Puasa seorang pendusta (jilid.2)

Malam harinya ia dicekam gelisah. Ia memiliki tubuh yg kurus kering memang, tetapi seluruh jasadnya lengkap. Ia berfikir, bgm org bisa berbelas kasihan padanya? Malam itu ia tak shalat terawih, sibuk mempertanyakan itu. Setelah ia temukan pemecahannya, barulah ia dpt tidur sampai istrinya membangunkannya utk makan sahur.
Pagi-pagi, seperti biasa ia kenakan pakaian seragamnya yg dulu lalu pamit berangkat pada istri dan anak-anaknya. Ia meluncur kekota sebelah, memarkir motor di pasar kemudian mencari tempat sepi untuk berdandan ala pengemis. Ia pakai baju kumal penuh sobekan. Rambutnya di acak-acak. Memasang wajah memelas dan menyedihkan. Setelah yakin tidak ada org yg mengenalinya, ia melata ditanah, seolah-olah kakinya lumpuh.
Menjadi pengemis memang sungguh tersiksa, tapi tidak seberat jadi kuli bangunan yg penghasilannya jauh lebih kecil dibanding menjadi pengemis. Apalgi dibulan puasa spt ini, sedikit saja kuli yg dapat bertahan dg lapar dan dahaga. Sementara Ghani, dapat tetap berpuasa sembari menunggu rupiah demi rupiah mengalir ketangannya bagaikan air.
Karena dirasa jadi pengemis itu enak, maka Ghani mengulang lg di hari-hari berikutnya.
Suatu ketika, ia sedang berpura-pura sebagai orang buta atau cacat, duduk bersila memasang wajah memelas sembari menengadahkan tangan. Disekitarnya ada puluhan pengemis lain yg sepertinya sehat-sehat sepertinya. Ketika jemaat shalat jumat bubar, mereka mulai sibuk memelas, lalu mengalirlah uang kertas dan logam ketangan mereka. Sekejap saja Mesjid sudah sepi. Pengemispun bubar, tinggal Ghani seorang yg baru saja mendapatkan beberapa uang karena mungkin dandanannya yg kurang memikat orang untuk memberi. Ketika ada lelaki tua melintas di depannya Ghani langsung berakting memelas.
"kau mau sesuatu?" tanyanya dg suara serak.
Ghani mengangguk tanpa menatap wajahnya.
"kebetulan aku tidak membawa uang sekarang. Kalau mau ikutlah bersamaku!"
dalam benaknya, terbayang kakek tua itu kaya dan dermawan. Itu terlihat dari tutur katanya yg lembut dan jubahnya yg putih bersih wangi dan bagus. Maka, iapun mengikutinya dg jalan yg tertatih-tatih.
Sampai didepan gerbang sebuah rumah, si kakek menoleh kepadanya, "kau berpuasa?" Ghani jawab "ya." dan memang ia tengah berpuasa waktu itu. Si kakek mengajaknya masuk. Karena merasa riskan, Ghani menolaknya. Akhirnya sikakek menyuruhnya menunggu.
Tak beberapa lama kemudiam si kakek keluar dan menyodorkan amplop putih panjang. Lekas-lekas Ghani menerimanya sambil mengucap terimakasih dan tak lupa mendoakanya. Tapi tak seperti kebanyakan orang yg senang di doakan, ia justru berkata, "tak perlu kau mendoakanku, berdoalah utk dirimu dulu."
tanpa basa basi, Ghani segera meninggalkannya. Selain malu mendengar kata-katanya, ia sudah tidak sabar utk melihat berapa jumlah isi amplop itu. Tp, setelah dibuka bukan uang yg ia dapat melainkan hanya selembar kertas berisi kata-kata "Orang miskin adalah orang yg tidak mendapatkan sesuatu yg bisa mencukupinya, dan malu utk meminta-minta." Ghani menangis, kata-kata itu seakan menghantam dadanya. Kata-kata itu juga yg kemudian mencairkan hatinya yg lama mengeras. Sesaat setelah ia membaca tulisan itu, ia segera menuju toilet umum dan membersihkan diri, lalu masuk mesjid dan duduk bersila hingga senja tiba.
Seperti biasa ia tiba dirumah sebelum maghrib. Sepanjang jalan pikirannya memcekam. Bagaimana caranya memberitahukan istri dan anak-anaknya bhw ia sudah di PHK? Entah kenapa ia begitu yakin kalau istri dan anak-anaknya tidak siap dg berita itu. Tapi, sampai kapan ia diam, hidup dalam lumpur dusta? Ia tahu, satu dusta akan melahirkan dusta-dusta yg lainnya. Dan karenanya, ia ingin menutup pintu utama dari dusta-dustanya.
Sebuah keinginan butuh keberanian, pikirnya. Mulanya ketika istri dan anak-anaknya berkumpul dimeja makan utk berbuka puasa, ia bernia mengakui kesalahannya. Tetapi ditengah santap buka, ia lebih byk terdiam, menahan sakit ketika melihat anak-anak dan istrinya menyantap makanan begitu lahap."kalau mereka tahu darimana aku mendapatkan uang utk membeli beras dan lauk pauk itu, mereka akan berkata apa?" satu pertanyaan itu membuat ketakutan untuk berterus terang kembali merajai diri Ghani.
Dan kini, ditengah santap sahur, dimana istri dan ketiga anaknya berkumpul mengelilingi meja makan, Ghani masih tak tau mesti berkata apa. Ia pandangi wajah anak-anaknya satu per satu dg perasaan haru. Dadanya mendadak nyeri bagai di sayat-sayat ketika ia melihat anak-anaknya mulai menyantap makanan dg lahap. Tak terasa ada yg meleleh di kedua belah matanya, jatuh membasahi taplak meja.
"Apakah kalian siap mendengar kejujuran?" katanya, dg kepala menunduk. Istri dan ketiga anaknya serentak mendongak, memandanginya penuh heran./@cwi


selengkapnya...

Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |