Salman Al-Farisi

Salman berasal dari desa Ji di Isfahan, Persia. Ia adalah anak kesayangan ayahnya, seorang bupati di daerah itu. Salman mulanya adalah penganut Majusi yang taat hingga ia diserahi tugas sebagai penjaga api. Suatu saat ia melewati sebuah gereja Nashrani yang sedang mengadakan sembahyang. Setelah masuk dan memperhatikan apa yang mereka kerjakan, Salman menjadi kagum. Ia pun bertanya tentang asal agama mereka yang ternyata berasal dari Syria. Salman mennceritakan hal ini kepada bapaknya dan mengatakan bahwa upacara kaum Nashrani sungguh mengagumkan, lebih baik dari agama Majusi yang mereka anut. Lalu terjadilah diskusi antara Salman dan bapaknya yang berujung pada dijebloskannya Salman dalam penjara dengan kaki terikat rantai. Kepada orang-orang Nashrani, Salman memberitahukan bahwa ia telah menganut agama mereka dan berpesan agar ia diberitahu jika ada rombongan dari Syiria yang datang. Setelah permintaannya dipenuhi ia pun meloloskan diri dari penjara dan bergambung dengan rombongan tersebut ke Syiria. Di Syiria ia tinggal sebagai pelayan bersama dengan seorang Uskup untuk belajar agama yang baru ia anut. Salman sangat mencintainya dan ketika menjelang wafat ia menanyakan kepada sang Uskup siapa yang harus ia hubungi sepeninggalnya. Lalu orang tersebut menceritakan tentang masa itu yang ternyata sudah dekat dengan kebangkitan seorang Nabi pengikut agama Ibrahim yang hanif, beserta tanda-tanda kenabian yang ada padanya termasuk tempat hijrahnya. Suatu hari lewatlah rombongan berkendaraan dari jazirah Arab. Salman minta agar mereka mau memintanya membawa pergi ke negeri mereka dengan imbalan sapi-sapi dan kambing- kambing hasil jerih payahnya sebagai peternak. Permintaan tersebut dikabulkan. Namun ketika sampai di negeri yang bernama Wadil Qura, rombongan tersebut menganiaya Salman dan menjualnya kepada seorang Yahudi sebagai budak. Setelah beberapa lama, Salman dibeli oleh seorang Yahudi lain dari Bani Quraidhah dan dibawa ke Madinah. Sesampainya di Madinah Salman pun akhirnya yakin bahwa negeri ini adalah sebagaimana yang disebutkan kepadanya dulu. Setelah mendengar kedatangan Rasulullah SAW yang hijrah ke Madinah, Salman pun datang menjumpai beliau beberapa kali, dan ia mendapatkan semua tanda-tanda kenabian yang pernah diceritakan kepadanya. Hal ini membuat Salman yakin akan kebenaran Rasulullah SAW dan menyatakan keislamannya. Namun statusnya sebagai budak telah menghalangi Salman untuk turut serta dalam perang Badar dan Uhud. Dengan bantuan finansial para sahabat, Salman pun akhirnya berhasil ditebus dan dimerdekakan. Ketika terjadi perang Khandaq, kaum Muslimin di Madinah diserang oleh kekuatan gabungan anti Islam dari luar dan dari dalam. Pasukan Quraisy dan Ghathfan menyerbu Madinah dari luar sedangkan Yahudi Bani Quraidhah menyerang dari dalam. Melihat kondisi ini Salman menyarankan strategi perang Persia yang asing bagi bangsa Arab, yakni penggalian parit sepanjang daerah terbuka mengelilingi kota. Melihat ini, pasukan kaum kafir yang hendak menyerbu Madinah merasa terpukul dan dipaksa berkemah di luar kota Madinah hingga pada suatu malam Allah mengirimkan angin topan yang memporak-porandakan mereka. Salman adalah sahanat utama yang taqwa, cerdas, dan bersahaja. Kendatipun dari golongan kelas atas dan seorang putera Persia, negeri yang terkenal dengan kemewahan, namun ia amat zuhud kepada dunia. Ketika menanti ajal, Sa'ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya dan ia dapati Salman menangis, teringat pesan Rasulullah : " Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara", sedangkan ia merasa hartanya masih banyak. Sa'ad mengatakan : "Saya perhatikan, tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom." Sekelumit kisah sang pencari kebenaran Salman Al Faritsi ini mengandung banyak pelajaran. Kecintaan dari ayah, kedudukan terhormat sebagai anak pembesar dan penunggu api, serta kehidupan yang berkecukupan tidaklah menjadi tujuan tertinggi hidupnya. Kendatipun belum menjadi seorang muslim, Salman seakan memiliki pribadi yang hanif dengan fitrah yang bersih. Salman mampu bersifat objektif dan mau mengakui kekurangan agama Majusi yang dianutnya dibandingkan agama Nashrani yang kemudian dipeluknya. Ia pun tak segan-segan masuk Islam ketika Rasul ditunggu-tunggunya tiba. Bukanlah menjadi soal bagi Salman sang pemuda Persi untuk memeluk agama Nashrani yang berasal dari Syiria. Sungguh bahagia hati Salman, budak dari Persi untuk memeluk Islam yang dibawa oleh Muhammad, orang Arab. Kebenaran adalah dari Allah, tak peduli siapa yang menyampaikan dan darimana asalnya. Maka seseorang yang berjiwa hanif sudah sewajarnya mengikuti kebenaran yang datangnya dari Allah. Wallahu'alam.***

/@cwi

selengkapnya...

Sumpah dan Penegakan Hukum

Hari-hari ini kita dibuat bingung. Bingung karena orang-orang yang berperkara di pengadilan atau sebagai penegak hukum ramai-ramai bersumpah dengan nama Allah, pakai baca ayat-ayat suci Al-Qur’an segala. Kita tidak tahu apakah keseharian mereka memang dekat dengan Allah swt, dekat dengan Al-Qur’an dan menjalankan ajaran Islam? Kalau dalam keseharian mereka menjalankan ajaran Islam, baca Al-Qur’an dan dekat dengan Allah swt, kejadian sumpah itu tidak menjadi polemik. Tapi sebaliknya, jika mereka tidak mau menggunakan syariah Allah dalam aturan kehidupan mereka, apalagi memperjuangkan tegaknya ajaran agama-Nya, tiba-tiba mereka bersumpah dengan simbol-simbol agama bahkan mengucapkan lafal Allah, sungguh ini sangat ironis. Sungguh rancu, mereka tidak mau menjalankan ajaran Islam dalam praktek kehidupannya, tapi ketika kesandung perkara baru mereka rame- rame memperlihatkan simbol-simbol agama. Pun demikian, banyak orang yang berperkara atau sebagai pesakitan, ketika sedang sidang di pengadilan pake baju koko putih dan  berkopiah. Apakah salah menggunakan atribut itu? Salah, bahkan menistakan agama. Upaya itu hanya untuk membungkus kebusukan dan kejahatan yang dilakukannya, sehingga kesannya Islam itu ya bertindak kejahatan. Islam itu ya membunuh. Islam itu ya koruptor. Agama jangan dipolitisir, jangan dibuat main- main. Kecuali jika memang sudah bertaubat, taubatan nashuha . Apa itu sumpah? Bagaimana Islam mengatur sumpah? Dengan apa bersumpah? Apa dampak bagi orang yang sumpah palsu? Sumpah dalam bahasa Arab ialah al-Aiman ( الأيمان ) yang merupakan jamak dari kata al- Yamin ( اليمين ). Arti asalnya adalah tangan kanan, kerana untuk bersumpah masyarakat Arab biasanya mengangkat tangan kanan mereka. Secara istilah, sumpah berarti menguatkan perkara yang disumpah dengan menggunakan nama Allah, atau salah satu dari nama-nama Allah, atau salah satu dari sifat- sifat Allah. Begitu sakralnya perkara sumpah ini, sehingga seseorang  tidak boleh main-main dalam bersumpah apalagi berdusta atau sumpah paslu, sekalipun terhadap perkara yang amat kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: مَنْ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللَّهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ. فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ. “Barangsiapa mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya (yang dusta), maka sesungguhnya Allah mewajibkan baginya masuk neraka dan mengharamkan baginya syurga.” Seseorang bertanya: “Sekalipun terhadap sesuatu yang remeh ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “(Ya), sekalipun sebatang kayu arak (yang digunakan untuk bersiwak).” (HR. Muslim) Sungguh besar resiko dan ancaman bagi orang yang berdusta dalam sumpahnya, oleh karena itu Islam mengingatkan umatnya agar hati- hati dalam bersumpah dan jangan biasakan diri bersumpah. Jangan bersumpah tentang ini dan itu tanpa keperluan. Kebiasan bersumpah akan menyebabkan orang merasa tidak bersalah ketika berdusta dalam sumpahnya sehingga akhirnya terjebak dalam ancaman hadis di atas. Bahkan Allah   Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَلاَ تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَهِينٍ . “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang selalu bersumpah, lagi hina .” Al-Qalam:10 Rahasia pemerintahan yang kuat atau masyarakat yang maju adalah terletak pada penegakan hukum yang adil. Sudah menjadi bukti sejarah, bahwa kehancuran umat-umat terdahulu, terutama Bani Israil, adalah karena tidak adanya penegakan hukum yang adil. Jika kejahatan itu diperbuat oleh penguasa, orang “ kuat” atau berduit, padahal itu kejahatan besar, bahkan merugikan masyarakat banyak, hukum tidak ditegakkan. Namun jika yang berbuat kesalahan itu orang biasa, masyarakat lemah, meskipun kesalahannya kecil, segera hukum ditegakkan, dengan seberat-beratnya. Rasulullah saw. bersabda: “Wahai manusia!, ketahuilah bahwa kehancuran umat terdahulu adalah karena mereka tidak menegakkan hukum dengan adil. Jika yang mencuri –berperkara- dari golongan terpandang, mereka biarkan. Namun jika yang mencuri itu orang yang tidak punya, mereka secara tegas menegakkan hukum. Demi Allah, jika Fatimah putri Muhammad –anak beliau sendiri- mencuri, pasti saya potong tangannya.” HR. Bukhari Sudah sangat jelas agama Islam memerintahkan kepada umatnya agar menjalankan syariahnya, tanpa pilih-pilih, termasuk dalam hal penegakan hukum. Islam juga memandang sumpah suatu hal yang sangat sakral, besar. Tidak boleh main-main dalam bersumpah, apalagi sumpah palsu, sungguh berat ancamannya. Terkait penegakan hukum, Islam pun memberikan garis jelas. Kalau pemerintah dan masyarakat tidak ingin hancur sebagaimana umat terdahulu, maka tegakkan hukum, tanpa pandang bulu. Siapapun yang terbukti berbuat kejahatan, tindak pidana, maka hukum harus ditegakkan, sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dengan cara yang adil.  Allah swt. berfirman: “Apabila kalian menghukumi suatu perkara di antara manusia, maka hukumilah dengan cara yang Adil. “ Allahu a’lam.

/@cwi

selengkapnya...

SEJARAH MUDZAKARAH ULAMA ABAD KE 17

Tim Pelacakan Sejarah ini dibentuk oleh Panitia Mudzakarah Ulama Serumpun Melayu pada bulan Agustus 2007 lalu. Tugasnya adalah menemukan fakta apakah benar pada abad ke 17 masehi telah berkumpul para ’ulama di Sumatera Selatan untuk bermudzakarah? Sejumlah pertanyaan penting yang harus dijawab antara lain : apa latar belakangnya mudzakarah tersebut; siapa saja tokohnya; dimana lokasinya; dan apa isi mudzakarah tersebut; hasil-hasilnya; serta pengaruhnya terhadap ummat Islam khususnya di Rumpun Melayu? Untuk menjawab berbagai pertanyaan awal di atas, maka dalam tim ini dibentuk dua bidang tugas. Pertama, bertugas untuk menggali fakta dari literatur atau tulisan sejarah di buku, internet, serta asip-arsip kuno di perpustakan dan di masyarakat. Kedua, melalui wawancara langsung dengan pakar sejarah dari Perguruan Tinggi, Musium Purbakala, serta tokoh masyarakat yang merupakan keturunan dari pelaku sejarah. Juga dilakukan tinjauan langsung ke lokasi sejarah di daerah Perdipe. Tim ini bekerja sekitar dua bulan sejak dibentuk. Kemudian hasil penelitian ini telah disampaikan pada Musyawarah Pleno ke 1 DP3 MU September 2007 lalu di Auditorium Yayasan AKUIS Pusat, Banyuasin, Sumatera Selatan. Berdasarkan Hasil Pelacakan Sejarah yang telah dilakukan, maka ada beberapa bukti sejarah yang ditemukan : 1 . Pada tahun 1650 masehi atau 1072 hijriyah telah bertemu sekitar 50 ’ulama di Perdipe, Sumatera Selatan. 2 . Mereka berasal dari wilayah Rumpun Melayu yang meliputi Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Fak-Fak- Papua, Ternate, dan Kepulauan Mindanau. 3 . Hasil Mudzakarah ini memunculkan perluasan dakwah Islam yang berakibat terkikisnya faham anismisme dan budaya jahiliyah di masyarakat. 4 . Munculnya kader-kader mujahid yang mengadakan perlawan terhadap penjajah Eropa. 5 . Terjadinya perluasan wilayah Islam yang ditandai dengan munculnya Kesultanan yang baru yang masing-masing saling bekerjasama secara baik. A. Siapakah Tokoh Sentral pada Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu abad 17 M Berdasarkan arsip kuno berupa kaghas ( tulisan dengan huruf ulu diatas kulit kayu) yang ditemukan di Dusun Penghapau, Semende Darat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang diterjemahkan pada tahun 1974 oleh Drs. Muhammad Nur (ahli purbakala Pusat Jakarta), ada beberapa catatan sejarah. Bahwa pada tahun 1072 Hijriyah  atau 1650 Masehi telah ada seorang tokoh ’Ulama yang bernama Syech Nurqodim al-Baharudin yang bergelar Puyang Awak yang mendakwahkan Islam di daerah dataran Gunung Dempo Sumatera Selatan. Menurut buku ”Jagad Basemah Libagh Semende Panjang”, Terbitan Pustaka Dzumirah, Karya TG.KH. Drs. Thoulun Abdurrauf, dinyatakan bahwa pada abad ke 14 – 17 Masehi, kaum Imperialis dan Kapitalis Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda) telah merompak di lautan dan merampok di daratan yang diistilahkan dalam bahasa melayu, yaitu mengayau. Mereka dengan taktik devide et impera berusaha memecah-belah penduduk di Rumpun Melayu yang berpusat di Pulau Jawa dan Semenanjung Malaka. Maka para waliullah di daerah tersebut dengan dipelopori oleh Syech Nurqodim al- Baharudin pada tahun 1650 M / 1072 H menggelar musyawarah yang berpusat di Perdipe (Sekarang masuk wilayah Kota Pagar Alam, Dataran Gunung Dempo, Sumatera Selatan). Tujuan musyawarah ini antara lain guna menyusun kekuatan bagi persiapan perang bulan sabit merah untuk menumpas ekspansi perang salib di Asia Tenggara. Masih menurut beliau, bahwa kosa kata ” belanda” konon adalah sebutan bahasa melayu untuk orang netherlands. Kata belanda berasal dari dua suku kata ” belah” (memecah) dan ”nde” (keluarga), maknanya ”tukang memecah-belah keluarga”.  Berbeda maknanya dengan kata ”semende” dari dua suku kata ” same” (satu) dan ”nde” (keluarga), maka maknanya ”satu keluarga” yaitu persaudaraan mukmin. B. Siapakah Syech Nurqodim al- Baharudin Syech Nurqodim al-Baharudin adalah cucu dari Sunan Gunung Jati dari Putri Sulungnya Panembahan Ratu Cirebon yang menikah dengan Ratu Agung Empu Eyang Dade Abang. Syech Nurqodim al- Baharudin kecil, beserta ketiga adiknya dididik dengan aqidah Islam dan akhlaqul karimah oleh orang tuanya di Istana Plang Kedidai yang terletak di tepi Tanjung Lematang. Sewaktu remaja beliau digembleng oleh para ’ulama dari Aceh Darussalam yang sengaja didatangkan ayahnya. Ketika tiba masanya menikah beliau menyunting gadis dari Ma Siban (Muara Siban), sebuah dusun di kaki Gunung Dempo yang memiliki situs Lempeng Batu berukir Hulu Balang menunggang Kuda dengan membawa bendera Merah Putih (lihat buku ”5000 tahun umur merah putih” karya Mister Muhammad Yamin). Setelah bermufakat, beliau sekeluarga beserta adik-adiknya, keluarga dan sahabatnya membuka tanah di Talang Tumutan Tujuh, sebagai wilayah yang direncanakan beliau untuk menjadi Pusat Daerah Semende. Menurut salah seorang keturunan beliau yang masih ada sekarang-TSH Kornawi Yacob Oemar-, dalam sebuah makalahnya dinyatakan bahwa, Syech Baharudin adalah pencipta adat Semende. Sebuah adat yang mentransformasi perilaku rumahtangga Nabi Muhammad SAW. Beliau juga pencetus falsafah ”jagad besemah libagh semende panjang”,  yaitu ” Negara Demokrasi” pertama di Nusantara ( 1479-1850). Akan tetapi ”negara” itu runtuh akibat peperangan selama 17 tahun ( 1883-1850) malawan kolonial Belanda. Sebelum ke Tanah Besemah, Syech Baharudin bermukim di Pulau Jawa dan hidup satu zaman dengan Wali Songo. Beliau sangat berpengaruh di di bahagian tengah dan selatan Pulau Jawa. Sedangkan Wali Songo pada masa sebelum berdirinya Kerajaan Bintoro Demak memiliki pengaruh di Pantai Utara Pulau Jawa. Tertulis dalam Kitab Tarikhul Auliya, bahwa untuk mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa- yaitu Demak, maka ada 16 orang wali bermusyawarah di Masjid Demak termasuk pula Syech Baharudin dan beberapa wali dari Pulau Madura. Dalam musyawarah itu Sunan Giri menginginkan agar dibentuk suatu negara Kerajaan dengan mengangkat Raden Fatah sebagai raja /sulthan dengan alasan negara baru tersebut tidak akan diserbu balatentara Majapahit, mengingat Raden Fatah adalah anak dari raja Majapahit. Konon dari 16 wali tersebut, 9 orang yang mendukung pendapat ini dan tujuh orang yang berbeda pemahaman dalam strategi dakwahnya termasuk Syech Baharudin. Syech Baharudin (Puyang Awak) menginginkan suatu daulah seperti Madinah al Munawarah pada masa Rosulullah SAW. Namun demi menjaga persatuan ummat Islam yang kala itu jumlah belum banyak, beliau memutuskan untuk hijrah (melayur) ke Pulau Sumatera. Dari tanah Banten beliau menyeberang ke Tanjung Tua- ujung paling selatan Pulau Sumatera-. Kemudian menyusuri pesisir timur, yaitu daerah Ketapang-Menggala-Komering- Palembang-Enim dan Tiba di Tanah Pasemah lalu menetap disana tepatnya di Perdipe. Disepanjang perjalanan, sebagai seorang  mubaligh beliau selalu mendatangi tempat-tempat dimana masyarakat masih belum mengenal agamaTauhid dan akhlaqul qarimah, untuk mengajarkan nilai-nilai ajaran Islam dengan metode yang sangat sederhana yaitu memepergunakan kultur budaya masyarakat setempat sehingga dapat dimengerti dengan mudah oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat beberapa suku di perdalaman Sumatera Bagian Selatan, Puyang Awak adalah penyebar agama Islam yang sangat kharismatik. Nama beliau menjadi legenda dari generasi ke generasi terutama sikap beliau yang menunjukkan rasa peduli dan kasih sayang yang sangat tinggi terhadap semua makhluk ciptaan Allah. Di tanah Pasemah pada waktu itu, Puyang Awak melihat pola hidup masyarakat sangat jauh dari kehidupan yang islami.Adanya praktek-praktek perbudakan dikalangan masyarakat. Perampokan dan penjarahan bagkan penculikan terhadap wanita dan anak- anak dari suku-suku lain disekitar Basemah [dalam bahasa basemah disebut ’nampu’] untuk dijadikan budak [ dalam bahasa pasemah disebut ’pacal’], dianggap suatu kebanggaan. Bahkan ada satu keluarga besar yang memiliki ratusan ekor kerbau dan sapi serta puluhan orang pical, pada waktu ia mengadakan suatu pesta pernikahan anaknya, dengan pesta besar-besaran dengan menyembelih puluhan ekor sapi dan kerbau. Untuk menambah ’ kebanggaan’ dari keluarga tersebut, maka diumumkan bahwa yang punya hajatan juga akan ’menyembelih seorang pacal’. Suatu bentuk kedzaliman yang melebihi perbuatan kaum jahiliyah Suku Quraisy di Kota Mekkah pada zaman nabi Muhammad SAW. Pola hidup masyarakat Basemah yang liar, zalim, dan biadab seperti itu, bukan hanya diceritakan kembali secara turun- tumurun dari generasi ke generasi, melainkan tercatat pula pada tulisan- tulisan kuno aksara ka-ga-nga yang dijadikan benda-benda pusaka oleh tua- tua adat dari suku-suku sekitar Basemah, antara lain di  daerah Enim. Intinya memperingatkan warga agar berhati-hati dan selalu waspada terhadap kedatangan para perampok dari Basemah yang sering menjarah harta benda serta menculik wanita dan anak-anak mereka. Bahkan selain itu Marco Polo [abad12 ], membuat catatan khusus tentang Basemah yang berbunyi..’Basma, where the people’s like a beast withuot law or religion....’ [basemah, penduduknya bagaikan binatang buas, tanpa aturan atau agama ] Puyang Awak yang memperhatikan kehidupan suku Basemah yang liar, zalim tanpa hukum dan agama tersebut, justru berpendapat bahwa di tanah basemah inilah tempat yang tepat untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Kitab Suci Al-Qur’an yang diturunkan ALLAH SWT  kepada nabi Muhammad SAW, untuk meng- agama-kan masyarakat yang belum beragama. Akan tetapi perlu kita fahami bahwa metode yang dipergunakan oleh Puyang Awak dalam menyebarkan ajaran Islam yang mendasar tersebut, tidak mempergunakan bahasa Arab, melainkan beliau rumuskan kedalam bahasa Pasemah yang cukup dikenal sampai saat ini yaitu ’falsafah GANTI nga TUNGGUAN  [Akhlakul Karimah]. C. Hubungan Darah Syaikh Baharudin dengan Sunan Gunung Jati Mengutip dari buku ”Kisah Walisongo”, Karya Baidhowi Syamsuri, terbitan Apollo Surabaya didapatkan data sebagai berikut. Adalah dua orang putra Prabu Siliwangi bernama Pangeran Walang Sungsang dan Putri Rara Santang belajar Dinul Islam kepada Syaikh Idlofo Mahdi atau Syaikh Dzathul Kahfi-seorang Ulama dari Baghdad yang menetap di Cirebon dan mendirikan Perguruan Islam. Karena kedua anak Raja Siliwangi tersebut tidak mendapat izin dari sang ayah, maka mereka melarikan diri ke Gunung Jati untuk belajar tentang Islam. Setelah cukup lama menuntut ilmu, keduanya diperintahkan sang syaikh untuk membuka hutan di selatan Gunung Jati yang kemudian dijadikan pedukuhan yang akhirnya menjadi ramai. Tempat ini kemudian dinamakan ”Tegal Alang- Alang” dan Pangeran Walang Sungsang diberi gelar ”Pangeran Cakra Buana” serta  diangkat sebagai pimpinannya. Syaikh Kahfi atau Datuk Kahfi memerintahkan kepada kedua muridnya tersebut untuk menunaikan haji ke Mekkah dilanjutkan dengan belajar Islam kepada Syaikh Bayanillah. Akhirnya Rara Santang menikah dengan seorang penguasa Mesir keturunan Bani Hasyim yang bernama Sultan Syarif Abdullah- dikenal juga dengan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda. Rara Santang namanya diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari pernikahan ini lahirlah dua orang putra, Syarif Hidayatullah dan adiknya Syarif Nurullah. Setelah Sultan Syarif Abdullah wafat, kedudukannya digantikan oleh putra keduanya Syarif Nurullah, karena putra pertamanya Syarif Hidayatullah tidak suka naik takhta dan lebih memilih pulang ke tanah Jawa beserta ibunya untuk mendakwahkan Islam. Syarif Hidayatullah inilah yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati yang bersama-sama Senopati Demak Bintoro, yaitu Fatahillah yang melakukan penyerangan dan pengusiran Bangsa Portugis dari Sunda Kelapa. Sedangkan Pangeran Cakra Buana setelah tinggal tiga tahun di Mesir kembali ke Jawa dan mendirikan negeri baru yaitu Caruban Larang. Prabu Siliwangi sebagai penguasa Jawa Barat telah merestui tampuk pemerintahan putranya ini dan memerinya gelar ”Sri Manggana”. Dalam perjalanan dakwahnya, Sunan Gunung Jati telah sampai ke negeri Cina, dimana terdapat undang-undang yang melarang rakyatnya memeluk Islam. Disana beliau membuka praktek sistem pengobatan. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudhu dan sholat. Orang cina kemudian mengenalnya sebagai sinshe dari jawa yang sakti dan berilmu tinggi. Akhirnya banyak diantara penduduknya memeluk Islam, termasuk seorang menteri Cina bernama Pai Lian Bang. Bahkan Kaisar Cina meminta Sunan Gunung Jati untuk menikahi putrinya yang bernama Ong Tien. Sunan Gunung Jati tidak mau mengecewakan sang kaisar, maka pernikahan tersebut dilangsungkan, kemudian ia pulang ke Jawa beserta Ong Tien. Keberangkatannya ke Jawa dikawal dua Kapal Kerajaan yang dikepalai murid Sunan Gunung Jati, Pai Lian Bang. Kapal yang ditumpangi oleh Sunan Gung Jati berangat lebih dahulu dan singgah di Sriwijaya karena tersiar kabar bahwa adipati Sriwijaya yang berasal dari Majapahit bernama Ario Damar atau Ario Abdillah (nama Islamnya) telah meninggal dunia. Makam beliau dapat kita lihat sampai sekarang di Jalan Ariodillah Palembang. Sedangkan Ario Abdillah ini adalah anak tiri dari Fatahillah.   Karena kedua putra dari Ario Abdillah telah menetap di Jawa, maka Sunan Gunung Jati mengharapkan agar rakyat Sriwijaya berkenan mengangkat Pai Lian Bang sebagai adipati supaya tidak ada kekosongan kepemimpinan. Pai Lian Bang tidak menolak atas pengangkatannya, ia berkata : ”... seandainya bukan Sunan Gunung Jati sebagai guruku yang menyuruhku, maka aku tidak akan mau diangkat menjadi adipati...”. Dengan bekal ilmu selama menjadi menteri di Cina, Pai Lian Bang berhasil membangun Sriwijaya. Pesantren dan madrasah benar-benar dikembangkannya dan beliau menjadi Guru Besar dlam Ilmu Ketatanegaraan. Murid-muridnya cukup banyak yang datang dari Pulau Jawa dan Sumatera  termasuklah seorang cucu Sunan Gunung Jati dari Putrinya Panembahan Ratu yang dinikahi oleh Danuresia (Empu Eyang Dade Abang) yang bernama Syaikh Nurqodim al Baharudin (di sumsel dikenal dengan Puyang Awak). Pada akhirnya setelah Pai Lian Bang wafat, Sriwijaya diganti nama menjadi PALEMBANG yang diambil dari nama PAI LIAN BANG. D. Latar Belakang Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu Tempo Dulu Setiap ulama yang shohih dapat dikenali langkah-langkahnya yang senatiasa menyusuaikan dengan panduan Alqur-an dan sunnah Rosul. Demikian pula analisis kami terhadap gerakan yang dibangun Syaikh Nurqodim al-Baharudin. Dengan segala keterbatasannya selaku manusia biasa dan dengan kesemangatannya selaku hamba Allah yang diberi amanah ke’ulamaan beliau telah berupaya membangun tata kehidupan masyarakat madani yang di contohkan Rosulullah Muhammad SAW. Inilah latar belakang pokok mudzakarah tersebut yaitu ingin mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang diatur dengan Syariat Dinullah dengan panduan dari Rosulnya. Beliau tidak bermaksud membangun kekuasan dengan sistem kerajaan. Namun masyarakat madani yang tunduk pada kepemimpinan Allah dan Rosul dengan ’ Ulama sebagai Ulil Amrinya. Kemudian dengan melihat situasi dan kondisi perkembangan Islam di Eropa, Afrika, Asia, hingga wilayah Nusantara memberikan peluang yang besar kepada para ’ulama untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh dunia, sehingga memberi corak tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya kestabilitasan dan perbaikan sistem kehidupan yang meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi, pemerintahan dan keamanan, militer dan ilmu pengetahuan merupakan salah satu effect positif penyebaran melalui Dakwah dan Jihad. Di rumpun melayu, khususnya setelah terjadi kekosongan kekuasaan di wilayah Sumatera Selatan akibat runtuhnya kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, dan terjadinya peralihan kekuasaan dari kerajaan Demak ke Pajang dan Mataram, sementara di wilayah Besemah ( Pagaralam) masyarakat mengalami disintegrasi nilai-nilai kebudayaan yang mengakibatkan terciptanya kekacauan dalam sistem kehidupan sosial kemasyarakatan sehingga mereka kehilangan norma dan aturan yang mengatur tatanan kehidupan sosial. Hal ini yang menjadi faktor kedua dan mengilhami proses penyebaran Islam di wilayah Besemah dan Semendo oleh para ’ulama melalui proses mudzakarah. Demikianlah dua latar pokok munculnya pertemuan ulama pada masa itu, yaitu ittiba kepada panduan Allah dan Rosul dengan gambaran dalilnya antara lain Surah al Anfal ayat 72 , mengenai perintah iman, hijrah dan jihad. Selanjutnya kedua, yaitu kondisi dunia dan ummat yang menghendaki para ’ ulama agar bersepakat mengangkat Islam. E. Lokasi dan Hasil Keputusan Mudzakarah Ulama Tempo Dulu Keberadaan dan kegiatan dakwah yang dilakukan beliau lama-kelamaan mulai tersebar. Bahwa di daerah Batang Hari Sembilan telah ada seorang aulia yang bernama Syaikh Nur Qodim Al Baharudin. Banyaklah penghulu agama / pemuka agama dari berbagai daerah berdatangan memenuhi ajakan Puyang Nur Qodim untuk bermukim di Talang Tumutan Tujuh akhirnya diresmikanlah oleh Puyang Ratu Agung Empuh Eyang Dade Abang menjadi ”dusun Paradipe” (para penghulu agama) tahun1650 M / 1072 H sekarang dinamakan dusun Tue. Dari perluasan daerah inilah disebut wilayah jagad Semende Panjang Basemah Libagh. Kegiatan pembukaan wilayah oleh Syaikh al Baharudin antara lain : 1 . Pembukaan dusun dan Wilayah Pertanian Pagaruyung yang dipimpin oleh Puyang Ahmad Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Tanah Minang Kabau. 2 . Pembaharuan dusun serta pemekaran Wilayah Peghapau yang dipimpin oleh Puyang Prikse Alam, dan Puyang Agung Nyawa beserta Puyang Tuan Kuase Raje Ulieh dari negeri Cina yang nama aslinya Ong Gun Tie. 3 . Pembukaan Dusun dengan pemukiman di dusun Muara Tenang oleh Putra Sunan Bonang dari Jawa. Di Tanjung Iman oleh Puyang Same Wali, di Padang Ratu oleh Puyang Nakanadin, di Tanjung Raye oleh Puyang Regan Bumi dan Tuan Guru Sakti Gumai serta di Tanjung Laut oleh Puyang Tuan Kacik berpusat di Pardipe. 4 . Pemekaran pembukaan wilayah Marga Semende, Muare Saung dan Marga Pulau Beringin (OKU). 5 . Pembukaan wilaya Marga Semende Ulu Nasal dan Marga Semende Pajar Bulan Segirin Bengkulu. 6 . Pembukaan dusun dan wilayah pertanian di Lampung yakni Marga Semende Waitenang, Marga Semende Wai Seputih, Marga Semende Kasui, Marga Semende Peghung dan Marga Semende Ulak Rengas (Raje Mang Kute) Muchtar Alam.   Pendiri Adat Semende 1 . Ratu Agung Umpu Eyang Dade Abang ( Bapak Nur Qodim – Puyang Awak). 2 . Puyang Awak Syaikh Nurqodim Al Baharudin. 3 . Puyang Mas Penghulu Ulama Panglima Perang dari Gheci Mataram Jawa. 4 . Ahmad Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Minang Kabau (Sumbar). 5 . Puyang Sang Ngerti Penghulu Agama dari Tebing Rindu Ati Bangkahulu ( Bengkulu). 6 . Puyang Perikse Alam dari Lubuk Dendan Mulak Basemah. 7 . Puyang Agung Nyawe. 8 . Puyang Lurus Sambung Ati dari gunung Puyung Banten Selatan Jabar. 9 . Tuan Kuase Raje Ulie Depati Penanggungan. 10 . Puyang Lebi Abdul Kahar dari Pulau Panggung. 11 . Tuan Mas Pangeran Bonang Muara Tenang. 12 . Regan Bumi Nakanadin samewali Tanjung Raya. 13 . Tuan Kecil dari Tanjung Laut. Mengenai hasil keputusan yang di dapat, antara lain adalah munculnya rumusan kesepakatan ulama mengenai tahapan waktu kaderisasi ummat dan masa tegaknya daulah Islam di Rumpun Melayu. Rumusan ini menggunakan bahasa melayu setempat yang tercatat sampai saat ini dan mengandung pesan yang amat kuat, yaitu ”Tujuh Ganti Sembilan Gilir”. Terjemahnya adalah tujuh generasi dan sembilan masa pergiliran Kesultanan”. Satu generasi adalah sekitar 40 tahun sehingga makna tujuh ganti adalah 280 tahun masa pengkaderan atau persiapan ummat ummat Islam untuk bangkit dan mengusir penjajah dari Eropa. Terbukti sekitar 300 tahun kemudian dari tahun 1650 penjajah belanda angkat kaki dari negeri ini. Kemudian Kesultanan Mataram sebagai pusat komunikasi dari kesultanan lain di rumpun melayu diberi batas amanah sampai ke  9 kepemimpinan untuk selanjutnya menegakkan Syariat Islam secara total. Data mengenai ulama yang hadir antara lain 40 ulama Malaka yang berangkat dari Johor, utusan Mataram Raden Seto dan Raden Khatib dan beberapa utusan lain dari Pagaruyung dan beberapa dari wilayah Rumou Melayu lainnya. Lokasi Mudzakarah Ulama ini adalah di Dusun Perdipe (Para Dipo; para penghulu agama). Demikianlah sekelumit data yang diperoleh, setelah dilakukan eksplorasi data literatur dan lapangan. Namun demikian segala sumber keterangan apabila bukan bersumber selain alqur-an akan ditemua ikhtilaf (perbedaan) seperti yang dijelaskanNYa dalam Surah Annisa 82. Maka kami pun membuka segala kesempatan untuk melengkapi, mengkoreksi dan meluruskan data sejarah ini.

/@cwi

selengkapnya...

Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |