Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil

Jan
03

Alhamdulillah, wash sholaatu was salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi. Kalimat ini termasuk dzikir sederhana, namun mengandung makna yang luar biasa. Dzikir ini menandakan bahwa seorang hamba hanya pasrah pada Allah dan menjadikan-Nya sebagai tempat bersandar. Allah Ta’ala menceritakan mengenai Rasul dan sahabatnya dalam firman-Nya, الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ “(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. ” (QS. Ali ‘Imron: 173) Kata sahabat Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa “hasbunallah wa ni’mal wakiil” adalah perkataan Nabi ‘Ibrahim ‘alaihis salaam ketika beliau ingin dilempar di api. Sedangkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kalimat tersebut dalam ayat, إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. (HR. Bukhari no. 4563) Renungkanlah Maknanya! Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir berkata bahwa maksud “hasbunallah” ialah Allah-lah yang mencukupi segala urusan mereka. Sedangkan “al wakiil“, kata Al Faro’ berarti orang yang mencukupi. Demikian pula kata Ibnul Qosim. Sedangkan Ibnu Qutaibah berkata bahwa makna “al wakiil” adalah yang bertanggung jawab (yang menjamin). Al Khottobi berkata bahwa “al wakiil” adalah yang bertanggung jawab memberi rizki dan berbagai maslahat bagi hamba. Dalam tafsir Al Jalalain disebutkan makna dzikir di atas ialah Allah-lah yang mencukupi urusan mereka dan Allah-lah sebaik-baik tempat bersandar dalam segala urusan. Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya memaparkan, “Maksud ‘hasbunallah‘ adalah Allah-lah yang mencukupi urusan mereka dan ‘ni’mal wakiil’ adalah Allah-lah sebaik-baik tempat bersandar segala urusan hamba dan yang mendatangkan maslahat.” Syaikh Al Imam Al ‘Arif rahimahullah berkata bahwa dalam hadits di atas adalah isyarat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada para sahabatnya agar mereka rujuk (kembali) pada Allah Ta’ala, bersandar pada-Nya, sadar bahwa tidak ada daya dan kekuatan melainkan dari-Nya. … Kalimat “hasbunallah” adalah tanda bahwa hamba benar-benar butuh pada Allah dan itu sudah amat pasti. Lalu tidak ada keselamatan kecuali dari dan dengan pertolongan Allah. Tidak ada tempat berlari kecuali pada Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ “Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. ” (QS. Adz Dzariyat: 50) (Bahrul Fawaid karya Al Kalabadzi) Allah-lah Yang Mencukupi Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3). Al Qurtubhi rahimahullah menjelaskan pula tentang surat Ath Tholaq ayat 3 dengan mengatakan, “Barangsiapa yang menyandarkan dirinya pada Allah, maka Allah akan beri kecukupan pada urusannya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ “Barangsiapa menyandarkan diri pada sesuatu, maka hatinya akan dipasrahkan padanya” (HR. Tirmidzi no. 2072, hadits ini hasan kata Syaikh Al Albani). Artinya di sini, barangsiapa yang menjadikan makhluk sebagai sandaran hatinya, maka Allah akan membuat makhluk tersebut jadi sandarannya. Maksudnya, urusannya akan sulit dijalani. Hati seharusnya bergantung pada Allah, bukan pada makhluk. Jika Allah menjadi sandaran hati, tentu urusan akan semakin mudah. Ya Allah … Engkau-lah yang mencukupi segala urusan kami, tahu manakah yang maslahat dan yang mengatur segala rizki kami. Hasbunallah wa ni’mal wakiil. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam. @ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 21 Dzulqo’dah 1432 H (19/10/2011) Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.muslim.or.id /@cwi

Jilbab, Antara Tren Dan Kewajiban

Ilustrasi - Muslimah berjilbab di Turki (WN / akgunsemra)
Oleh: Maulud Mustofa 
 Teringat pembicaraan bersama keluarga Om saya beberapa waktu yang lalu, saat menyaksikan gaya berpakaian wanita-wanita zaman ini di sepanjang perjalanan kami dari Cikarang ke Tangerang, kami tergelitik dengan salah satu bagian pakaian yang bernama jilbab. Jilbab yang sebenarnya merupakan salah satu bagian pakaian wajib bagi perempuan, seperti dalam firman Allah SWT, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab: 59). Namun saat ini jilbab sering dialihfungsikan hanya menjadi salah satu gaya berbusana agar tampak menarik. Seperti halnya di salah satu negara tetangga yang menjadikan jilbab sebagai salah satu budaya berpakaian mereka, sepertinya yang terjadi di lingkungan kita saat ini para perempuan menjadikan jilbab hanya sebagai salah satu trend dalam berpakaian saja. Saat ada acara keagamaan atau pada hari raya ramai-ramai memakai jilbab. Lepas dari momen itu, kembali auratnya dibiarkan diterpa angin. Tidak memandang mereka artis atau bukan, fenomena seperti ini sering kita jumpai di sekitar kita. Dalam konteks lain, sering pula kita jumpai mereka yang memakai jilbab hanyalah untuk menutupi rambutnya yang menurut mereka sendiri kurang bagus. Namun di kesempatan lain kita dibuat tertegun saat dengan santai dan bangganya ia berjalan di depan umum dengan memamerkan rambut barunya yang baru saja direbonding. Bahkan mereka tidak menyadari tentang hukum rebounding itu sendiri dalam Islam. Satu alasan lain wanita memakai jilbab ternyata hanya karena ia sering dipuji lebih cantik jika memakai jilbab. Sedangkan hatinya sebenarnya merasa enggan memakai jilbab. Ia memakai jilbab namun terkadang pakaian yang ia kenakan menunjukkan lekuk-lekuk tubuhnya. Hal ini oleh nabi sering disinggung sebagai “wanita yang berpakaian tapi telanjang.” Sayang sekali, karena mereka yang berpakaian ketat atau seksi sudah dijelaskan tidak akan mencium bau surga. Mencium baunya saja diharamkan, apalagi tinggal di dalamnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128) Dengan alas an bahwa berbagai perilaku seperti di atas masih lebih baik daripada sama sekali tidak pernah memakai jilbab atau bahkan menghalangi wanita lain untuk berjilbab, mereka seolah-olah ingin ‘mencurangi’ hukum Islam. Seharusnya setiap muslimah memahami bahwa berjilbab itu merupakan suatu kewajiban. Ia mengenakan jilbab karena benar-benar diniatkan mengharap ridha Allah. Hal ini senada dengan sabda rasul yang menyatakan bahwa suatu amal itu tergantung dari niatnya. عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إنما الأعمال بالنيات, وإنما لكل امرئ ما نوى. فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله, ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها, أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه. {رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه البخاري وأبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما الذين هما أصح الكتب المصنفة}. Dari Amir Mukminin Abi Hafsh Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan diraihnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Insya Allah jika segala sesuatu diniatkan karena Allah, Dzat Yang Abadi, suatu perilaku itu juga akan abadi meski banyak godaan dan hambatan untuk tetap istiqamah. Note : Jilbab di sini lebih cenderung saya artikan sebagai kerudung karena di lingkungan kita lebih sering dipahami seperti itu. Sedangkan pengertian jilbab, kerudung, burka, dsb sudah banyak diulas di berbagai artikel. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2010/12/10193/jilbab-antara-tren-dan-kewajiban/#ixzz1hviSp9CO /@cwi


Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |