Allah membungkam mulutku

Posting cerpen by: daud
Adzan Shalat Isya’ berkumandang tapi sepertinya telingaku menolak dengan sukses panggilan shalat itu. Sambil tiduran aku memencet-mencet remot televisi untuk memilih tayangan yang pas dan menarik tapi tak ada tayangan televisi yang pas sesuai keinginanku. Akhirnya aku beranjak ke kamar yang berada di lantai tiga. Rasanya malas sekali pergi kesana. Dengan langkah berat bercampur malas, aku berjalan pelan menaiki tangga.“Mas Ram, nggak shalat?” suara lembut itu tiba-tiba menghentikan langkahku.“Memangnya kamu sudah Af?” tanyaku sambil menggaruk-nggaruk kepala.“Aku nggak shalat” jawabnya pelan.“Aku juga nggak shalat” aku melanjutkan perjalanan menuju kamar meski Afiya memandangku sedikit sinis dan aneh tapi aku tahu bahwa ia tidak suka dengan kelakuanku hari ini.Afiya adalah adik perempuanku. Usianya satu tahun lebih muda dariku. Mungkin ia sedikit marah denganku karena aku tidak begitu peduli dengannya tadi. Apalagi ketika aku menjawab juga tidak shalat. Entah apa perasaan Alifa saat itu dan aku baru teringat jika adikku ini perempuan yang sudah kelas 2 SMA. Jadi wajar kalau ia tidak shalat. Mungkin ia berhalangan hari ini. Sebagai seorang kakak, aku merasa malu dengan adikku ini. Kuakui jika Afiya adalah perempuan yang baik-baik dan selalu mengingatkanku untuk shalat Isya’.Ia juga tak bosan mengingatkanku. Seharusnya aku berterima kasih padanya tapi namanya juga manusia. Pasti ada rasa gengsi dalam hati. Tapi sebenarnya aku sangat menyangi adikku itu. Meski Afiya setiap hari mengingatkanku untuk shalat Isya’ dengan sabar, aku tetap saja tak memperdulikannya. Bagiku shalat Isya’ itu sangat sulit dilaksanakan bahkan lebih sulit dari pada shalat subuh. Aku tahu jika shalat lima waktu itu penting tapi aku malas sekali melaksanakannya bahkan mengambil air wudhu saja,kaki ini rasanya sangat berat untuk melangkah. Seperti ada beton satu ton yang menempel di punggungku.
****
Pagi ini sangat cerah sekali apalagi suasana pagi ini sangat langka menurutku karena biasanya awan mendung selalu menghiasi langit dan menutupi sinar mentari. Memang pagi ini sangat cerah sekali tapi wajah Afiya kulihat tidak secerah pagi hari ini. Biasanya ia selalu bersemangat. Suasana di ruang makan jadi lebih aneh karena Afiya tidak seperti biasanya. Ayah dan Ibu juga heran melihatnya. Sesekali Afiya melirikku ketika aku makan tapi ketika aku melihatnya,ia malah memalingkan pandangannya. Aku merasa ada sesuatu yang mau dikatakan Afiya.“Ada apa Af?” tanyaku sambil mengambil piring dan sendok..“Nggak ada apa-apa kok” wajah muramnya masih menghiasi dirinya.“Kalau sakit, nggak usah dipaksain sekolah” ucapku sambil menatap Aliya.“Tumben peduli sama aku” mendengar ucapan Afiya,aku terdiam dan aku tahu sebenarnya Afiya masih marah denganku karena kejadian semalam. Aku ingin meminta maaf tapi nanti sajalah toh hari ini aku harus berangkat pagi-pagi untuk sekolah karena jadwalnya piket.****Aku sengaja meninggalkan jam pelajaran dan menenangkan pikiranku di masjid sekolah sambil menunggu shalat Dhuhur meski kurang satu jam lagi. Entah kenapa hari ini aku kurang antusias menerima pelajaran yang diberikan guru-guru.Mungkin karena Afiya masih marah atas kejadian semalam dan aku merasa sangat bersalah pada Afiya. Ingin sekali ku meminta maaf padanya tapi kok rasanya malu sekali untuk mengungkapkannya. Apakah pakaian sombong ini melekat erat denganku?. Hari ini aku merasa tak tenang jika aku belum meminta maaf pada Afiya.Rasa bersalah terus menghantuiku hingga tak terasa satu jam aku memikirkannya. Terlihat pak Sutopo guru Pkn dan empat guru yang lainnya menuju masjid untuk menunaikan shalat dhuhur. Ketika mereka berlima sampai di masjid, pak Sutopo menyuruhku untuk mengumandangkan adzan.Aku ragu apakah aku bisa atau tidak karena belum pernah aku mengumandangkan adzan. Dengan langkah mantap campur keraguan, aku menuju mihrab untuk mengambil mic dan bersiap mengumandangkan adzan dhuhur.Ketika aku memulai bertakbir saat Adzan, aku tak menyangka jika aku ini bisa melantunkannya dengan merdu , padahal baru pertama kali. Lalu kulanjutkan adzan dan ketika sampai di kalimat “hayyaalashalah” sepertinya ada yang menyumpal mulutku ini sehingga aku mengucapkannya kurang lengkap. “ Hayyalasssst” mendengar Adzan yang ku kumandangankan, kelima guru itu langsung menatapku aneh. Aku semakin grogi dan tegang. Lalu aku mencoba menenagkan diri dan mengucapkannya untuk kedua kali dan hasilnya sama “ Hayyalasssst” lagi-lagi ada sesuatu yang menghentikanku untuk mengucapkannya. Tidak hanya itu, kelima guru itu melihatku. Tapi biarlah, aku tetap melanjutkan Adzan sampai selesai. Anehnya, hanya kalimat tadi saja yang tidak lengkap kuucapkan.Sesusai shalat dhuhur, aku duduk di teras masjid untuk beristirahat. Kusandarkan diriku di tembok sambil kuselonjorkan kakiku. Lagi-lagi aku merasakan beberapa kejadian aneh.Yang mengejutkan lagi, aku tak mampu mengucapkan “Hayyalashalah”Aku menjadi tidak enak dengan guru-guru yang mendengar lantunan adzanku yang aneh itu. Terlintas dibenakku bahwa arti dari “Hayya’lashalah” adalah “ Marilah mendirikan sholat”. aku berpikir sejenak dengan kejadian saat mengumandangkan adzan dhuhur tadi.“ Mungkinkah Allah membungkam mulutku Karena aku belum sepenuhnya mendirikan shalat?. aku bertanya-tanya dalam hati.Tersadar bahwa kejadian tadi adalah sebuah peringatan untukku. Akhirnya ku ambil handphone yang ada di tasku. Jika mulut ini tak mampu terucap, aku berusaha meminta maaf kepada Afiya meski hanya lewat pesan singkat atau SMS. Tapi rasanya sulit sekali untuk merangkai kata-kata maaf untuknya.Apakah aku tidak berbakat merangkai kalimat ya?Beberapa jam aku duduk dan memegang Handphone sambil memikirkan kata-kata yang pas untuk meminta maaf kepada Afiya. Sambil menghela nafas, aku memutuskan untuk menggunakan kalimat apa adanya tapi aku tak berani.“ Ya Allah sungguh sombong hamba-Mu ini” bisikku.“Tiit..tiiit” Handphoneku berdering kencang. Kulihat ada pesan masuk. Ternyata pesan itu dari Afiya. Suatu kebetula nsekali tapi aku sangat malu karena SMS dari Aliya itu ucapan maaf. Padahal seharusnya aku dulu yang meminta maaf.“Kakak ku yang keren, sebenarnya Afiya malu untuk mengatakannya tapi Aliya berusaha meminta maaf meski hanya lewat SMS. Maafkan Aliya ya mas? Atas ucapan Aliya yang menyinggung Mas Rama pagi tadi.” Sebuah pesan yang membuatku malu sebagai seorang kakak. Bahkan pesan yang Aliya sampaikan itu mirip sekali dengan pesan yang akan aku sampaikan kepadanya. Tanpa ragu aku membalas pesan Afiya.“Maafkan juga ucapanku kemarin malam” Hanya itu yang ku kirim.“Ya , jangan lupa nanti shalat Isya’” balas Afiya.“Pasti” Aku membalas SMS itu tanpa ragu sedikitpun“Allhamdulillah” setelah itu Afiya tidak SMS lagi. Betapa bahagianya hati ini ketika Afiya memaafkanku. Aku tiba-tiba teringat saat adzan tadi.Ternyata Allah benar-benar membungkam mulutku saat mengumandangkan adzan Sungguh memalukan jika menyeru untuk mendirikan shalat tapi yang menyerukan Adzan itu belum sepenuhnya mendirikan shalat. sebuah peringatan yang cukup pedas bagiku.Dengan semangat kulangkahkan kaki ku menuju parkir untuk mengambil motor kesayanganku. Rencananya nanti malam aku akan membelikan martabak telor kesukaannya.
****
Akhirnya sampai juga dirumah. Tapi ada yang aneh dengan rumahku kali ini. Kelihatannya banyak orang yang berdatangan kerumahku. Aku teringat bahwa minggu ini adalah giliran arisan di rumah Ibu. Tanpa ragu aku menuju kerumah sambil menenteng kantong plastik berisi martabak telor. Pasti Afiya senang. Tapi kenapa ada yang aneh. Lalu aku memasuki rumah dan ternyata orang-orang yang berdatangan itu sepertinya bukan arisan. Tapi sepertinya sedang melayat orang mati. “Memangnya siapa yang mati?” tanyaku dalam hati. Kulihat Ibu tersedu-sedu menangis dan aku menghampirinya dalam keadaan bingung.“Ada apa ini bu?” aku tiba-tiba merinding. Entah perasaan apa ini. Lalu ibu memeluku dengan dekapan yang hangat dan erat sekali.. Air mataku tiba-tiba keluar.“Yang sabar nak..” mendengar ucapan Ibu, air mataku semakin meleleh padahal tadi pagi Ayah sehat-sehat saja tapi mengapa ia pergi begitu cepat. Aku merasa bersalah pada Ayah yang selama ini jarang kuajak bicara dan tidak sempat meminta maaf dengannya. Tapi aku merasa aneh karena aku melihat orang yang mirip Ayah mempersilahkan masuk.“Ibu…ibu..ibu…. Ayah nggak meninggal bu” sambil menunjuk-nunjuk ayah yang sedang berdiri didekat pintu rumah dan tangisku hilang seketika tapi ibu tetap saja menangis dan tangisannya semakin menjadi-jadi.“A..A..Afiya” ucap Ibu sedikit gagap sambil menahan tangis.Mendengar itu aku jantungku sepertinya berhenti sejenak sepertinya aku merasa bersalah dengan adik ku satu-satunya ini. Tiba-tiba aku tak melihat apa-apa. Mungkinkah ini hanya mimpi? kini suara Afiya dimalam hari tidak pernah kudengar lagi. Tapi ketika aku mulai malas untuk shalat Isya’, sepertinya Afiya ada di dekatku dan kata-kata setiap hari itu muncul begitu saja dalam benak ku.“Mas Ram nggak shalat?”yah, ternyata Allah benar-benar membungkam mulutklu saat adzan beberapa bulan yang lalu.dalinsyi.blogspot.com /@cwi

selengkapnya...

MADRASAH HATI


Posting cerpen by: elhakim Firdaus


Hembusan angin membelai rambut pendekku yang tertutup peci putih kekuning-kuningan. Menerobos masuk kedalam sistem kerja otak. Kencang, namun nikmat terasa. Semua beban di otak terasa ikut terbang bersama hembusan angin. Aku berdiri terdiam menatap bangunan kecil bercat hijau tepat didepan mataku. Membawaku kembali ke masa-masa indah dua tahun yang lalu.Madrasah Al-Hidayah, begitulah aku dan teman-teman seperjuanganku menyebutnya. Awalnya, madrasah ini adalah sebuah bangunan kecil tanpa nama yang berdiri diatas tanah wakaf peninggalan almarhum H. Sulaiman. Bangunan tersebut memang dibangun untuk dijadikan madrasah. Namun entah mengapa, setelah selesai dibangun, seakan-akan bangunan tersebut tak pernah ada. Fungsi bangunan yang telah direncanakan tak berjalan sebagaimana mestinya. Aku heran melihat itu semua. Bagaimana perasaan almarhum H. Sulaiman jika melihat tanah yang beliau wakafkan disia-siakan. Ku rasa beliau sangat kecewa sekali. Ingin rasanya aku memakmurkan madrasah tersebut. Namun, apalah daya seorang anak ingusan yang masih duduk di bangku kelas satu SMA. Modal ilmu agama yang pas-pasan menjadi faktor utamaku melupakan sejenak mimpi itu.Akan tetapi, bulan Ramadhan 1429 H secercah cahaya mulai mengetuk mimpiku. Ayahku yang saat itu menjabat sebagai Ketua RW kampung Cipaku, menyuruhku membuat acara untuk mengisi bulan Ramadhan tahun itu. Hatiku senang bercamupur rasa bingung. Acara apa yang yang harus ku buat.
Otakku mulai berputar dan menguras semua ide yang ada. Sampai pada titik lelah otakku, aku pun menyerah dan meminta pertolongan tiga temanku yang bersekolah di Mu’alimin. Alhamdulillah mereka merespon dengan baik maksudku. Kami pun mulai berfikir, mengeluarkan semua isi otak kami. Laksana kilat yang menyambar ke lapisan kulit bumi, tiba-tiba terdengar suara seorang gadis manis yang bernama Fitri. Kak Fitri ku menyebutnya.“ Bagaimana kalau kita buat acara ‘Pesantren Kilat’?”, “Ide yang bagus, kak. Tapi Pesantren Kilatnya untuk anak-anak!”, Shofi menambah. “Boleh juga. Tapi kenapa anak-anak?. Apakan tak kan merepotkan kita?. Asep mulai meramaikan suasana.“Eh, justru kita pupuk pengetahuan tentang ilmu agama sejak dini. Pasti repot sih, tapi mudah-mudahan mereka menjadi aset kampung kita”, tangkas gadis manis ini. Asep, Shofi termasuk aku terdiam dan hanya bisa mengannguk pasrah mendengar jawaban Kak Fitri yang sangat lugas. Kak Fitri memang orang yang paling tua di antara kami. Dia duduk di bangku kelas tiga Mu’alimin. Asep dan Shofi duduk di bangku kelas dua Mu’alimin. Walaupun lebih tinggi satu tingkat dariku, tapi umur mereka sama denganku.“Gimana Iman?”, tanya Kak Fitri. “Emh, boleh Kak. Idenya bagus. Aku setuju!”, jawabku.Kak Fitri tersenyum manis mendengar jawabanku.Akhirnya kami telah sepakat untuk membuat acara “Pesantren Kilat” untuk anak-anak. Kami mulai membuat famplet dan menempelkannya di semua pelosok kampung Cipaku. Tanggal 1 Ramadhan 1429 H kami mulai acaranya dan dilaksanakan sore hari dari pukul 16.00 sampai maghrib di Masjid Al-Hidayah Cipaku. Untuk menarik perhatian anak-anak, kami menyediakan ta’jil gratis seusai acara. Hari pertama pelaksanaan Pasantren Kilat sangat menggembirakan. Peserta Pesantren Kilat mencapai lima puluh orang. Alhamdulillah. Begitupun hari kedua, ketiga dan seterusnya. Tidak berkurang, malah bertambah. Masalah pun seakan ingin ikut andil dalam acara ini. Ta’jil gratis yang merupakan sumbangan dari ibu-ibu PKK kampung Cipaku, tidak mencukupi. Namun, melihat semangat anak-anak, nampaknya masalah tersebut tak berarti. Kami bersepakat menambah ta’jil yang kurang dengan uang kami sendiri.Materi yang kami sampaikan nampaknya terserap mulus kedalam memori anak-anak. Terbukti ketika kami mengadakan cerdas cermat dua hari menjelang Hari Raya Iedul Fitri, mereka dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan kami. Melihat itu semua hatiku senang tiada tara. Meskipun aku tidak banyak menyampaikan materi karena keterbatasan ilmuku, hatiku merasa bangga. Tak hanya mengajarkan, aku pun banyak belajar ilmu agama dari majelis ini. Tiga puluh hari penuh acara Pesantren Kilat berlangsung. Sangat berkesan dihati. Terlintas difikiran ingin melanjutkan suasana ini. Suasana kebersamaan dan kenikmatan dalam mencari ilmu. Bayangan bangunan kecil di samping mesjid tiba-tiba terbesit difikiranku. Ku rasa saatnya bangunan tak bertuan itu berfungsi. Fungsi yang semestinya berjalan sejak dulu. Tapi apalah dayaku?. Selalu itu yang menghambat langkahku. Rasa percaya diri yang belum tumbuh, mengikat semua mimpi-mimpiku. Mengikat erat seakan tak ingin lepas dari benakku. Selepas Hari Raya yang dinanti, aku dan teman-temanku berkumpul lagi. Ku beranikan diri untuk mengumpulkan mereka. Ku tak ingin terlalu lama membiarkan semua keinginanku dihancurkan perasaanku sendiri. Tanpa basa basi, aku mulai mengungkapkan semua keinginanku kepada mereka. Keinginan memakmurkan bangunan kecil di samping mesjid. “Kak, acara Pesantren Kilat kemarin kan berjalan dengan lancar, dan anak-anak pun sangat antusias mengikuti acara tersebut, bagaimana kalau kita lanjutkan acara itu?”, aku mulai membuka pembicaraan.“Bulan Ramadhannya juga kan sudah berakhir! Gimana mau diterusin?”, sanggah Asep. “Kan ada madrasah di samping masjid, kosong lagi”, jawabku.“Benar juga ya. Mubadzir kan kalau madrasahnya tak diurus?”, suara indah terlontar dari Kak Fitri. Busana muslim yang dibalut dengan jilbab warna hijau, membuatnya tampak mempesona. “Betul, betul, betul. Aku setuju sama Kak Fitri”, tambah Shofi.Mendengar pendapat mereka semua, hatiku senang. Bagaikan melayang-layang di surga dunia yang aku sendiri pun tak pernah merasakannya. Akhirnya kami sepakat untuk mengisi bangungan kecil yang kemudian kami sebut Madrasah Al-Hidayah. Kami mulai bekerja, dari mulai membuat famplet, mengurus surat izin ke RT, RW dan DKM daerah Cipaku. Liburan Hari Raya Iedul Fitri tahun ini ku habiskan bersama teman-temanku mengurus persiapan madrasah yang kami rencanakan. Kami tidak memungut biaya sepeser pun bagi yang ingin belajar di Madrasah Al-Hidayah.Rasa senang dan bangga kembali singgah dihatiku. Respon masyarakat kampung Cipaku sangat baik melihat usaha kami. Empat puluh delapan murid telah terdaftar dalam buku catatan kami. Sampai-sampai bangunan Madrasah pun tak cukup menampung mereka semua. Dari saat itu lah perjuangan kami di mulai. Masalah demi masalah singgah satu persatu. Namun dengan usaha keras kami, masalah tersebut dapat diatasi. Kami tetap berusaha semaksimal mungkin mempertahankan madrasah ini.Bulan Rajab 1430 H adalah bulan yang bersejarah bagi aku, Kak Fitri, Asep, Shofi dan murid-murid Madrasah Al-Hidayah. Kami berhasil mengadakan acara kenaikan kelas yang bertajuk “KARIMA (Kreasi Akhir Tahun Madrasah Al-Hidayah)” yang cukup meriah. Aku tah bisa lagi mengungkapkan semua rasa yang ada di benakku. “Alhamdulillah”, hanya itu kata yang terucap.Ku masih berdiri termenung menatap bangunan yang ada di depan mataku. Suara keras bai’at murid-muridku, membangunkanku dari semua banyangan indah tempo dulu. Kini ku kembali ke dunia nyata, meneruskan perjuanganku bersama teman-temanku. Perjuangan yang sebenarnya baru saja dimulai. Semangat murid-muridku yang menggebu-gebu menjadi katalis bagi ku dan teman-temanku. Matahari mulai berpindah ke arah timur. Teriknya seakan meredup melihat semangat murid-muridku yang menggebu-gebu. Angin lembut menambah indahnya seore ini. Meyejukkan hati, menguatkan jiwa. Hembusan angin mengiringi murid-muridku masuk ke bangunan kecil yang penuh rahmat dan ridha Ilahi. /@cwi

selengkapnya...

Kabut jingga di pelupuk mata

Posting cerpen by: rose_aime
Ony' adalah nama lama seorang teman kecilku sewaktu SD, teman yang kukenal dalam kurun waktu 3 bulan, sewaktu ayahku harus menjalankan tugas dinasnya di luar pulau Jawa. Ony', seorang bocah laki-laki yang pada saat itu dimataku - tampan...heehehe, sekaligus nyebelin, ibu sering sekali menggunakan namanya untuk membujukku belajar ini itu, ya itu karena dia memang murid unggulan di kelasku.Waktu itu tahun 2001, aku masih berstatus single dan seorang mahasiswi di salah satu perguruan swasta di Surabaya, sepulangku dari rumah teman kuliahku di Tulungagung. Ibuku berbicara tentang perjodohan, usut punya usut ternyata ibuku mulai dapat menyambung tali silahturrahim kembali dengan Tante Eti, ibu si Ony', dan dari hasil rumpian SLJJ itu muncul ide yang boleh di bilang "Ajaib!!!", ibu ingin aku berjodoh dengan Ony'."Apa!!?" Jeritku spontan, aku tau, reaksi seperti itu takkan bisa mengubah pendapat ibuku. 1001 pikiran kasat mata plus abstrak seakan membentuk puting beliung diotak kananku, pusing bikin kabur kedua pandanganku. "Apa yang seharusnya aku pikirkan dengan keadaan seperti itu, bukannya aku merendahkan ato apapunlah namanya...Tapi,
sudah hampir 11 tahun aku gak pernah ketemu dia, gimana mungkin mau di jodohkan?Gimana kalo dia jelek??" Hehehe....yang baca jangan marah, itukan spontan! Hingga akhirnya tibalah hari itu. Tepat pada hari Jum'at pagi, dari teras atasrumah tingkatku, aku mencuri start awal melihat sosoknya, sejak 1,5 jam sebelum jam kuliahku di mulai, aku sudah rapi & cantik, aku memang berencana untuk melarikan diri lebih awal & tidak lupa hanya memberinya sekejab waktu untuk melihatku hehehe. Rencanaku berhasil! Hari itu, aku habiskan waktu di kos-kosan salah seorang sahabatku, hingga sore menjelang, aku yakin dia pasti stress karena kesepian.Waktupun berlalu, entah bagaimana, pesan-pesan yang ia tulis di sobekan kertas-kertas kecil justru membuatku jadi dekat dengannya, bahkan selama 2 minggu ia tinggal dirumahku, tak sekalipun aku lewatkan malam tanpa ngobral omongan dengannya. Tiba waktunya untuk kembali ke kota kembang Bandung, entah ada apa pula, mungkin karena tidak enak dengan ibuku, ato hanya sekedar basa basi, akhirnya dia bersedia menunda 1 hari kepulangannya hanya untuk menunggu Ultahku. Hingga di siang itulah, lagi-lagi gak tau gimana, apa mungkin dia sudah pake ilmu nujum ato apa, aku tak sanggup menolak keinginannya untuk jalan denganku. Jadilah hari itu aku menyandang status pacar untuk yang kedua kalinya. Hubunganku dengannya memang tak semulus kebanyakan, akupun tak pernah menikmati indahnya masa-masa pacaran, karena kami jarang sekali bertemu. Pertemuan berikutnya ketika Ony' menjadi wakil kampusnya mengikuti lomba karya ilmiah, hanya sehari. Disusul pertemuan berikutnya, ketika Kakak sulungku melahirkan bayi pertamanya yang lalu menjadi tonggak kedua hubungan kami kembali terjalin. Waktu terus merayap, tak terasa Ony' pun wisuda, tanpa aku yang bisa mendampingi, berlanjut dengan keputusan kami berdua didepan kedua orang tua kami untuk melanjutkan hubungan kami sampai ke pernikahan, dengan pemberian tenggat waktu 2 tahun, untukku menyelesaikan kuliah, & untuknya untuk mendapatkan kerja.2 tahunpun terlewati, pada 9 April 2006, aku resmi menyandang nama sekaligus gelar baru, sebagai istri Ony' juga sebagai sarjana sastra inggris. Sebulan kemudian, aku menyusul suamiku ke Jakarta, 2 bulan berikutnya kami hijrah ke Kalimantan Barat. Tepat pada 24 Maret 2007, lahirlah putri pertama kami yang bernama Tiar, ia benar-benar gadis kecil yang sangat cantik, juga pintar, tak terhingga betapa aku amat di cintai oleh Yang Maha Berkehendak karena telah dipercaya untuk merawat amanah terindahNya. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku telah mendapatkan kesempurnaan hidup, yang sebenarnya tak ingin aku tukar dengan apappun di dunia ini. Sudah sepantasnya jika aku terus bersyukur & bersyukur tanpa henti untuk karunia yang begitu indahnya, seorang suami yang begitu penyabar, luar biasa hebat, dan amat sayang padaku, serta seorang putri kecil yang rupawan nan elok.Dan di hari ini....Untuk semua yang telah aku peroleh selama 2 tahun lalu...Jika aku masih pantas atau boleh memohon sekali lagi....Aku yang pernah bahagia dengan hidupku yang dulu....Kini, aku ingin bisa berbuat lebih, untuk suamiku juga putri tercinta kami.Ya Robbi....Berilah aku kemudahan unutuk melihat petunjukMu, jalan mana yang harus aku tempuh untuk membahagiakan kedua orang yang paling ku sayang. Berilah aku lenganMu, supaya aku bisa mengangkat beban hidupku lebih kuat lagi, tanpa harus menangisi kesakitanku, amin....For my husband...You know how much I love you, you know I can give You my live...So, if you love me much, please make me feel safe in your arms, cause I ever felt that before....Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. (Khalifah ‘Umar) /@cwi

selengkapnya...

Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |