Maafkan Aku, Sahabat

Oleh M .jono AG
Sahabatku, mohon maaf kalau panggilanmu lewat HP semalam tak kujawab. Bukan aku mengabaikanmu, apalagi tidak menghargaimu. Sekali lagi tidak. Insya Allah aku akan tetap menjawabmu pada waktu dan situasi yang berbeda. Hanya karena aku malu kepada Allah saat itu karena aku sedang ingin menambah pemahamanku terhadap agamaku.

Aku sangat malu kalau ustadz yang berdiri di depanku dan di depan semua jamaah sedang semangat-semangatnya menyampaikan beratnya hijrah Rasulullah tiba-tiba aku yang berada disampingnya keluar hanya untuk menerima telpon. Sungguh aku malu kepada Allah, saat ini aku baru bisa ikut ta’lim sebulan dua kali setiap jum’at minggu pertama dan minggu ketiga di musholla dekat rumahku. Padahal usiaku sudah diatas empat puluh, sementara setiap saat dosa- dosaku kian bertambah tanpa terbendung. Kadang aku merenung, kenapa tidak segera memperbaiki diri.

Sahabatku, mohon maaf kalau panggilanmu lewat HP kemarin siang dan waktu-waktu siang sebelumnya tidak kujawab. Jujur saja bukan lagi aku tak mau jawab, tapi justru kumatikan begitu terdengar adzan. Karena saat itu aku kepingin bersama teman ikut jamaah sholat dhuhur di musholla kecil di kantor kita.


Aku bersyukur setiap waktu sholat diseluruh ruangan dikantor kita dikumandangkan adzan dan himbauan kepada seluruh umat muslim untuk meninggalkan pekerjaan sejenak dan segera melaksanakan sholat. Aku ingin menjadikan saat itu istimewa. Karena saat itu yang memanggilku bukan lagi atasanku tetapi sang Pemilik diriku. Aku sadar sebagai karyawan yang mengelola operasional otomatis ada tuntutan bahwa setiap saat harus bisa dihubungi.

Tetapi aku juga ingin waktu sholat justru menjadi panggilan terindah hari itu untukku. Mumpung Allah masih menitipkan nafas di tubuhku.

Ada yang perlu diluruskan sepertinya. Istilah handphone tentu bukan barang yang asing bagi kita saat ini. Ada yang memaknai sebagai telpon genggam yang berarti setiap saat ada di genggaman kita. Ada lagi yang memaknai sebagai telepon bergerak sehingga kemanapun pergerakan kita tetap bisa dihubungi, sebuah lompatan teknologi yang cukup besar sehingga kemungkinan informasi hilang semakin kecil karena mobilitas yang dimiliki.

Sebuah teknologi, tentu memilki sisi positif dan negative tergantung kita sebagai pemakainya.Kita lihat saja saat ini hampir di semua masjid ataupun musholla terdapat tulisan "UNTUK MENJAGA KEKUSYUKAN SHOLAT HARAP MATIKAN HP ANDA". Belum lagi tambahan dari pak Imam yang dengan 'terpaksa' menambah aba-aba "Tsau sufuufakum, mari rapatkan dan luruskan shaf, dan tolong yang membawa HP harap dimatikan atau di silent!". Astaghfirullah. Inilah fenomena saat ini yang sering kita jumpai di masyarakat kita.Seakan kita sangat takut kalau tidak ditemani HP.

Dulu pada saat belum teknologi seluler belum berkembang di masyarakat pada saat menelpon dan kebetulan tidak diangkat kita hanya berfikir bahwa yang kita hubungi sedang tidak ada di rumah. Coba sekarang, begitu HP tidak diangkat, orang sudah berfikiran macam-macam. Mulai dari sengaja nggak ngangkat, nggak gaul karena udah jelas-jelas panggilan itu ditujukan kepadanya kok nggak diangkat, atau bahkan ada yang mengumpat kalau beberapa kali ngebel nggak juga diangkat.

Tanpa mengurangi pengharagaanku terhadap teknologi yang semakin memudahkan kita, harusnya ada batasan-batasan agar kemajuan teknologi tetap saja bermanfaat untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan malah menjauhkan atau sedikitnya menghalangi orang lain yang ingin mendekatkan diri kepada Allah. Kita mungkin tidak menyadari pada saat sholat jamaah, tiba-tiba ada HP yang bunyi, tentu bukan saja jamaah di sekitarnya saja yang terganggu, bisa jadi sang imam juga terganggu konsentrasinya.

Pernahkan anda membayangkan pada saat hening seperti itu tiba-tiba ada lagu rock, dangdut, atau bahkan lagu barat mengalun diantara lantunan ayat-ayat Qur’an yang sedang dibaca imam? Tentu dalam waktu sekejap konsentrasi kita akan buyar. Minimal kita mengumpat dalam hati "kenapa ini orang nggak tinggalkan saja HP nya dirumah?" Masih khusyukkah kita pada saat terlintas dihati kita umpatan kepada orang lain?

Ada lagi yang berfikiran kenapa nggak di-silent saja. Padahal sama saja bagi pemakainya kalau itu dilakukan pada saat sholat. Pada saat HP bergetar, tentu perhatian kita akan terpikir "Siapa lagi ini, waktunya sholat kok ngebel ?" Memang yang terganggu hanya kita. Kenapa tidak sekalian saja di matikan atau ditinggal di rumah?

Sahabatku, maafkan aku dan istriku kalau beberapa kali menghubungiku ketika magrib tiba justru istriku lah kadang-kadang yang mengangkatnya. Memang aku sering berpesan kepada istriku kalau lagi dapat dispensasi dari Allah untuk tidak sholat dan kebetulan ada yang ngebel di HP ku dan aku sedang ikut jamaah sholat magrib di musholla sepulang kerja untuk dijawab bahwa aku sedang jamaah.

Bukan maksudku tidak respon terhadap panggilan padahal itu menyangkut pekerjaan dan tanggung jawabku. Insya Allah aku akan telpon balik sesudah sholat, meskipun kadang- kadang terbersit keinginan untuk melepaskan beban kerja setelah sampai rumah. Tapi rupanya Allah menghendaki, sejak awal aku harus menempati posisi operasional yang kadang-kadang tidak kenal waktu.

Itupun sangat saya sadari bersama keluarga.Sehingga sering kali pada saat libur atau sedang jalan-jalan bersama keluarga harus belok dulu ke kantor untuk menyelesaikan gangguan atau balik kerumah, tergantung mana yang lebih dekat untuk segera bisa menyelesaiakan gangguannya. Di situlah seninya.

Jadi kalau sering kali pada saat sholat aku tidak bisa sambil membawa HP, hanya karena aku memang belum bisa khusyuk seperti mereka yang sudah mencapai tingkatan khosyi’un. Aku masih sangat awam, masih perlu banyak berlajar dan berlatih khusyuk. Sekali lagi, aku hanya ingin menjadikan waktu sholatku adalah waktu yang sangat istimewa, karena aku yang hina ini dipanggil menghadap Rabbku.

Aku hanya ingin waktu perjumpaanku itu tidak lagi dicampuri dengan urusan yang lain, termasuk pekerjaan yang aku yakin asal Allah masih menitipkan nafas di tenggorokanku berarti aku harus tetap bekerja sebagai ibadah kepadanya. Pasti itu.

Satu hal yang aku tidak pernah tahu pada saat Allah memanggilku untuk menghadap kepada-Nya disela-sela pekerjaanku yang hanya 5 x sehari semalam dan paling lama hanya sekitar 10-15 menit itu, aku tidak tahu apakah sesudah aku sholat itu masih diberi-Nya aku kesempatan untuk kembali mi’raj kehadirat-Nya atau justru itu adalah sholatku yang terakhir. Wallahu a’lam.

M. Jono AG
masjono@telkom.co.id
/@cwi

selengkapnya...

Kau yang Tercantik, Istriku

Oleh M. Arif As-Salman
Aku perhatikan sejak tadi temanku, Haris, tampak gelisah. Ada guratan cemas dan takut yang kubaca pada raut mukanya. Perjalanan yang akan kami tempuh masih lumayan cukup jauh. Bis yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan sedang. Sesekali berhenti di halte untuk menurunkan penumpang dan menaikkan penumpang.

Aku masih tertegun dengan ucapan seorang anak muda dari Palestina yang ku ajak ngobrol sebelum ia turun. Kata-katanya laksana aliran listrik yang menyengat hatiku. Aku terpaku dan berdecak kagum. Usianya masih muda, tapi semangatnya begitu membara, pengelanaannya dalam hidup ini ku rasakan sudah cukup jauh.

"Ris, kamu kenapa?" sapaku pada Haris.

"Gak tahu Jir, kok aku tiba-tiba jadi gak enak ya," jawab Haris padaku.

"Gak enak kenapa? Kamu lagi kurang sehat atau ada yang terasa sakit?" selidik ku bertanya.

"Gak tahulah, mau bilang apa."

"Sebenarnya apa yang kamu rasakan?"

"Aku gak tenang aja, sejak gadis Mesir itu naik bis tadi."

"Emang kenapa dengan gadis itu?"

"Masak kamu gak perhatian, tuh pakaiannya buat darahku mendidih dan otakku meregang."

"Ooo," jawabku dengan senyum.

"Kok ooo sih, emangnya kamu gak merasakan apa-apa ya?"

"Saya gak ada rasa apa-apa, biasa saja, gak ada yang membuat saya tertarik untuk melihat?"

"Lho, kenapa?"

"Ya, apalagi yang mau dilihat, yang halal telah Allah berikan untuk direguk kenikmatannya. Sedangkan itu adalah sesuatu yang haram, melihat dan menyentuhnya dosa dan bawa celaka, dapat merusak hati dan pikiran."

"Tapi, kan ada juga orang yang sudah nikah masih gak kuat lihat cewek cakep."

"Yaaa... Mungkin."

"Bagaimana cara kamu menghadapi keadaan seperti itu, Jir?"

"Aku selalu tanamkan dalam hatiku, bahwa dimanapun aku berada Allah selalu melihatku, mengetahui kemana lirikan mataku, dan setiap bisikan hatiku. Aku malu bermaksiat pada Allah, sedangkan setiap hari aku memakan rizki yang Ia beri, sedangkan setiap hari aku diberi-Nya kesehatan. Aku takut jika saat bermaksiat pada Allah nyawaku dicabut. Apa yang akan ku jawab di akhirat kelak, saat amal-amalku dimintai pertanggung jawabannya?"

"Terus, selain itu, apa rahasia yang lain?"

"Aku selalu tanamkan dalam hatiku, bahwa hanya istriku yang tercantik di dunia ini, tidak ada wanita lain di muka bumi ini yang melebihi kecantikan istriku sesudah ibuku. Bagiku, selain istriku semuanya jelek! Sehingga dengan menanamkan keyakinan ini, aku tak terpaku dengan fatamorgana yang berkeliaran di sekitarku."

"Ya, bagiku wanita yang lain jelek semua!! Nah, dengan cara demikian, aku tak sedikitpun tertarik untuk melihat, memperhatikan dan melirik pada wanita lain, walau cantik sekalipun ia, walau ia pemenang Miss Universe sekalipun."

"Dan terakhir, bahwa menjaga pandangan mata dari yang haram lebih mudah dari pada saat mata itu telah melihat, karena saat itu hati akan merasakan derita dan kepedihan rindu yang tak tertahankan yang berbalut nafsu, yang sering membuat laki-laki kehilangan kelezatan beribadah."

"Itulah penjelasanku. Bagaimana menurutmu, kawan?"

"Ternyata pernihakan itu betul-betul mampu memelihara diri dari perbuatan dosa dan nista, ya?"

"Betul, tentunya harus didasari niat yang tulus dan benar, bukan semata pelampiasan syahwat belaka."

"Kalau kamu udah tahu, kapan menikahnya?" tanyaku pada Haris.

"Itulah akhi, sampai saat ini jodoh belum datang.."

"Hehe.. carilah jodoh itu!! Berusahalah, temukanlah dan banyaklah berdoa pada Allah. Jangan putus asa, jangan pesimis, berbesar hatilah dan yakinlah akan janji Allah. Kelak kamu juga akan mengatakan pada wanita yang Allah pilihkan untukmu, "Duhai bidadariku, hanya engkau tercantik di hatiku."

Menikahlah, agar hilang keluh hatimu, lenyap kesah jiwamu, dan agar redup juga gelora yang tak menentu itu, kawan!!

Salam,

marif_assalman@yahoo.com
/@cwi

selengkapnya...

Islam... Engkau Sungguh Sempurna

Oleh Silvani
Shock,kaget, tak percaya saat saya melihat seorang muslimah asal Iran memakan daging babi di suatu acara pesta ulang tahun tetangga dekat. Tadinya saya pikir ia tidak tahu, namun ketika saya beri tahu ia menjawab kalo dia biasa makan daging babi dan juga minum minuman keras. Di negerinya orang-orang biasa mengkonsumsi babi dan miras.

Duh benarkah apa yang dikatakannya? Bahkan menurutnya larangan makan babi dan minum miras sungguh tak masuk akal, dan mengapa hanya agama Islam yang melarangnya? Astaghfirullah… shock,kaget dan tak percaya saya dibuatnya…

Tadinya saya ingin berdebat dengannya, bukankah sebagai muslim kita wajib berpegang teguh pada kitab Allah yang di dalamya jelas mengatur makanan dan minuman yang halal dan haram? Tapi saya urung bedebat, saya memilih pulang cepat ke rumah.

Tinggal di negeri orang dengan mayoritas penduduk non muslim membuat saya ekstra hati-hati, terutama dalam hal memilih makanan. Saat berbelanja saya pastikan daging dan ayam yang saya beli berlabel halal.

Begitu juga dalam memilih snack untuk anak-anak, dengan teliti saya baca komposisi bahan pembuatnya, Alhamdulillah produk halal tidak sulit didapat. Kami sekeluarga pun tidak mau sembarangan jajan, kami pasti selalu ke warung muslim yang dijamin kehalalannya.

Dan memakai jilbab ternyata membawa keuntungan tersendirisaat berbelanja. Pernah saya hendak membeli donat coklat di suatu swalayan, ketika melihat saya mengambil donat tsb, penjual donat melarang, donat tsb mengandung pengemulsi yang tidak halal katanya. Subhanallah... Allah masih melindungi saya.

Halal dan haram begitu penting buat saya, tapi rupanya tidak bagi semua muslim. Hati ini sungguh berduka dan penuh tanya.. duhai Saudaraku, sebegitu mudahnyakah engkau melanggar apa yg telah jelas-jelas diharamkan oleh Allah?

Engkau katakan mengapa hanya Islam yang melarang babi dan miras… Itu karena Islam adalah agama yang sungguh sempurna Saudaraku, semua hal diatur dalam Islam termasuk soal makanan dan minuman.

Subhnallah, apa yang masuk ke dalam tubuh kita pun diatur oleh Islam.…tidak boleh sembarangan… Sungguh saya sangat bersyukur karenanya.

Sejak peristiwa itu tak lepas kupanjatkan doa seusai shalat “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi karunia. “
/@cwi

selengkapnya...

Maukah Kamu Menikahiku?

Oleh Anung Umar
Gadis itu datang dengan rasa malu yang membuncah di dadanya, kemudian perlahan ia menghampiri pria itu, seorang pria yang gagah lagi tampan, serta idola orang-orang. Gadis itu menundukkan kepalanya lalu berkata, "Aku menyerahkan diriku padamu.."

Siapa gadis itu dan siapa pria itu? Jangan salah paham, penggalan cerita di atas bukan diambil dari novel remaja dan bukan pula dari cerita roman, apalagi cerita '17 tahun ke atas'. Penggalan cerita di atas bukan fiktif, itu kisah nyata yang dinukil oleh orang-orang mulia nan jujur. Tahukah Anda siapa gadis itu dan siapa pria itu?

Gadis itu adalah seorang shahabiyah*, sedangkan pria itu adalah seorang pemimpin bagi kaumnya, dan selain kaumnya, bahkan pemimpin para utusan ilahi, pemimpin umat manusia, pemimpin makhluk Allah sejagat alam, yaitu Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم . Kelanjutan kisah di atas bisa dilihat di Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Ada apa antara shahabiyah itu dengan Nabi kita? Dia mendatangi beliau untuk menawarkan dirinya untuk dinikahi! Lho memang boleh wanita 'agresif' seperti itu? Tentu saja boleh, karena siapa yang melarang wanita untuk 'agresif' dalam hal ini? Begitu sangat berdosakah kalau wanita 'seagresif' ini?

Kalau itu memang perbuatan dosa dan pelanggaran terhadap syariat Islam, tentu Rasulullah صلى الله عليه وسلم akan menegur shahabiyah tersebut dan beliau juga tentunya akan menjelaskan larangan tentang hal itu kepada para sahabatnya, sebagaimana kebiasaan beliau tatkala menyaksikan kesalahan yang dilakukan beberapa sahabatnya. Akan tetapi, dalam kasus di atas, ternyata tak ada sepatah kata pun yang keluar dari lisan beliau صلى الله عليه وسلم kepada shahabiyah tersebut apakah teguran, nasihat apalagi hardikan atas apa yang diperbuatnya. Sebab kelanjutan dari kisah di atas, setelah beliau memandanginya, beliau terdiam (karena tidak tertarik dengannya). Melihat gelagat seperti itu, sahabat yang ada di sisi beliau berkata dengan penuh semangat, "Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya, kalau engkau memang tak berminat dengannya." Di akhir hadits, beliau pun menikahkannya dengan wanita tersebut.

Kalau begitu bukanlah aib dan bukan pula suatu yang dimakruhkan apalagi diharamkan bila seorang wanita menawarkan diri untuk dinikahi kepada pria yang ia pandang baik akhlak dan agamanya. Hanya saja, yang perlu digaris bawahi dan digaris atasi di sini yaitu kalimat untuk dinikahi. Boleh seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang pria untuk dinikahi, bukan untuk dipacari dan bukan pula dicandai apakah dengan alasan “ta’aruf”, “maslahat dakwah” dan lain-lain.

Seorang wanita memang diberi kelebihan, keistimewaan dan kemuliaan oleh Allah berupa sifat malu yang sangat dominan dalam perilakunya, akan tetapi apakah sifat malunya tersebut menghalanginya untuk menggapai kenikmatan yang disyariatkan Allah?

Shahabiyah di atas mencontohkan kepada kita, betapapun lekatnya sifat wanita pada dirinya dan betapapun besarnya rasa malu yang ada pada dirinya, itu tidak menghalanginya untuk mendapatkan apa yang dihalalkan untuknya oleh Rabbnya.

Di satu sisi ia 'nekat' dan 'agresif', akan tetapi di sisi lain ia adalah seorang shahabiyah yang tentunya lebih mulia, lebih suci hatinya, lebih banyak ibadahnya dan lebih menjaga kehormatan daripada wanita manapun, dan dimanapun setelah masanya. Ia termasuk deretan wanita-wanita terbaik umat ini, sangat jauh melampaui kita! Nabi kita bersabda, "Sebaik-baik generasi adalah generasiku (Para sahabat dan shahabiyah) kemudian setelahnya (tabi’in) kemudian setelahnya(tabi’ut tabi’in)." (HR. Bukhari Muslim)

Jadi termasuk cara yang diperbolehkan oleh islam bagi wanita untuk mendapatkan jodoh adalah dengan menawarkan dirinya kepada pria yang disukainya. Dan itu termasuk bentuk ikhtiar yang diperbolehkan dalam Islam.

Sebab, jodoh itu tidak bisa didapatkan hanya dengan menengadahkan tangan ke langit dan tidak cukup pula dengan menghiasi malam-malam dengan air mata yang terurai di tempat sujud. Sebab, "langit itu tidak menurunkan hujan berupa emas". Demikian kata mutiara dari sahabat Nabi yang mulia, yaitu ‘Umar bin Khaththab. Kata ini keluar dari lisannya tatkala menyaksikan seorang yang seolah-olah ingin mendapatkan rezeki akan tetapi ia hanya menyibukkan dirinya dengan ibadah di masjid dan tidak bekerja.

Demikian pula, untuk menggapai jodoh tak cukup hanya dengan mengandalkan kemampuan kita sendiri atau bantuan orang lain, tanpa mengingat bahwa di tangan-Nya lah jodoh seluruh makhluk. Bila Dia berkehendak untuk memberikan jodoh kepada seorang hamba, maka Dia akan memberinya walaupun ia 'lari' darinya. Sebaliknya, kalau Dia tak menghendaki, maka jodoh tak akan ia temukan meskipun ia berusaha mencarinya ke seluruh penjuru dunia, menembus laut, membelah gunung. Jodoh itu di tangan-Nya.

Oleh karena itu, dalam menjalankan segala usaha, di antaranya mencari jodoh, seorang muslim dan muslimah dituntut menjalankan dua hal : berikhtiar dengan mencari dan menjemputnya, kemudian bertawakkal kepada-Nya dengan berdoa dan menyerahkan hasilnya kepada-Nya.

Jadi jika seorang wanita telah mengerahkan segala usahanya untuk mencari jodoh (di samping dengan berdoa kepada Allah juga tentunya), entah dengan dijodohkan orang tua, atau dengan perantara comblang atau cara lainnya yang tidak melanggar syariat, akan tetapi belum pula mendapatkannya, kenapa tidak coba saja cara yang ditempuh shahabiyah di atas? Itu salah satu bentuk ikhtiar yang diperbolehkan, siapa tahu melalui sebab itu Allah mengantarkannya menuju pelaminan. Bukankah itu lebih baik daripada waktu memakannya hari demi hari?

Maka, tak mengapa, meskipun darahmu berdesir, hatimu bergetar, tubuhmu menggeletar, cobalah datangi pria saleh itu, katakanlah, "Akh/ Mas/ Bang/ Kang, maukah kamu menikahiku?"

Jakarta, 4 Dzulhijjah 1431/9 November 2010

*Shahabiyah adalah wanita yang hidup di zaman Nabi, pernah bertemu dengan beliau dan beriman kemudian ia mati di atas islam. Shahabiyah itu dikategorikan sebagai sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم yang tentunya memilki keutamaan yang banyak lagi mulia dan itu telah banyak disebutkan dalam kitab-kitab aqidah.

anungumar.wordpress.com
/@cwi

selengkapnya...

Kado Terindah

Oleh Rojali
Sepasang pengantin baru saja mengakhiri masa lajangnya. Baru saja mengucapkan sebuah kalimat singkat padat dan dalam penuh makna, ucapan akad nikah seraya berjanji dalam hati bahwa masing-masing akan berazam pada dirinya sendiri, bahwa pernikahan yang akan dijalaninya nanti, keluarga yang akan dibentuknya nanti akan berlandaskan cinta kasih, berpondasikan ketaatan pada Allah, beratapkan sunnah dan memagarinya dengan kasihsayang dan rasa saling percaya. Malamnya sebelum keduanya menikmati rizki yg diberikan oleh Allah, keduanya saling memberikan sebuah hadiah berupa kado berisikan surat tentang impian-impian masing2, tentang asa dan harapan, tentang keinginan dan cita-cita juga tentang kelebihan dan kekurangan dirinya.

Pertama kado sang suami pada sang istri.

Assalamualaikum wrwb.
Untuk adindaku sayang,
Aku sangat bersyukur kepada Allah atas pernikahan ini, atas dipilihnya engkau sebagai pendampingku atas dipilihnya engkau sebagai kekasihku. Aku juga bersyukur bahwa Allah telah mempertemukan aku dengan mu untuk menjalani sisa kehidupan ini bersamamu.

Adindaku sayang,
Aku adalah orang asing bagimu, dan engkau adalah orang asing bagiku. Kalau bukan karena mengharap ridha Allah atas pernikahan ini, tentu engkau akan memilih orang dekat yg engkau ketahui latar belakangnya, tapi karena engkau memilih Allah sebagai pelindungmu atas segala bahaya yg akan datang padamu, atas segala nikmat yg akan tercurah kepadamu maka engkau memilih aku sebagai suamimu meskipun aku sangat asing bagimu. Maka dengan itu pula akupun berdoa kepada Allah semoga engkau selamat dari bahaya yg timbul karena menikah denganku dan semoga rahmat Allah dapat tercurah kepadamu melalui pernikahan ini.

Adinda sayangku.
Aku bukanlah manusia sempurna yang terbebas dari salah. Aku hanyalah seorang hamba yg ingin menyempurnakan separuh agama, melaksanakan sunnah nabi seperti para sahabatku lainnya. Aku hanyalah seorang pengembara yang baru saja menemukan pulau tambatan hati, setelah sekian lama terombang-ambing dalam gelombang kebingungan dan kebimbangan, hingga Allah menurunkan rizkinya kepadaku berupa dirimu, sebagai tempat pelipur lara, sebagai tempat berkasih sayang, sebagai tempat berkeluh kesah, sebagai tongkat penunjuk jalan, sebagai pelita dalam kegelapan, sebagai embun dikala dahaga, sebagai tempat berteduh dikala panas, sebagai selimut dikala dingin, sebagai peredam duka dikala emosi, sebagai tempat berpangku mesra dikala gundah gulana dan sebagai tempat mengadu dikala ragu dan buntu.

Adindaku, Aku menyadari siapa diriku, maka aku tak ingin meminta lebih kepadamu, aku tak ingin engkau secantik Zulaikha,atau secerdas Aisyah, atau sezuhud Khadijah atau semulia Maryam. Aku juga tak ingin engkau sesolehah Asiah tetapi bersuamikan firaun. Aku hanya ingin engkau seperti apa adanya, yg menangis dikala sedih, yg marah dikala terluka dan tersenyum dikala bahagia. Aku tidak menginginkan engkau sesempurna istri sang nabi, sebab aku sadar bahwa aku pun tidak sesempurna beliau. Yang aku inginkan adalah bahwa kita saling menjaga agar bisa meneladani sikap mereka.

Adindaku...
Jika engkau mengharap harta dariku, ketahuilah aku hanyalah seorang pemuda biasa, yg penghasilannya dapat engkau lihat sendiri. Aku juga bukan pengusaha yg mungkin bisa mewujudkan semua impianmu dengan uang mereka. Tapi jika engkau berpendapat bahwa harta dapat membawa kita kepada syurga, atau kefakiran bisa membawa kepada kekufuran, aku setuju dengan mu. Tapi aku bukanlah Abdurrahman bin auf, atau Abu bakar shiddiq atau ustman bin affan, yg dengan hartanya bisa membawa mereka ke pintu syurga. Aku mungkin hanya bisa menjadi Abudzar al giffari, yg hidup dalam kesendirian dan mati dalam kesendirian. Hanya iman yg ia bawa dan istri yg setia yg menemani pada saat-saat terakhirnya.

Adinda ku..
Justru dengan keberkahan yg insya Allah hadir bersamamu, kita bisa bersama-sama mengumpulkan harta sebagai bekal untuk akhirat kita. Justru dengan pernikahan ini semoga Allah membukakan pintu-pintu rezeki dari arah yg kita tidak sangka-sangka.

Adindaku sayang..
Saat mengetahui engkau menerima khitbahku. Aku menangis terharu, bumi yang ku pijak seakan bergoyang. Aku tak kuasa menahan rasa bahagia saat itu, saat engkau menyetujui lamaranku. Penantian panjang dan melelahkan yg menghabiskan hampir separuh nafas para pemuda dan pemudi, yg membuat mereka terbangun dikala malam, mengadukan nasibnya pada illahi rabbi, menangis disela-sela rintihan dan doa seraya bertanya kapan masa itu akan hadir menjemput mereka.

Masa-masa yg menggetarkan jiwa, menyenangkan hati dan membuat orang normal seperti orang kekurang akal, masa yang hakikatnya seperti berjalan diatas titian besi panas hingga mampu menjerumuskan mereka yg tidak sabar akan datangnya masa bahagia itu. Adindaku, tibanya masa itu merupakan rahmat yg tiada tara bagi para hamba yang bersyukur, yang menyadari bahwa pernikahan itu adalah sebuah perjuangan dan bukanlah sebuah permainan.

Sayangku...
Jika engkau mengharapkan ketampanan, kesempurnaan fisik dan penampilan, ketahuilah aku hanyalah seorang manusia biasa, yg lahir dari benih ayah dan ibuku, yang rupa dan bentuk fisiknya tak bisa aku inginkan sesuai mauku. Aku hanya menerima takdir tuhan, beginilah diriku adanya. Aku tidak setampan nabi Yusuf, tidak segagah nabi Daud, tidak sekuat Umar bin khatab, tidak sehalus Usman bin affan, tidak sepintar Ali bin abi thalib, dan aku juga tidak sesabar Abu bakar shiddiq. Jika engkau menginginkan semua sifat itu ada padaku, maka aku berlindung kepada Allah, atas kelemahan diriku. Tapi jika engkau mendoakan aku memiliki salah satu saja sifat mulia mereka, maka aku bersyukur kepada Allah atas doamu itu dan juga atas berlipatnya rizkiku karena menikah dengan manusia pemilik doa sepertimu.

Adindaku, aku dan engkau akan tahu, kita akan menghadapi masa-masa yang akan datang bersama-sama, masa yang kadang indah untuk dikenang, atau pahit untuk diingat. Semua tergantung seberapa besar hati ini mau melapangkan jalan untuk menerima apapun kondisi itu. Sayangku, Jika salah satu sudut hatimu pada saat ini sudah terisi untukku, maka sudut-sudut yang lain isilah dengan rabb pencipta alam semesta.

Jangan kau isi semua sudut hatimu dengan diriku atau dengan yanglain kecuali Tuhan mu, sebab aku tidak akan sanggup menjaga mu bahkan menjaga hatimu, hanya Allah lah yang bisa menjagamu, menjaga hati dan jiwamu, menjaga fisik dan ragamu. Kamu mungkin bisa melupakan aku jika aku berbuat kesalahan, kamu bisa saja membuang sudut hati tempatku berpijak dan mengganti dengan orang lain yang sesuai dengan keinginanmu, tapi engkau tidak akan bisa melupakan rabb pemilik hatimu. Dan aku lebih nyaman jika hatimu dikuasai oleh pemilik alam semesta, ketimbang dikuasai oleh aku atau apapun itu.

Adindaku,
Insya Allah kita akan menjalani tahap-tahap usia pernikahan kita,
Pada tahun pertama perkawinan kita, kuharap engkau mau lebih bersabar, mau memahami lebih dalam perbedaan-perbedaan antara kita, sebab kita adalah dua orang asing yang harus mengayuh perahu bersama, jika kita tidak bisa bekerja sama, aku khawatir perahu ini tenggelam ketika baru saja kita meninggalkan pantai.
Pada tahun kedua hingga tahun kelima, kuharap engkau sudah mengerti tentang diriku, tentang sifat dan tingkah lakuku. Saat itu mungkin anak pertama kita akan lahir dan tanggung jawab kita sebagai orangtua baru dimulai.

Aku berpesan kepadamu, kemulyaanmu sebagai seorang ibu baru saja dimulai, jika engkau merasa capek dan lelah janganlah sungkan-sungkan untuk meminta tolong kepadaku. Meski aku tahu pada saat itu mungkin kehidupan kita masih prihatin. Tapi aku yakin anak-anak kita yang masih lucu akan mampu menghapus semua duka lara, letih dan lelah serta rasa capek dan lelah karena tugas kita. Tugasmu sebagai madrasah yang memberi pendidikan agama dan nilai luhur para orang saleh pendahulu kita, dan tugasku membantumu membumikan pendidikan itu.

Pada tahun kelima hingga kesepuluh, mungkin kita akan didera oleh kondisi keuangan karena saat itu kebutuhan kita akan meningkat, anak-anak beranjak ke sekolah dan kebutuhan rumah tangga akan meningkat. Aku memohon kepadamu, bantu aku dengan doa-doamu, dengan dhuha dan tahajudmu dengan zikir dan shodaqohmu, semoga masa-masa sulit segera pergi hingga Allah memenuhi janjinya kepada kita.

Pada tahun kesepuluh hingga keduapuluh, mungkin Allah telah mengalirkan rezeki yang deras kepada kita, kehidupan mulai mapan, kesejahteraan mulai datang, dan anak-anak mulai dewasa. Aku memohon kepadamu, bantu aku menguatkan batin dan jiwaku agar aku tidak terperosok kedalam jurang kenistaan, karena godaan dunia berupa harta tahta dan wanita. Sadarkan aku tentang umur dan usiaku yang mulai menua juga temperamenku yang mulai meninggi dimakan usia. Bantu aku bersahabat dengan anak-anak kita, berikan mereka pengertian tentang arti kehidupan sesungguhnya, karena sebentar lagi mereka akan memilih jalannya masing-masing.

Pada tahun ketigapuluh dan sesudahnya, aku tak tahu apakah kita akan sampai disitu, yang jelas kita akan kembali berdua, anak-anak lelaki kita akan pergi dan anak perempuan akan mengikuti suaminya. Kita hanyalah sepasang manusia renta yang tak bisa melawan takdirnya. Kuingin saat itu, hari-hari kita hanya dipenuhi zikir dan tasbih, dipenuhi munajat dan doa, seraya menunggu utusan Tuhan datang menjemput.

Aku ingin engkau dan aku tetap menjadi pasangan didunia dan akhirat, jadi kumohon kita saling menjaga, saling memberi peringatan dan tausiah agar tujuan pernikahan ini sesuai dengan yang kita harapkan. Terakhir aku ingin kado ku ini menjadi prasasti cinta kita, yang tertanam jauh dilubuk hati, sehingga jika terjadi goncangan, kita selalu kembali ke komitmen awal pernikahan.
Salam bahagia
Suamimu.


Kado dari sang istri.

Assalamualaikum wr.wb.
Untuk suamiku tercinta.
Aku bersyukur kepada Allah atas pernikahan ini, atas rahmatnya yang mengirim engkau untuk menjadi pangeranku. Aku berdoa kepada Allah seraya berkhusnudzon kepada ayahku; sebagai bakti kepadanya; yang menyetujui kamu sebagai suamiku meski aku tak begitu mengenal siapa dirimu. Aku berlindung kepada Allah atas niat yang buruk, atas rencana yang jahat dan atas segala keburukan dari sebuah peristiwa. Aku berserah diri kepada Allah atas pilihanku dan bertawakal kepadaNYA.

Suamiku sayang,
Aku yakin engkau suami soleh yang dikirim oleh Allah untuk ku, Aku yakin kepadamu karena engkau adalah pilihan ayahku dan jawaban dari istikharahku. Aku berharap pernikahan ini adalah pernikahan ku satu-satunya dan engkau adalah suami dunia akheratku. Jika aku tidak sempurna dimatamu, ku minta tunjukan padaku bagaimana cara menjadi istri sempurna, apapun aku lakukan untukmu, asal tidak melanggar syariat yg dibenarkan.

Suamiku sayang,
Ketika ayahku menyetujui aku menikah denganmu, sebenarnya aku kasihan kepadamu, sebab engkau belumlah sekuat ayahku dan setegar dirinya dalam menghadapi sikap dan tingkah lakuku, engkau bagiku seperti pemuda nekat yang datang berjuang dengan tangan kosong tapi aku yakin, ketulusanmu dan kesucian niatmu semoga membuat ridha allah mengaliri pernikahan kita.

Suamiku, sebagaimana sabda nabi bahwa kaum wanita seperti tulang rusuk yang bengkok, maka jika engkau ingin meluruskan aku, luruskanlah dengan kasih sayang dan dalam kondisi yg nyaman, karena jika engkau meluruskan aku dalam kondisi emosi dan tidak nyaman, aku tak yakin bahwa allah akan membantumu melaksanakan maksudmu, bahkan engkau akan menderita karena hal itu.

Suamiku, perlu engkau ketahui, sebagaimana atsar dari aisyah yang menyatakan bahwa perkawinan itu ibarat perbudakan bagi kaum perempuan, maka seyogyanya para wali mencarikan suami yang benar untuk anak atau saudara perempuannya. Maka jika bagimu kau inginkan pernikahan seperti itu, maka aku rela melakukannya, asal engkau bisa membantuku mengangkat derajatku ketempat yang lebih tinggi, agar aku bisa layak masuk syurga karenanya , bukankah dalam islam sangat mudah bagi wanita memperoleh tiket ke surga, ia hanya butuh ridha allah dan ridha suaminya.

Suamiku, sebagaimana suatu ikatan atau perjanjian dimana dalam perjanjian itu tidak boleh ada satupun yang menzhalimi atau merasa didzhalimi yg menyebabkan perjanjian itu menjadi haram dimata Allah, Maka ikatan pernikahan ini kuingin tak ada satupun diantara kita yang merasa dizhalimi atau menzhalimi. Ku ingin engkau mengerti perasaan setiap wanita, ku ingin engkau berempati kepada kaum perempuan, tanpa melanggar syariat yang dibenarkan, ku harap dengan izin tuhan bahwa aku ingin seperti fatimah azzahra, yang tidak pernah dimadu seumur hidupnya oleh Ali bin Abi Thalib. Jika engkau bisa memenuhi harapanku, semoga allah memberikan balasan kepadamu atas kebaikanmu kepada ku, jika tidak maka aku harap keputusan mu itu adalah keputusan yang paling darurat dan tanpa melanggar syariat serta tanpa menyakiti hati seorang manusiapun di muka bumi ini.

Suamiku, aku ingin bercerita kepadamu tentang kemuliaan suatu niat, terutama niat dalam sebuah pernikahan, dimana pernikahan itu akan berkah atau tidaknya tergantung niat awal dari masing-masing pasangan. Suamiku pernahkah engkau mendengar kisah tentang ummu sulaim, sahabat wanita yang dimasa hidupnya telah dijamin oleh Allah masuk syurga, engkau pasti pernah mendengarnya, kalaupun lupa aku akan mengingatkannya tentang itu. Ummu sulaim, seorang sahabat wanita yang maharnya merupakan mahar terindah sepanjang sejarah, maharnya adalah syahadat suaminya meskipun suaminya sebelum itu; ingin memberikan segudang emas dan perak jika ia mau menikah dengannya, tetapi semua ditolaknya. Ia hanya menginginkan keislaman suaminya.

Dari niat yang tulus dan benar itu, melahirkan rumah tangga yang kuat dan dipenuhi keberkahan, keduanya saling menjaga agar senantiasa keluarga mereka dipenuhi keimanan. Suatu ketika anak bungsu mereka meninggal dunia, malamnya suaminya Abu Tholhah baru saja pulang berdagang, tahukan engkau bagaimana ummu sulaim menenangkan suaminya, dijamunya suaminya dengan makanan yang nikmat, serta diberinya pelayanan yang menenangkan jiwa dan raga suaminya, setelah selesai diajaknya suaminya berdialog tentang amanat atau titipan yang harus dikembalikan jika sang empunya mengambilnya kembali.

Tahukah kamu suamiku, rasulpun mendoakan semoga mereka mendapat ganti keturunan yang lebih baik, dan benar saja, kelak benih yang tertanam malam itu melahirkan anak-anak para penghafal alquran dari generasi tabiin.

Suamiku, dari kisah ummu sulaim tadi, aku hanya menginginkan aku dan kamu meluruskan niat pernikahan ini, semoga dengan lurusnya niat kita, memudahkan langkah-langkah kita ke depannya.

Suamiku sayangku, jika engkau menginginkan seorang istri yang saleh, ketahuilah aku bukanlah orang yang engkau maksud, justru aku ingin engkau membimbingku menjadi istri yang saleh, aku tak mau menjadi istri seperti istri nabi Nuh atau nabi Luth, yang mempunyai suami saleh, tetapi kesalehan suaminya tidak membawanya kepada kebaikan sama sekali.

Suamiku, ketika aku menyerahkan kemudi hidupku kepada mu, itu artinya adalah bahwa engkau menjadi pemimpin bagiku, dan bagi anak-anak kita nanti. Jadilah pemimpin yang baik dan adillah terhadap orang yang kamu pimpin. Berhasil atau tidaknya keluarga ini, selamat atau tidaknya bahtera keluarga kita, tergantung kepada dirimu sebagai nahkoda, aku sebagai istri hanya merupakan penumpang yang membantumu menavigasi arah perahu kita, tidak lebih dari itu.

Suamiku inilah yang bisa aku sampaikan kepada mu, tidak ada yang aku inginkan dari pernikahan ini melainkan kebaikan saja, siapapun dirimu, lebih atau kurangnya kamu, aku tak akan melihatnya, keberkahanlah yang aku inginkan dari pernikahan ini. Jika nanti engkau melihat banyak kekurangan pada diriku, itulah aku sebagai manusia biasa yang penuh salah dan dosa, dan jika nanti engkau melihat banyak kelebihan pada diriku, maka bersyukurlah kepada Allah atas nikmat yang diberikan kepadamu, semoga engkau tidak salah memilih aku sebagai pendamping mu.

Salam hormat dan takzim untuk suamiku,

Dari istrimu.


Selepas membaca kado masing-masing, keduanya saling menangis haru, tiadalah kebahagiaan yang paling sempurna dimuka bumi setelah iman, selain kebahagian diberikan pendamping yang soleh dan solehah, yang akan menjadi sahabat dikala gembira dan menjadi pelipur lara dikala berduka.

Tiada yang dapat mereka ucapkan selain tahmid dan tasybih seraya bersyukur atas nikmat yang sangat besar yang diberikan Allah kepadanya. Para jiwa menjadi tentram dan damai, para hatipun menjadi khusyuk. Ketika Allah telah menurunkan rizkinya kepada hamba, maka nikmat Tuhanmu mana lagikah yang kalian dustakan (Ar-rahman:18)

Sumber : http://rojalidahlan.blogspot.com/2010/02/kado-terindah.html
/@cwi

selengkapnya...

Do'aku Harapanku

Oleh Silvani
Pagi itu kuterima SMS dari Ayah. Sebuah berita duka, "Nenek divonis oleh dokter sakit kanker payudara." Astaghfirullah... batinku berucap. Nenek yang tak pernah jatuh sakit, nenek yang tubuhnya terlihat sangat kuat, nenek yang terlihat bugar diusianya yang ke-70... Dan kini nenek divonis sakit kanker! Penyakit yang kutahu belum ada obatnya... Ahh terbayang hancurnya hati nenek... Akupun mengerti kesedihan Ayah, kutahu ayah sangat menyayangi nenek. Sewaktu aku kecil ayah sering berkata “Tolong sayangi Nenek ya Nak... karena Nenek adalah ibunya Ayah, Nenek yang dulu merawat Ayah dengan penuh kasih sayang...”

Terpekur aku dalam kesedihan, aku berada jauh dari mereka, tinggal di negeri orang. Seketika aku merasa tak berdaya... Ahh apa yang dapat kuperbuat? Ingin aku pulang menemui nenek dan juga ayah ibu... Tapi rasanya tak mungkin, tak mungkin aku meninggalkan suamiku yang bekerja mencari nafkah di sini, ditambah lagi aku punya anak balita... Lalu bagaimana dengan biaya pengobatan nenek? Pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit... Ayah sebagai anak lelaki tertua dalam keluarga tentu bertanggungjawab membiayai pengobatan nenek, apalagi adik-adik ayah belumlah bisa dikatakan mapan. Aku bertekad akan membantu semampuku, walau mungkin tak seberapa jumlahnya, mudah-mudahan bisa sedikit mengurangi beban ayah... Kemudian aku berdoa. Mendoakan orang-orang yang kusayangi, yang sedang dalam kesusahan, yang berada jauh di sana...

Ya Allah.. sembuhkanlah Nenek, jangan biarkan nenek menderita karena sakitnya, sayangilah ia... Berikanlah kesabaran dan kekuatan untuk ayah ibuku, berikanlah rizki yang tak pernah putus untuk mereka... Engkaulah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Memberi, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Do’a yang terus kuulang-ulang seusai shalatku, do’a yang menjadi harapanku.



Adik-adik ayah menyarankan agar nenek beralih ke pengobatan alternatif, menggunakan obat-obatan herbal. Biaya pengobatan alternatif jauh lebih terjangkau, demikian alasan mereka. Tapi ayah bersikeras membawa nenek ke sebuah rumah sakit besar di Jakarta. Aku tahu, ayah akan selalu memberikan yang terbaik untuk nenek.

Sering kutelpon ibu karena aku cemas, ingin memastikan keadaan mereka, walau kutahu aku tak bisa berbuat banyak... “Bagaimana kesehatan nenek? Bagaimana dengan keadaan ayah dan ibu sendiri? ApakahAyah Ibusedang dalam kesusahan?” Tanyaku pada ibu. Alhamdulillah ibu selalu memberikan jawaban yang menyejukkan hati. “Semua disini baik-baik saja Ni. Semangat hidup nenek sangat tinggi, Nenekpun ikhlas dengan penyakitnya, Ayah dan Ibu berusaha yang terbaik untuk Nenek. Kamu di sana doakan saja ya. ”Begitu biasanya ibu menjawab pertanyaan-pertanyaanku.

Suatu hari ibu menelpon memberi kabar bahwa nenek akan segera menjalani operasi pengangkatan payudara. Menurut dokter operasi adalah pilihan terbaik, supaya kankernya tidak menyebar ke organ tubuh lainnya. Pasca operasi, pengobatan akan dilanjutkan dengan serangkaian kemotrapi, sebanyak 7 kali.

Allah... Akankah nenek kuat menjalani operasi pengangkatan payudara? Akankah nenek kuat melewati kemotrapi berulang kali yang katanya amat menyakitkan itu? Tak bisa kubayangkan beratnya penderitaan yang akan dialami nenekku tercinta... Aku menangis, menangis terisak ... Kabar ini membuatku bersujud lebih dalam... Ya Allah Tuhan yang memelihara seluruh manusia, hilangkanlah segala penyakit, sembuhkanlah karena hanya Engkau Penyembuh penyakit. Tidak ada yang dapat menyembuhkan selain Engkau. Kesembuhan yang tidak akan dihinggapi penyakit lagi...

“Nenek sungguh hebat, sakit yang dialami setelah kemotrapi sangat luar biasa, tapi semua rasa sakit dialihkan Nenek dengan mengaji dan berzikir... Tangan Nenek tak pernah lepas dari Al-Qur’an dan tasbih, bahkanketika tidurpun Nenek masih menggenggamnya...” Cerita ibu padaku suatu waktu.

Hari ini, 5 tahun yang lalu, nenek divonis menderita penyakit kanker. Kini nenek dalam keadaan sehat wal ‘afiat. Nenek masih seperti yang dulu, masih sangat bugar. Sungguh aku bangga pada nenek, bangga pada ayah dan ibu... mereka berhasil berjuang melewati ujian-Nya, masa -masa terberat dalam hidup mereka, dengan hanya satu kekuatan, kekuatan do’a.

“Dan, apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon Kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah: 186)

Wallahu ‘alam bishshawaab. /@cwi

selengkapnya...

Jadikan Ia Bidadari Ayah

Kebahagiaan akan disadari oleh manusia, ketika ia mulai pergi...

“Horee ayah beli mobil baru, hore ayah beli mobil baru, horee.....” teriak Dina, bocah kecil berusia lima tahun itu berjingkrak-jingkrak kegirangan, kemudian ia melompat-lompat dan berlarian mengitari sebuah mobil tipe baru berwarna silver mengkilap yang terparkir di carport depan rumah yang cukup luas itu.

Sekali-kali ia memeluk mobil itu seperti memeluk boneka mainannya. Sementara sang istri duduk di depan kemudi mencoba menghidupkan dan mematikan mesin mobil itu sambil memperhatikan semua interior mobil dengan seksama, takut ada cacat sedikitpun barang yang ia terima, mumpung sang pengantar mobil masih ada di sini, menyerahkan tanda terima barang plus semua asesories mobil kepadanya.

Ya, hari itu sang suami berhasil memenuhi keinginannya untuk memiliki mobil sendiri, memang bukan mobil mewah tapi cukup bergengsi untuk dimiliki oleh pasangan muda seperti dirinya, mobil sedan toyota Vios tipe G, seharga dua ratus jutaan rupiah.

Rani, sang istri merasa bahagia sekali, sebab keinginannya untuk pergi bekerja membawa mobil sendiri terkabulkan sementara sang suami hanya tersenyum kecut mengingat cicilan yang akan dibayarnya beberapa bulan kedepan.

Sebenarnya Hadi, sang suami enggan untuk membeli mobil itu pada tahun-tahun ini, mengingat kebutuhan dan penghasilannya masih belum cukup untuk menyicil mobil baru, belum lagi ia harus mencicil rumah baru yang cukup luas yang dibelinya dua tahun lalu.

Tapi kecintaannya pada sang istri membuatnya mengambil keputusan itu, apapun resikonya. Ia memang sudah berjanji kepada istrinya tentang dua hal jika ingin menikahinya, rumah luas dan mobil dan janji itu sudah lunas ia tunaikan, meski ia harus menelan ludah dalam-dalam.

Hadi bersandar di samping pintu rumah, dari kejauhan matanya berbinar menatap kegembiraan anak dan istrinya, sesekali ia menarik nafas dan mendesah dalam-dalam, ia berusaha tersenyum saat istrinya melambai meminta komentar dirinya tentang mobil itu.

Senyum yang berat yang harus ia kulum, seberat janjinya kepada sang istri, seberat beban kehidupan rumahtangga yang ia tanggung sendiri.

Pikiran Hadi menerawang kembali ke masa silam, masa dimana ia bertemu dengan Rani, seorang gadis pujaan para mahasiswa kampusnya, yang ia sendiri tidak mengerti mengapa ia nekat memperistri sang primadona itu.

Perkenalan Rani dan Hadi terjadi ketika mereka sama-sama kuliah di jurusan dan fakultas yang sama di universitas terkenal di Jakarta, keduanya pun melalui jalur masuk mahasiswa baru yang sama yakni PMDK.

Rani yang pintar dan cantik menjadi idola di kampusnya dan Hadi termasuk salah satu penggemarnya, meski hanya dalam hati. Bagi Hadi, mengingat Rani pada masa lalu, seperti mengingat sejarah masa silam yang tak mungkin bisa kembali, Rani yang dulu dikenal selama masa kuliah ternyata telah banyak berubah apalagi setelah lulus kuliah dan bekerja pada bank swasta nasional.

Dulu semasa kuliah Rani dikenal sebagai gadis bersahaja, tidak glamour dan tidak neko-neko. Ia supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Meski banyak pria yang jatuh cinta padanya, tapi tak satupun yang ia tanggapi, alasannya, ia tidak mau kisah cinta mengganggu kuliahnya, semua dianggap teman biasa saja.

Sikap Rani yang acuh terhadap asmara memang dilatar belakangi oleh kehidupan keluarganya yang amat sederhana bahkan bisa dibilang miskin sama seperti latar belakang dirinya, untuk itu Rani berniat kepada dirinya sendiri untuk tetap fokus pada kuliah dan karir, agar ia bisa menaikan taraf hidup keluarganya, bagi Rani kemiskinan harus menghilang dari kamus hidupnya, apapun caranya itu.

Karena sikap Rani yang cuek dan acuh itu, akhirnya banyak para pemuda yang mundur, hanya Hadi yang terus memantau, meski hanya dari jarak jauh.

Selepas kuliah dan telah mendapatkan pekerjaan tetap, Hadi memberanikan diri untuk mengkhitbah Rani, tapi Rani menolaknya, karena ia menginginkan cowok yang sudah mapan, bahkan tanpa tedeng aling-aling ia mengatakan bahwa calon suaminya harus sudah mempunyai rumah luas dan bermobil pula.

Akhirnya ia hanya minta waktu kepada Rani untuk mewujudkan semua itu dalam waktu tiga tahun. Tetapi Rani tetap enggan, hingga akhirnya Rani memilih calon lain yang sudah mapan, yakni seorang PNS pada departemen keuangan. Jadilah Hadi sedih bukan kepalang, ia hanya bisa meratapi nasibnya yang miskin dan papa.

Cinta yang disimpannya di sudut hati dan dirawatnya hingga mekar selama lima setengah tahun, kini layu bagai disiram air panas, menyisakan pedih dan perih, merontokkan mimpinya dan mengubur dalam-dalam angan dan khayalnya.

Perjuangan mempertahankan rasa cinta harus berakhir sebelum ia sanggup menahan beban kekalahan, sebelum ia sanggup menahan kekecewaan bahwa rencananya tidak semulus yang ia inginkan. Angannya yang terlalu tinggi ingin menikahi gadis pujaan membawanya terbang kealam mimpi yang menyakitkan.

Padahal, ia merasa yakin, kehidupan asmaranya akan diridhai Allah, karena ia tidak pernah melakukan perbuatan melanggar batas pergaulan lawan jenis, boro-boro bersentuhan tangan, menatap wajah perempuan saja ia tidak sanggup, apalagi berpacaran layaknya anak muda jaman sekarang. Haram, itulah yang terpatri dalam hatinya.

Semenjak ditolak Rani, Hadi mulai memperbaiki ibadahnya, mungkin kemarin ia merasa Allah belum berkenan memberikan rezeki kepadanya karena ibadahnya belum maksimal dan keikhlasannya belum terbukti, selama ini ia beribadah agar Allah mengijinkan ia menikah dengan Rani, begitu selalu doa yang ia panjatkan dalam setiap kesempatan, tapi kini hatinya mulai sadar, keikhlasan dirinya mulai menggumpal.

Ia tak lagi beribadah karena mengharapkan balasan, tapi semata-mata lilahi taala. Kini hatinya lebih tenang dan jiwanya lebih damai, ia pasrahkan jodohnya ke ilahi robbi, siapapun itu.

Dalam kepasrahan dan keikhlasan, Tuhan selalu mendengar doa hamba-hambanya, enam bulan setelah ia ditolak Rani, ternyata calon suaminya membatalkan pernikahan dengan Rani, tanpa alasan yang jelas, rumor yang ia dengar sang calon lebih memilih sekolah lagi di luar negeri atas biaya dinas dan dilarang menikah dahulu tanpa seijin atasannya.

Perasaan Hadi bingung mendengar kabar itu, apakah harus sedih atau gembira. Yang jelas, mendengar kabar itu menggumpalkan kembali butiran-butiran semangatnya yang sempat hancur berkeping-keping, merajutkan kembali remah-remah asmaranya kepada sang pujaan hati.

Esoknya, ia kembali mendatangi kediaman Rani dan bertemu dengan orangtuanya untuk melamar Rani. Orangtua Rani yang merasa malu atas pembatalan nikah sebelumnya, langsung menyetujuinnya, sedang Rani, meskipun setuju, ia masih tetap dengan syaratnya itu, yakni rumah cukup luas dan mobil, meski akhirnya bisa ia sanggupi enam tahun kemudian setelah pernikahan mereka.

Kini dengan hadirnya mobil sedan di garasi rumah itu, semua syarat istrinya telah ia penuhi, hatinya sangat bahagia meski semua itu ia penuhi dengan tetesan keringat dan darah, dengan luka dan airmata, dengan tebal muka dan pinggang patah-patah.

Bagaimana tidak, ia di-deadline oleh istrinya harus mengumpulkan uang ratusan juta dalam waktu lima tahun untuk mewujudkan semua itu. Ia terpaksa bekerja bagai mesin, pagi sampai malam, belum lagi mencari tambahan pada hari libur.

Kadang ia harus menebalkan muka untuk mencari hutangan untuk menutupi DP pembelian kedua asset itu yang nilainya pun tidak sedikit. Kadang harus bekerja sampai larut malam mencari sambilan mengerjakan proyek kecil-kecilan.

Pada tahun-tahun pertama ia tak perduli, tapi menginjak tahun keempat, ia mulai tidak kuat, semua energinya sudah terkuras habis, tapi hasil yang didapat belum seberapa. Nasib baik masih belum berpihak kepadanya.

Di saat gundah gulana seperti itu, pada saat keheningan malam memeluk erat sang waktu, bersamaan dengan saat Hadi pulang bekerja, Hadi hanya bisa duduk mematung di teras rumah, tak tega membangunkan istrinya yang telah lelap tertidur bersama sang bocah.

Sejumput kemudian ia melangkah menuju keran di pinggir carport dan mengambil wudhu untuk menghilangan kelelahan jiwa dan raganya, lalu ia sholat dua rakaat di teras rumah dan meneruskan dengan tangisan penuh harap kepada sang pencipta sampai ia tertidur di sajadahnya, begitu seterusnya yang ia lakukan setiap malam sampai azan subuh terdengar dan udara dingin menusuk-nusuk tulangnya, membangunkan dirinya yang terlelap di beranda rumah. Barulah kemudian ia membangunkan istrinya untuk menyiapkan sarapan pagi dan bersiap berangkat lagi, sang istri, hanya mengetahui bahwa suaminya pulang pagi karena sibuk mencari nafkah.

Demi cintanya pada sang istri, Hadi terpaksa bekerja siang malam tanpa henti, demi sebuah janji yang harus ditunaikan, ia relakan dirinya bersakit-sakitan, demi keutuhan keluarganya yang ia banggakan, terpaksa ia gadaikan separuh nafasnya demi kebahagiaan orang yang sangat dicintainya itu. Ia lakukan semuanya itu dengan ikhlas, demi sang bidadari pujaan hatinya.

Kehidupan mengalir mengikuti lekuk-lekuk sungai waktu, hanyut bersama cita-cita, mimpi dan angan-angan manusia. Dengan bermodalkan sebongkah harapan, bekal keimanan dan jala asa, mereka mengayuh bahtera rumah tangga menyelusuri sungai kehidupan itu, seraya berharap tiba ditujuan dengan selamat. Tapi takdir Allah jualah yang menentukan roda kehidupan mereka, tanpa seorang manusiapun yang sanggup mengetahuinya.

Karena bekerja terlalu keras, Hadi jatuh sakit, ia terserang lever akut, dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Dokter yang merawatnya hanya menyarankan agar ia mengikhlaskan semuanya, supaya penyakitnya tidak bertambah parah, ia paham apa maksud pernyataan dokter, sebab dokter tidak akan membohongi pasiennya yang tidak sanggup ia tangani.

Dalam lirih suara, hadi memanggil istrinya, yang tampak begitu terpukul akan kondisi hadi, ia hanya bisa menangis sesenggukan. "Rani sayangku" panggilnya, "ya sayang aku di sini di sampingmu.." jawab Rani, "dari hati yang paling dalam aku sangat mencintai kamu, aku sangat menyayangi kamu", Hadi berbisik lemah, "ya sayangku aku tahu itu, cintamu padaku tak pernah aku ragukan" Hibur Rani, "izinkan aku bicara sebentar saja, aku khawatir jika aku menundanya aku tak bisa lagi berbicara denganmu."

Kemudian, Hadi berkata dengan perkataan yang membuat tubuh Rani semakin tak berdaya, ia hampir kehilangan keseimbangan, tapi berusaha untuk mendengar lantunan suara suaminya yang semakin lirih, "Sayangku Rani, sejak pertama kali kita berjumpa, aku sudah menyisakan ruang kosong di sudut hatiku untuk dirimu, aku jaga jangan sampai ia terisi oleh yang lain, dan aku simpan rapat-rapat sampai aku yakin bahwa aku siap untuk melamar dirimu. Keyakinanku atas dirimu begitu kuat, kesabaranku menantimu begitu dalam, meski di tengah jalan aku sempat terluka karena rupanya aku hanya bertepuk sebelah tangan."

Hadi berhenti sejenak, ia memperhatikan kelopak mata istrinya yang makin penuh dengan airmata, airmata penyesalan karena pernah menolak manusia yang begitu sabar dan telaten menyayanginya.

Hadi meneruskan ucapannya, "Tapi sayangku, ternyata Allah sangat sayang kepadaku, ia mengembalikanmu kepadaku diriku lagi, bahkan menjadikan dirimu belahan jiwaku hingga engkau bisa menemaniku di sini, di saat-terakhirku ini, sayangku, hanya satu permintaanku, aku ingin engkau menjadi bidadariku di dunia dan akhirat, meski aku tahu, setelah kepergianku, engkau bebas memilih kembali pangeranmu, memilih orang yang akan mendampingimu meneruskan sisa-sisa hidupmu."

"Sayangku, tapi aku sudah sangat puas atas nikmat yang Allah berikan kepadaku selama ini, selama aku menjadi suamimu. Memilikimu merupakan anugerah terbesar dalam hidupku, maka demi menghargai anugrah itu akupun melakukan apapun demi kebahagiaanmu. Jika Allah berkehendak lain, percayalah itu sudah menjadi takdir antara kita dan aku tak pernah menyesal menikahimu."

"Sayangku ketika lidah ini masih bisa berucap, maka aku berucap kepadamu, maafkanlah atas kesalahanku selama ini, maafkan aku yang memaksamu menjadi belahan jiwaku, meski aku tak bisa memenuhi harapan-harapanmu. Jangan kau sesali pernikahan kita, sebab aku bangga dengan apa yang telah kita lakukan bersama, jaga dan rawatlah baik-baik anak kita, sampaikan salam kepadanya bahwa ayah hanya pergi sebentar, menunggu kalian dipintu surgaNya nanti."

Rani tak kuasa mendengar kelanjutan lirihan suara suaminya, rasa bersalah menusuk hatinya dalam-dalam, ia terlalu egois, ia terlalu naif, memaksakan beban kehidupan dirinya ditanggung suaminya sendiri, ia yang trauma terhadap kemiskinan, memaksakan kompensasinya ke orang yang begitu baik kepadanya, yang begitu sayang kepadanya, ia begitu otoriter.

Sebelum habis Hadi bicara, Rani sudah tak ingat apa-apa lagi, rasa sesal yang dalam ditambah rasa takut kehilangan membuat syaraf kesadarannya terlepas perlahan, ia pingsan di samping tubuh suaminya, yang makin lama suaranya makin tak terdengar, hanya suara "maafkan aku sayang, maafkan aku..., maafkan aku sayang..." yang muncul bergantian dengan kalimat tasbih, tahlil dan tahmid.

Terus berucap hingga hembusan nafas berhenti, dan jantung tak lagi berdetak. Hanya airmata terlihat mengalir dari kelopak mata sang suami, meski bibir tersenyum puas karena sudah memberikan yang terbaik untuk orang yang paling disayanginya.

Hampir dua jam Rani pingsan di sisi suaminya, yang kini telah menjadi jenazah. Saat ia terbangun, Rani belum menyadari, ia terus menangis seraya memohon maaf kepada suaminya atas sikapnya selama ini, sampai kedatangan dokter yang menyadarkan Rani bahwa suaminya telah pergi untuk selama-lamanya.

Nasi telah menjadi bubur, tetapi pintu maaf dari sang pencipta masih terbuka lebar. Rani yang telah menyadari bahwa kebahagiaan bukan hanya kekayaan, dan kemiskinan bukanlah suatu aib, kini perlahan mulai meluruskan jalan hidupnya, dan ia bertekad akan merawat anak semata wayangnya sendiri.

Empat puluh tahun kemudian di sebuah pusara yang masih basah, seorang wanita berjilbab masih tercenung di hadapan makam ibunya, perempuan itu, Dina, masih mendoakan ibu dan ayahnya agar dipertemukan kembali di surga.

Ia adalah harapan orangtuanya yang tersisa, yang melempangkan jalan pertemuan mereka kembali sebagai pasangan abadi, doa dari anak yang shaleh, yang menjadi pelipur lara kedua orang tuanya.

"Ya Allah ya Rabbi, ampuni kedua orang tua kami, dan kabulkan permintaan ibu yang sering ia ceritakan kepadaku, melanjutkan mendampingi ayah kami di surgaMu, dan jadikanlah ia bidadari ayahku, amin."

Rojali Dahlan
http://rojalidahlan.blogspot.com
/@cwi

selengkapnya...

Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |