada syari’at. Beliau menyatakan:“Tidak ada sesuatu yang paling berat bagiku, melebihi pertanyaan seseorang tentang halal dan haram. Karena hal ini memutuskan hukum Allah. Kami mengetahui bahwa ulama di negeri kami (Madinah), jika salah satu dari mereka ditanya, sekan-akan kematian lebih baik darinya.“ (dari Maqalat Al Kautsari, 399).




Abu Hanifah, Imam Madzhab paling tua dari empat madzhab juga pernah ditanya 9 masalah, semua dijawab dengan “la adri”. (lihat, Al Faqih wa Al Mutafaqqih, 2/171).

“La Adri“, Bagian dari Ilmu

Sampai saat ini ada juga yang masih mengira, jika seseorang tidak tahu, lalu ia terus terang mengatakan “saya tidak tahu“, maka sederet stigma negatif akan menempel kepadanya, seperti kurang pengetahuan, bodoh, kuper dll.

Padahal tidak demikian, beberapa ulama seperti Al Mawardi dan Al Munawi menjelaskan, justru merupakan sifat orang alim, jika ia tidak tahu maka ia terus terang. Sebaliknya sifat orang bodoh, jika ia takut mengatakan kalau dirinya tidak tahu, dan hal itu bukanlah sebuah aib.

Beliau menjelaskan:“Kedudukan seorang alim tidak akan jatuh dengan mengatakan “saya tidak tahu“ terhadap hal-hal yang tidak ia ketahui. Ini malah menunjukkan ketinggian kedudukannya, keteguhan dien-nya, takutnya kepada Allah Ta’ala, kesucian hatinya, sempurna pengetahuannya serta kebaikan niatnya. Orang yang lemah dien-nya merasa berat melakukan hal itu. Karena ia takut derajatnya jatuh di depan para hadirin dan tidak takut jatuh dalam pandangan Allah. Ini menunjukkan kebodohan dan keringkihan diennya“. (Faidh Al Qadir, 4/387-388).

Imam Al Mawardi juga menyebutkan: “Jika tidak memungkinkan mendapat kesempatan untuk menguasai seluruh ilmu, maka jahil terhadap beberapa masalah bukan merupakan suatu aib. Jika demikian maka janganlah engkau malu mengatakan,“saya tidak tahu“, menyangkut hal-hal yang engkau tidak tahu“. (lihat, Adab Ad Dunya wa Ad Din, 82)

Sehingga tidaklah heran jika para salaf menyatakan bahwa “la adri“ (saya tidak tahu) adalah bagian dari ilmu. Seperti Abdullah bin Umar yang menyatakan: “Ilmu ada tiga: Kitab yang dibaca, Sunnah yang ditegakkan, dan la adri.“ (Riwayat Ibnu Majah).

Begitu pula Ibnu Mas’ud: “Sudah masuk bagian ilmu, dengan mengatakan “Allahu A’lam“, bagi hal yang tidak diketahui. (Riwayat An Nasai).

Bahkan Al Ghazali menilai bahwa pahala mereka yang mengaku terus terang, tentang ketidaktahuannya, tidak lebih sedikit, jika dibandingkan mereka yang mampu menjawab. Beliau menjelaskan: “La adri adalah setengah dari pengetahuan. Barang siapa diam karena tidak tahu dan itu dilakukan karena Allah, maka pahalanya tidak lebih rendah daripada mengatakan (karena dia tahu). Karena mengakui ketidaktahuan amat berat. Karena kabaikan diam disebabkan tidak tahu karena Allah adalah bentuk kewara’an (kehati-hatian) seperti mereka yang menjawab karena tahu adalah tabaru’an (pemberian). (lihat, Ihya’ ‘Ulum Ad Din, 1/69).

Jika demikian, janganlah kita malu mengatakan terus terang , “saya tidak tahu“, terhadap apa yang tidak kita ketahui. Dan janganlah kita memaksa untuk berbicara tentang hal yang tidak kita ketahui.

/@cwi

selengkapnya...

Rahasia Keutamaan Hari Jumat

Andaikata Rasulullah masih hidup, beliau pasti membenci sineas Indonesia yang menjadikan hari Jumat seolah hari menakutkan dan horor

Hidayatullah.com-Novelis Ayu Sutrisna (diperankan Suzanna) sering mengalami tangan gemetar dan keringat dingin keluar karena mengidap phobia tertentu. Anton (diperankan Alan Nuari), psikiater dan sekaligus pacar yang merawatnya, menganjurkan hidup santai dan menghindari suasana sibuk dan bising.

Ia pun menyepi di sebuah rumah tua milik ayah Anton. Namun dua penjaga rumah tua itu mati mengerikan ketika mencoba memperkosa Ayu. Mereka diperkirakan dibunuh setan. Akhirnya tabir terbuka, ayah Anton mengaku bahwa istrinya telah melahirkan bayi di malam Jumat Kliwon dan terbunuh.

Malam Jumat Kliwon adalah film horor Indonesia yang dirilis pada tahun 1986. Film yang disutradari oleh Sisworo Gautama Putra ini dibintangi antara lain oleh Suzanna dan Alan Nuari.

Malam Jumat Kliwon adalah film horor Indonesia yang dirilis pada tahun 1986. Film yang disutradari oleh Sisworo Gautama Putra ini dibintangi antara lain oleh Suzanna dan Alan Nuari.

Alkisah, di atas era 80-an dan seterusnya, para sineas lain di Indonesia menjadikan hari Jumat sebagai hari menakutkan. Hampir bisa disaksikan di semua TV atau film-film horor, menjadikan hari Jumat sebagai hari “kebangkitan” para setan. Walhasil, hari Jumat adalah hari menyeramkan!

Begitulah para sineas Indonesia yang telah ikut menyumbang keburukan dengan menjadikan Hari Jumat seolah-oleh hari paling sial dan menakutkan. Andai Rasulullah masih hidup di tengah-tengah kita, mungkin baginda akan marah besar. Betapa tidak, karena baginda Rasulullah sangat memuliakan hari Jumat. Dalam banyak riwayat, Rasulullah bahkan meminta kita memuliakan hari itu.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah bersabda. “Hari terbaik di mana matahari terbit di dalamnya ialah hari Jumat. Pada hari itu Adam Alaihis Salam diciptakan, dimasukkan ke surga, dikeluarkan daripadanya dan kiamat tidak terjadi kecuali di hari Jumat.” [Riwayat Muslim]




Rasulullah juga pernah bersabda, “Sesungguhnya hari yang paling utama bagi kalian adalah hari Jumat, maka perbanyaklah sholawat kepadaku di dalamnya, karena sholawat kalian akan ditunjukkan kepadaku, para sahabat berkata: ‘Bagaimana ditunjukkan kepadamu sedangkan engkau telah menjadi tanah?’ Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (Shohih. HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i)

Keistimewaan lain hari Jumat adalah saat-saat dikabulkannya doa, yaitu saat-saat terakhir setelah shalat ashar (seperti yang dijelaskan dalam banyak hadits) atau di antara duduknya imam di atas mimbar saat berkhutbah Jumat sampai shalat selesai ditunaikan.

Amalan Mulia

Allah mengkhususkan hari Jumat ini hanya bagi kaum Muslimin dari seluruh kaum dari umat-umat terdahulu. Di dalamnya banyak rahasia dan keutamaan yang datangnya langsung dari Allah.

Beberapa rahasia keagungan hari Jumat adalah sebagai berikut;

Pertama, Hari Keberkahan. Di mana di hari Jumat berkumpul kaum Muslimin di masjid-masjid untuk mengikuti shalat dan sebelumnya mendengarkan dua khutbah Jumat yang mengandung pengarahan dan pengajaran serta nasihat-nasihat yang ditujukan kepada kaum muslimin yang kesemuanya mengandung manfaat agama dan dunia. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menyebut hari Jumat memiliki 33 keutamaan. Bahkan Imam as-Suyuthi menyebut ada 1001 keistimewaan.

Kedua, Hari Dikabulkannya doa. Di antara rahasia keutamaan hari Jumat lain adalah, di hari itu terdapat waktu-waktu dikabulkannya doa.

“Di hari Jumat itu terdapat satu waktu yang jika seorang Muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.’ Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu.” [HR.Bukhari dan Muslim]

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya pada hari Jumat terdapat waktu mustajab bila seorang hamba muslim melaksanakan shalat dan memohon sesuatu kepada Allah pada waktu itu, niscaya Allah akan mengabulkannya.” [Muttafaqun Alaih]

Ketiga, Hari Diperintahkannya Shalat Jumat. Rasulullah bersabda, “Hendaklah kaum-kaum itu berhenti dari meninggalkan shalat Jumat. Atau (jika tidak) Allah pasti akan mengunci hari mereka, kemudian mereka pasti menjadi orang-orang yang lalai.” [Muslim]. Dalam riwayat lain Rasulullah menyebutkan, “Shalat Jumat adalah hak yang diwajibkan kepada setiap Muslim kecuali empat orang; budak atau wanita, atau anak kecil, atau orang sakit.” [Abu Daud]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٩)

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [QS: Al-Jumu'ah:9]

مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنَ اْلإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا

“Barangsiapa yang bersuci dan mandi, kemudian bergegas dan mendengar khutbah dari awal, berjalan kaki tidak dengan berkendaraan, mendekat dengan imam, lalu mendengarkan khutbah dan tidak berbuat sia-sia, maka baginya bagi setiap langkah pahala satu tahun baik puasa dan shalatnya..”

,Keempat, Hari Pembeda antara Islam dan Non-Muslim. Hari Jumat adalah hari istimewa bagi kaum Muslim. Selain itu diberikan Nabi untuk membedakan antara harinya orang Yahudi dan orang Nashrani.

Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah bersabda: "Allah telah memalingkan orang-orang sebelum kita untuk menjadikan hari Jumat sebagai hari raya mereka, oleh karena itu hari raya orang Yahudi adalah hari Sabtu, dan hari raya orang Nasrani adalah hari Ahad, kemudian Allah memberikan bimbingan kepada kita untuk menjadikan hari Jumat sebagai hari raya, sehingga Allah menjadikan hari raya secara berurutan, yaitu hari Jumat, Sabtu, dan Ahad. Dan di hari kiamat mereka pun akan mengikuti kita seperti urutan tersebut, walaupun di dunia kita adalah penghuni yang terakhir, namun di hari kiamat nanti kita adalah urutan terdepan yang akan diputuskan perkaranya sebelum seluruh makhluk." [HR. Muslim]

Kelima, Hari Allah menampakkan diri. Dalam sebuah riwayat disebutkan,Hari Jumat Allah menampakkan diri kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di Surga. Dari Anas bin Malik dalam mengomentari ayat: "Dan Kami memiliki pertambahannya" (QS.50:35) mengatakan: "Allah menampakkan diri kepada mereka setiap hari Jumat."

Masih banyak keistimewan hari Jumat. Di antaranya adalah; Dalam "al-Musnad" dari hadits Abu Lubabah bin Abdul Munzir, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda:

"Penghulunya hari adalah hari Jumat, ia adalah hari yang paling utama di sisi Allah Subhanahu Wata'ala, lebih agung di sisi Allah Subhanahu Wata'ala dari pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Pada hari Jumat tersebut terdapat lima keistimewaan: Hari itu, bapak semua umat manusia, Nabi Adam 'Alaihissalam diciptakan, diturunkan ke dunia, dan wafat. Hari kiamat tak akan terjadi kecuali hari Jum’at.

Karena itu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, sangat memuliakan hari ini, menghormatinya, dan mengkhususkannya untuk beribadah dibandingkan hari-hari lainnya.

Etika Menyambut Hari Jumat

Mandi Jum’at [jenabat]

Mandi pada hari Jumat wajib hukumnya bagi setiap muslim yang baligh berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri, di mana Rasulullah bersabda, yang artinya, “Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang baligh.” (HR. Bukhori dan Muslim). Mandi Jumat ini diwajibkan bagi setiap muslim pria yang telah baligh, tetapi tidak wajib bagi anak-anak, wanita, orang sakit, dan musafir. Sedangkan waktunya adalah sebelum berangkat sholat Jumat. Adapun tata cara mandi Jumat ini seperti halnya mandi jenabat biasa. Rasulullah bersabda yang artinya, “Barangsiapa mandi Jumat seperti mandi jenabat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

A. Berpakaian Bersih dan Memakai Wangi-Wangian

Rasulullah berkata, "Siapa yang mandi pada hari Jumat, bersuci sesuai kemampuan, merapikan rambutnya, mengoleskan parfum, lalu berangkat ke masjid, dan masuk masjid tanpa melangkahi di antara dua orang untuk dilewatinya, kemudian shalat sesuai tuntunan dan diam tatkala imam berkhutbah, niscaya diampuni dosa-dosanya di antara dua Jum'at." [HR. Bukhari]

B. Menghentikan Aktivitas Jual-Beli dan Menyegerakan ke Masjid

Anas bin Malik berkata, “Kami berpagi-pagi menuju sholat Jumat dan tidur siang setelah sholat Jumat.” (HR. Bukhari). Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Makna hadits ini yaitu para sahabat memulai sholat Jumat pada awal waktu sebelum mereka tidur siang, berbeda dengan kebiasaan mereka pada sholat zuhur ketika panas, sesungguhnya para sahabat tidur terlebih dahulu, kemudian sholat ketika matahari telah rendah panasnya.” (Lihat Fathul Bari II/388)

C. Sholat Sunnah Sebelum dan Sesudah Shalat Jumat

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa mandi kemudian datang untuk sholat Jumat, lalu ia sholat semampunya dan dia diam mendengarkan khotbah hingga selesai, kemudian sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai Jumat ini sampai Jumat berikutnya ditambah tiga hari.” [HR. Muslim]

D. Membaca Surat Al Kahfi

Nabi bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat maka Allah akan meneranginya di antara dua Jumat.”

E. Memperbanyak Shalawat.

Dari Anas ra, Rasulullah bersabda: "Perbanyaklah shalawat pada hari Jumat dan malam Jumat." [HR. Baihaqi]

Dari Aus Radhiallahu 'anhu, dia mengatakan, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bersabda: "Sebaik-baik hari kalian adalah hari Jumat: pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu beliau diwafatkan, pada hari itu sangkakala ditiup, pada hari itu manusia bangkit dari kubur, maka perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari itu, karena shalawat kalian akan diperlihatkan kepadaku", para shahabat bertanya: "wahai Rasulullah, bagaimana diperlihatkan kepada engkau sedangkan tubuh engkau sudah hancur (sudah menyatu dengan tanah ketika sudah wafat), Beliau menjawab: "sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'ala mengharamkan kepada bumi untuk memakan (menghancurkan) jasad para Nabi." [HR, "al-Khamsah]



Mencintai Apa yang Dicintai Nabi

Rasulullah Muhammad adalah orang pilihan dan kekasih Allah SWT. Apapun amalan yang disukai Nabi adalah hal yang paling disukai Allah dan setiap amalan yang dibenci Nabi juga dimurkai Allah.

Bentuk kesungguhan kita mencintai Rasulullah Saw adalah berlomba-lomba dan bersungguh-sungguh mengikuti dan meneladani apa yang telah beliau lakukan. Sebagaimana firman Allah SWT, وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا. Artinya, ”Apa saja yang dibawa oleh Rasul untuk kalian, ambillah, dan apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah.” [QS. al-Hasyr [59]: 7]

Dalam ayat lain disebutkan, Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” [Qs. Ali-Imran [3]: 31].

Karena itu, apapun yang sudah ditetapkan Nabi –termasuk memuliakan hari Jumat-- adalah sesuatu yang sudah pasti disukai Allah SWT. Sangatlah tidak pantas bagi kita sekalian mengada-adakan dan mengarang-ngarang sesuatu yang sesungguhnya tidak ada dan tidak pernah dilakukan Nabi kita.

/@cwi

selengkapnya...

Piagam Jakarta dan Sikap Kristen

Sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin “anti-Pancasila”. Catatan Akhir Pekan

Oleh: Dr. Adian Husaini*

Tanggal 22 Juni biasanya dikenang oleh umat Muslim Indonesia sebagai hari kelahiran Piagam Jakarta. Tetapi, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih tetap menjadikan Piagam Jakarta sebagai momok yang menakutkan. Padahal, Piagam Jakarta bukanlah barang haram di negara ini. Bahkan, dalam Dekritnya pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan tegas mencantumkan, bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Tapi, entah kenapa, kaum Kristen di Indonesia begitu alergi dan ketakutan dengan Piagam Jakarta. Sebagai contoh, Tabloid Kristen REFORMATA edisi 103/Tahun VI/16-31 Maret 2009 menurunkan laporan utama berjudul “RUU Halal dan Zakat: Piagam Jakarta Resmi Diberlakukan?” Dalam pengantar redaksinya, tabloid Kristen yang terbit di Jakarta ini menulis bahwa dia mengemban tugas mulia untuk mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pluralis, sebagaimana diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa.

“Hal ini perlu terus kita ingatkan sebab akhir-akhir ini kelihatannya makin gencar saja upaya orang-orang yang ingin merongrong negara kita yang berfalsafah Pancasila, demi memaksakan diberlakukannya syariat agama tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita saksikan, sudah banyak produk perundang-undangan maupun peraturan daerah (perda) yang diberlakukan di berbagai tempat, sekalipun banyak rakyat yang menentangnya. Para pihak yang memaksakan kehendaknya ini, dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpesta pora di atas kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu,” demikian kutipan sikap Redaksi Tabloid Kristen tersebut.




Cornelius D. Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Inteligensia Kristen Indonesia), seperti dikutip tabloid Reformata menyatakan, bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas ke-Indonesian melalui Perda dan UU. “Sekarang tujuh kata yang telah dihapus itu, bukan hanya tertulis, tapi sungguh nyata sekarang,” tegasnya. Yang menggemaskan, demikian Cornelius, yang melakukan hal itu, bukan lagi para pejuang ekstrim kanan, tapi oknum-oknum di pemerintahan dan DPR. “Ini kecelakaan sejarah. Harusnya penyelenggara negara itu bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen,” kata Cornelius lagi. Bahkan, tegasnya, “Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah puing-puing keruntuhan NKRI.”

Bagi umat Islam Indonesia, sikap antipati kaum Kristen terhadap syariat Islam tentulah bukan hal baru. Mereka – sebagaimana sebagian kaum sekular – berpendapat, bahwa penerapan syariat Islam di Indonesia bertentangan dengan Pancasila. Pada era 1970-1980-an, logika semacam ini sering kita jumpai. Para siswi yang berjilbab di sekolahnya, dikatakan anti Pancasila. Pegawai negeri yang tidak mau menghadiri perayaan Natal Bersama, juga bisa dicap anti Pancasila. Pejabat yang enggan menjawab tes mental, bahwa ia tidak setuju untuk menikahkan anaknya dengan orang yang berbeda, juga bisa dicap anti-Pancasila. Kini, di era reformasi, sebagian kalangan juga kembali menggunakan senjata Pancasila untuk membungkam aspirasi keagamaan kaum Muslim.

Rumusan Pancasila yang sekarang adalah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan Pancasila tersebut adalah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan hasil dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Jadi, Dekrit Presiden Soekarno itulah yang menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan dari Konstitusi Negara NKRI, UUD 1945. Dekrit itulah yang kembali memberlakukan Pancasila yang sekarang. Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi tanggal 18 Agustus 1945 di PPKI, menyatakan, bahwa Dekrit 5 Juli 1959 bersifat “einmalig”, artinya berlaku untuk selama-lamanya (tidak dapat dicabut). “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut,” tulis Kasman dalam bukunya, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982).

Karena itu, adalah sangat aneh jika masih saja ada pihak-pihak tertentu di Indonesia yang alergi dengan Piagam Jakarta. Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD ’45.” (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997), hal. 130).

Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh Muhammadiyah, yang juga Menteri Agama ketika itu mengatakan: “Bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.” (Ibid, hal. 135).

Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa, senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970): “Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta… Tetapi agaknya ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekarang pun setelah PKI beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.” (Ibid, hal. 138).

Jadi, sikap alergi terhadap Piagam Jakarta jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Negara RI, UUD 1945. Meskipun secara verbal “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) telah terhapus dari naskah Pembukaan UUD 1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, Piagam Jakarta juga merupakan sumber hukum yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setelah tahun 1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran.

Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”.

Sebuah buku yang cukup komprehensif tentang Piagam Jakarta ditulis oleh sejarawan Ridwan Saidi, berjudul Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah (Jakarta: Mahmilub, 2007). Ridwan menulis, bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah masyarakat Muslim. Tanpa UUD atau tanpa negara pun, umat Islam akan menjalankan syariat Islam. Karena itu, Piagam Jakarta, sebenarnya mengakui hak orang Islam untuk menjalankan syariatnya. Dan itu telah diatur dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dituangkan dalam Keppres No. 150/tahun 1959 sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara No. 75/tahun 1959.

Hukum Islam telah diterapkan di bumi Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh sebelum kauh penjajah Kristen datang ke negeri ini. Selama beratus-ratus tahun pula, penjajah Kristen Belanda berusaha menggusur hukum Islam dari bumi Indonesia. C. van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje, misalnya, tercatat sebagai sarjana Belanda yang sangat gigih dalam menggusur hukum Islam. Tapi, usaha mereka tidak berhasil sepenuhnya. Hukum Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian dari sistem hukum di wilayah Hindia Belanda. Melalui RegeeringsReglement, disingkat RR, biasa diterjemahkan sebagai Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda (APH), pasal 173 ditentukan bahwa: “Tiap-tiap orang boleh mengakui hukum dan aturan agamanya dengan semerdeka-merdekanya, asal pergaulan umum (maatschappij) dan anggotanya diperlindungi dari pelanggaran undang-undang umum tentang hukum hukuman (strafstrecht).” (Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta hal. 96).

Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, Belanda akhirnya tidak berhasil sepenuhnya menggusur syariat Islam dari bumi Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan berakhirnya masa VOC tahun 1799, VOC terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin menyingkirkan hukum Islam, tetapi sampai munculnya Pemerintah Hindia Belanda usaha itu sia-sia belaka.” (Ibid, hal. 94).

Kegagalan penjajah Kristen Belanda untuk menggusur syariat Islam, harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kaum Kristen di Indonesia. Mereka harusnya menyadari bahwa kedudukan syariat Islam bagi kaum Muslim sangat berbeda dengan kedudukan hukum Taurat bagi Kristen. Dengan mengikuti ajaran Paulus, kaum Kristen memang kemudian berlepas diri dari hukum Taurat dengan berbagai pertimbangan.

Dalam bukunya yang berjudul Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? (Mitra Pustaka, 2008), Pendeta Herlianto menguraikan bagaimana kedudukan hukum Taurat bagi kaum Kristen saat ini. Dalam konsep Kristen, menurut Herlianto, keselamatan dan kebenaran bukanlah tergantung dari melakukan perbuatan hukum-hukum Taurat, melainkan karena Iman dan Kasih Karunia dengan menjalankan hukum Kasih. Jadi, hukum Kasih itulah yang kemudian dipegang kaum Kristen. Hukum sunat (khitan), misalnya, meskipun jelas-jelas disyariatkan dalam Taurat, tetapi tidak lagi diwajibkan bagi kaum Kristen. ‘Sunat’ yang dimaksud, bukan lagi syariat sunat sebagaimana dipahami umat-umat para Nabi sebelumnya, tetapi ditafsirkan sebagai “sunat rohani”. (Rm. 2:29). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 16-17).

Babi, misalnya, juga secara tegas diharamkan dalam Kitab Imamat, 11:7-8. Tetapi, teks Bibel versi Indonesia tentang babi itu sendiri memang sangat beragam, meskipun diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Dalam Alkitab versi LAI, tahun 1968 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.” (Dalam Alkitab versi LAI tahun 2007, kata babi berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”). Pada tahun yang sama, 2007, LAI juga menerbitkan Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini, yang menulis ayat tersebut: “Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak. Dagingnya tak boleh dimakan dan bangkainya pun tak boleh disentuh karena binatang itu haram.”

Jika dibaca secara literal, maka jelaslah, harusnya babi memang diharamkan. Tetapi, kaum Kristen mempunyai cara tersendiri dalam memahami kitabnya. Menurut Herlianto, Rasul Paulus telah memberikan pengertian hukum Taurat dengan jelas: “Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru dan bukan dalam keadaan lama menurut hukum-hukum Taurat.” (Rm. 7:6). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 20).

Pandangan kaum Kristen terhadap hukum Taurat tentu saja sangat berbeda dengan pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam. Sampai kiamat, umat Islam tetap menyatakan, bahwa babi adalah haram. Teks al-Quran yang mengharamkan babi juga tidak pernah berubah sepanjang zaman, sampai kiamat. Hingga kini, tidak ada satu pun umat Islam yang menolak syariat khitan, dan menggantikannya dengan “khitan ruhani”. Sebab, umat Islam bukan hanya menerima ajaran, tetapi juga mempunyai contoh dalam pelaksanaan syariat, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena sifatnya yang final dan universal, maka syariat Islam berlaku sepanjang zaman dan untuk semua umat manusia. Apa pun latar belakang budayanya, umat Islam pasti mengharamkan babi dan mewajibkan shalat lima waktu. Apalagi, dalam pandangan Islam, syariat Islam itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; mulai tata cara mandi sampai mengatur perekonomian.

Pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam semacam ini harusnya dipahami dan dihormati oleh kaum Kristen. Sangat disayangkan, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih saja melihat syariat Islam dalam perspektif yang sama dengan penjajah Kristen Belanda, dahulu. Padahal. sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin yang melaksanakan ajaran Islam sebagai “anti-Pancasila”, “anti-NKRI”, dan sebagainya.

/@cwi

selengkapnya...

Pemuda dan Perjuangan

Oleh: Alwi Alatas

Di abad dua puluh kita menemukan banyak pemuda Islam membawa semangat baru bagi umat yang sedang terpuruk. Bagaimana dengan sekarang?

Tanggal 28 Oktober baru saja berlalu. Tanggal ini di tanah air biasa dirayakan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Harinya pemuda.

Hari tersebut dikenang karena adanya kepeloporan pemuda di pentas nasional dalam upaya menyatukan seluruh elemen pergerakan menuju cita-cita kemerdekaan. Ini merupakan sebuah prestasi penting kaum muda di tengah komunitasnya yang masih bersifat kesukuan serta bagi masyarakatnya yang masih dijajah.


Para pemuda memang sering menjadi pelopor perubahan. Pemuda juga merupakan salah satu pilar peradaban yang sangat penting. Islam mengakui posisi kaum muda yang sangat strategis. Usia muda, menurut al-Qur’an, merupakan usia yang penuh kekuatan, usia yang terletak di antara dua fase kelemahan. Al-Qur’an melukiskannya dengan sangat indah:

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan sesudah kuat itu lemah dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS 30: 54)

Al-Qur’an juga bercerita tentang para pemuda Ashabul Kahfi yang melarikan diri dari kaumnya demi mempertahankan keimanan mereka dan kemudian ditidurkan Allah selama 300 tahun di dalam sebuah gua. Mereka ini disebut oleh al-Qur’an sebagai pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhannya (fityatun āmanu birabbihim). Mereka bukan hanya beriman kepada Tuhan mereka, tapi juga menjadi tanda-tanda zaman yang luar biasa dan kisah mereka diabadikan di dalam Kitab Suci.




Sejak Risalah Nabi Muhammad shalallahu ’alaihi wasallam, sejarah Islam juga banyak diisi dengan sepak terjang kaum muda yang berprestasi. Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam sendiri diangkat menjadi nabi pada puncak usia kepemudaan, yaitu usia empat puluh tahun. Sebagian besar Sahabat yang mengikuti beliau berusia kurang dari usia beliau shalallahu ’alaihi wasallam, bahkan ada sebagian yang menyambut Islam di usia yang sangat belia.

Di antara yang paling awal menyambut seruan Nabi shalallahu ’alaihi wasallam, yaitu Ali ibn Abi Thalib. Ketika itu umurnya baru sekitar sepuluh tahun. Semula ia ragu menerima Islam dan hendak bermusyawarah dulu dengan ayahnya, Abu Thalib. Namun keesokan harinya ia mendatangi Nabi shalallahu ’alaihi wasallam dan menyatakan masuk Islam. Ketika ditanya apakah ia memberitahu ayahnya, Ali yang masih sangat belia menjawab mantap, ”Allah menciptakan saya tanpa bermusyawarah dengan ayah saya, maka mengapa saya harus bermusyawarah dengan ayah saya untuk menyembah-Nya?”

Pada akhir masa kenabian, yang ditunjuk memimpin pasukan besar untuk menghadapi Romawi juga seorang remaja. Dia adalah Usamah ibn Zaid, anak dari anak angkat kesayangan Nabi shalallahu ’alaihi wasallam, Zaid ibn Haritsah. Ketika ditunjuk sebagai pemimpin pasukan perang umurnya masih belasan tahun.

Prestasi para pemuda lainnya juga bertebaran di sepanjang sejarah Islam. Salahuddin al-Ayyubi bergabung dalam pasukan Nuruddin Zanki ketika usianya masih empat belas tahun. Pada tahun 1164, ketika umurnya masih dua puluh enam tahun, Salahuddin menemani pamannya melakukan ekspedisi ke Mesir yang ketika itu masih dipimpin oleh Dinasti Fatimiyah yang menganut Syiah Ismailiyah. Ekspedisi ini berlangsung selama beberapa kali hingga akhirnya berhasil menaklukkan negeri tersebut pada tahun 1169.

Hanya dua bulan setelah menguasai Mesir, Salahuddin menggantikan posisi pamannya, Shirkuh, yang meninggal dunia tak lama setelah menaklukkan negeri itu. Usianya ketika itu baru tiga puluh satu tahun. Secara bertahap ia mengubah Mesir menjadi Sunni. Dan setelah beberapa ratus tahun terpecah dalam dua kekhalifahan, dunia Islam kembali bersatu di bawah naungan Khalifah di Baghdad.

Muhammad al-Fatih merupakan contoh pemuda lain yang bisa kita angkat di sini. Ia diangkat menjadi Sultan Turki Utsmani, menggantikan ayahnya yang meninggal dunia, pada tahun 1451. Dua tahun kemudian, ketika usianya baru sekitar dua puluh satu atau dua puluh tiga tahun, Sultan Muhammad berhasil menaklukkan Konstantinopel. Kota ini merupakan salah satu kota paling strategis di dunia dan merupakan ibukota Byzantium dan kepausan Kristen Ortodoks.

Nabi shalallahu ’alaihi wasallam telah meramalkan kejatuhan kota ini ke tangan Islam dan selama delapan abad kaum Muslimin berusaha memenuhi nubuwat Nabi ini tapi selalu gagal karena kokohnya benteng kota tersebut. Barulah pada tahun 1453 kota itu berhasil ditaklukkan oleh seorang pemuda yang usianya belum sampai dua puluh lima tahun. Sejak saat itu hingga sekarang ini kota tersebut menjadi pusat peradaban Islam yang penting dan namanya berganti menjadi Istanbul.

Prestasi para pemuda Islam tidak hanya diwakili oleh para sultan dan penakluk saja, tapi juga oleh para ulama. Imam Shafi’i sudah hafal al-Qur’an dan kitab al-Muwatha’ ketika usianya masih belasan tahun. Imam Ghazali sudah menjadi Rektor Universitas Nizamiyya ketika usianya baru tiga puluh tiga tahun. Kita juga pernah mendengar kisah Abdul Qadil al-Jailani yang membuat sekumpulan perampok bertaubat karena sebab kejujurannya, padahal usianya ketika itu masih belasan tahun. Ada banyak para ulama lainnya yang sudah memiliki prestasi gemilang di usia mereka yang masih muda.

Di abad dua puluh ini kita juga menemukan banyak pemuda Islam yang membawa semangat baru bagi umat yang sedang terpuruk. Hasan al-Banna (1906-1949) telah hafal al-Qur’an pada awal masa remaja dan beliau mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir pada tahun 1928 ketika umurnya baru dua puluh dua tahun. Organisasi ini berkembang hingga ke hari ini, menyebar di puluhan negara, dan disebut-sebut sebagai organisasi Islam internasional terbesar di dunia. Taqiyuddin al-Nabhani (1909-1977), pendiri Hizb al-Tahrir, telah hafal al-Qur’an pada awal usia belasan tahun. Beliau aktif mengajar dan terjun di dunia pergerakan Islam sejak usia yang masih sangat muda.

Said Nursi (1878-1960), seorang ulama dan sufi asal Kurdi, adalah contoh pemuda luar biasa lainnya. Beliau telah menguasai berbagai ilmu dasar Islam sejak usia belia. Ia juga memiliki kemampuan menyerap pelajaran secara otodidak dan sangat cepat. Pemahamannya yang sangat dalam dan kemampuannya yang sangat tinggi dalam memecahkan masalah, di samping keberaniannya yang sangat luar biasa, telah menyebabkan ia digelari badiuzzaman (the wonder of the age) sejak usia yang masih sangat muda.

Abul A’la al-Maududi (1903-1979) di Pakistan telah menjadi jurnalis di usia lima belas tahun dan telah memimpin sebuah harian di usia tujuh belas tahun. Sebagaimana Said Nursi, pendiri dan pemimpin Jama’at-i-Islami ini merupakan seorang yang sangat cerdas dan memiliki kemampuan otodidak dalam belajar. Beliau merupakan salah satu pemikir Muslim terpenting pada abad ke-20.

Indonesia juga mengenal banyak pemuda yang brilian. Muhammad Natsir (1908-1993) telah aktif dalam pergerakan Islam di tanah air dan terlibat dalam polemik dengan kalangan nasionalis sejak berusia belasan dan dua puluhan tahun. Beliau menjadi menteri kabinet sebelum genap berusia empat puluh tahun. HOS Tjokroaminoto (1882-1934) telah menjadi pemimpin Sarekat Islam ketika usianya baru menginjak tiga puluh tahun. Organisasi ini merupakan organisasi politik yang terbesar jumlah anggotanya pada masa pergerakan, sekaligus yang pertama bersifat nasional. Rapat-rapat umumnya sepanjang tahun 1910-an telah membangkitkan semangat rakyat dan membuat Belanda merasa ketar-ketir.

Terlalu banyak peranan pemuda yang terdapat di sepanjang perjalanan sejarah, baik dari kalangan Muslim maupun selainnya. Kepemudaan memang selalu diperlukan bagi perubahan dan sebagai kekuatan pendorong yang penting. Kendati demikian, muda tidak selalu identik dengan prestasi. Bersama dengan potensi besar yang dimilikinya, pemuda juga cenderung tergesa-gesa, terlalu bersemangat, dan lebih mudah terjatuh pada godaan duniawi. Selain itu, apresiasi terhadap peranan pemuda jangan sampai mengabaikan jasa-jasa generasi tua. Karena tanpa pertimbangan cermat serta bimbingan orang tua, generasi muda akan lebih mudah terjatuh dan salah dalam melangkah.

Walaupun sejarah sering memperlihatkan ketegangan di antara dua generasi ini, yaitu kaum muda dan kaum tua, kita sebetulnya memerlukan kedua-duanya. Perjuangan akan menjadi lebih berbobot dan berhasil ketika kualitas yang dimiliki masing-masing generasi ini disatukan. Akhirnya, seperti yang dikatakan oleh sebuah ungkapan, kita memerlukan hamasatusy syabab wa hikmatusy syuyukh, kita memerlukan semangatnya para pemuda dan kebijaksanaannya generasi tua.

Semoga seiring dengan berjalannya waktu, generasi muda yang tangguh terus lahir di tengah-tengah umat ini.

/@cwi

selengkapnya...

Penelitian: Tsunami Besar Bisa Hantam Israel Sewaktu-waktu

Dr Goodman secara kebetulan menemukan bukti bahwa telah terjadi sedikitnya empat kali gelombang tsunami di kawasan Caesarea

Para ilmuwan geologi di Universitas Haifa menyimpulkan bahwa gelombang tsunami --kemungkinan berukuran besar-- bisa menghantam Israel sewaktu-waktu. Analisa ini berdasarkan hasil penelitian geo-arkeologi yang dilakukan para peneliti di universitas tersebut terhadap Pelabuhan Caesarea, Israel.

Sebagaimana diberitakan Science Daily, Rabu (28/10), disebutkan, "Peristiwa Tsunami di Mediterania memang terjadi lebih jarang daripada di Samudra Pasifik, tapi temuan kami menunjukkan adanya tingkat volume gelombang yang besar," kata Dr Beverly Goodman dan Leon H. Charney dari School of Marine Sciences di University of Haifa.

Pakar geo-arkeologi ini menyimpulkan analisa tersebut setelah melakukan studi yang dilakukannya untuk membantu proyek riset di pelabuhan kuno itu dan riset terhadap bangkai-bangkai kapal yang karam. Dr Goodman secara kebetulan menemukan bukti bahwa telah terjadi sedikitnya empat kali gelombang tsunami di kawasan Caesarea.




"Sebelumnya kami berharap menemukan bangkai kapal, tetapi kami terkejut begitu menemukan lapisan-lapisan geologis yang tidak biasa yang belum pernah terlihat di daerah ini sebelumnya. Kami mulai mengebor air dengan asumsi bahwa ini hanyalah lapisan setempat terkait dengan pembangunan pelabuhan. Namun, kami menemukan bahwa lapisan tersebar di sepanjang wilayah dan menyadari bahwa kami telah menemukan sesuatu yang ganjil," kata Dr Goodman.

Pengeboran yang dilakukan sedalam 1 hingga 3 meter di berbagai kedalaman itu memungkinkan Dr Goodman meneliti lapisan bawah air dengan menggunakan dua metode, yaitu penanggalan karbon-14 dating dan OSL (optically stimulated luminescence).

Mereka menemukan bukti 4 peristiwa tsunami di Caesarea, yaitu pada tahun 1500 SM, 100-200 M, 500-600 M, dan 1100-1200 M. Temuan para ahli ini dipaparkan di jurnal Geological Society of America. Dan dijelaskan juga bahwa tsunami yang paling pertama terjadi disebabkan oleh letusan gunung Santorini yang mempengaruhi hampir seluruh wilayah Mediterania.

Tsunami selanjutnya disebabkan karena adanya longsoran di dasar laut yang disebabkan oleh gempa. Gelombang tsunami tersebut menyentuh pantai setinggi 5 meter dan masuk ke daratan sejauh 2 km.

"Masyarakat yang bermukim di pantai yang berada dalam jangkauan tsunami itu mengalami kerusakan hebat. Pasca tsunami itu, penduduk membersihkan daratan dan membangun kembali peradaban. Bukti-bukti tsunami itu tetap tertinggal di dasar laut," katanya. [gbl/www.hidayatullah.com]


/@cwi

selengkapnya...

Apakah Kaum Muslim Perlu Merayakan Halloween?

Barangsiapa berdiam negeri orang asing, lalu membuat festival menyerupai mereka hingga dia mati, kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka

Sebentar lagi akan memasuki akhir bulan Oktober. Sebagaimana biasa dalam tradisi Barat, malam tanggal 31 Oktober dirayakan pesta Halloween. Pada hari ini anak-anak berpakaian aneh-aneh dan seram. Mereka berkeliling dari pintu ke pintu meminta permen atau coklat, sambil berkata "beri kami permen atau kami jahili."

Halloween atau Hallowe’en adalah tradisi perayaan malam tanggal 31 Oktober, dan terutama dirayakan di Amerika Serikat.

Halloween berasal dari tradisi masyarakat Celtic—yang dulu mendiami Irlandia, Skotlandia, dan daerah sekitarnya—yang percaya kalau pada hari terakhir bulan Oktober, para arwah gentayangan di bumi. Tapi tradisi ini sebenarnya telah berpulang lama.

Sekitar abad pertama Masehi, masyarakat Celtic ditaklukkan oleh warga Romawi, yang kemudian menambahkan kebudayaan mereka ke dalam tradisi Halloween. Mereka menambahkan dua festival bernama Feralia, diperuntukkan untuk menghormati mereka yang telah meninggal, dan Pomona, yaitu festival untuk merayakan musim panen, diambil dari nama seorang dewi.




Sekitar abad ke-8, gereja Katolik mulai merayakan tanggal 1 November sebagai hari untuk menghormati para santo dan santa yang tidak memiliki hari perayaan khusus. Maka mulailah tradisi bahwa misa yang diadakan pada hari itu disebut Allhallowmas, yang berarti misa kaum suci (red: dalam bahasa Inggris disebut hallow). Malam sebelumnya, tanggal 31 Oktober, lalu disebut All Hallows Eve. Inilah cikal-bakal Halloween.

Lalu beranjak memasuki abad ke-18, banyak warga asal Eropa yang berimigrasi ke Amerika. Kebudayaan ini tetap mereka pertahankan, dan bentuk perayaannya terus berkembang sampai sekarang.

Bagi anak-anak, Halloween berarti kesempatan untuk memakai kostum dan mendapatkan permen. Bagi orang dewasa, Halloween mungkin merupakan kesempatan untuk berpesta kostum.

Simbol Halloween biasanya dekat dengan kematian, keajaiban, dan monster-monster dari dunia mitos. Karakter yang sering dikaitkan dengan Halloween, misalnya karakter setan dan iblis dalam kebudayaan Barat, manusia labu, makhluk angkasa luar, tukang sihir, kelelawar, burung hantu, burung gagak, burung bangkai, rumah hantu, kucing hitam, laba-laba, goblin, zombie, mumi, tengkorak, dan manusia serigala. Di Amerika Serikat, simbol Halloween biasanya dekat dengan tokoh dalam film klasik, mulai dari Drakula dan monster Frankenstein. Hitam dan oranye dianggap sebagai warna tradisional Halloween, walaupun sekarang banyak juga barang-barang Halloween yang berwarna ungu, hijau, dan merah.

Bagi toko, acara ini kesempatan bagus untuk pemasaran atau promosi. Singkat kata, sungguh tidak terbatas bentuk perayaan Halloween di Amerika.

Sementara itu, di belahan selatan benua Amerika, tepatnya di Meksiko, setiap tanggal 31 Oktober merayakan Hari Para Arwah (El Dia de Los Muertos), untuk menghormati para kaum suci. Berawal dari tradisi gereja Katolik, perayaan itu sampai sekarang dianggap sebagai salah satu hari besar keagamaan dan dirayakan dengan meriah.

Tanpa Makna

Halloween berasal sebuah perayaan untuk menandai awal musim dingin dan hari pertama Tahun Baru bagi orang kafir kuno dari Kepulauan Inggris. Pada kesempatan ini, mereka meyakini bahwa roh-roh dari dunia lain (seperti jiwa-jiwa orang mati) dapat mengunjungi bumi selama waktu ini dan berkeliaran.

Pada saat ini, mereka mengadakan perayaan untuk dewa matahari dan penguasa yang mati. Matahari mengucapkan terima kasih atas hasil panen, dan memberikan dukungan moral untuk menghadapi "pertempuran" dengan musim dingin. Pada zaman kuno, orang-orang kafir membuat pengorbanan hewan dan tanaman untuk menyenangkan para dewa.

Mereka juga percaya bahwa pada 31 Oktober penguasa (Tuhan) yang mati mengumpulkan semua jiwa-jiwa orang-orang yang telah meninggal pada tahun itu. Jiwa-jiwa setelah kematian, akan tinggal di dalam tubuh binatang, maka pada hari ini tuhan akan mengumumkan bentuk yang seharusnya diterima oleh mereka selama tahun berikutnya.

Masalah Aqidah

Hampir semua tradisi Halloween didasarkan dalam budaya pagan kuno, atau dalam budaya kekristenan. Dari sudut pandang Islam, kepercayaan ini sama dengan bentuk penyembahan berhala alias syirik. Sebagai Muslim, kita seharusnya menghormati dan menjunjung tinggi iman dan keyakinan kita. Bagaimanapun Tuhan kita adalah Allah SWT, selain itu tidak ada.

Adalah kesalahan besar ketika kita, anak-anak, dan keluarga kita merayakan sesuatu tanpa tahu latar-belakang dan tujuannya, hanya karena di antara teman-teman kita sudah biasa melakukan. “Ah, kan sudah tradisi!” begitu sering kita dengar. Atau ada lagi yang melakukan karena ketidakmengertian mereka yang sangat parah. “Just for fun aja.” (untuk bersenang-senang).

Ingatlah, setiap amal dan perbuatan kita selalu berimplikasi hukum yang akibatnya akan dipertanggungjawabkan di akherat nanti.

Jadi apa yang bisa kita lakukan, ketika anak-anak kita melihat orang lain berpakaian, makan permen, dan pergi ke pesta? Walaupun mungkin tergoda untuk bergabung, kita harus berhati-hati untuk melestarikan tradisi kita (tradisi Islam) sendiri dan tidak sepatutnya membiarkan anak-anak kita menjadi rusak dengan fenomena ini.

Dalam satu riwayat, Rasulullah pada suatu hari didatangi oleh utusan orang-orang Mekah, yang di antara mereka itu adalah al-Walid bin al-Mughirah, Aswad bin Muthalib, dan Umyyah bin Khalaf. Mereka menawarkan titik temu persamaan agama antara Islam dengan agama orang-orang kafir pada saat itu. Mereka menawarkan untuk memeluk dan menjalankan agama Islam pada masa satu tahun dan pada tahun berikutnya berharap Rasulullah dan pengikutnya untuk menjalankan agama mereka menyembah berhala. Kerjasama saling menguntungkan ini diharapkan bisa saling bergantian. Dengan kerjasama seperti ini, mereka merasa tidak ada yang saling dirugikan antara kaum kafir dan Islam.

Tawaran itu serta merta ditolak Rasulullah diawali dengan kalimat “aku berlindung dari orang-orang yang menyekutukan Allah.” Dalam masalah aqidah dan tauhid, Rasulullah tidak berstrategi ataupun berpolitik untuk tawaran ini.

Sejak itu, Allah langsung menurunkan wahyu, yaitu Al-Quran QS 109:1-6 atau sering disebut Surat al-Kafirun (orang-orang kafir).

Dalam surat al-Kafirun ayat pertama disebutkan, “Qul (katakan ya Muhammad) wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah”. Ayat berikutnya berbunyi, “aku bukanlah penyembah apa yang engkau sembah.”

Ayat ke-4 mengatakan, “Aku selamanya bukanlah penyembah apa yang kalian sembah.” Jadi jelaslah, ayat ini menunjukkan sikap berbeda dan harus diambil oleh setiap orang Muslim terhadap orang kafir.

Maka bagi kita umat Islam yang mengikuti perayaan agama non-muslim, sekalipun hanya dengan mengucapkan “selamat” saja, maka itu juga melanggar ketentuan Allah. Maka sikap yang paling baik adalah jangan pernah menggangu mereka dalam perayaan ibadah atau perayaan mereka sekecil apapun, dan sekaligus jangan pernah tersentuh sekecil apapun untuk mengikutinya.

Dan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash r.a, dia berkata, “Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka.” [Lihat ‘Aun Al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Syarah hadits no. 3512]

Nabi kita, Rasulullah Muhammad, telah memuliakan dua hari yang patut dirayakan. Dua hari itu tak lain adalah Idul Fitri dan Idul Adha. “Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya: Idul Adha dan Idul Fitri.” [Dikeluarkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, No. 11595, 13058, 13210]

Seorang ulama bagi penganut Salafi, Syeikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin bahkan tak kalah kerasnya. Menurut beliau, hari raya atau perayaan yang dikenal oleh Islam hanyalah; Idul Fitri, Idul Adha, dan Idul Usbu' (hari Jum'at). Dalam Islam tidak ada hari raya lain selain tiga hari raya tersebut, maka setiap hari raya yang diadakan di luar tiga hari raya itu ditolak alias bid'ah dan batil. [cha, berbagai sumber]



/@cwi

selengkapnya...

Babat Pornografi, Selamatkan Manusia!!

Umpama bumi ini datar seperti kata orang-orang zaman dulu, mungkin kata-kata “bumi sekarang sudah terbalik” udah pantas untuk diucapin. Gimana enggak, wong saat ini boleh dibilang, antara yang bener dan yang salah udah susah dibedain. Pornografi dan pornoaksi adalah salah satu contoh yang gamblang. Kita udah ga ga bias nutup mata ama deretan berbagai peristiwa dan kasus pornografi dan pornoaksi yang terjadi di negeri “Vina bilang Cinta” ini. Bukannya semakin redup dari masa ke masa, tapi kasus pornografi tambah ngebikin nepuk dada dan geleng kepala. Bentar..kita geleng kepala dulu…

Nah sobat, ngomongin soal pornografi dan pornoaksi, sebenarnya kita juga aga risih lho...Tapi hal ini mau ga mau, kudu kita jelasin. Kenapa? Udah terlalu banyak hal-hal berbau porno di sekitar kita. Apalagi banyak juga orang yang punya nama Porno..Eh salah itu Parno mas...hehehe. Nah, hal-hal yang nyerempet, nyenggol dan nabrak pornografi pun udah tumbuh subur bak lumut di musim hujan (bosan ah jamur terus…). Jadi sebenarnya masalah pornografi bukan rahasia lagi. Segudang hal yang bernafas mesum diobral rame-rame, bahkan ga heran sekarang udah jadi komoditi masal. Kalah deh ikan dan tahu berformalin…

Sobat, ehem…kalo kita amati nih ya..sebenarnya maraknya kasus pornografi dan pornoaksi di bumi tempat kita berpijak ini punya banyak sebab. Salah satu akar masalahnya yaitu, biasnya pemahaman umat. Iya..pemahaman yang bias alias ga jelas. Kita kadang kejebak ama omongan orang yang nyamain antara pornografi dan seni, antara porno dan bisnis, porno dan mode atau antara porno dan hiburan. Itulah ruwetnya demokrasi. Masih ingat lukisan bertajuk Adam dan Hawa lagi nampangin foto kang Anjasmara yang dengan polosnya berpose. Ada sekelompok orang yang ngatakan itu adalah art alias seni…Kita juga ngerti kalo beberapa tahun lalu, negeri ini heboh ama goyang ngebornya Inul Daratista. Yang secara ga langsung menjadi perintis goyang-goyang yang lain (kecuali kursi goyang hehe…), seperti ngecornya Uut Permatasari dan patah-patahnya si Annisa Bahar. Kita sebenarnya ngerti bener kalo hal semacam itu udah termasuk pornoaksi. Tapi, tetep aja ada beberapa orang yang nyebutin kalo hal semacam itu adalah profesionalisme dunia entertainment alias hiburan. Belum lagi kasus akan terbitnya majalah Playboy edisi Indonesia pada Maret tahun ini. Beberapa kalangan ngatakan itu adalah kebebasan pers dalam dunia bisnis. Memang sih, bisnis porno di beberapa negeri, jadi ladang uang yang menguntungkan. Hasil penelitian Forrester Research di Amerika, layanan hiburan orang dewasa (adult entertainment) di negeri kaum Samiri itu, tiap tahunnya mengeruk untung sekitar 50 hingga 200 juta US dolar. Gile…



Tapi keuntungan untuk segelintir orang semacam itu, ga seharusnya membuat kita korbankan harga diri, iman, pikiran dan jiwa penerus negeri Islam. Ga sebanding deh antara uang dan dosa, serta akibat yang disebabin oleh pornografi. Berapa banyak wanita yang jadi korban pemerkosaan dan kehilangan masa depan…??Berapa banyak anak-anak yang dipaksa melacurkan diri…? Apa ga cukup semua kebejatan moral dan etika yang diumbar dan ga jelas kapan berakhirnya…?? Tanya kenapa??

Malahan, seringkali kita yang ga paham, justru akhirnya nuding balik ke pihak yang ngelarang aksi porno bertaburan. Misal ada ulama yang protes karena Agnes Monica ketika tampil ke panggung mesti bergaya seronok dan kebarat-baratan. Kita yang kemakan oleh opini mode, malah nuduh ulama sekarang ga gaul dan serba kuno…walah kok gini to neng.

Sobat, kita kasih gambaran dikit deh. Kalo sebuah pohon punya akar yang rapuh, ga bakal deh pohon itu bisa bertahan lama. Kena banjir dikit aja bakalan tumbang dan kebawa air. Seperti Hadits Rasulullah SAW, “Sesungguhnya orang yang di dalam dadanya tidak terdapat ayat Al Qur’an sama sekali, ia bagaikan rumah yang roboh.” (HR. At Thirmidzi). Begitu juga ama pondasi pemahaman kita. Kita yang ga paham dengan larangan pornografi dalam Islam, akan gampang kebawa arus omongan orang lain. Yang parah, malahan kita merasa Islam ga ngatur tentang larangan pornografi dan pornoaksi, dan berbalik nentang para ulama yang mengharamkan hal itu. Bujubuset…ga salah tuh…

By the way, sebab lain yang jadiin pornografi dan pornoaksi semakin meluber di negeri kita adalah ga adanya aturan yang jelas tentang apa itu pornografi dan pornoaksi. Meski UU anti-pornografi sedang dibahas, tetap aja banyak ngalami kebuntuan karena ga adanya pemahaman yang jelas tentang apa itu porno. Beberapa pengamat media, semisal Bang Ade Armando asal Universitas Indonesia ngakui sendiri akan hal itu. Dia mengatakan kalo batasan pornografi adalah yang melanggar batas-batas kesusilaan dan ada unsur membangkitkan birahi. Nah, disinilah problemnya. Bila ini yang dijadikan pijakan, malah UU yang dibuat akan kembali bias. Soalnya tiap negara memiliki perbedaan budaya dan etika, dan ga dikit yang saling tolak belakang. Semisal, kalo di Amerika memakai bikini di pantai adalah hal yang lumrah, sedangkan disini merupakan sebuah hal yang tabu. Bila di Denmark punya alasan kebebasan pers dan nggambarin karikatur Rasulullah (moga Allah membalas perbuatan mereka..), maka di negeri kita, kebebasan semacam itu dinilai pro dan kontra. Meski tanggal 6 Februari 2006 kemaren Polda Metro Jaya menyita ratusan tabloid, majalah dan VCD porno, namun otak-otak berduit di belakangnya masih aja kipas-kipas sambil duduk di kursi goyang, sambil minum kopi dan makan pisang goreng. Walah…jangan sampe deh penegakan hukum jadi fantasi sesaat…

Back to Islam, menyelamatkan manusia

Sobat, Islam sebagai Din yang kafah, jauh-jauh hari udah ngasih aturan yang jelas tentang hal ini. Di ilmu fiqh aja, kita udah kenal dengan apa itu aurat dan batasannya. Untuk laki-laki, aurat adalah bagian pusar hingga lutut, sedang untuk wanita adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan. Nah, aurat ini ga boleh diumbar dengan alasan apapun. Khususon buat kamu-kamu yang udah baligh alias gede. Ini merupakan sebuah aturan preventif alias penjagaan terhadap individu manusia, supaya ga kejebak di lembah porno.

Di bagian individu yang lain, Islam ngewajibin pemeluknya untuk mengkaji Islam secara mendalam. Sehingga tiap muslim terbentuk pemikiran dan perbuatan yang Islami. Ga asal seruduk aja. Bahkan kita dituntut untuk selalu ndekatin diri pada Allah tiap saat, karena Allah akan makin menjaga diri kita. Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang hamba mendekat padaku sejengkal, Aku mendekatinya sehasta. Jika ia mendekati-Ku sehasta, Aku mendekatinya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku mendekatinya dengan berlari. (Shahih Bukhari, Juz XI/199). Ya Allah….

Di masyarakat, Islam punya peran untuk nyatukan pemikiran, perasaan dan aturan di masyarakat supaya menjadi satu dalam Islam. Kita paham bener gimana Islam dulu bisa mempersatukan semua kabilah di jazirah Arab, yang sebelumnya saling benci dan saling berperang. So, ngelihat baik dan buruknya segala sesuatu berdasar Islam. Bukan pada adat atau budaya. Karena lagi-lagi bakal bias alias ga jelas…Apalagi dalam Al Qur’an, kita diwajibkan mengimani seluruhnya, bukan hanya sebagian. Kalo Islam mewajibkan sholat, Islam juga melarang kita berjudi. Kalo Islam mewajibkan puasa, Islam juga ngelarang kita mengumbar aurat. Allah SWT berfirman, “Apakah kamu mengimani sebagian isi Al Kitab (Al Qur’an) dan menginkari sbagian yang lain? Tidak ada balasan bagi orang yang berbuat seperti itu, selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat, mereka diberi siksa yang amat berat. Allah tidak lengah dengan apa yang kamu perbuat.” (TQS. Al Baqarah: 85). Bila masyarakat udah punya pemikiran, perasaan dan aturan yang satu..tenang deh kita tinggal di kampung kita.

Di pemerintahan, Islam mewajibkan tiap pemimpin untuk tunduk ama aturan Islam. Bukan yang lain. Allah SWT berfirman, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan oleh Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. (TQS. Al Maidah: 49). Gimana nih penguasa? Allah udah ngasih warning loh, kalo kita ga tegas ama kemaksiatan…Rasulullah SAW juga bersabda, “Sebaik-baik pemimpin adalah mereka yang mencintai kalian, dan kalian pun mencintainya. Seburuk-buruknya pemimpin adalah mereka yang kalian benci dan merekapun membenci kalian.” (HR. Muslim).

Nah sobat, masalah pornografi bukan cuma urusan pribadi. Sebab, ini juga nyantol di masyarakat dan jadi polemik di negara. Maka udah jelas, kita kudu kembali ke Islam…biar umat bisa diselamatkan, alias ga punah. Bila enggak..siap-siap aja deh ngadapi rapuhnya iman, hancurnya keluarga, bobroknya masyarakat dan jatuhnya negara di depan mata. Wallahu ‘alam. (dy)


/@cwi

selengkapnya...

Detak Penantian 84 Bulan

oleh: Hanun al-Qisthi

Syifa ketakutan, tubuhnya menggigil tak karuan. Gadis itu takut jika apa yang berkecamuk di hatinya benar-benar menjadi kenyataan. Dia mengenggam untaian Edelweiss itu, keringat di telapak tangannya membasahi batang bunga yang telah lama mengering. Dia terus meremas bunga itu sambil sesekali berbisik perlahan. Tidak mungkin lelaki itu yang datang. Ia telah pergi tujuh tahun lalu, meninggalkan Syifa dalam balutan kecewa yang mendalam.

Syifa berlari kencang menembus malam, genangan air sisa hujan yang diterjangnya membuat jilbab dan sepatunya basah. Gadis itu terus berlari, berharap menemukan sosok yang masih tersimpan indah di ujung hatinya. Tak ada siapapun di jalanan itu, hanya ranting pohon yang terus meneteskan sisa hujan petang tadi. Syifa berhenti dengan nafas tersengal, dadanya sesak dan mukanya mulai pucat. Ia yakin melihat lelaki itu di jalanan ini tadi, saat ia mengajak mahasiswi di tempat kuliahnya dulu untuk menghadiri kajian rutin di Masjid Ar-Ridwan. Namun keraguan di hatinya membuat gadis itu tak menghiraukan apa yang diihatnya. Ia tetap berjalan mendampingi adik-adiknya menuju masjid. Dan seikat Edelweiss yang ia temukan di dekat sepatunya, mau tak mau menepis kebimbangannya. Tali dari benang wol merah jambu yang mengikat bunga gunung itu menjadi bukti bahwa lelaki itu telah kembali.

*******
Syifa sering melihat laki-laki itu melewati depan rumah kosnya, tubuhnya kurus dan tinggi, lehernya jenjang, kulitnya putih. Syifa juga sering melihatnya sedang bermain basket atau takraw di lapangan kampus, namun Syifa lebih suka menunggu lelaki itu melewati kosnya. Syifa yakin perut lelaki itu telah penuh terisi makanan, karena ia tau lelaki itu makan di kedai makanan yang tak jauh dari kosnya. Dia bintangnya olahraga bola, baik itu bola voli, bola basket, bola sepak ataupun bola takraw. Sore itu Syifa melihat lelaki itu berjalan perlahan dengan tumpukan bulletin di tangannya, ia menghampiri tiap mahasiswa yang berada tak jauh darinya seraya memberikan kertas-kertas itu. Saat mereka berpapasan, lelaki itu menghindari keberadaan Syifa dengan menundukkan wajahnya, namun tidak bagi Syifa, gadis itu tetap menatapnya lekat tanpa berkata-kata. Hanya semburat jingga warna pipinya yang menjadi tanda bahwa Syifa tidak mampu menahan deburan dan gemuruh hatinya.




Muhammad Zulfikar namanya. Dia orang Bugis, kuliah di jurusan Oseanografi. Dan usia lelaki itu setahun lebih muda darinya. Tak apa.. batin Syifa. Ia terus menghafal biodata lelaki itu, di kantin, di musholla, di tempat tidur walau hanya sebatas nama dan usia yang ia tau. Syifa tau lelaki itu aktivis islam, ia sering melihatnya berorasi saat ada aksi mahasiswa. Dengan ikat kepala hitam bertuliskan kalimat syahadat berwarna putih, lelaki itu terus membara menyuarakan tentang khilafah, islam ideologis, penerapan syariah dan hal-hal lain yang sebenarnya Syifa tidak tau apa artinya. Toh Syifa tetap dengan setia mengikuti orasinya sampai selesai. Syifa bagai anak angsa hilang di tengah kerumunan ayam, bagaimana tidak, yang menghadiri aksi seperti itu adalah akhwat sholehah dengan gamis dan kerudung lebar,deretan depan juga diisi dengan ikhwan-ikhwan yang tak pernah dilihatnya di acara kongkow-kongkow anak kampus. Sedangkan Syifa, lihatlah, ia mengikuti aksi-aksi itu dengan celana jeans dan kaos casual ketat membalut tubuhnya, kerudungnya pun tidak sempurna menjadi hijab bagi kepala dan dadanya. Tapi Syifa tak peduli meski deretan akhwat itu tersenyum berulang-ulang ke arahnya. Bukan senyuman sinis atau merendahkan memang, mungkin lebih karena mereka bingung melihat sekretaris utama BEM kampus hadir di acara seperti itu.

Entah lelaki itu merasakan kehadirannya atau tidak, Syifa tak terlalu memikirkannya. Gadis manis itu tetap rajin datang ke lapangan kampus tiap sore untuk melihat lelaki itu bermain basket atau olahraga yang lain, Syifa juga kerap merebut bulletin dari tangan teman-teman lelaki di kampusnya setelah lelaki itu membagikannya kepada mereka, atau tetap menunggu di depan kosnya setelah waktu makan tiba. Sore itu Syifa terdiam di depan masjid kampus, ia ragu untuk melangkahkan kakinya ke dalam. Dia sudah melepas sepatunya namun laporan kegiatan diksar kampus yang belum selesai diketiknya membuat Syifa mengurungkan niat untuk menghadiri kajian mingguan di masjid itu. Tiba-tiba sebuah tangan meraih lembut lengannya, seorang gadis bergamis coklat dengan kerudung lebar berwarna caramel tersenyum manis ke arahnya. Syifa menatap dua bola mata yang indah dari gadis yang ada di hadapannya, sinar matanya begitu teduh dan membuat Syifa enggan beranjak dari tempat itu.

“Ayo masuk, kajiannya sudah hampir mulai loh. Syifa Alfalila jurusan Geodesi kan, kenalkan saya Meridian dari THP”, ujarnya sambil mengulurkan tangan.

Syifa menyambut keramahan gadis itu dengan senyuman yang manis pula. Mereka sama-sama masuk ke masjid untuk mengikuti kajian itu. Syifa tertegun saat mendengar suara pembuka acara, ia yakin pemilik suara itu adalah lelaki yang rajin berorasi di aksi-aksi yang sering diikutinya. Ia hanya tersenyum, hatinya bersorak girang karena baru kali ini Syifa bisa mengikuti acara kajian dimana lelaki itu selalu hadir. Meridian juga tersenyum ke arah Syifa, entah gadis itu bisa menebak perasaan Syifa atau tidak, yang jelas ia tersenyum sambil menggenggam tangan Syifa kuat.

Meridian sering datang ke rumah kos Syifa sejak saat itu. Ternyata gadis berkacamata itu lebih tua dua tahun darinya. Lama-kelamaan Syifa merasa sangat dekat dengannya. Ia selalu memberi Syifa selembar bulletin yang sama seperti yang diedarkan lelaki itu. Meridian selalu datang dan membantu Syifa tanpa pernah ia minta. Ia membantu Syifa mengetik laporan kegiatan-kegiatan kampus, mencari artikel untuk bahan presentasinya, dan tentu menjadi pendengar setia Syifa saat bercerita tentang lelaki itu. Tanpa pernah Syifa sadari, Meridian telah bayak memasukkan ide dan membuat kacamata berfikir Syifa tentang hidup berubah. Syifa mulai jarang berkumpul dengan teman-teman nongkrongnya di sekretariat BEM kecuali memang ia sangat dibutuhkan. Syifa juga tak pernah lagi mengenakan celana jeans dan kaos ketatnya, sekarang ia lebih suka mengenakan rok dan blus lebar. Dan perubahan-perubahan lain tampak pada dirinya seiring dengan pemahamannya akan ajaran yang telah ia peluk sejak kecil namun tak pernah ia pahami lebih daripada sekedar perintah shalat, puasa, zakat, dan naik haji.

Lelaki itu masih sering dilihatnya melewati depan kosnya, namun Syifa hanya menarik nafas perlahan sambil berusaha menyingkirkan pandangan matanya dari arah jalan. Namun toh Syifa sering berlari tergopoh-gopoh menuju ruang depan kos karena ternyata ia tak tahan ingin melihat lelaki itu, meski pada akhirnya hanya punggungnyalah yang terlihat. Ternyata ia belum mampu menjaga matanya untuk makhluk yang satu itu. Meridian bilang itu syahwat mata.

Sudah enam bulan Meridian menjadi pembina Syifa, mereka rajin mendatangi tempat kos satu sama lain untuk mengkaji islam. Selama itu pula Syifa berusaha tak mengingat lelaki itu, meski sebenarnya ia tak bisa. Syifa tak mau niatnya untuk berubah menjadi lebih baik terkotori dengan rasa cintanya pada lelaki itu. Syifa tak pernah lagi datang ke lapangan kampus saat lelaki itu berolahraga, gadis itu juga tak memperhatikan jika ia berpapasan dengan lelaki itu di jalan. Sulit ternyata, tapi Syifa yakin ia bisa.

Dua minggu menjelang hari wisudanya, Meridian memintanya membantu pembuatan proposal acara outbond untuk ikhwan angkatan baru. Ia yang sudah kenyang dengan pekerjaan itu selama menjadi sekretaris BEM, segera mengetik susunan kegiatan itu dengan lancar. Gunung Gede, 24-26 Desember 2004, ia mengeja tempat dan tanggal outbond. Dan saat membaca ketua pelaksana kegiatan itu Syifa harus menelan ludah.

Muhammad Zulfikar, susah payah ia mengetik nama itu. Hitungan dua belas bulan ternyata tak mengikis keindahan sosok itu dalam pandangan Syifa. Tapi ia tak mau lebur dalam perasaannya sendiri, Syifa segera mencetak lembaran proposal itu dan memberikannya pada Meridian, kakak, sahabat sekaligus guru ngajinya tercinta. Meridian tersenyum saat menerima proposal itu dari Syifa,

“Semangat! Wisuda kita sebentar lagi”, bisiknya pada Syifa.

Hari wisuda tiba. Syifa berada di tengah uraian canda sahabat-sahabatnya, mereka semua tersenyum lepas, seolah satu beban hidup telah tercabut dari pundak mereka. Namun tidak bagi Syifa, ia merasa kegamangan dan kekalutan luarbiasa menyelimuti dirinya. Wajahnya yang putih makin terlihat pucat dalam balutan jilbabnya yang berwarna biru tua. Ia tahu hari itu akan memisahkan dirinya dengan lelaki itu. Meridian menghampiri Syifa, senyumnya terkembang. Mereka berpelukan hingga airmata penuh menutupi raut muka keduanya. Satu persatu nama wisudawan dan wisudawati yang disebutkan tampil ke depan, Syifa tercekat saat lelaki itu maju. Wajahnya makin putih, tubuhnya tetap kurus dan tegap, lalu Syifa membuang pandangannya ke bawah, ke arah kakinya yang terbalut sepatu putih.

Saat acara selesai, Syifa memeluk satu persatu sahabat wanitanya. Mereka berfoto berkali-kali di sudut ruangan untuk mengabadikan momen kebersamaan untuk terakhir kali. Syifa meremas tangan Meridian dengan kuatnya saat ia melihat lelaki itu berjalan ke arahnya. Lelaki itu mengenggam seikat besar bunga gunung, yang sekarang Syifa tahu namanya bunga edelweiss, lalu membaginya menjadi dua. Ia melilitkan tali wol berwarna merah jambu pada bunga itu. Entah kenapa lelaki itu melakukannya di jarak yang terjangkau oleh pandangan Syifa dan Meridian. Ia sama sekali tak berusaha menjauh dari hadapan dua wanita itu. Setelah selesai mengikat dua bagian edelweiss, lelaki itu berjalan makin dekat ke arah Syifa dan Meridian. Tiba-tiba ia menyodorkan seikat bunga pada Syifa, sementara ikatan bunga yang lain digenggam di tangan kirinya. Syifa mengangkat wajahnya, ia menatap lelaki yang ada di hadapannya sejenak.

“Untukku…?”, tanya Syifa gemetar.

Tak ada jawaban. Lelaki itu tetap memandang ke bawah tanpa melihat Syifa sedikitpun. Akhirnya ia meraih bunga itu dengan segenap kekuatan yang berhasil dikumpulkannya. Lelaki itu langsung berbalik tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya. Syifa menatap punggung lelaki itu menjauh dari hadapannya, air matanya sudah tak terbendung lagi. Meridian memeluk erat Syifa.

“Kudengar Zulfikar akan pergi di Manado…”

Syifa meninggalkan ruang wisuda dengan perasaan tak menentu. Digenggamnya edelweiss yang mungkin berasal dari Gunung Gede itu. Syifa berusaha meminimalkan berbagai kemungkinan yang muncul dari hatinya tentang lelaki itu, mungkin lelaki itu ingin mengucapkan terima kasih karena Syifa membantunya membuat proposal kegiatan outbond kampus waktu itu. Meskipun Syifa tahu mata lelaki itu terlihat merah saat tadi dia berbalik meninggalkan Syifa.

*******
Syifa berjalan menyusuri trotoar, sesekali ia menoleh ke belakang menatap jalanan aspal. Edelweiss yang ia temukan di dekat sepatunya terus diremasnya. Sebenarnya ia tak mau berharap dan merasa berharap. Tapi sekarang denyut jantungnya seolah membangkitkan apa yang selama ini terkubur dalam dirinya. Tanpa terasa air matanya meleleh, entah sudah berapa lama Syifa tidak pernah melakukan hal itu. Ketawakkalannya pada Sang Illahi Rabbi membuat ia menyerahkan seluruh urusan hidup pada Sang Pencipta. Semua hal mengenai lelaki itu, Muhammad Zulfikar, telah diserahkannya pada Penggenggam Hatinya, Allah SWT. Sejak hari dimana lelaki itu berangkat ke Manado untuk berdakwah, Syifa telah mengazamkan tekadnya untuk tak lagi memikirkan itu. Hari-harinya ia lalui dengan ketaatannya yang makin menebal pada Allah. Ia simpan dengan rapi memori tentang seorang Muhammad Zulfikar di kotak hatinya, dan ia tutup rapat-rapat. Kesibukan Syifa mengkaji islam dan berdakwah membuatnya tak lagi punya kesempatan untuk merogoh apalagi membuka apa yang tersimpan di sudut hatinya itu. Namun pesan singkat dari Meridian, sahabatnya pagi ini membuat Syifa mau tak mau membuka memorinya.

“Salam. Ukhti sudah tujuh tahun sejak kita lulus kuliah, apalagi yang kau tunggu? Aku sudah punya dua orang mujahid dan seorang mujahidah dari rahimku. Usiamu sudah menginjak dua puluh Sembilan, tidakkah kau ingin menggenapkan dienmu?”

“Waalaikumsalam. Belum ada yang tepat untukku ya ukhti kabir.. Aku menyerahkan urusan ini sama seperti aku menyerahkan urusan rizki dan ajalku…”

“Karena ikhwan yang satu itukah? Apa kecintaanmu padanya telah sedemikian kuat hingga kau menolak delapan lelaki yang berusaha melamarmu?”

Syifa hanya terdiam, ia berusaha meraba hatinya lebih dalam. Kedelapan lelaki yang datang melamarnya memang ia tolak, karena seperti itulah jawaban yang diberikan oleh Allah selepas istikharahnya. Syifa bergegas membuka lemarinya, dibukanya laci paling bawah. Ia melihat kotak biru itu masih ada di sana. Dibukanya perlahan, seikat edelweiss yang diberikan oleh lelaki itu masih tersimpan di dalamnya. Kering memang, tapi entah kenapa Syifa melihat bunga itu tak ubahnya seperti edelweiss yang Zulfikar berikan tanpa kata-kata tujuh tahun lalu. Syifa beristighfar, ia sadar tak seharusnya ia memikirkan lelaki yang bukan mahramnya itu. Syifa segera memasukkan bunga itu ke dalam kotaknya, ia tak mau hanyut dalam perasaan yang tak menentu.

Sekarang Syifa masih tertunduk, kakinya melangkah terseok menuju rumah melintasi jalanan yang masih basah karena hujan. Mahkota dari edelweiss yang ada di tangannya berjatuhan sepanjang jalan, karena ia terlalu kuat meremas. Sungguh ia ingin mengelak semua ini. Untuk apa lelaki itu datang, tidakkah ia menemukan mujahidah di kota pinggiran Laut Bunaken itu? Syifa merebahkan badannya yang letih di atas kasur, hatinya terasa jauh lebih penat. Acara yang diadakannya sore tadi di Masjid Ar-Ridwan sukses, sebagian mahasiswi itu itu telah siap dibina, tapi Syifa enggan menyusun strategi dakwah seperti biasanya. Ia jatuh tertidur setelah tiga jam matanya tak bisa dipejamkan.

Syifa terbangun oleh raungan telepon genggamnya. Ia memicingkan mata sebentar, lamat-lamat terdengar suara adzan shubuh. Dibukanya pesan yang datang, ternyata dari Umi Habibah, pembinanya sekarang,

“Assalamualaikum. Syifa sayang, siang ini bisa datang ke rumah? Kalau bisa tolong sekalian bawa biodatamu. Seorang ikhwan yang baru datang dari Manado meminta Syifa menjadi istrinya semalam. Dia bilang Syifa mengenalnya. Bisa datang kan?”

Entah apa yang Syifa rasakan sekarang, yang jelas ia menangis deras. Tapi ia sendiri bingung, untuk perasaan yang manakah air matanya keluar ? Senang, kaget, syukur, tertegun, terharu, sedih, atau apa ? Syifa tak ingin menjawabnya. Ia biarkan dirinya larut dalam sujud dan doa di atas sajadah pagi itu…

Catatan : Teruntuk kakak-kakakku para pejuang syariah yang sekarang ada di dekatku, jangan sampai virus merah jambu yang sedang menjangkiti kita saat ini membuat langkah kita terhenti. Tetap semangat, Insya Allah sudah ada seorang mujahid yang siap menemani kita menapaki jalan dakwah yang indah ini. Bila saatnya telah tiba, ia akan datang mengetuk hati kita dengan segenap pengharapannya untuk meraih cinta tertinggi dan hakiki, kecintaan pada sesuatu yang haq, Allah Azza wa Jalla. Insya Allah, hamasah! Allohuakbar!!!


/@cwi

selengkapnya...

Pengantin Surga

oleh: Yuni Astuti

Saat itu kudengar namamu disebut oleh malaikat dalam mimpi,
Kau adalah pengantin abadiku.
Kuterbangun dari mimpi,
Kutemukan dirimu menantiku di ujung jalan,
Dengan sekeranjang batu dari surga….

“Maa syaa Allah! Sepagi ini sudah dimulai? Keterlaluan!” Asma’ tergopoh menuju ruang tengah, melihat situasi di jalanan depan rumahnya. Ia menggigit bibir, menahan perih dalam hatinya. Memikirkan anak-anak didiknya di masjid samping rumahnya. Bagaimana hafalan mereka, sudah sampai juz berapa.


Asma’ terkejut saat pundaknya ditepuk oleh adik lelakinya. Usia mereka terpaut dua tahun. Asma’ adalah gadis tujuh belas tahun.

“Hai Asma’! Apa yang kaulakukan di sini. Sudah lewat waktu dluha tetapi kau masih diam saja. Bagaimana murid-muridmu!”

Asma’ tersentak. Ia merasa diingatkan, seharusnya ia mengurusi murid-muridnya, bukannya malah terbengong saja melihat pemandangan biasa di luar rumah. Ya, hari ini, Israel kembali menyerang Gaza untuk ke sekian kalinya. Nampaknya pemboikotan sudah tak begitu mempan bagi warga Gaza, mereka tetap bertahan. Mempertahankan bumi yang di dalamnya terletak masjid yang disebut dalam al-Qur’an surat al-Isra.

“Kau benar wahai Firaz! Baiklah aku akan segera menemui murid-muridku!” tak lama kemudian, Asma’ masuk ke kamarnya, mengenakan cadar lantas melangkah keluar rumah dengan lapang. Sesekali terdengar dentuman senjata-senjata Israel, namun itu tak menyurutkan langkahnya menemui murid-muridnya di masjid seperti biasanya.



Anak-anak kecil usia lima sampai sepuluh tahun berbaris menantinya di teras masjid—yang bangunannya sudah tak utuh lagi—menanti Asma’ sang guru. Di wajah mereka tampak semburat sinar keperkasaan tanpa sedikitpun rasa takut. Asma’ telah menanamkan benih-benih keberanian dalam jiwa-jiwa mereka, sehingga tatkala Asma’ menghampiri mereka, berebut satu persatu dari anak-anak kecil itu berteriak, “Ummi kapan kita berperang!”
“Ummi, kita harus mempertahankan tanah kaum Muslimin ini…” “Tak adakah Ummi, saudara kita dari negeri-negeri kaum Muslimin lainnya yang mendengar teriakan kita meminta bantuan?”

Asma’ menitikkan airmata di balik cadarnya, ia begitu terharu mendengar permintaan murid-muridnya untuk berjihad melawan kafir penjajah. Mereka masih sangat muda, namun pemikirannya sudah sangat jauh melesat melebihi anak-anak lain seusia mereka. Perang dan kematian bukan lagi menjadi sesuatu yang menakutkan. Asma’ sering menceritakan, bahwa jiwa para syuhada itu akan terus hidup dan masuk surga atas izin Allah. Jika kita menolong agama Allah maka Allah akan menolong kita dan meneguhkan kedudukan kita.

“Ummi….Ummi…….!!!” teriak mereka. Asma’ lalu mengajak mereka masuk ke masjid, menenangkan mereka semuanya yang jumlahnya selalu tak pernah berkurang justru semakin bertambah. Sepuluh orang kini.

“Dengarkan Ummi. Meski jumlah kalian sepuluh orang, Allah akan melipatgandakannya menjadi ratusan bahkan ribuan sehingga kafir penjajah itu akan kewalahan menghadapi kalian.”

Kata-kata itu semakin mengobarkan semangat jihad mereka. Asma’ kemudian mengecek hafalan mereka. Yang paling besar, Umar, paling pendiam di antara semuanya sudah hafal 30 juz. Dua hari yang lalu ia membacakan seluruh isi Al-Qur’an dan kini ia hanya ingin segera keluar masjid untuk melawan Israel. Usianya, sembilan tahun.

***
Di tengah kesunyian sepertiga malam, Asma’ menemui Allah. Airmata tak henti-henti mengucur dari sumbernya, ribuan kali ia berdoa agar kaum Muslimin dapat memenangkan peperangan dengan kafir penjajah itu. Tubuhnya semakin kurus sebab makanan pokok sudah sangat susah didapatkan. Harus sembunyi-sembunyi melewati lorong-lorong ke Mesir yang kini perbatasan Jalur Gaza-Mesir diblokade oleh pemerintah Mesir. Ya Allah, di manakah saudara-saudara kami? Di manakah bagian tubuh kami, apakah mereka tak merasakan sakit seperti yang kami rasakan? Ya Allah, sudah matikah hati mereka sehingga tak dapat lagi merasakan perih pada salah satu anggota tubuhnya? Atau mata mereka telah buta sehingga tak dapat melihat pembantaian ini? Ataukah telinga mereka tuli sehingga tak dapat mendengar jerit tangis kami? Apakah tangan mereka telah lumpuh sehingga tak dapat mengulurkan tangan menolong kami? Ya Allah….apakah kaki mereka telah patah sehingga tak dapat berlari menyongsong kami? Di mana mereka? Kelak hanya kepada-Mulah kami kan mengadu di Hari Pembalasan, di sana keadilan kan ditegakkan. Ya Allah…Engkaulah pemilik masjid al-Aqsha maka Engkau pulalah yang akan menjaganya….

“Wahai Asma’!” Firaz telah berdiri di sampingnya. “Mengapa engkau menangis?” “Hai Firaz! Tidak bolehkah aku menangis di hadapan kekasihku?” Firaz yang masih sangat belia itu lalu menceritakan pengalaman ia sehari ini melempari tentara Israel dengan batu-batu tajam. Seorang tentara yang lengah terkena dahinya sehingga darah mengucur deras dan paniklah ia. Itu mengacaukan laju tank mereka, membuat Firaz dan teman-temannya semakin semangat melempari mereka dengan batu.

“Asma’, sudah siapkah engkau menikah?”

Asma’ tentu saja kaget mendengar pertanyaan itu. Ia belum sempat memikirkan masalah itu. Ia hanya memikirkan bagaimana caranya murid-muridnya bisa menjadi mujahid-mujahidah pemberani tanpa rasa takut sedikitpun. Menikah baginya adalah suatu gambaran mimpi yang sulit untuk diwujudkan. Dengan siapakah ia akan menikah, ia tak tahu.

“Menikahlah Asma’! Aku akan menjadi walimu.”

Asma’ teringat Ayahnya yang tewas dibantai tentara Israel sepuluh tahun lalu ketika ia masih kecil. Sedangkan ibunya sudah syahidah ketika melahirkan Firaz. Mereka kini hidup sebatangkara.

Sinar mata Firaz begitu tajam, menghujamkan keyakinan di hati Asma’. Menikah? Dengan siapa?

“Kau akan kunikahkan dengan sahabatku, Abdurrahman namanya. Dia penembak jitu. Setiap batu yang ia lemparkan, nyaris selalu tepat mengenai tentara Israel. Dia kuridhoi agama dan akhlaknya. Insya Allah dia akan menjadi ayah bagi para mujahidmu. Bersamanya, kau akan ke surga, Insya Allah. Menikahlah Asma’, sesungguhnya aku ingin sekali melihatmu bahagia. Kita harus mempersiapkan banyak mujahid agar bisa melanjutkan perjuangan kita…” kini Firaz menepuk pundak Asma’.

Asma’ hanya diam. Seakan-akan ia pernah mendengar nama yang tadi Firaz sebutkan, namun entah di mana. Hanya sayup-sayup…

Firaz tersenyum, “Diammu adalah persetujuanmu.”
***

Tiga hari lagi pernikahan akan dilangsungkan. Asma’ telah membuat sebuah baju pengantin dengan tangannya sendiri. Sejauh ini ia belum pernah bertemu dengan Abdurrahman. Lelaki itu, bersama adiknya selalu berangkat pagi untuk melawan tentara Israel dan pulang tengah malam dengan hasil yang luar biasa. Banyak tentara Israel yang terluka oleh batu-batu yang dilemparkan mereka.

Menanti mujahidnya itu datang, Asma’ senantiasa bersabar mendengar kabar yang menyedihkan sekaligus membahagiakan. Satu persatu murid-muridnya berkurang karena mereka menjadi syuhada perang. Termasuk Umar, pagi tadi ia ditemukan dalam kondisi tubuh terkoyak karena jenazah yang sudah ditembak tentara Israel dimakan oleh anjing-anjing mereka. Airmata Asma’ menetes haru. Kini, semakin sedikitlah muridnya, mereka yang sudah menghafal al-Qur’an dalam usia dini, gugur sebagai syuhada. Maka hari bahagia itu pun datanglah. Asma’ duduk di dalam kamarnya sementara di masjid sedang dilangsungkan akad nikah. Berarti, pagi ini Abdurrahman tidak melempari tentara Israel dengan batu. Berdebar hati Asma’ menanti kedatangannya, yang belum pernah dilihatnya tetapi jika ia sudah mengetuk pintu, artinya dia adalah seorang lelaki yang harus ia cium tangannya. Harus ia patuhi sepenuh hati. Dan dialah Khalifah rumah tangganya.

Waktu terus merayap, hingga waktu dluha telah habis namun pengantinnya tak kunjung mengetuk pintu kamarnya. Lama sekali….

Hingga ahirnya pintu diketuk, Asma’ membukanya ternyata Firaz datang dengan kepala menunduk. Tangan kanannya memegangi perut bagian kirinya “Hai Asma…” suaranya lirih.

Asma’ menahan nafas, menanti kalimat Firaz selanjutnya. “Katakan wahai Firaz!”

“Abdurrahman sudah menjadi suamimu…”

Asma’ mengucap hamdalah.

“Akan tetapi….Allah telah memintanya darimu. Apakah engkau ridho? Selepas akad nikah tadi, dengan ganas tentara Israel masuk dan menembaki siapapun yang ada di masjid. Aku pun…. ah….” ia roboh ke lantai. Tangan kanannya terlepas dari perutnya yang mengucurkan darah segar.

“Masya Allah!” Asma’ merangkul saudaranya, sehingga penuh darahlah baju pengantinnya yang putih dan bersih itu. Rupanya Firaz masih mampu berlari menuju Asma’ untuk memberitahukan kabar gembira bahwa Abdurrahman telah menjadi suami Asma’.

“Laa ilaaha illallah…Muhammad Rasulullah….Allahu Akbar…..” tak lama kemudian, mata Firaz terpejam dengan tenang.

Belum sempat bagi Asma’ untuk menangis, ia melihat dua tentara Israel mendobrak paksa pintu rumahnya. Melihat Asma’ begitu anggun tanpa cadar, membuat dua tentara bengis itu terbakar nafsu hendak menodai pengantin itu. Asma’ begitu marah, hingga rasanya ia ingin balas menyiksa tentara Israel tersebut. Mereka telah membunuh seluruh keluarganya, termasuk suami yang belum pernah dilihat sekalipun wajahnya. Beberapa bongkah batu di dekat Asma’ seakan berbicara padanya, “ambil aku! Lemparkan aku pada mereka, biarkan aku yang menerkamnya atas izin Allah!”.

Asma’ pun meraihnya dan melemparlan tepat di kening seorang tentara. Ia panik. Darah mengucur di wajahnya. Lalu seorang lagi ia lempar dengan batu yang lain hingga keadaannya sama seperti temannya. Mereka meraung. Asma’ segera keluar rumah dengan berlari, ia ingin ke masjid menemui jasad suaminya. Ia ingin mencium tangannya untuk pertama dan terakhir meski dalam keadaan tak bernyawa. Ia terus berlari… Namun, sebelum Asma’ bertemu dengan suaminya di masjid itu, seorang tentara Israel yang sedang berkeliaran di jalan menembaknya dari belakang.

Benda tajam rasanya memotong-motong seluruh tubuhnya. Lama kelamaan ia lemas dan pengantin itu pun roboh ke tanah, sedikit lagi saja untuk sampai ke masjid.

Sebelum nafas terakhirnya terhembus, sebelum dua kalimat syahadat ia senandungkan, ia melihat Abdurrahman untuk pertama kalinya sedang tersenyum padanya dan mengajaknya berjalan berdua. Hanya berdua.[yN]


/@cwi

selengkapnya...

Sebait Cinta Dalam GenggamanNya

oleh: Hanun Al-Qisthi

Kami tak pernah sadar bahwa sebenarnya Allah telah mengikat hati kami jauh sebelum kehidupan ini ada. Benar-benar tak sadar sampai aku bertemu dengannya pada suatu sore yang berkalut gerimis di sebuah halte busway. Keadaan kami sangat berbeda dengan pertemuan-pertemuan kami di masa SMA dulu. Aku tidak memandangnya dengan tatapan kebencian seperti dulu, mungkin karena sejak hari kelulusan sekolah ia sering hadir dalam pikiranku. Aku juga tidak punya nafsu untuk mengacak-acak rambutnya atau mencakar wajahnya, mungkin karena hatiku dipenuhi penyesalan atas sikap diamku melihat kepergiannya. Juga tidak ada rasa dendam atau kekesalan meski dulu daftar sikap jahatnya padaku sudah teramat panjang, mungkin karena rasa dendam itu telah berubah menjadi bulir perasaan indah yang sulit kuungkapkan. Sungguh aku berdiri membeku di hadapannya. Jarak kami cukup jauh, tapi aku melihatnya. Tidak ada hal yang seharusnya bisa membuatku mengenalinya, tapi aku tau itu dia. Aku tau bahwa pria yang duduk manis di kursi tunggu halte busway dan terpisah 10 meter dariku itu adalah Seol Jeong Woo. Teman sekaligus musuh besarku di masa SMA. Pria keturunan Korea itu menoleh, pandangannya terdiam saat berada di arahku. Dan saat itulah mata kami bertemu…

****

Pak Edi memanggilku dengan suara parau menahan marah, “Ratu, kesini kau!! Apa pula maksud tulisan di kertas ujianmu hah?? Berani kali anak kici macam kau menulis ini!!”

Dengan gemetaran aku menghampiri Pak Edi ke mejanya, aku benar-benar tak tau kenapa ia begitu marah padaku. Kelas hening, aku rasa teman-temanku ikut menahan nafas menunggu hukuman apa yang bakal ditimpakan orang Batak itu padaku. Pak Edi segera menyodorkan kertas ujian milikku. Dan aku cuma bisa melongo melihat tulisan di halaman terakhir kertas ujianku.

“Bulu hidung Bapak ini mirip banget kaya kain pel di rumahku, ah salah, mirip akar beringin yang umurnya udah ratusan tahun. Bulu ketek Bapak juga kaya hutan hujan tropis di Kalimantan. Haha…”

Belum sempat aku menjelaskan, Pak Edi sudah menjatuhkan vonis untukku. “Kau yang selesaikan kerjaan tukang cat itu. Tembok depan kelas 1-1 sampai 1-7 kau yang cat, nanti biar kuberhentikan tukang-tukang itu. Mengerti kau Ratu?!!!” Ia menggebrak meja dan langsung meninggalkan kelas.

Darahku benar-benar naik semua ke kepala, aku tau siapa biang keroknya. Dan benar dugaanku, saat kubalikkan badan aku melihat Jeong Woo terpingkal-pingkal di sudut kelas sambil memegangi perutnya. Aku benar-benar ingin mencakar mukanya, tapi ternyata Pak Edi sudah ada di depan pintu kelas, lengkap dengan kaleng cat di tangannya!!!




Aku sebenarnya tak tau pasti apa sebabnya Jeong Woo dan aku bermusuhan. Sejak berkenalan di kelas satu hingga kini kelas tiga, kami selalu punya alasan untuk bertengkar dan mencari akal untuk saling menjatuhkan. Awalnya kami hanya saling ejek tak penting, tapi lama-kelamaan kualitas dan kuantitas pertengkaran kami meningkat pesat. Aku sangat-sangat tidak menyukai caranya yang arogan, sok kaya, sok keren, dan selalu menghinaku. Kuhentakkan kuas cat dengan kasar ke tembok. Aku membayangkan tembok itu adalah Jeong Woo, agar aku bisa puas mengacak-acak wajahnya.

“Annyeong haseyo, unni?? Kita impas ya, ini balasan karena kemaren kamu sudah bikin sepedaku kempes. Bisa bayangin gak, kemaren aku jalan 4 km! gak ada yang bisa jemput aku dan ditambah lagi aku gak punya duit untuk naek angkot!!”

Kulebarkan senyum sinisku padanya, “Pergi gak!!? Mau mandi pake cat haa!!”

Ia berlari sambil menyandang tas bututnya dan hilang setelah melewati taman sekolah. Aku menghela nafas dalam-dalam tapi aku harus memegang janjiku bahwa ini akan menjadi pertengkaran terakhir kami. Kemaren sore aku sudah berjanji pada Allah dan diriku sendiri bahwa aku tidak akan menjadi seorang pendendam. Kuingat terus materi-materi dari Mbak Diana yang sejak lima bulan lalu menjadi guru ngajiku. Sabar, sabar.. aku harus bisa memancarkan mabda islam dari diriku. Aku harus berusaha cuek dengan Jeong Woo, sekaligus belajar mendakwahkan betapa mulianya ajaran islam pada penganut nasrani seperti dia. Aku pasti bisa Ya Allah..

Aku pulang dengan langkah terseok kelelahan. Kuselesaikan pekerjaan plus dari Pak Edi dengan semua tenaga yang kumiliki. Sekarang sudah jam sembilan, itu artinya aku harus jalan kaki sampai rumah. Di kota kecil seperti Purwokerto ini, angkot hanya beroperasi sampai jam lima sore. Jadi aku mau tidak mau aku harus menjaga kakiku agar tetap melangkah sampai ke rumah. Aku sangat terkejut saat seorang ibu menggenggamkan uang lima ribuan pada tanganku. Ia tersenyum dan pergi. Ya Allah,, kerudung dan seragam sekolahku yang penuh bekas cat cukup membuat penampilanku mirip pengemis jalanan. Jeong Woo………..!!!

Jeong Woo menjegal kakiku dan membuatku terjatuh saat esoknya kami berpapasan di gerbang sekolah. Ia bersiul dan melenggang santai meninggalkan aku.

“Kalo jalan ati-ati ya…”, ejeknya sambil tertawa.

Aku hanya bisa menggemeretakkan gigi-gigiku menahan amarah. Kalau saja aku tidak ingat janjiku pada Allah, aku pasti sudah berlari dan menarik kakinya agar ia terjatuh seperti aku. Tapi syukurlah, Allah membuatku tetap mengingat janji itu.

Seharian ini aku berdiam diri di kelas, sibuk mengalihkan amarahku pada soal kimia yang susahnya setengah idup! Jeong Woo sudah berkokok dan mengoceh macam-macam tentang aku. Sebenarnya telingaku sudah teramat jenuh mendengarnya dan tanganku terasa gatal untuk melemparkan sepatu ke mulutnya agar ia berhenti bicara. Tapi aku mencukupkannya sebatas keinginan dalam hati. Aku segera berlari ke musholla dan sholat sunnah dua rakaat di sana. Aku memohon supaya Allah menambahkan kesabaran ke dalam hatiku. Tak lupa aku mendoakan Jeong Woo agar hatinya bisa melunak terhadapku. Dan kulalui hari itu dengan aman karena aku tidak mengepalkan tinjuku ke pipi Jeong Woo, tidak mengejeknya ‘ayam sayur’, tidak mengempiskan ban sepedanya, tidak menyembunyikan bola basketnya, tidak merebut jatah makan siangnya di kantin, dan tentu saja tidak membalas kejahilannya kemarin. Alhamdulillah…

Aku tau Jeong Woo mengamatiku sejak 10 menit yang lalu, dia berkali-kali menggelengkan kepalanya sambil terus memperhatikan sikapku. Sampai akhirnya mulutnya terbuka, “Unni..!!!”

Aku pura-pura tidak mendengar panggilannya. “Yyya, unni !!! Hwe?? Abis nelan kura-kura ya?? Apa obat wasirnya udah abis??”

Aku memandangnya sejenak sambil tersenyum, lalu kembali asyik dengan buku biologiku.

“Pabbo!!”, Jeong Woo meninggalkanku dengan keheranan. Mungkin dia hampir gila karena sudah sebulan ini aku samasekali tidak menanggapi ulahnya, dan ia tak lagi punya jurus baru untuk menjahiliku. Saat dengan sengaja ia menumpahkan isi perut kodok ke rokku di ruang praktek biologi, aku segera membersihkannya tanpa berkata apa-apa. Saat hapeku berdering kencang pada jam pelajaran dan aku dimarahi Bu Linda, aku menerimanya juga tanpa berkata-kata. Padahal aku tau Jeong Woo yang merubah profil hapeku saat kutinggal di kelas untuk makan siang. Dia juga mengacaukan tulisan pidatoku untuk English speech contest, hingga aku terpaksa hanya tidur dua jam malam harinya untuk menyalin tulisan itu. Tapi kutemui dia keesokan harinya dengan raut wajah santai seperti tak terjadi apa-apa. Sebenarnya aku selalu terkena darah tinggi tiap kali dia berbuat seperti itu. Tapi aku tidak mau membalasnya. Aku berusaha menahannya. Tak ada yang tau sudah berapa puluh pensil yang kupatahkan untuk mengalihkan amarahku pada Jeong Woo. Tidak ada yang tau bahwa aku makan 3X lebih banyak dari biasanya untuk menghilangkan kekesalanku padanya. Sungguh hanya Allah dan Mbak Diana yang tau betapa aku berusaha untuk bersabar…

Saat perpisahan sekolah kami pun tiba. Pengumuman minggu lalu menyatakan tidak ada yang tidak lulus. Seluruh siswa SMU N 1 Purwokerto angkatan 2005 lulus!

Alhamdulillah. Jadi kami bisa menghadiri perpisahan ini dengan lega. Aku mengantar ayah dan ibuku ke bangku wali murid. Aku melihat Jeong Woo juga tengah mengajak papa mamanya ke situ. Sejenak kuamati orang tua Jeong Woo, bahkan aku sangat senang melihat mamanya mengenakan Hanbok, pakaian tradisional wanita Korea. Aku baru tahu bahwa papa Jeong Woo adalah pengusaha besar Korea yang punya bisnis sukses di beberapa kota di Indonesia. Ah Jeong Woo, gayanya yang urakan sama sekali membuatku tak tahu bahwa sebenarnya dia cukup mampu untuk berpenampilan lebih baik. Aku hanya tersenyum geli, selama ini aku selalu berpikir Jeong Woo berlagak sok kaya, ternyata dia memang kaya! Untunglah empat bulan ini aku berhasil untuk tidak pernah membalas kenakalannya. Malah Jeong Woo terlihat lesu akhir-akhir ini, dan siasat liciknya untuk mengerjaiku tiba-tiba menguap entah kemana. Kami tidak bertengkar tapi juga tidak saling sapa. Hanya kebisuan dan tatapan dingin yang menjadi kebiasaan dalam tiap pertemuan kami di hari-hari terakhir sekolah.

Aku mengamati Jeong Woo yang tersenyum dan asyik berbincang dengan orang tuanya. Tapi segera kualihkan pandanganku saat beberapa detik kemudian ia berbalik memandangku. Teman-temanku menangis saat acara perpisahan selesai. Tak terkecuali aku. Tiga tahun bukan waktu yang singkat. Tiga tahun cukup untuk menoreh sekian banyak kenangan yang bisa membuat kita tertawa dan sedih ketika kita mengingatnya suatu hari nanti. Dan saat inilah masa tiga tahun SMAku berakhir. Aku akan melanjutkannya dengan tiga tahun yang lain, yaitu masa pendidikanku di sebuah perguruan tinggi ikatan dinas di Jakarta. Begitu juga teman-temanku. Mereka pasti akan melewati tahun-tahun lain dalam kehidupan mereka. Aku hanya berdoa semoga tiap-tiap detik yang kami lewati bisa dinilai ibadah oleh Allah.

Jeong Woo datang menghampiri saat aku sedang menangis dalam pelukan teman-temanku. Aku menatapnya sejenak.

“Mianhamnida…untuk semuanya. Mianhamnida”, ucapnya sambil tertunduk. Mungkin aku salah dengar atau apa, tapi aku merasa Jeong Woo menangis sesenggukan. “Ratu, terimakasih untuk empat bulan kesabaranmu. Jongmal gomawo…”

Jeong Woo segera berbalik pergi. Dan entah kenapa aku juga merasakan buliran hangat mengalir di pipiku. Baru kali ini aku merasa menyesal pada Jeong Woo karena tidak menghabiskan masa tiga tahun ini dalam persahabatan yang hangat dengannya. Tapi aku tidak berusaha memanggil Jeong Woo. Kubiarkan ia pergi. Beberapa bulan ini aku berusaha menahan amarahku padanya dengan diam, maka saat ini aku juga harus membiarkan diriku diam melihat kepergiannya. “Jeong Woo…terimakasih telah membuatku punya alasan untuk bersabar. Kamsahamnida. Annyeong hikaseyo, Oppa…”, bisikku dalam hati.

****

Aku menggenggam amplop putih yang di diberikan oleh Mbak Hanif, guru ngajiku. Huff, siapa lagi. Ini biodata ikhwan keempat yang menghampiriku dalam dua minggu ini. Laporan job training, bisnis jilbab, jadwal kajian, dan les privat sebenarnya membuatku tak sempat untuk memikirkan itu. Bukan tak mau menikah, tapi aku merasa belum saatnya. Jadi kubiarkan amplop itu dalam tasku. Nanti malam aku akan istikharah, batinku..

Entah kenapa aku tak ingin membuka isi amplop itu, ini di luar kebiasaan. Tapi aku benar-benar tidak mau melihat dulu seperti apa ikhwan yang mencalonkan dirinya menjadi suamiku. Aku bercengkrama dengan Rabbku dalam istikharah panjangku. Jika ia yang terbaik dekatkan kami, jika tidak maka jauhkanlah Ya Rabb..Amiin. Aku terlelap usai istikharah. Aku melihat Jeong Woo di sana. Ya! Dia duduk di halte busway. Saat melihatku, ia segera berlari ke arahku sambil menangis memohon, “Tolong jangan terlalu lama. Waktuku tidak banyak…”

Aku bangun dengan nafas tersengal, aku sangat takut. Mimpi macam itu!! Hampir mirip kejadian beberapa minggu lalu saat aku bertemu Jeong Woo di halte busway. Hanya saja Jeong Woo tidak menangis seperti dalam mimpi. Dia hanya tersenyum saat menyadari ada aku di sana. Aku tidak sempat berkata apa-apa karena busway yang kutunggu sudah datang. Jeong Woo berlari menyusulku, tapi aku hanya sempat melihat wajahnya yang pucat saat pintu busway tertutup. Aku tersenyum padanya dan pertemuan pertama kami setelah empat tahun berakhir di situ. Aku minta persetujuan Allah tentang ikhwan si pengirim biodata, tapi kenapa justru Seol Jeong Woo yang ada di mimpiku ?? Aku segera beristighfar karena aku takut setan menjadi penyusup di antara istikharahku.

Dengan sedikit malas kukenakan jilbabku yang berwarna hijau tosca, kupadukan dengan kerudung bercorak kupu-kupu dengan warna senada. Kulihat lagi jadwalku minggu ini. Setor pesanan jilbab, udah. Ngerjain laporan kantor, udah. Bikin proposal seminar remaja, udah. Beli kain ke Cipadu, udah. Ngisi kajian, udah. Alhamdulillah semua sudah selesai, jadi sekarang aku memang punya waktu untuk baca buku di toko Granatdia. Aku sebenarnya lebih menginginkan badanku terbaring di kasur, tapi jika itu terjadi maka kegelisahanku tidak akan hilang. Tadi pagi merupakan kali ketiga aku mengalami mimpi yang hampir sama. Aku bermimpi Jeong Woo sambil menangis memohon, hanya saja tempat dan keadaannya berbeda dengan mimpi pertama dan kedua.

Sudah kususuri puluhan rak buku di toko itu, tapi tidak ada satu bukupun yang membuatku tertarik untuk kubaca. Entah kenapa hari ini jantungku berdetak jauh lebih cepat, membuatku nafasku terasa berat. Tiba-tiba teleponku berdering. Mbak Hanif..
“Assalammua’alaikum. Ada apa Mbak?”

“Wa’alaikumsalam. Ratu lagi dimana? Lagi sibuk nggak ??”, suara Mbak Hanif terdengar terburu-buru.

“Aku lagi di toko buku, Mbak. Gak lagi sibuk kok, ada apa Mbak? Kok kaya lagi buru-buru?”

Terdengar Mbak Hanif menarik nafas panjang. “Ikhwan yang terakhir gimana? Ratu cocok gak, udah istikharah belum?”

“Oohh.. aku malah belum buka amplopnya sama sekali Mbak. Tapi udah istikharah. Cuma isyaratnya aneh Mbak, gak sesuai sama doaku” “Gak sesuai gimana maksudnya?”

“Aku mimpi tiga kali, tapi yang aku mimpiin malah teman SMAku yang nasrani.” “Apa??!! Ratu tolong cepet ke Rumah Sakit Indrayana!”

Mbak Hanif menutup telpon tanpa memberiku kesempatan untuk mengucapkan salam. Tapi mendengar nada suaranya yang tergesa-gesa, aku segera berlari keluar toko dan memanggil taksi untuk melesat ke Rumah Sakit. Mbak Hanif yang sudah menungguku di depan pintu masuk segera mengajakku berlari ke dalam. Aku makin bingung dengan sikap pembimbingku ini. Di depan kamar nomor 38, dia menarik lenganku untuk masuk ke dalam. Kulihat suami mbak Hanif, Ustadz Jazuli dan istrinya, dan juga dokter dengan seorang perawat di kamar itu. Aku makin bingung dengan keadaan ini.

Mbak Hanif membimbingku mendekati ranjang pasien. Dan aku terhenyak saat melihat siapa yang terbaring di sana. Bibirnya kering, wajahnya pias, kulitnya yang putih terlihat sangat pucat, infus dan tabung oksigen melekat di tubuhnya. Laki-laki itu membuka matanya, dan air matanya langsung meleleh saat melihatku. Aku tak bisa berkata apa-apa, bahkan untuk sebuah kata sapaan. Bibirku seolah terkunci rapat, sama seperti keadaan perpisahan kami empat tahun lalu.

Laki-laki itu membuka mulutnya, “Saya menunggu ukhti, dua tahun ini saya terus menunggu. Kenapa ukhti tidak cepat datang?, ia menarik nafasnya perlahan, “Saya selalu berdoa agar Allah berkenan memberikan saya kesempatan untuk berada di samping ukhti.”

Aku makin tenggelam dalam tangisku, bermacam perasaan benar-benar memadu dan bergejolak dalam pikiran. Aku tidak ingin bertanya, aku tidak ingin berkata-kata. Kubiarkan diriku mengambang dalam kebingungan seperti yang kurasakan empat tahun terakhir ini. Kupandangi lekat wajah pria yang pernah sangat kubenci sekian tahun lalu, namun terkadang juga muncul sebagai bayangan halus dan menjadi pemicu keinginan tak wajar dalam hatiku. Mungkin baru sekarang kusadari bahwa selama ini kami tidak benar-benar berpisah. Mungkin kami memang tak pernah bertemu, tapi ada ikatan yang senantiasa membuat kami merasa dekat. Aku pernah menganggap diriku hampir gila, karena terkadang kelebat sosok laki-laki ini hadir dalam pikiranku. Dan sekarang aku tau, ternyata ikatan hati kamilah yang selalu membuatku merasa seperti itu. Hatiku gerimis, entah kenapa tiba-tiba perasaanku dipenuhi rasa cinta untuknya.

Sesaat kemudian laki-laki itu melanjutkan perkataannya. Suaranya sangat lemah, aku berusaha menangkap kata-kata dari bibirnya, “Ana Uhibbuki fillah ya ukhti... Jika tidak sekarang, berarti Allah telah menyiapkan waktu yang lebih baik untuk kita.”

Aku hampir tak mampu mendengarnya, tapi lama-kelamaan suara itu bergema keras di telingaku. Menjadikannya sebagai bait cinta terindah yang pernah kudengar. Beberapa detik kemudian semua yang ada di ruangan segera mengucap Innalillahi wa Inna ilaihi roji’un…

Aku masih terpaku. Semuanya seperti mimpi. Aku bahkan tidak bisa merasakan kakiku. Perlahan kubuka amplop yang diberikan Mbak Hanif padaku dua minggu lalu. Amplop itu terus berada di tasku tanpa pernah kubuka.

/@cwi

selengkapnya...

Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |