Untukmu Palestin (For You Palestine)

selengkapnya...

Harapan Baru - shoutul harokah

selengkapnya...

Shoutul Harokah - Merah Saga (Palestin)

selengkapnya...

Salahuddin AL Ayyubi: One of The Saviours of Islamic Spirit

selengkapnya...

Antara”Miss Universe” dan ”Sapi Perah”


Menjelang bulan Suci Ramadhan 1430 Hijriah, media massa Indonesia banyak menyiarkan berita tentang prestasi yang diraih oleh Zivanna Letisha Siregar, anak Indonesia yang ikut dalam Kontes Ratu Kecantikan sejagad (Miss Universe) 2009. Hasil jajak pendapat di missuniverse.com pada Kamis (20/8/2009) menunjukkan, Zizi – panggilan Zivanna – menduduki peringkat ketiga, satu prestasi yang belum pernah diraih oleh putri Indonesia sebelumnya. Prestasi itu diraih karena banyaknya orang Indonesia yang mendukungnya lewat polling. Media massa pun gegap gempita mendukungnya. Banyak yang secara terbuka bangga dan berharap, Zizi akan menang dalam kontes miss universe tersebut.
Menariknya, hampir tidak tampak lagi suara yang mempersoalkan keikutsertaan wakil Indonesia tersebut di pentas pemilihan Ratu sejagad. Nyaris tak terdengar suara MUI, Departemen Agama, NU, Muhammadiyah, dan sebagainya. Seolah-olah kehadiran Zizi di pentas kecantikan internasional itu memang sudah direstui oleh bangsa Indonesia. Padahal, dalam kontes tersebut, Zizi menampilkan pakaian bikini yang pada tahun-tahun sebelumnya selalu mengundang kontroversi. Begitu kuatnya arus global informasi tersebut, sehingga mampu menyekat suara-suara yang berbeda. Semua seperti digiring untuk bungkam. Seolah-olah banyak yang sudah tahu akan resiko yang dihadapi jika berani mempersoalkan hal-hal seperti ini maka akan dengan mudah dikecam sebagai manusia yang sok moralis, menghambat kebebasan berekspresi, kaum radikal dan sebagainya.
Mungkin, sadar akan kekuatan besar seperti itulah, maka banyak yang memilih diam, atau enggan berkomentar. Semua seperti sadar, bahwa sekarang adalah zaman kebebasan. Ini zaman liberal. Semua serba boleh. Maksiat atau tidak maksiat tidak peduli lagi. Yang penting seru! Yang penting enak ditonton! Yang penting menghibur! Yang penting menghasilkan uang! Persetan dengan semua nilai moral atau agama!

Padahal, diukur dari sudut pandang Islam, jelas keikutsertaan dalam kontes kecantikan seperti kontes Miss Universe adalah perbuatan haram. Itu jelas dosa! Itulah kemungkaran yang sangat nyata; mengumbar aurat di muka umum. Mungkin Zizi dan para pendukungnya berpikir, bahwa tubuh yang dimilikinya adalah miliknya sendiri, dan dia merasa seratus persen berhak untuk menggunakannya untuk tujuan apa saja sesuai kehendaknya. Tidak ada urusan dengan aturan Allah SWT. Mungkin, mereka juga berpikir, bahwa toh, tindakan itu tidak merugikan orang lain! Tidak mengganggu lain. Apa salahnya!
Salah satu media internet yang mengkritik keras keikutsertaan putri Indonesia dalam ajang Miss Universe 2009 itu adalah www.voa-islam.com. Situs ini secara tegas mengkritik kontes tersebut: ”Beginikah kiblat kemajuan sebuah peradaban dimana wanitanya harus berani meludahi ajaran para Nabi, terutama Nabi Muhammad Saw? Beginikah simbol sebuah kemajuan peradaban dimana wanitanya akan dihormati manakala berani membuka dada dan paha? Ataukah beginikah standar kecantikan wanita manakala layak tubuhnya dijadikan simbol penglaris dagangan saja?”
Dalam suasana gegap gempitanya paham kebebasan dan – meminjam istilah Taufik Ismail -- ”Gerakan Syahwat Merdeka” di Indonesia, memang suara-suara yang menyerukan agar manusia Indonesia menjadi manusia-manusia yang lebih adil dan beradab menjadi tenggelam. Padahal, ada al-Quran sudah mengajak perempuan untuk menutup auratnya: "Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kerudungnya ke dadanya" (QS An-Nur:31).
Nabi Muhammad saw juga pernah bersabda: "Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain, dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian." (HR. Muslim)
Betapa pun, Zizi adalah Muslimah. Bahkan, konon, ia adalah lulusan sebuah SMU Islam di Jakarta. Yang harus dilakukan jika seorang Muslim/muslimah ketika melakukan tindakan dosa adalah bertobat. Bukan malah bangga dengan tindakannya dan mengajak orang lain untuk mengikuti tindakan dosanya. Apakah Zizi, kedua orang tua, dan pendukungnya yang Muslim tidak tahu bahwa tindakan mengumbar aurat seperti itu adalah tindakan dosa? Sebagai sesama Muslim, kita WAJIB mengimbau dan menasehatinya. Kita tidak bertanggung jawab atas tindakannya. Masing-masing kita akan bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri di hadapan Allah.

Sapi perah

Jika Zizi dan para pendukungnya enggan mendengar pendapat yang masih berbau agama, ada baiknya juga disimak pendapat Dr. Daoed Joesoef, seorang cendekiawan yang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai tokoh sekular. Daoed Joesoef pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) selama satu periode (1977-1982). Semasa hidupnya, Daoed Joesoef dikenal dengan pemikirannya yang sekular.
Pemikirannya yang sekular telah banyak mengundang kritik dari para tokoh Islam. Tetapi, ada satu sisi pemikirannya yang sejalan dengan tokoh-tokoh Islam di Indonesia, yaitu kritik-kritiknya yang keras dan tajam terhadap keberadaan kontes ratu-ratuan. Daoed Joesoef adalah doktor lulusan Sorbonne Perancis (1972) dan Ketua Dewan Direktur CSIS (1972-1998). Ia juga pernah menjadi anggota pengurus organisasi ”Angkatan Seni Rupa Indonesia” di Medan (1946), dan Ketua cabang Yogyakarta untuk organisasi ”Seniman Indonesia Muda” (1946-1947).
Betapa sekularnya pemikiran Daoed Joesoef bisa disimak dari sikapnya yang tidak mau mengucapkan salam Islam saat menjabat Menteri P&K. Dalam memoarnya yang terbit tahun 2006 berjudul ”Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran”, Daoed Joesoef memberikan alasan: ”Aku katakan, bahwa aku berpidato sebagai Menteri dari Negara Republik Indonesia yang adalah Negara Kebangsaan yang serba majemuk, multikultural, multiagama dan kepercayaan, multi suku dan asal-usul, dan lain-lain, bukan Negara Agama dan pasti bukan Negara Islam.”
Tentu saja, jika diukur pada tataran sekarang, pandangan dan sikap Daoed Joesoef semacam itu tampak ganjil. Tetapi, tidak semua pendapat Daoed Joesoef perlu ditolak. Ada pendapatnya yang sangat menarik untuk disimak dan direnungkan. Sebagai cendekiawan, pandangannya terhadap berbagai jenis kontes ratu kecantikan, bisa dikatakan sangat tajam dan mendasar. Saat menjadi Menteri P&K pula, Daoed Joesoef menyatakan secara terbuka penolakannya terhadap segala jenis pemilihan miss dan ratu kecantikan. Ketika itu memang sedang marak-maraknya promosi aneka ragam miss, ada Miss Kacamata Rayban, Miss Jengki, Miss Fiat, Miss Pantai, disamping pemilihan ratu ayu daerah, ratu ayu Indonesia yang langsung dikaitkan dengan berbagai jenis keratuan internasional. Dan semuanya, tulis Daoed Joesoef, ”menyatakan demi manfaat dan kegunaan (pariwisata) serta keharuman nama dan martabat Indonesia.”
Apa kata Daoed Joesoef tentang semua jenis ratu-ratuan tersebut? ”Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang adalah suatu penipuan, disamping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah. Sebagai ekonom aku tidak a priori anti kegiatan bisnis. Adalah normal mencari keuntungan dalam berbisnis, namun bisnis tidak boleh mengenyampingkan begitu saja etika. Janganlah menutup-nutupi target keuntungan bisnis itu dengan dalih muluk-muluk, sampai-sampai mengatasnamakan bangsa dan negara,” tulis Daoed Joesoef.
Menurut mantan dosen FE-UI ini, wanita yang terjebak ke dalam kontes ratu-ratuan, tidak menyadari dirinya telah terlena, terbius, tidak menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Itu ibarat perokok atau pemadat yang melupakan begitu saja nikotin atau candu yang jelas merusak kesehatannya. Lebih jauh, Daoed Joesoef menyampaikan kritik pedasnya: ”Pendek kata kalau di zaman dahulu para penguasa (raja) saling mengirim hadiah berupa perempuan, zaman sekarang pebisnis yang berkedok lembaga kecantikan, dengan dukungan pemerintah dan restu publik, mengirim perempuan pilihan untuk turut ”meramaikan” pesta kecantikan perempuan di forum internasional.”
Dari 900 halaman lebih memoarnya tersebut, Daoed Joesoef memberikan porsi cukup panjang (hal. 649-657) untuk menguraikan buruknya praktik-praktik ratu-ratuan bagi perempuan itu sendiri. Perempuan tentu boleh tampil cantik. Tapi, Daoed Joesoef mengingatkan tiga hal. Pertama, jangan ia diumbar, dibiarkan untuk dieksploitasi seenaknya oleh orang/pihak lain hingga membahayakan dirinya sendiri. Kedua, jangan memupuknya secara berlebihan, karena bagaimana pun kecantikan itu hanya setebal kulit. Ketiga, kecantikan yang dipupuk dan lalu dijadikan standar personalitas perempuan berpotensi menjadi liang kubur perempuan yang bersangkutan. Bila kecantikan itu redup, karena hanya setebal kulit, berarti perempuan itu tidak dapat lagi memenuhi standar yang telah dipatoknya sendiri. Orang lain, termasuk suaminya, akan membelakanginya, lalu berpaling ke perempuan cantik lain.
Semasa belajar di Paris, Daoed Joesoef mengaku pernah membaca sebuah kasus seorang guru matematika dipecat oleh Menteri Pendidikan Nasional Perancis, gara-gara guru tersebut mengikuti kontes ratu kecantikan daerah yang merupakan awal dari pemilihan ratu kecantikan nasional. Ketika itu tidak ada media yang membelanya, karena publik mengangga kegiatan seperti itu tidak pantas dilakukan seorang guru. Karena itu, menurutnya, jika ada pendidik yang membela kegiatan pemilihan ratu ayu, pantas sekali dipertanyakan bagaimana keadaan nuraninya.
”Apa kata inteleknya tidak perlu dipersoalkan, karena sekarang ini keintelektualan bisa disewa per hari, per minggu, per bulan, per tahun, bahkan permanen, dengan honor yang lumayan. Artinya, even seorang intelek bisa saja melacurkan kemurnian inteleknya karena nurani sudah diredam oleh uang,” tulis Daoed Joesoef.
Daoed Joesoef menolak argumentasi bahwa kontes kecantikan juga menonjolkan sisi-sisi intelektual perempuan dan banyak pesertanya yang mahasiswi. Juga ia menolak alasan, bahwa penggunaan pakaian renang dalam kontes semacam itu adalah hal yang biasa. ”Namun tampil berbaju renang melenggang di catwalk, ini soal yang berbeda. Gadis itu bukan untuk mandi, tapi disiapkan, didandani, dengan sengaja, supaya enak ditonton, bisa dinikmati penonjolan bagian tubuh keperempuanannya, yang biasanya tidak diobral untuk setiap orang,” tulis Daoed Joesoef lebih jauh.
Bahkan, Daoed Joesoef menyamakan peserta kontes kecantikan itu sama dengan sapi perah: ”setelah dibersihkan lalu diukur badan termasuk buah dada (badan)nya dan kemudian diperas susunya untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?”
Terhadap orang yang menyatakan, bahwa yang dinilai dalam kontes kecantikan bukan hanya kecantikannya, tetapi juga otaknya, sikapnya, dan keberaniannya, Daoed Joesoef menyatakan, bahwa semua itu hanya embel-embel guna menutupi kriterium kecantikan yang tetap diunggulkan. ”Percayalah, tidak akan ada gadis sumbing yang akan terpilih menjadi ratu betapa pun tinggi IQ-nya, terpuji sikapnya atau keberaniannya yang mengagumkan,” tulisnya.
Terhadap alasan kegunaan kontes ratu kecantikan untuk promosi wisata dan penarikan devisa, Daoed Joesoef menyebutnya sebagai wishful thinking belaka, untuk menarik simpati masyarakat dan dukungan pemerintah. Kalau keamanan terjamin, jaringan transpor bisa diandalkan, sistem komunikasi lancar, bisa on time, pelayanan hotel prima, maka keindahan alam Indonesia saja cukup bisa menarik wisatawan.
Lalu, apa jalan keluarnya? ”Stop all those nonsense! Hentikan semua kegiatan pemilihan ratu kecantikan yang jelas mengeksploitasi perempuan dan pasti merendahkan martabatnya!” seru Daoed Joesoef. “Namun,” lanjutnya, “kalau perempuan sendiri bergairah melakukan perbuatan yang tercela itu karena kepentingan materi sesaat tanpa mempedulikan masa depan anak-anak, ya mau bilang apa lagi!”.
Meskipun kita tidak sependapat dengan banyak pemikiran sekular Daoed Joesoef, tetapi pandangannya tentang ratu-ratuan ini patut kita acungi jempol. Kini, di tengah-tengah semakin menguatnya hegemoni liberalisme nilai-nilai moral dan menghunjamnya paham materialisme, pendapat jernih Daoed Joesoef dalam soal peran dan kedudukan perempuaan perlu diperhatikan, khususnya bagi pejabat dan pemuka masyarakat. Secara terbuka Daoed Joesoef mengimbau:
“Kalaupun gadis-gadis kita yang cantik jelita lagi terpelajar, cerdas dan terampil serta berbudi pekerti terpuji dan berani,masih berhasrat menyalurkan energinya yang menggebu-gebu ke kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakaat, berbangsa dan bernegara, siapkanlah diri mereka agar menjadi IBU yang ideal, memenuhi perempuan yang sebenarnya dalam keluarga, perannya yang paling alami, jadi bukan peran sembarangan, karena mendidik makhluk ciptaan Tuhan yang dipercayakan oleh Tuhan kepadanya. Jangan anggap bahwa mengasuh, membesarkan dan mendidik anak secara benar bukan suatu pekerjaan yang terhormat. Pekerjaan ini memang tidak menghasilkan uang, pasti tidak membuahkan popularitas, tentu tidak akan ditampilkan oleh media massa dengan penuh kemegahan, tetapi ia pasti mengandung suatu misi yang suci…”
.
Demikianlah, sebuah contoh pemikiran yang jernih tentang kedudukan dan martabat perempuan. Mudah-mudahan masih ada petinggi negara dan elite masyarakat yang mendukung pemikiran semacam ini, dan kemudian berani melakukan tindakan untuk menegakkan kebenaran, meskipun resikonya, dia bisa jadi tidak akan populer. (Depok, 20 Agustus 2009).
Comments
avatar Abu Fauzan
0


"Sapi perah" sebutan yang pas buat mereka, dengan kata lain "binatang bertubuh manusia"
Senin 31 Agustus 2009, 06:33
Post Reply
Name *
Email (For verification & Replies)
URL
ChronoComments by Joomla Professional Solutions
Submit Comment
Batal
avatar heru mustakim
0


wah, ini merupakan kemerosotan moral. kalau jaman doeloe, orang nak ontel tersingkap rokny dan kelihatan kakinya merasa malu dan segera berusaha menutupnya, tapi sekarang malan rok itu disingkap, bahkan di buang hanya untuk mendapat pujian, dan dilihat oleh mata-mata penuh syahwat. ini jika ditimbang dari budaya ketimuran. kalau dari syar'i,..... ....baca hadis di atas. wa na'udzubillAH

/@cwi

selengkapnya...

Pengkhianatan Yahudi


Menyimak keberingasan, kebengisan, dan kepongahan Israel di Lebanon dan Palestina saat ini, ada baiknya kita mengkaji kembali pemahaman kita tentang bangsa Yahudi, sebagaimana digambarkan dalam al-Quran dan buku-buku sejarah. Ayat-ayat yang menggambarkan karakter dan bangsa Yahudi begitu banyak bertebaran. Di dalam sejarah kita memahami, bahwa kaum Yahudi adalah kelompok manusia yang begitu banyak dan hobi melakukan pengkhianatan terhadap kebenaran yang disampaikan kepada mereka.
Di Madinah (Yathrib), kaum Yahudi telah mengabarkan kepada penduduk setempat akan kedatangan seorang Nabi terakhir. Dan ini telah diberitakan oleh Nabiyullah Isa a.s. kepada mereka, jauh-jauh sebelumnya. Tetapi, ketika Rasul itu (Nabi Muhammad saw) benar-benar tiba, maka justru mereka menjadi orang pertama yang mengingkarinya.
“Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata." (QS as-Shaf:6).

Itulah karakter Yahudi. Sebuah karakter yang dengan begitu mudah menolak kebenaran, meskipun mereka tahu tentang kebenaran. Karena itu, Rasulullah saw menjelaskan, bahwa makna kata ‘al-maghdhub’ (yang dimurkai Allah SWT) dalam surat al-Fatihah adalah ‘al-Yahud’. Jadi kaum Yahudi adalah prototipe orang yang tahu tentang kebenaran tetapi tidak mau mengikuti kebenaran, bahkan sebaliknya, merekalah yang menyembunyikan dan mengubah-ubah kebenaran.


Al-Quran menjelaskan bagaimana kaum Yahudi hobi mengubah-ubah kitab suci mereka, sehingga tidak diketahui lagi mana wahyu yang asli dan mana yang merupakan tambahan mereka. “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh Keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS al-Baqarah:79).
Akibat pengkhianatan mereka terhadap kebenaran ini, maka mereka juga menyesatkan kaum lainnya yang mengikuti mereka. Hingga kini diakui oleh para pengkaji agama Yahudi, bahwa masalah besar dalam mengkaji Kitab Yahudi (Bibel Yahudi – yang oleh orang Kristen disebut sebagai ‘Perjanjian Lama’) adalah masalah otentisitas teks-teks Bibel tersebut. Yakni membedakan, mana yang asli dan mana yang sisipan. Th.C. Vriezen, dalam bukunya, Agama Israel Kuno (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 2001), menulis:
“Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas bahan sejarah Perjanjian Lama secara bertanggung jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur). Proses penyaduran turun-temurun itu ada untung ruginya. Salah satu keuntungannya ialah bahwa sumber-sumber kuno itu dipertahankan dan tidak hilang atau terlupakan. Namun, ada kerugiannya yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam naskah, sehingga sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah historis itu yang orisinal (asli) dan bagian mana yang merupakan sisipan.”

Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, (New York: Perennial Library, 1989), juga menulis: “It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization.” Jadi, menurut Friedman, adalah hal yang ajaib bahwa kaum Yahudi-Kristen sebenarnya tidak pernah tahu dengan pasti, siapa yang menulis kitab mereka. Padahal, kitab itu sudah begitu memainkan peran sentral dalam peradaban mereka. Bahkan, Kitab Torah (Five Book of Moses, yakni Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan) dikatakan Friedman sebagai salah satu teka-teki paling kuno di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world).
Gara-gara ulah Yahudi yang mengubah-ubah kitab mereka itu, maka kebenaran menjadi kabur, karena dicampur aduk dengan kebatilan. Dalam surat al-Baqarah:41-42 sudah disebutkan peringatan Allah agar kaum Yahudi jangan menjadi orang yang pertama kafir dan jangan mencampuradukkan antara yang haq dan bathil dan menyembunyikan kebenaran.
“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa. Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui.”

Tentu saja kaum Yahudi sangat tertohok dengan ayat-ayat al-Quran yang menelanjangi habis-habisan kecurangan mereka. Karena itu bisa dipahami jika mereka tidak pernah ridho kepada kaum Muslim, sampai kaum Muslim mengikuti millah mereka (QS al-Baqarah 2:120). Mereka kemudian menyimpan dendam yang terus terpendam dan berusaha keras untuk merusak Islam. Jika kita cermati, saat ini, betapa banyak orang diantara kaum Muslim yang – sadar atau tidak – mengikuti jejak kaum Yahudi dalam mengubah-ubah dan menyembunyikan kebenaran. Kita tidak habis pikir, bagaimana ada orang yang mengaku Islam tetapi mendukung upaya penyerangan terhadap al-Quran, melecehkan Nabi Muhammad dan para sahabat Nabi.
Ada juga yang secara terang-terangan dengan berbagai dalil yang dibuat-buat menghalalkan perkawinan homoseksual dan perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Ada yang membuat-buat tafsir al-Quran ala Yahudi dengan membuang makna teks dan menekankan aspek konteks secara serampangan. Itulah yang dilakukan misalnya oleh Prof. Musdah Mulia dan para penulis buku Fiqih Lintas Agama yang membuang makna teks dan menggunakan aspek konteks secara amburadul, sehingga keluar keputusan hukum bahwa muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim. (Lihat buku Muslimah Reformis karya Musdah Mulia terbitan Mizan dan buku Fiqih Lintas Agama terbitan Paramadina dan The Asia Foundation).
Padahal, cara penafsiran seperti itu benar-benar mengikuti metodologi penafsiran Bibel Yahudi. Dalam bab berjudul ‘Hebrew Scriptures’ dari buku Path Through Catholicism karya Mark Link SJ (Texas:Tabor Publishing, 1991), dijelaskan metode penafsiran Bibel Yahudi yang memisahkan antara metode tekstual dan metode kontekstual. Orang yang menafsirkan secara tekstual/literal dijuluki sebagai kaum literalis atau fundamentalis. Paus sendiri menolak penafsiran Bibel secara tekstualis atau literalis. Menurut buku karya Mark Link itu, penafsir Bibel dibagi menjadi dua model, yakni model literalis dan kontekstualis.
Dia menulis: “Literalists interpret the Bible rigidly, saying, “It means exactly what it says”. In other words, literalists (also called fundamentalists) concern themselves with only the text of the Bible. Contextualists interpret the Bible more broadly, saying “We must consider not only the text but also the context of the Bible. In other words, we must also consider such a things as historical and cultural situation in which the Bible was written.” (hal. 22)
Model tafsir Bibel Kristen-Yahudi seperti ini, yang menajamkan aspek tekstual dan kontekstual dan menekankan aspek historisitas teks, saat ini banyak mencengkeram sebagian akademisi Muslim. Itu bisa kita lihat dalam buku-buku tentang studi Islam yang bermunculan dewasa ini.
Seorang dosen UIN Yogya yang menerbitkan disertasinya dengan judul “Muslim-Christian Relations in The New Order Indonesia:The Exclusivist and Inclusivist Muslims’ Perspectives, (Bandung: Mizan, 2005)” membagi kaum Muslim Indonesia ke dalam dua golongan, yakni kaum ‘Inclusivist Muslims’ dan exclusivist Muslim’. Kaum Muslim Inklusif, kata dia, adalah mereka yang mempersepsikan Islam sebagai agama evolutif dan menerapkan metode tafsir kontekstual terhadap al-Quran dan Sunnah. (… they perceive Islam as an evolving religion they apply a contextual reading to the Quran and sunna). Sedangkan Muslim eksklusif adalah yang menerapkan metode penafsiran al-Quran dan Sunnah secara literal. (They apply a literal approach in understanding the foundation texts of Islam, namely the Quran and the sunna of the Prophet).
Cara pandang disertasi di Melbourne University seperti itu adalah pola dan metode panafsiran Bibel Kristen-Yahudi, yang dipaksakan kepada al-Quran. Si dosen itu harusnya mengkaji dengan serius, bahwa ada perbedaan yang mendasar antara sifat teks al-Quran dan teks Bibel. Dalam konsep Islam, teks al-Quran adalah ‘tanzil’ yang lafaz dan maknanya dari Allah. Teks al-Quran bukan bikinan Nabi Muhammad saw atau bikinan manusia mana pun. Karena itu, al-Quran adalah wahyu, Kalamullah. Ini beda dengan Bibel, yang dalam konsep Kristen sendiri dikatakan sebagai ‘teks manusiawi’, yakni teks yang ditulis oleh para penulis Bibel yang mendapatkan inspirasi dari Roh Kudus.
Karena problem teks Bibel itulah, maka kaum Yahudi-Kristen tidak bisa menafsirkan secara tekstual, sebab memang tidak ada teks yang bisa dipegang. Teks Bibel selalu berubah dari waktu ke waktu. Salah satu Bibel edisi bahasa Inggris yang biasanya dianggap otoritatif adalah King James Version. Tapi, sekarang pun sudah muncul New King James Version. Kita bisa bandingkan teks Bibel terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) edisi 1971 dan 2004, misalnya, maka kita akan bertemu dengan begitu banyak ayat yang bukan hanya berubah teksnya, tetapi juga maknanya. Sebagai contoh, bandingkan ayat Bibel Yahudi tentang larangan keluar pada hari Sabat:
Edisi LAI tahun 1971 menyatakan: “tetapi hari yang ketudjuh itulah sabat Tuhan, Allahmu, pada hari itu djangan kamu bekerja, baik kamu, atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau binatangmu, atau orang dagang jang ada didalam pintu gerbangmu.”
Sedangkan dalam edisi tahun 2004 ditulis: “tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu, maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu, atau orang asing yang ditempat kediamanmu.”.
Kekeliruan pola pikir terhadap al-Quran yang menjiplak pola pikir Yahudi-Kristen itu bukan khas dosen UIN Yogya itu saja. Kita bisa menyimak bagaimana membanjirnya istilah-istilah asing ke dalam kosa kata studi Islam dewasa ini, seperti istilah ‘Islam fundamentalis’, ‘Islam literalis’, dan sebagainya, yang berasal dari tradisi Yahudi-Kristen. Banyak yang latah membeo saja dalam menggunakan istilah-istilah yang lahir dalam tradisi Yahudi-Kristen tersebut, tanpa sikap kritis. Padahal, kita tidak bisa begitu saja mengambil istilah-istilah itu tanpa disesuaikan dengan makna dalam Islam. Sebagai contoh, dalam istilah Kristen, George W. Bush biasa disebut sebagai penganut Kristen fundamentalis yang konservatif dan taat. Tetapi, tentu kita tidak bisa menyebut Bush adalah seorang Kristen salafi yang muttaqin. Masing-masing tradisi dan agama memiliki sistem pemikiran dan istilah yang khas, yang tidak seyogyanya dijiplak begitu saja.
Masalah teks Bibel itu sangat berbeda dengan al-Quran, sehingga cara penafsirannya pun sangat berbeda dengan Bibel. Sebagai teks manusiawi unsur historisitas sangat ditekankan dalam penafsiran. Tetapi, sebagai teks wahyu, makna kata-kata dalam teks al-Quran adalah terjaga dari zaman ke zaman. Karena itu, hukum-hukum al-Quran bersifat universal, melintasi zaman dan budaya, meskipun ayat-ayat itu diturunkan di wilayah Arab pada waktu tertentu dan dengan kondisi kultural tertentu. Ketika al-Quran melarang minuman keras, itu bukan hanya untuk orang Arab saja, tetapi berlaku untuk semua manusia. Kewajiban jilbab bukan hanya berlaku untuk wanita Arab abad ke-7, tetapi tetap berlaku sampai sekarang. Dan sebagainya. Salah satu buku yang sangat menekankan aspek historisitas dalam studi Islam bisa dilihat buku ‘Islamic Studies’ karya Prof. Amin Abdullah, rektor UIN Yogya, yang banyak merujuk kepada para pemikir sekular-liberal seperti Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun.
Kini, dalam situasi dimana saudara-saudara kita di Lebanon dan Palestina dihujani bom-bom Yahudi yang mencabik-cabik tubuh wanita dan anak-anak tanpa belas kasihan sedikit pun, ada baiknya kita juga merenung sejenak, bahwa kaum Muslim di Indonesia saat ini, juga sedang dihujani dengan “bom-bom pemikiran Yahudi yang sangat dahsyat dampaknya dalam mencabik-cabik otak sebagian sarjana agama dari kalangan umat Islam, sehingga banyak yang tanpa sadar sudah mengikuti “pola pikir Yahudi” dalam mencabik-cabik Islam dan al-Quran. Gara-gara otaknya keliru, memandang bahwa al-Quran adalah produk budaya, maka seorang dosen IAIN Surabaya dengan bangga, sengaja, dan sadar menginjak lafaz Allah di hadapan para mahasiswanya.
Mudah-mudahan kita senantiasa diselamatkan Allah, agar tidak terjebak dalam pola pikir dan jalan orang-orang yang dimurkai Allah. Amin. (Depok, 11 Agustus 2006).

/@cwi

selengkapnya...

Propaganda "Lintas Agama" yang Kian Canggih


Huntington tampaknya tidak bohong dalam hal yang satu ini. Bahwa, setelah peristiwa 11 September 2001, AS sangat serius dalam ”menggarap” Islam. Dalam bukunya, Who Are We?: The Challenges to America’s National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004), Huntington menulis: “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam.” Jadi, menurut Huntington, perang ideologis AS dengan kaum komunis militan, kini telah digantikan dengan perang agama dan perang budaya dengan Islam militan.

Meskipun secara formal, banyak pejabat AS yang menyangkal kebenaran pendapat Huntington, tetapi fakta di lapangan menunjukkan, memang kebijakan luar negeri AS kini banyak diarahkan pada upaya ”penjinakan Islam”. Dalam sejarah kolonialisme dan orientalisme, ini memang bukan hal yang baru. Di Indonesia, upaya untuk menciptakan kelompok yang ”ter-Barat-kan” di kalangan kaum pribumi, telah dilakukan oleh penjajah Belanda. Kelompok inilah yang secara aktif membendung aspirasi Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan cara ini, tentu ”sang Tuan” tidak perlu capek-capek lagi menghadapi umat Islam.


Kini, di era imperialisme modern, tampak program keagamaan AS semakin jauh memasuki area-area yang sangat personal dari kaum Muslim, yakni urusan pemahaman dan keyakinan agamanya. Seriusnya AS dalam pengembangan dan penyebaran Pluralisme Agama di Indonesia bisa menjadi salah satu indikator penting, bagaimana seriusnya program penggerusan keyakinan umat beragama, khususnya Islam.

Untuk menyimak usaha tersebut, simaklah aktivitas salah satu pusat kegiatan penyebaran paham lintas agama yang bernama Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) di UGM Yogyakarta. Program ini diakui sebagai bagian dari misi diplomatik AS di Indonesia. Ini bisa dibaca pada Laporan Kebebasan Beragama tahun 2007 yang dibuat oleh Keduataan AS di Jakarta. [http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/Laporan_Kebebasan_Beragama_2007):



”Misi diplomatik AS terus mendanai Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. CRCS bekerja bersama Radio Republik Indonesia dalam pembuatan acara bincang-bincang dua bulanan yang mengangkat masalah kebebasan beragama, toleransi, dan demokrasi. Selain siaran radio langsung, program tersebut ditayangkan di TVRI Yogyakarta, yang memungkinkan dilakukannya penyebaran ide-ide ini kepada masyarakat di Yogyakarta dan daerah sekitar di Jawa Tengah. Isi program tersebut diterbitkan dalam surat kabar setempat… Misi diplomatik AS juga mendukung program seminar kampus yang bertujuan memperkuatkan pendukung pluralisme di kampus-kampus Islam dan menguatkan pemahaman tentang kebebasan beragama, toleransi, pluralisme, dan kesetaraan jender. Diskusi-diskusi publik diadakan di beberapa kampus di Jakarta, Serang, Rangkasbitung, Yogayakrta, Surabaya, Mataram, dan Medan bekerjasama dengan berbagai universitas Islam dan universitas negeri seperti Universitas Gajah Mada dan Universitas Sumatera Utara. Lebih dari 1.500 pelajar dengan berbagai latar belakang dan 50 pembicara nasional dan daerah dilibatkan dalam diskusi-diskusi tersebut.”



Begitulah program keislaman AS. Adalah menarik, bahwa sebagai satu program studi agama tingkat S-2 di UGM, CRCS juga aktif menyebarkan paham-pahamnya ke tengah masyarakat. Melihat berbagai aktivitasnya, tampak CRCS bukan sekedar lembaga studi biasa. Dia mempunyai misi besar merombak pemikiran keagamaan masyarakat Indonesia, khususnya kaum Muslim, sehingga sejalan dengan pemahaman yang dikehendaki oleh sang pemilik dana.

Sebagai contoh, dalam rangka menjalankan misinya tersebut, pada 19 Februari 2009 lalu, CRCS menggelar acara bedah buku berjudul When Mystic Masters Meet: Paradigma Baru dalam Relasi Umat Kristiani-Muslim karya Dr. Syafa’atun Almirzanah, dosen UIN Yogyakarta. Buku ini merupakan disertasi doktor penulis di Chicago University. Karena dianggap begitu penting dalam penyebaran paham Pluralisme Agama di Indonesia, maka acara bedah buku semacam ini juga diselenggarakan di berbagai kota.

Buku ini memang tampak canggih. Maklum, selain penulisnya maraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) di Chicago University, ia juga meraih gelar Doctor of Ministry (D.Min) di Catholic Theological Union of Chicago. Ia membandingkan pemikiran dua pemikir terkenal dalam sejarah Islam dan Katolik, yaitu Ibn Arabi dengan Meister Eckhart. Tapi, jika ditelaah dengan cermat, perspektif yang digunakan dalam penulisan buku ini adalah filsafat perenial dan gagasan Kesatuan Transendensi Agama-agama (Trancendent Unity of Religion). Penulisnya menolak pemahaman kaum Muslimin pada umumnya, bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw berfungsi menghapus (abrogate) agama-agama wahyu sebelumnya. Ditulis dalam bukunya:



”Kebanyakan pemahaman Muslim kontemporer mengenai keanekaragaman agama berdasar pada ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tradisi agama-agama selain Islam. Berbeda dengan kebanyakan Muslim lain yang percaya bahwa ayat-ayat eksklusif tertentu dalam Al-Quran menghapus (naskh) ayat-ayat inklusif tertentu di dalamnya – sehingga mempunyai kesimpulan yang menegaskan bahwa Islam menghapus agama-agama yang ada sebelumnya – Ibn Arabi tidak mempunyai kesimpulan yang demikian.”

Seperti dilakukan oleh sejumlah kaum liberal di Indonesia, penulis buku ini juga tampak mencari legitimasi bagi paham Pluralisme Agama pada pemikiran dan sosok klasik dalam Islam. Dalam buku ini, yang dijadikan sebagai sasaran adalah sosok Ibn Arabi (w. 638 H/ 1240 M), yang memang sejumlah pemikirannya menjadi kontroversi di kalangan para ulama. Oleh kaum liberal, sosok Ibn Arabi dipaksakan sebagai sosok yang mendukung gagasan pebenaran semua agama dan menolak konsep Islam sebagai agama yang menghapus agama-agama Nabi sebelumnya.

Dr. Syafa’atun Almirzanah, penulis buku ini, memang dikenal sebagai aktivis Interfidei, salah satu organisasi lintas agama di Yogyakarta. Tampaknya, visinya sebagai aktivis lintas agama, mendorongnya untuk mengais-ngais khazanah klasik – dalam tradisi Islam dan Katolik – sebagai bahan legitimasi adanya “titik temu” pada level esoteris antar berbagai agama. Dalam bukunya, ia menjadikan sejumlah karya William C. Chittick, seperti Imaginal World: Ibn al-‘Arabi and the Problem of Religious Diversity, sebagai kacamata dalam melihat konsep agama-agama Ibn Arabi.

Padahal, “kaca mata” Chittick itulah yang bermasalah. Chittick sudah berasumsi, Ibn Arabi adalah sosok yang mengakui validitas semua agama. Dr. Syamsuddin Arif, dalam bukunya, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: GIP, 2008), sudah memberikan koreksi terhadap Chittick dalam menjelaskan konsep agama Ibn Arabi. Tanpa menafikan sisi kontroversial Ibn Arabi sendiri, tokoh sufi ini pun tetap menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang sah di dalam pandangan Allah SWT. Setelah Nabi Muhammad saw diutus, maka pengikut agama-agama para Nabi sebelumnya, wajib beriman kepada Nabi Muhammad saw dan mengikuti syariatnya. Sebab, dengan kedatangan sang Nabi terakhir, maka syariat agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. “Fa inna syari‘ata Muhammadin shallallahu alayhi wa sallama nasikhah,” tulis Ibn Arabi.

Dr. Mohd. Sani bin Badrun, salah seorang cendekiawan alumnus ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, selama belasan tahun telah meneliti konsep-konsep keagamaan dan konsep Tuhan Ibn Arabi. Dia menulis tesis master dan disertasi doktor tentang Ibn Arabi. Tahun 1998, dia menyelesaikan tesis masternya berjudul “Ibn al-‘Arabi’s Conception of Religion”. Ibn Arabi berpendapat, bahwa syariat para Nabi terikat dengan periode tertentu, yang akhirnya terhapuskan oleh syariat Nabi sesudahnya. Hanya Al-Quran, menurutnya, yang tidak terhapuskan. Bahkan Al-Quran menghapuskan syariat yang diajarkan oleh Kitab-kitab sebelumnya. Karena itu, syariat yang berlaku bagi masyarakat, adalah syariat yang dibawa oleh Nabi terakhir.

Salah satu kesimpulan penting dari teori agama-agama Ibn Arabi yang diteliti oleh Dr. Mohd. Sani bin Badrun adalah: “Kaum Yahudi wajib mengimani kenabian Isa a.s. dan Muhammad saw. Kaum Kristen juga wajib beriman kepada kenabian Muhammad saw dan Al-Quran. Jika mereka menolaknya, maka mereka menjadi kafir.” Bahkan, Ibn Arabi pun berpendapat, para pemuka Yahudi dan Kristen sebenarnya telah mengetahui kebenaran Muhammad saw, tetapi mereka tidak mau mengimaninya karena berbagai faktor, seperti karena kesombongan dan kedengkian.

Fakta-fakta pendapat Ibn Arabi seperti ini sama sekali tidak muncul dalam disertasi doktor yang dipuji-puji oleh Dr. Haidar Bagir, sebagai karya yang sangat akademis, mendalam dan memikat, dan merupakan sumbangan yang tak ternilai bagi dialog antaragama. Bahkan, rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat, menulis: “Buku ini hadir tepat waktu dan penulis dengan sangat brilian menghadirkan dua ikon pemikir mistik Barat dan Timur, Kristen dan Muslim, saat agama diseret-seret dalam konflik perebutan hegemoni politik dan ekonomi sehingga wajah agama menjadi bengis.”

Kita bisa membandingkan kedalaman bahasan antara tesis Dr. Mohd. Sani Badrun dengan karya Dr. Syafaatun yang banyak merujuk sumber-sumber sekunder, terutama pada karya-karya William Chittick. Sama dengan Chittick, Syafaatun juga memaksakan visi Pluralisme dan Inklusifnya dalam memandang karya Ibn Arabi. Sebagai contoh, kutipan dari Kitab Futuhat Makkiyah yang diambil dari buku Chittick berikut ini:



”Semua agama wahyu (shara’i) adalah cahaya. Di antara agama-agama ini, agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad adalah seperti cahaya matahari di antara cahaya bintang-bintang lain. Ketika matahari muncul, cahaya bintang-bintang lain akan tersembunyi dan cahaya tercakup dalam cahaya matahari. Kondisi sebagai tersembunyi adalah seperti penghapusan agama-agama lain dengan hadirnya agama yang diwahyukan kepada Muhammad. Sekalipun demikian, hal itu sebenarnya tetap eksis, sebagaimana eksisnya cahaya bintang. Hal ini menjelaskan mengapa dalam agama inklusif kita diwajibkan untuk percaya pada kebenaran semua rasul dan semua agama yang diwahyukan. Semua agama tersebut tidak menjadi tertolak (batil) dengan adanya penghapusan (nasakh) – Itu adalah pendapat orang bodoh.”



Dalam bukunya, Imaginal World: Ibn al-‘Arabi and the Problem of Religious Diversity, Chittick memang menulis, “The Syaykh sometimes criticizes specific distortion or misunderstanding in the Koranic vein, but he does not draw the conclusion that many Muslims have drawn – that the coming of Islam abrogated (naskh) previous revealed religions. Rather, he says, Islam is like the sun and other religions like the stars…Concerning abrogation, the Syaykh writes, “All the revealed religions (sharāi’) are lights. Among these religions, the revealed religion of Muhammad is like the light of the sun among lights of the stars…”

Jadi, kesimpulan penulis buku When Mystic Masters Meet, bahwa Islam tidak menghapus agama-agama sebelumnya, memang diambil dari buku Chittick, dan bukan pemahaman langsung dari karya-karya Ibn Arabi sendiri. Cendekiawan Muslim terkenal asal Eropa, Noh Ha Mim Keller, juga pernah secara khusus mengkritisi cara pengutipan dan pemahaman karya Ibn Arabi oleh Chittick. Ia membuat terjemah yang lebih tepat terhadap bagian Futuhat yang dikutip Chittick: “The religious law (sharāi’) are all lights, and the law of Muhammad (Allah bless him and given him peace) among these lights is as the sun’s light among the light of the stars: if the sun comes out, the light of the stars are no longer seen and their lights are absorbed into the light of the sun: the disappearance of their light resembles what, of religious laws, has been abrogated (nusikha) by his law… if the prophetic messengers had been alive in his time, they would have followed him just as their religious laws have followed his law” (dikutip dari tesis Dr. Mohd Sani bin Badrun).

Jadi, di sini, sebenarnya Ibn Arabi bicara tentang syariat para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Bukan tentang agama wahyu secara keseluruhan. Tampak jelas, bagaimana ketidakakuratan kutipan Chittick yang kemudian juga diikuti oleh Syafaatun. Padahal, kalimat terakhir pada kutipan di atas bermakna: “andaikata para nabi hidup di zaman Nabi Muhammad saw, mereka akan mengikuti Nabi Muhammad sebagaimana hukum-hukum agama mereka juga mengikuti hukum yang dibawa Nabi Muhammad.” Ini maknanya, ada abrogasi (penghapusan) dalam soal hukum. Tetapi tidak dalam soal aqidah, karena semua Nabi sama-sama mengajarkan Tauhid.

Bahkan, hasil penelitian Dr. Sani pun menunjukkan, menurut Ibn Arabi, agama apa pun yang masih eksis, yang tidak mengimani kenabian Muhammad saw, maka tidak dapat dikatakan sebagai “agama wahyu” (revealed religion). Ia juga memberikan kritik keras terhadap kaum Yahudi yang menuduh Maryam tidak suci dan Yesus sebagai anak zina. Ibn Arabi juga mengkritik keras paham trinitas kaum Kristen dan berbagai penyimpangan yang telah terjadi dalam kitab-kitab sebelum Al-Quran.

Adalah menarik menelusuri upaya sistematis dalam pembacaan karya-karya Ibn Arabi yang dilakukan oleh kaum Transendentalis. Menurut aliran ini, kaum Muslim dibagi menjadi dua: eksklusifis dan inklusifis. Yang terakhir, mengakui adanya kesatuan esoteris (dimensi batin) pada semua agama. Kaum sufi, menurut mereka, adalah kaum inklusifis. Kesalahan awal tentang ini muncul dari hasil penelitian tentang Ibn Arabi yang dilakukan Abu al-A’la al-Afidi, yang menyimpulkan bahwa agama Ibn Arabi adalah “agama universal” bukan Islam dalam bentuknya yang khusus.

Upaya memasukkan Ibn Arabi ke dalam barisan Transendentalis kemudian datang dari para pengkaji kesufian dari Barat, seperti Renė Guėnon (d. 1951), Ananda Coomaraswamy (d. 1947), Titus Burckhard, Marco Pallis, Martin Lings, dan khususnya Frithof Schuon (lahir 1907). Tetapi, menurut Dr. Sani, kekacauan terbesar soal pemikiran keagamaan Ibn Arabi muncul dari karya William Chittick, Imaginal World: Ibn al-‘Arabi and the Problem of Religious Diversity. Banyak yang kemudian mengikuti secara membabi buta cara pembacaan Chittick terhadap Ibn Arabi.

Kasus disertasi doktor dosen UIN Yogya – yang disebarluaskan oleh berbagai institusi pendukung Pluralisme Agama -- ini lagi-lagi membuktikan adanya upaya yang sistematis dan sungguh-sungguh untuk merusak pemikiran kaum Muslim Indonesia. Mungkin penulisnya memang khilaf, tidak tahu, bahwa yang ditulisnya adalah salah. Setelah diberitahu, seyogyanya, dia menyadari kekeliruannya. Mungkin dia memang sengaja untuk melakukan hal itu, dan mendorong manusia untuk mengikuti jalan pikiran dan aktivitasnya. Allah Maha Tahu akan niat dan tujuan perbuatan tiap orang.

Kita kadang terheran-heran dengan kaum Pluralis. Mereka sering mengecam orang-orang yang meyakini kebenaran agamanya sendiri. Tapi, kita sering melihat, mereka pun begitu ngotot dengan pendapatnya sendiri, menutup rapat-rapat mata dan telinga dari berbagai kritik, dan kemudian bahkan memaksa orang lain untuk mengikutinya. (Jakarta, 6 Maret 2009/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

/@cwi

selengkapnya...

Dekonstruksi Aqidah ala Kelompok Liberal


Di samping berita-berita seputar perkembangan sosial-politik di dalam negeri, dan politik internasional, ada berita-berita dan tulisan- tulisan yang sebenarnya sangat perlu mendapatkan perhatian serius dan terus-menerus dari kaum Muslimin di Indonesia. Yaitu, berita-berita dan artikel-artikel yang muncul di website Jaringan Islam Liberal (JIL). Mengapa?
Sebab, pertama, berita-berita dan artikel-artikel itu disiarkan secara luas oleh berbagai media massa. Selain melalui jaringan Koran Jawa Pos di berbagai daerah, berita-berita di website itu juga disiarkan melalui jaringan radio satelit Kantor Berita Radio 68H, yang kini dipancarteruskan oleh radio Emsa 91,45 FM Bandung; Anisa Tritama 92, 15 FM Garut; FM Merak 93,55 FM Banten; Unisi 104,75 Jogyakarta; TOP 89,7 FM Semarang; PAS 101,2 Pati; El Victor 94,6 FM Surabaya; Sonya 106,5 FM Medan; Suara Andalas 103 FM Lampung; Gema Hikmah Ternate, 103 FM Maluku Utara; Suara Selebes 100,2 FM Gorontalo; SPFM 103,7 FM Makassar, Ujung Pandang; Nusantara Antik 105,8 FM Banjarmasin; Mandalika 684 AM Lombok; DMS 100,9 FM Ambon, Maluku; Volare 103 FM Pontianak; Bulava 100,2 FM Poso; Elbayu 954 AM Gresik, Jawa Timur; Suara Padang 102,3 FM Sumatera Barat. Daftar radio ini terus diusahakan untuk bertambah lagi.


Kedua, berita atau artikel itu diucapkan atau ditulis oleh orang-orang yang memiliki otoritas, baik secara kelembagaan Islam maupun kepakaran atau latar belakang pendidikan. Dalam situasi pertarungan opini secara bebas, maka kedua faktor tersebut memegang peranan penting untuk “memenangkan” pertarungan opini di Indonesia. Opini akan membentuk image, dan jika image itu ditanamkan secara terus menerus, maka akan membentuk satu persepsi di tengah masyarakat.
Pada 25-9-2003, ada sejumlah artikel yang muncul di website islamlib.com, di antaranya: “Depolitisasi Syariat Islam”, “Hermeneutika Ayat-ayat Perang”, “Teori Konspirasi selalu Meneror Kebenaran”, “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, dan sebagainya.
Berikut ini adalah telaah atas tulisan yang berjudul “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, yang merupakan wawancara Ulil Abshar Abdalla dengan Dr. Djalaluddin Rachmat dari Bandung. Djalaluddin Rahmat ditanya: “Lantas bagaimana dengan konsepsi tentang orang kafir yang sering diteriakkan juga oleh mereka yang merasa berjuang di jalan Allah itu; apakah konsep ini sudah tepat penggunaannya?
Jawaban Djalaluddin: “Konsep tentang kafir masih tetap relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hanya saja, mungkin kita harus merekonstruksi maknanya lagi, bukan mendekonstruksi. Saya berpendapat, kata kafir dan derivasinya di dalam Al-Qur’an selalu didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Dalam Al-Qur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja. Saya ingin mencontohkan makna kafir dalam redaksi Al-Qur’an. Misalnya disebutkan bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “immâ syâkûran waimmâ kafûrâ (bersyukur ataupun tidak bersyukur); lain syakartum la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd (kalau engkau bersyukur, Aku akan tambahkan nikmat-Ku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azab-Ku amat pedih). Di sini kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya. Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.
Tanya Ulil Abshar lagi: Jadi, orang yang perangai sosialnya buruk meskipun seorang muslim bisa juga disebut orang kafir?
Djalaluddin Rahmat menjawab: Betul. Saya sudah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang konsep kafir. Dari situ ditemukan, kata kafir juga dihubungkan dengan kata pengkhianat, dihubungkan dengan tindak kemaksiatan yang berulang-ulang, atsîman aw kafûrâ. Kafir juga bermakna orang yang kerjanya hanya berbuat dosa, maksiat. Selain itu, orang Islam pun bisa disebut kafir, kalau dia tidak bersyukur pada anugerah Tuhan. Dalam surat Al-Baqarah misalnya disebutkan, “Innalladzîna kafarû sawâ’un ‘alaihim aandzartahum am lam tundzirhum lâ yu’minûn.” Artinya, bagi orang kafir, kamu ajari atau tidak kamu ajari, sama saja. Dia tidak akan percaya. Walaupun agamanya Islam, kalau ndableg, nggak bisa diingetin menurut Al-Qur’an disebut kafir. Nabi sendiri mendefinisikan kafir (sebagai lawan kata beriman) dengan orang yang berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadits disebutkan, “Tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya lelap dalam kelaparan.”
Itulah wawancara antara Ulil dengan Djalaluddin Rahmat. Kita bisa melihat, bagaimana aneh dan ganjilnya penjelasan Djalaluddin Rahmat tentang konsep kafir dalam Islam itu. Memang, secara etimologis, orang yang tidak bersyukur bisa disebut kafir. Allah berfirman, jika seorang bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat-Nya, dan jika dia kufur, maka sesuangguhnya azab Allah sangat pedih. Tetapi, dalam ayat-ayat lainnya, Al-Qur’an juga menggunakan kata kufur untuk orang-orang non-Muslim dan orang-orang yang menyimpang aqidahnya. Misalnya, surat al-Bayyinah menjelaskan, bahwa sesungguhnya orang-orang kafir, dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin, mereka akan masuk ke dalam neraka jahannam. Surat al-Maidah ayat 72-75 juga menjelaskan, sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga; atau yang menyatakan, bahwa Allah SWT itu sama dengan Isa Ibnu Maryam.
Bahkan, Al-Qur’an juga memuat satu surat khusus, yaitu surat Al-Kafirun, yang dengan tegas menyatakan, Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.” Jadi, ayat ini jelas berkaitan dengan aqidah, yaitu aspek peribadahan. Oleh sebab itu, sangatlah aneh, jika seorang pakar yang terkenal, seperti Djalaluddin Rahmat menyatakan: “Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.” Apalagai, dia katakana pula: “Dalam Al-Qur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan non-muslim. Definisi kafir sebagai orang non-muslim hanya terjadi di Indonesia saja.”
Al-Qur’an yang manakah yang dikaji oleh Djalaluddin Rahmat? Ribuan ulama Islam telah menulis tafsir dan mereka tidak pernah berbeda pendapat tentang istilah “kafir” untuk sebutan bagi orang non-muslim. Di dalam al-Qur’an surat Mumtahanah ayat 10, disebutkan tentang dalil larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan orang-orang kafir. Dalam ayat itu ada redaksi “Falaa tarji’uuhunna ilal kuffaar” (Janganlah kamu kembalikan wanita-wanita muslimah yang berhijrah itu kepada kuffar). Karena, wanita- wanita muslimah itu tidak halal bagi kaum kuffar itu dan kaum kuffar itu pun tidak halal bagi mereka (laa hunna hillun lahum, wa laa hum yahilluuna lahunn). Kata kuffaar dalam ayat itu jelas menunjuk kepada identitas idelogis, yaitu orang non-muslim. Bukan orang muslim yang perangainya buruk.
Pendapat Djalaluddin Rahmat tentang “kafir” itu lebih jauh dari pendapat Nurcholish Madjid. Dalam bukunya, “Islam Agama Peradaban” (2000), Nurcholish Madjid menyatakan, bahwa Ahlul Kitab tidak tergolong Muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan menentang kenabian dan Kerasulan Nabi Muhammad saw dan ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi al-Qur’an mereka disebut "kafir", yakni, "yang menentang", atau "yang menolak", dalam hal ini menentang atau menolak Nabi Muhammad saw dan ajaran beliau, yaitu ajaran agama Islam.
Jika dicermati, tampaknya, kaum Muslim saat ini memang didesak hebat untuk meninggalkan istilah “kafir” sebagai sebutan bagi orang-orang non-muslim. Di Indonesia, masalah itu sudah sering mulai dilontarkan. Tokoh-tokoh dari kalangan NU seperti Ulil Abshar Abdalla, menyatakan, bahwa: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar (GATRA, edisi 21 Desember 2002), “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi (Kompas, 18 November 2002).” Dari kalangan pimpinan Muhammadiyah, Dr. Abdul Munir Mulkhan, menyatakan: “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya.”
Di Malaysia, pernah ramai ungkapan seorang menteri beragama Hindu bernama Sammy Vellu, yang menyatakan keberatan disebut sebagai kafir.
Dalam sebuah kuliah umum yang dihadiri kalangan akademisi dan eksekutif di Gedung Asia Pacific Develompent Center, Kuala Lumpur, tanggal 16 Agustus 2003, Prof. Dr. Syed Muhammad Nuquib al-Attas, ditanya: apakah masih boleh digunakan sebutan kafir kepada kaum non-Muslim, karena hal itu dianggap mengganggu keharmonisan hubungan antar-pemeluk agama? Ketika itu, Prof. Al-Attas menjawab, bahwa istilah itu adalah istilah dalam al-Qur’an, dan ia tidak berani mengubah istilah itu. Namun, dengan catatan, sebutan itu bukan berarti digunakan untuk menunjuk-nunjuk dan memanggil kaum non-Muslim, “Hai kafir!” Kaum Muslim cukup memahami, bahwa mereka kafir, mereka bukan muslim.
Sosok pemikir Muslim seperti Al-Attas kini mulai banyak diperbincangkan di dunia internasional. Ia dikenal sangat gigih dalam memperjuangkan proses Islamisasi dan menolak sekularisasi Barat. Meskipun lulusan Islamic Studies di McGill University Kanada dan University of London, al-Attas sejak tahun 1970-an sudah mengingatkan kaum Muslimin, bahwa tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah Barat.
Dalam bukunya, “Risalah untuk Kaum Muslimin” yang terbit pertama tahun 1973, ia sudah menyatakan, bahwa antara Islam dan Barat terjadi konfrontasi yang abadi, yang ia sebut sebagai “permanent confrontation”. Sosok dan kiprah al-Attas bisa disimak dalam Dialog Jum’at Republika, 27 September 2003.
Apa yang dilakukan kelompok Islam Liberal dengan melakukan dekonstruksi terhadap istilah “kafir” akan memiliki dampak yang serius terhadap aqidah Islam. Dan ini adalah proyek puluhan tahun dari para orientalis Barat. Sejumlah orientalis sudah lama menggulirkan gagasan istilah “Islam” dengan I besar dan “islam” dengan i kecil. Nurcholish Madjid, dalam pidatonya di TIM tahun 1992, juga menggulirkan gagasan islam sebagai ‘unorganized religion”. Bahwa, Islam lebih tepat dimaknai sebagai agama dalam pengertian “berserah diri” kepada Tuhan. Dengan makna seperti itu, siapa pun, asal berserah diri kepada Tuhan dapat dikatakan sebagai “muslim”.
Kini, istilah “kafir” bagi kaum non-Muslim, juga mulai digempur. Mengapa? hal ini tidak lain merupakan refleksi dari sejarah dan pengalaman kaum Kristen terhadap agama mereka sendiri. Berbeda dengan Islam, Kristen dan Yahudi adalah agama sejarah. Nama agama ini pun muncul dalam sejarah. Jesus tidak pernah memberi nama agama yang dibawanya. Istilah Kristen, berasal dari nama Kristus (Yunani: Kristos), yang artinya Juru Selamat (dalam bahasa Ibarni disebut sebagai Messiah). “Nasrani” menunjuk pada nama tempat, Nazareth. Sementara, Yahudi (Judaisme) bahkan baru abad ke-19 muncul sebagai istilah untuk menyebut satu agama. Dalam bukunya, yang berjudul Judaism, Pilkington, menceritakan, bahwa pada tahun 1937, rabbi-rabbi di Amerika sepakat untuk mendefinisikan: “Judaism is the historical religious experience of the Jewish people.” Jadi, agama Yahudi, adalah agama sejarah. Penamaan, tata cara ritualnya, dibentuk oleh sejarah. Agama Kristen juga begitu, karena Yesus memang tidak meninggalkan tata cara ritual atau teologi seperti yang dikenal sekarang.
Ini sangat berbeda dengan Islam. Nama agama ini diberikan oleh Allah. Kata “Islam”, selain memiliki makna berserah diri, adalah nama agama. Surat Ali Imran ayat 19 dan 85 jelas-jelas menunjuk pada makna Islam sebagai nama agama, sebagai “proper name”. Jadi, bukan nabi Muhammad saw yang memberi nama agama ini. Maka, pada abad-abad ke-18 dan 19, para orientalis berusaha keras untuk menyebut Islam dengan “Mohammedanism”. Tetapi, upaya mereka gagal.
Selain itu, sejak awal, Islam sudah merupakan agama yang sempurna. Islam sudah selesai. Allah menegaskan: “Al-yauma akmaltu lakum diinakum”. Berbeda dengan agama lain, tata cara ritual Islam sudah selesai sejak masa nabi Muhammad saw. Teologi dan ritualitas Islam tidak dibentuk oleh sejarah.
Dari contoh sederhana ini saja, jelas menunjukkan, Islam memang berbeda dengan agama lain. Sebagai insitusi agama, Islam adalah institusi yang sah di mata Allah. Kaum Muslim yakin akan hal ini.
Karena itulah, Islam memang mengenal perbedaan antara Muslim dan non-Muslim; antara Muslim dan kafir. Dengan itu bukan berarti orang yang lahir sebagai Muslim otomatis selamat, karena orang yang secara formal menyatakan sebagai Muslim, belum tentu akan selamat di Hari Kiamat, jika ia bodoh, ingkar terhadap ajaran Allah, atau munafik. Soal sorga dan neraka akan dibuktikan nanti di Akhirat. Tetapi, bagi seorang Muslim, keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di mata Allah, adalah bagian prinsip dari keimanan Islam. Jika orang lain ragu dengan agamanya sendiri, mengapa keraguan ini diikuti oleh sebagian kaum Muslim?
Selama beratus-ratus tahun menjajah Indonesia secara fisik, Belanda tidak berhasil mengubah atau meruntuhkan “bangunan” atau “epistemology” Islam. Struktur ajaran Islam yang prinsipal, seperti bangunan “Islam-kafir” tidak berhasil diusik. Di kawasan Melayu, siapa yang keluar dari Islam, dan memeluk agama lain, tidak diakui lagi sebagai bagian dari Melalyu. Begitu yang terjadi di Minang, Aceh, Madura, Betawi, Sunda, dan sebagainya. Kini, di era hegemoni Barat, justru dari kalangan Muslim sendiri yang bergiat meruntuhkan bangunan pokok Islam.
Hal-hal seperti ini perlu mendapat perhatian yang sangat serius dari kalangan Muslim. Sebab, jika dibiarkan, dampak negatif dari ‘gerakan’ dekonstruksi aqidah ini, akan dapat dilihat pada sekitar 10-20 tahun mendatang. Kita akan melihat, bagaimana akhir pertarungan pemikiran ini pada masa-masa itu. Apa yang akan terjadi, dan apakah upaya dekonstruksi bangunan Islam ini akan berhasil? Semoga Allah SWT melindungi kaum Muslim. Amin.


/@cwi

selengkapnya...

Teror Kata Berkedok "Kasih"


"Aku datang untuk menemui ummat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan kekuatan tapi dengan logika, tidak dalam benci tapi dalam cinta."
(Henry Martyn, missionaries)

Perang Salib telah gagal, begitu kata Henry Martyn. Karena itu, untuk ‘menaklukkan’ dunia Islam perlu resep lain: gunakan ‘kata, logika, dan kasih’. Bukan kekuatan senjata atau kekerasan.

Hal senada dikatakan misionaris lain, Raymond Lull, ‘Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh.’


Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan doa. Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris redaksi Church Missionary Society, tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah Kristen dibandingkan Raymond Lull. Lull adalah misionaris pertama dan mungkin terbesar yang menghadapi para pengikut Muhammad.

Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam buku Islam: A Challenge to Faith (1907). Buku yang berisi resep untuk ‘menaklukkan’ dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai ‘beberapa kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad dari sudut pandang missi Kristen’.

Bagi para missionaris, mengkristenkan kaum Muslim adalah keharusan. Dalam laporan tentang Konferensi Seabad Misi-misi Protestan Dunia (Centenary Conference on the Protestant Missions of the World) di London (1888), tercatat ucapan Dr George F Post, ‘Kita harus menghadapi Pan-Islamisme dengan Pan-Evangelisme. Ini merupakan pertarungan hidup dan mati.’ Selanjutnya, dia berpidato, ‘... kita harus masuk ke dalam Arabia; kita harus masuk ke Sudan; kita harus masuk ke Asia Tengah; dan kita harus mengkristenkan orang-orang ini atau mereka akan berbaris mengarungi gurun-gurun, dan mereka akan menyapu laksana api melahap kekristenan kita dan melahapnya.’

Kasus Turki Utsmani

Kekuatan ‘kata’ dan ‘kasih’ model Henry Martyn perlu dicatat secara serius. Perang pemikiran ini biasanya dijalankan dengan sangat halus, berwajah manis (seperti penampilan Paul Wolfowitz yang murah senyum). Tetapi cara ini justru lebih manjur, tanpa disadari si Korban.

Ahmad Wahib, yang kini dibangkit-bangkitkan lagi oleh sejumlah kalangan, bisa jadi merupakan ‘korban teror’ sehingga dia jadi ragu tentang kebenaran Islam. Banyak cendekiawan Muslim yang jadi korban setelah menerima pemikiran dan berbagai fasilitas. Anehnya, mereka merasa ‘tercerahkan’ sehingga bersemangat mengadopsi dan menyebarkan ‘pemikiran yang dianggap baru’ kepada kaum Muslimin. Padahal Allah telah memperingatkan dalam Al-Quran Surat Al-Hijr ayat 39:

‘Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.’

Kaum Yahudi juga sangat mafhum akan kekuatan teror ‘kata’ dan ‘kasih’. Begitu dahsyat sehingga mampu menghancurkan imperium besar (Utsmani) yang telah berusia hampir 700 tahun. Bagi Zionis, Turki Utsmani adalah penghalang utama mewujudkan negara Yahudi di Palestina.

Bagi Kristen-Eropa, Turki Utsmani adalah ancaman serius. Pendiri Kristen-Protestan, Martin Luther, menyatakan, ‘Kekuatan anti-Kristus adalah Paus dan Turki sekaligus’. Bernard Lewis menggambarkan, begitu takutnya sampai ada doa agar Tuhan menyelamatkan mereka dari kejahatan Paus dan Turki (Islam and the West, 1993).

Turki Ustmani sulit digulung dengan kekuatan senjata, tapi bisa ditekuk dari dalam oleh kelompok Turki Muda (The Young Turk) dengan ‘kata-kata’. Setelah 1908, praktis kekuasaan di Ustmani sudah dipegang oleh kelompok ini, melalui organisasi Committee anda Union Progress (CUP) yang beranggotakan para cendekiawan Turki yang telah ter-Barat-kan (westernized). Tiga Presiden Tukri modern (sampai tahun 1960) adalah aktivis SUP.

Bagi mereka, Barat (Eropa) adalah ‘kiblat’ untuk mencapai kemajuan. Abdullah Cevdet, seorang pendiri CUP, mengatakan, ‘Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawar maupun durinya sekaligus.’

Dalam buku The Young Turk in Position yang diterbitkan Oxford Univeristy Press (1955), cendekiawan Turki M. Sukru Hanioglu mencatat bahwa kelompok ini berideologi positivesme, materialisme, dan nasionalisme. Hebatnya CUP juga memiliki kader-kader di tentara Ustmani, yang kemudian memegang kekuasaan Turki Modern. Salah satunya adalah Musthafa Kemal Ataturk.

Menurut Prof. Halil Inalcik, ‘Revolusi Kemal Atatturk’ mengambil konsep sosial Darwinsm. Karena itu, setelah berkuasa, Ataturk mem-Barat-kan Turki sepenuhnya, sampai soal-soal pakaian dan bahasa. Soal khilafah, Atatturk berpendapat, ‘Gagasan satu kekhalifahan, yang menjalankan otoritas religius bagi seluruh umat Islam, adalah gagasan yang diambil dari khayalan, bukan dai kenyataan.’

Gerakan SUP di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 sangat penting dicermati, karena mereka mampu menggunakan ‘kata-kata’ untuk melumpuhkan :’kekuasaan’ Sultan Utsmani. Terutama, dengan kolaborasi dengan gerakan Zionis, setelah Kongfres Zionis Pertama (1897). Cevdet dan sejumlah aktivis CUP memang simpatisan Yahudi dan gerakan Zionis.

‘Freedom and Liberation’

Tokoh-tokoh CUP juga berkolaborasi dengan Freemansonry di Turki. Menurut Dr. Sukru Hanioglu, dosen Universitas Islambul, saat itu aktivis Freemansonry memiliki hubungan erat dengan kelompok The Ottoman Freedom Society (Osmanli Hurriet Cemiyati) yang dibentuk tahun 1906. Tokoh Freemanson, Celanthi Scalieri, adalah pendiri loji The Lights of the East (Envar-I Sarkiye) yang beranggotakan sejumlah politisi, jurnalis, dan agamawan terkemuka (seperti Ali Sefkati, pemimpin redaksi Koran Istiqlal, dan Pangeran Muhammad Ali Halim, pemimpin Freemansonry Mesir).

Di sinilah nucleus faksi Turki Muda lahir. Gagasan utamanya mengelaborasikan kata Freedom (kemerdekaan/kebebasan) dan Liberation (pembebasan). Gerakan Scalieri mendapat dukungan sejumlah negara kuat, terutama Inggris. Itu bias dipahami, karena sejak ratusan tahun, Utsmani dianggap sebagai ancaman bagi Kristen Barat. Pengaruh Freemansonry terhadap gerakan liberal dan kebebasan Turki sangat kuat, sehingga Sukltan pun tidak berdaya.

Gerakan pembebasan di Turki ini mendapat inspirasi kuat dari dua peristiwa besar, yaitu Revolusi Prancis dan kemerdekaan Amerika Serikat. A New Encyclopedia of Fremansonry (1996) mencatat bahwa George Washington, Thomas Jefferson, John Hancoc, dan Benjamin Franklin adalah aktivis Freemansonry. Begitu juga tokoh gerakan pembebasan Amerika Latin, Simon Bolivar, dan Jose Rizal di Filipina.

Ide pokok Freemansonry adalah ‘Liberty, Egality and Fraternity’. Di bawah jargon inilah, jutaan orang ‘tertarik’ untuk melakukan apa yang disebut sebagai ‘kemerdekaan sejati bagi seluruh rakyat dari tirani politik maupun tirani sistem kerohanian’.

Tampaknya waktu itu Sultan Abdul Hamid II diposisikan sebagai ‘kekuatan tiran’. Dalam konteks gerakan pembebasan pemikiran, yang diposisikan sebagai tirani sistem kerohanian adalah ‘teks-teks Al-Quran dan Sunnah’, juga khazanah-khazanah Islam klasik karya ulama Islam terkemuka. Masih ditelusuri lebih jauh, seberapa jauh hubungan antara gerakan liberal dalam konteks pemikiran Islam dengan gerakan Freemasonry. Yang jelas, Rene Guenon, guru Frithjof Schuon (pelopor gagasan pluralisme) misalnya, adalah aktivis Freemasonry.

Juga masih diselidiki, adakah misalnya pengaruh aktivitas Jamaluddin Al-Afghani di Freemasonry dengan pemikiran Muhammad Abduh atau tafsir al-Manar-nya Rasyid Ridla Yang jelas, jargon-jargon pembebasan dari ‘teks’, dan dekonstruksi tafsir Quran (lalu menggantinya dengan metode hermeneutika yang banyak digunakan dalam tradisi Bibel), cukup sering terungkap.

Bahkan, bagi Mohamed Arkoun misalnya, Mushaf Utsmani diposisikan sebagai ‘tiran’ yang perlu dipersoalkan. Kata Arkoun, ‘‘persoalannya, berkaitan dengan proses historis pengumpulan Al-Quran menjadi mushaf resmi kian lama kian tidak masuk akal di bawah tekanan resmi khalifah, karena Al-Quran telah digunakan sejak permulaan negara Islam untuk melegitimasi kekuasaan dan menyatukan ummat.’

Kekuatan ‘kata’ dan ‘kasih’ terbukti ampuh dalam menaklukkan kekuatan-kekuatan Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan tidak simpatik seperti ‘ortodoks’, ‘beku’, ‘berorientasi masa lalu’, dan ‘emosional’. Kolaborasi cendekiawan Turki, Kristen-Eropa, dan Zionis-Yahudi berhasil menggulung Turki Utsmani. Ironisnya, dua dari empat orang yang menyerahkan surat pemecatan Sultan Abdul Hamid II (1909) adalah non-Muslim. Salah satunya, Emmanuel Karasu (tokoh Yahudi).

Teror fisik seperti cluster bomb-nya Amerika dalam invasi di Iraq, mudah memancing reaksi besar. Ratusan ribu aktivis Islam turun ke jalan, menentang serangan AS ke Irak. Namun kalau menghadapi teror ‘kata’ berselubung ‘kasih’, kaum Muslimin biasanya terlambat sadar. Dampaknya pun biasanya memakan waktu lama. Ummat Islam akan tenang-tenang saja meskipun setiap detik diteror dengan kata-kata indah itu. Bisa melalui media massa, atau ucapan tokoh-tokoh ummat sendiri. Apakah sejarah masih akan berulang untuk kaum Muslim Indonesia’ Wallahu a’lam.* ( 25 Juni 2003).

/@cwi

selengkapnya...

Mengapa Tega Mencaci al-Quran dan Sahabat Nabi?


Sebagian pendukung paham sekularisme dan liberalisme mungkin tidak sadar, bahwa penyebaran paham ini sejatinya bagaikan membuka sebuah kotak pandora. Saat kotak itu terbuka, maka terjadilah peristiwa-peristiwa tragis yang susul-menyusul dan berlangsung secara liar, sulit dikendalikan lagi. Paham ini – yang biasanya berlindung dibalik jargon “pencerahan” dan “kebebasan berpikir” – menyimpan agenda-agenda dahsyat berupa penghancuran agama itu sendiri. Liberalisasi yang tanpa kendali telah terbukti menjadi senjata pemusnah masal buat agama-agama.

Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema sekularisasi dan liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi Kitab Suci”. Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Quran. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, yang bebas dari kesalahan. Sebagaimana kita bahas dua pekan lalu, sekarang sudah banyak orang dari kalangan Muslim sendiri yang bekerja keras untuk meruntuhkan otentisitas al-Quran sebagai Kitab Suci umat Islam. Ibarat dalam satu peperangan, para penghujat al-Quran ini laksana menikam kaum Muslimin dari belakang. Diantara tulisan-tulisan itu ada yang dikemas halus dan cukup ilmiah, sehingga tidak mudah bagi kebanyakan kaum Muslim untuk mengkritiknya. Tapi, ada juga penulis yang menggunakan bahasa yang kasar dan caci maki terhadap al-Quran, para sahabat, dan para ulama Islam.
Dalam acara bedah buku Prof. Musthafa A’zhami, The History of The Quranic Text, di Universitas Islam Negeri Jakarta, 12 Mei 2005, saya menunjukkan beberapa buku yang kini tersebar bebas dan secara terang-terangan menyerang kesucian al-Quran. Beberapa diantaranya sudah kita ungkap dalam catatan terdahulu. Ada satu buku lagi berjudul “Lobang Hitam Agama” (2005) yang secara terbuka mencaci maki al-Quran dan para sahabat Nabi. Di dalam buku ini tertulis kalimat-kalimat sebagai berikut:
“Bahkan sesungguhnya hakikat al-Quran bukanlah “teks verbal” yang terdiri atas 6666 ayat bikinan Usman itu melainkan gumpalan-gumpalan gagasan.” (hal. 42).
“Al-Quran bagi saya hanyalah berisi semacam “spirit ketuhanan” yang kemudian dirumuskan redaksinya oleh Nabi.” (hal. 42).
‘Oleh karena itu, Nabi, sahabat, dan pengalaman komunitas Mekkah dan Madinah (tajribatul madinah wa makkah) pada hakikatnya adalah “co-author” karena ikut “menciptakan” al-Quran.” (hal. 43).
“Seandainya (sekali lagi seandainya) Pak Harto berkuasa ratusan tahun, saya yakin Pancasila ini bisa menyaingi al-Quran dalam hal “keangkerannya” tentunya.” (hal. 64).
“Al-Quran, sehingga menjadi “Kitab Suci” (sengaja saya pakai tanda kutip) juga tidak lepas dari peran serta “tangan-tangan gaib” yang bekerja di balik layar maupun diatas panggung politik kekuasaan untuk memapankan status al-Quran. Dengan kata lain, ada proses historis yang amat pelik dalam sejarah pembukuan al-Quran hingga teks ini menjadi sebuah korpus resmi yang diakui secara konsensus oleh semua umat Islam. Proses otorisasi sepanjang masa terhadap al-Quran menjadikan kitab ini sebuah scripto sacra yang disanjung, dihormati, diagungkan, disakralkan dan dimitoskan. Padahal sebagian dari proses otorisasi itu berjalan dan berkelindan dengan persoalan-persoalan politik yang murni milik Bangsa Arab. Bahkan proses turunnya ayat-ayat al-Quran sendiri tidak lepas dari “intervensi” Quraisy sebagai suku mayoritas Arab.” (hal. 65)
“Di sinilah maka tidak terlalu meleset jika dikatakan, al-Quran, dalam batas tertentu, adalah “perangkap” yang dipasang bangsa Quraisy (a trap of Quraisy).” (hal. 65).
“Kita tahu, al-Quran yang dibaca oleh jutaan umat Islam sekarang ini adalah teks hasil kodifikasi untuk tidak menyebut “kesepakatan terselubung” antara Khalifah Usman (644-656M) dengan panitia pengumpul yang dipimpin Zaid bin Tsabit, sehingga teks ini disebut Mushaf Usmani.” (hal. 65).
“Maka, penjelasan mengenai al-Quran sebagai “Firman Allah” sungguh tidak memadai justru dari sudut pandang internal, yakni proses kesejarahan terbentuknya teks al-Quran (dari komunikasi lisan ke komunikasi tulisan) maupun aspek material dari al-Quran sendiri yang dipenuhi ambivalensi. Karena itu tidak pada tempatnya, jika ia disebut “Kitab Suci” yang disakralkan, dimitoskan.” (hal. 66)
“Dalam konteks ini, anggapan bahwa al-Quran itu suci adalah keliru. Kesucian yang dilekatkan pada al-Quran (juga kitab lain) adalah “kesucian palsu” – pseudo sacra. Tidak ada teks yang secara ontologis itu suci.” (hal. 67).
“Setiap teks memiliki keterbatasan sejarah. Karena itu, setiap generasi selalu muncul “agen-agen sejarah” yang merestorasi sebuah teks. Musa, Jesus, Muhammad Sidharta, Lao Tze, Konfusius, Zarasthutra, Martin Luther, dan lainnya adalah sebagian kecil dari contoh agen-agen sejarah yang melakukan restorasi teks. Tapi produk restorasi teks yang mereka lakukan bukanlah sebuah “resep universal” yang shalih likulli zaman wa makaan (kompatibel di setiap waktu dan ruang). Mereka tidak hadir di ruang hampa, mereka datang di tengah-tengah kehidupan manusia yang beragam dengan cita rasa yang berlainan pula. Jika mereka sudah melakukan restorasi teks atas teks sebelumnya, maka generasi pasca mereka mestinya melakukan hal yang sama dengan apa yang telah mereka lakukan: restorasi teks. Berpegang teguh secara utuh terhadap sebuah teks sama saja dengan berpegangan barang rongsokan yang sudah usang.” (hal. 70-71).

Begitulah tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku yang terbit di Yogyakarta tersebut. Ajaibnya, buku seperti ini mendapat pujian berbagai tokoh. Dr. Moeslim Abdurrahman, cendekiawan Muhammadiyah menulis bahwa buku ini, “perlu dibaca oleh siapa saja yang ingin ber-taqarrub untuk mencari kebenaran.” Ahmad Tohari, budayawan, penulis kolom resonansi di Harian Republika, juga menulis, “Buku ini menawarkan ruang luas bagi pemahaman agama yang manusiawi karena asas pluralisme yang diusungnya.” Penulis buku ini juga disebut dibagian awal buku sebagai ‘pemikir muda Indonesia “paling menonjol” saat ini, terutama dalam bidang sosiologi agama’. Dalam pengantar buku, seorang Direktur Freedom Institute, menyebutkan, bahwa buku ini perlu diapresiasi dan disambut dengan baik.
Tentu saja, kita patut mengapresiasi dan menyambut baik semua karya-karya ilmiah yang bermutu tinggi, yang didukung dengan data-data yang baik dan jujur. Tetapi, kita juga wajib menguji dan menilai, apakah memang buku semacam ini merupakan buku ilmiah yang layak diperhitungkan. Jika ditelaah secara cermat, banyak isi buku ini yang lebih merupakan khayalan, luapan emosi, dendam, dan kemarahan penulisnya. Misalnya, di bagian awal bukunya, penulis menyebutkan: “Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!”
Bukankah cerita seperti ini hanya sebuah khayalan dan fantasi? Sorga yang sudah dikunjungi si penulis?
Lihatlah, juga, dalam memandang al-Quran, penulis menggunakan nada-nada kecaman keras dan penghinaan kepada Sayyidina Usman r.a. Padahal, tindakan beliau dalam memprakarsai penghimpunan al-Quran diakui dan dihormati oleh kaum Muslimin. Semua sahabat Nabi ketika itu menyetujuinya. Bahkan, Sayyidina Ali r.a. yang memiliki Mushaf pribadi juga menyatakan: “Demi Allah, dia (Utsman r.a.) tidak melakukan apa-apa dengan Mushaf tersebut, kecuali dengan persetujuan kami semua.”
Ulama besar Abu ‘Ubayd juga pernah berkata: “Usaha Utsman (r.a.) mengkodifikasi al-Quran akan tetap dan sentiasa dijunjung tinggi, karena hal itu merupakan sumbangannya yang paling besar. Memang dikalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan merekalah yang tersingkap, dan kelemahan merekalah yang terbongkar.”
Jika memang Mushaf Utsmani terkait dengan rekayasa politik Utsman r.a. untuk mengokohkan kedudukannya dan kedudukan kaum Quraisy, maka logikanya, sepeninggal beliau, tentunya akan datang silih berganti penguasa-penguasa yang membuat Mushaf baru. Sepeninggal Bani Umayyah, mestinya Bani Abbasiyah juga membuat al-Quran baru. Begitu juga Bani Batimiyah, Bani Utsmaniyah, dan seterusnya. Tapi, semua ini tidak terjadi dalam sejarah kaum Muslimin. Bagaimana pun kerasnya pertentangan politik, tidak sampai mereka terpikir untuk membuat al-Quran baru, menghujat Sayyidina Utsman, apalagi menghinanya.
Ketika kita mendiskusikan buku Prof. A’zhami yang begitu serius dan berkualitas ilmiah tinggi, lalu kita membaca buku “Lobang Hitam Agama” ini, tampak dengan jelas, bagaimana rendahnya kualitas ilmiah buku ini. Entah apa yang menyebabkan penulis buku ini seperti menyimpan dendam dan kebencian yang begitu besar terhadap al-Quran dan sahabat Nabi Muhammad saw yang mulia. Padahal, penulis yang alumnus Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini begitu hormat terhadap seorang orientalis bidang al-Quran bernama Arthur Jeffery, dan mengutip pendapatnya tanpa kritis. (hal. 65).
Jika dengan Jeffery dia begitu hormat, ternyata tidak sebaliknya dengan para sahabat, khususnya Sayyidina Utsman. Padahal, sudah begitu banyak kajian kritis terhadap karya-karya Arthur Jeffery tentang al-Quran. Prof. A’zhami sendiri dalam bukunya banyak memberikan kritik-kritik dan membongkar kekeliruan Jeffery. Tetapi, penulis yang dipuji-puji sebagai pemikir muda yang menonjol ini tidak mempedulikan studi kritis semacam itu, dan lebih suka melampiaskan hawa nafsunya untuk “menghabisi” Mushaf Usmani.
Kita sebenarnya sangat berharap munculnya pemikir-pemikir muda muslim yang jujur, ikhlas, tawadhu’, dan serius dalam kajiannya. Jika penulis ini berpendapat bahwa Rasulullah saw adalah yang menyusun redaksi al-Quran, mestinya dia menyertakan bukti-buktinya. Bukankah pendapat ini adalah tidak lebih dari sebuah khayalan?
Berwacana memang tidak dilarang. Tetapi, menyebarkan pemikiran-pemikiran yang salah, mengandung konsekuensi tanggung jawab yang berat di akhirat nanti. Karena itu, kita mengingatkan, semoga penulis buku itu bertobat dan mengaji yang serius dan ikhlas tentang Islam. Sayang sekali jika potensi akal cerdas yang diberikan oleh Allah SWT justru digunakan untuk menyesatkan umat manusia. Kasihan dirinya, kasihan orang tuanya yang nantinya hanya mengharapkan doa dari anak yang shalih, bukan anak yang salah. Jika ada gagasan baru, sebaiknya gagasan ini didiskusikan secara terbatas, dikaji mendalam, dikonsultasikan dengan para ulama yang otoritatif dalam keilmuan, sebelum dilemparkan keluar. Wallahu a’lam. (Jakarta, 13 Mei 2005)

/@cwi

selengkapnya...

Bernard Lewis dan Ketakutan Yahudi PDF Cetak E-mail
Website Koran Haaretz yang berbasis di Israel, edisi 28 April 2004, menurunkan sebuah berita berjudul: 55-nation meeting on anti-Semitism opens in Germany?. Konferensi Internasional tentang anti-semitisme? itu diselenggarakan di Berlin dan dibuka oleh Presiden Jerman Johannes Rau. Penyelenggaranya, Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE) dan Jerman. Sejumlah tokoh dunia juga dijadwalkan memberikan presentasinya, seperti Menlu AS Colin Powel, sejumlah menteri negara-negara Eropa, dan pemenang Hadiah Nobel Elie Wiesel.

Konferensi tersebut merupakan bagian kampanye serius Israel untuk melawan dan mengurangi gelombang anti-semitisme yang melanda Eropa. Akhir-akhir ini, pemerintah Israel memang sangat serius untuk menghadapi apa yang mereka sebuat sebagai “anti-semitisme” Bulan lalu, Menlu Israel Silvan Shalom melawan ke Eropa dengan misi khusus meredam gelombang anti-semitisme di Eropa, yang belum pernah terjadi sehebat ini, pasca Perang Dunia II. Kata Shalom, ?Anti-Semitism is not only a problem for Israel and the Jews, it is Europe's problem as well."


Polling di kalangan masyarakat Eropa, November 2003, menunjukkan, Israel dipandang sebagai ancaman pertama bagi perdamaian dunia. Awal Januari 2004, Haaretz menyebutkan, 54 persen warga Israel mendesak pemerintah Israel agar melakukan usaha lebih aktif untuk melawan gelombang anti-Yahudi di Eropa. Syndroma ketakutan Yahudi terhadap sejarah masa lalu mereka tampaknya sedang kembali mencengkeram banyak kaum Yahudi.

Istilah anti-semitisme itu sendiri sudah banyak dikritik. Tetapi, kuatnya propaganda Yahudi menyebabkan, istilah itu akhirnya diterima secara luas di kalangan media massa dan dunia akademis. Istilah antisemitisme merujuk kepada nama ?Sem?, anak Noah ?yang menurut Kitab Kejadian 11:10-32 ? akan menurunkan Abram (Abraham). Dari Abram garis Ismail, akan lahir bangsa Arab. Artinya, bangsa Arab pun sebenarnya anak keturunan Sem. Karena itu, ada istilah ?Semitic language?, sebutan untuk sejumlah bahasa rumpun Semit, seperti Bahasa Arab, Hebrew, Syriac, dan lain-lain.

Istilah yang tepat sebenarnya ?anti-Yahudi?. Namun, entah mengapa istilah yang jelas-jelas salah ini masih terus dipertahankan di dunia internsional, dan dikhususkan untuk orang-orang Yahudi saja.

Fenomena ketakutan dan keterancaman kaum Yahudi ini sudah sejak lama dikhawatirkan oleh sejumlah cendekiawan Yahudi anti-Zionis Israel. Bahwa, negara Israel bukan hanya menjadi ancaman bagi Timur Tengah, tetapi juga ancaman bagi dunia internasional. ?In my view, Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond,? kata Dr. Israel Shahak dalam bukunya Jewish History, Jewish Religion. (London: Pluto Press, 1994). Tapi, hingga kini, peringatan Shahak, Noam Chomsky, Einstein, dan sebagainya, dianggap angin lalu saja oleh manusia sejenis Sharon dan Bush. Penjajahan, kekejaman, dan pembunuhan-pembunuhan terus dilakukan terhadap para pejuang Palestina.

Masalah Palestina, dari aspek hukum internasional, sebenarnya sangatlah jelas. Sesuai Resolusi 242 dan 338 PBB, Israel hanya dituntut mengembalikan sekitar 20 persen wilayah yang didudukinya dalam Perang 1967, yang hanya meliputi Jalur Gaza dan Tepi Barat. Itu artinya, PBB sudah mengesahkan pendudukan Isreal terhadap sekitar 80 persen wilayah Palestina. Padahal, sesuai Resolusi MU-PBB, No 181 tahun 1947, Yahudi hanya berhak terhadap 50 persen wilayah Palestina, tidak termasuk Jerusalem? Yang kini dijadikan ibukota Israel.

Masalahnya menjadi berkepenjangan dan sulit diselesaikan karena ? selain berbagai faktor lainnya ? faktor AS. Politik AS yang terus memihak Israel telah menimbulkan kecaman hebat di dunia internasional.

Bahkan, pasca pembunuhan Syeikh Yassin, AS benar-benar sendirian. Eropa pun mengecam sikap Israel. Harian Haaretz, edisi 2 April 2004, memuat berita, bahwa Masyarakat Eropa menilai, aksi-aksi tentara Israel (Israeli Defence Force/IDF) terhadap penduduk sipil Palestina, juga merupakan aksi teror. Ditulis dalam berita itu: ?The European Parliament on Thursday compared injuries to Palestinians by Israeli military action to "acts of terror," and called for a suspension of the Israel-EU Association Agreement, should Israel persist with its policy of assassinations.?

Israel adalah pelanggar terbesar berbagai resolusi PBB. Ia jelas-jelas melakukan praktik kolonialisme yang bertentangan dengan Piagam PBB. Dunia internasional, hampir tiap hari menyaksikan dan mendengar cerita tentang penjajahan, pembunuhan, dan berbagai kekejaman tentara Israel. Kasus ini benar-benar jelas. Mana yang salah dan mana yang benar. Mana yang zalim, dan mana yang dizalimi. Kasus ini menjadi titik penting penyelesaian berbagai masalah internasional, termasuk masalah terorisme.

Namun, AS terus-menerus melakukan pembelaan terhadap Israel. Mengapa? Ada sejumlah teori yang menjelaskan soal hubungan khusus (special ally) antara AS dan Israel. Kali ini, kita simak dua faktor penting yang menyebabkan AS terus mengekalkan politik ?anak-emas?nya terhadap Israel, yaitu (1) dukungan kelompok Kristen fundamentalis dan (2) kelompok ?neo-orientalis?. Kedua kelompok itu dikenal dalam politik AS sebagai kelompok neo-konservatif yang berpengaruh besar terhadap politik internasional AS.

Buku Religion and Globalization, (London: SAGE Publications, 1994), yang diedit oleh Peter Beyer, menyebutkan, kelompok Kristen fundamentalis AS, yang lebih dikenal sebagai Kristen Sayap Kanan (The New Christian Right/NCR), mulai dikenal pada akhir 1970-an. Ketika itu masyarakat AS menyaksikan kebangkitan munculnya kelompok ini, yang dalam politik AS dikenal sebagai ?gerakan politik keagamaan konservartif? atau a conservative religio-political Movement.

Kelompok Kristen fundamentalis juga dikenal dengan sebutan ?Kristen-Zionis? (The Zionist Christian) karena dukungan kuat mereka terhadap posisi dan kepentingan Zionis Israel. Mereka menggunakan ayat-ayat Bible untuk menguatkan posisi Israel, bahwa seolah-olah Tuhan telah memuliakan bangsa Israel, sehingga apa pun perilaku bangsa Yahudi tersebut, harus didukung. Kitab Kejadian 12:3 menyebutkan pernyataan Tuhan kepada bangsa Israel: ?Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat."

Satu kelompok lain yang terus menyokong posisi AS terhadap Israel adalah para ilmuwan yang dikenal sebagai kelompok ?neo-orientalis?. Salah satu yang menonjol, misalnya, Bernard Lewis. Tahun 2003, ia menerbitkan buku tipis berjudul The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror (London: Phoenix, edisi 2004). Buku ini perlu dicermati, karena kabarnya termasuk yang cukup laris di Barat dan memberikan panduan, bagaimana Barat, khususnya AS, memandang dan menerapkan kebijakan terhadap dunia Islam, termasuk masalah Palestina. Jika ditelaah, buku Lewis ini merupakan satu bentuk ?apologia?, yang dalam bahasa Greek (Yunani) memiliki arti ?pembelaan diri? (?speech in defence?).

Buku Lewis memiliki gaya dan ruh sejenis dengan buku The Clash of Civilization and Remaking of World Order -nya Samuel P. Huntington. Bahkan, Lewis lah yang sebenarnya telah mengangkat tema ?Clash of Civilization? sebelum dipopulerkan oleh Huntington, di era pasca keruntuhan Soviet. Shireen T. Hunter, dalam satu tulisannya berjudul The Rise of Islamist Movements and The Western Rresponse: Clash of Civilizations or Clash of Interests??, menyebut, ilmuwan seperti Bernard Lewis, termasuk tokoh aliran ?neo-Orientalist?. Aliran ini melihat munculnya kecenderungan anti-Barat pada kalangan ?Islamists? sebagai konsekuensi dari ?clash of civilizations?. Lewis menganggap, bahwa paham anti-Barat (anti-Westernism), khususnya anti-Amerika (anti-Americanism), merupakan derivasi dari gabungan antara unsur-unsur ?penghinaan?, ?kecemburuan?, dan ?ketakutan?. Aliran Lewis ini berbeda dengan aliran neo-Third-World, yang memandang munculnya semangat anti-Barat sebagai dampak dari kebijakan politik Barat. Misalnya, dukungan Barat terhadap rezim-rezim represif otoriter di dunia Islam dan juga dukungan sepihak terhadap Israel.

Pola pikir ?neo-orientalist? itulah yang mewarnai isi buku The Crisis of Islam ini. Maka, jangan heran, jika pembaca nyaris tidak akan mendapatkan kritik apa pun terhadap berbagai kebijakan Barat dalam buku ini.

Sebaliknya, berbagai justifikasi dan legitimasi politik Barat dan AS khususnya bisa dinikmati dalam buku ini. Sebuah pertanyaan yang populer di Barat pasca Perang Dingin, misalnya, dilontarkan Lewis, ?Is Islam, whether fundamentalist or other, a threat to the West?? Kata Lewis, yang juga keturunan Yahudi, Islam itu sendiri, bukan musuh Barat. Banyak kalangan Muslim, baik di dunia Islam, maupun di Barat, yang ingin menjalin hubungan lebih dekat dan bersahabat dengan Barat serta mengembangkan demokrasi di negara mereka. Tetapi, Muslim ? dalam jumlah yang signifikan, baik yang fundamentalis maupun tidak ? adalah jahat dan berbahaya; bukan karena Barat membutuhkan musuh, tetapi karena mereka memang seperti itu. (Islam as such is not enemy of the West? But a significant sumber of Muslims ? notably but not exclusively those whom we call fundamentalists ? are hostile and dangerous, not because we need enemy but because they do).

Untuk memudahkan Barat dalam membuat kebijakan politik, Lewis membagi Muslim dalam tiga kelompok: (1) Yang melihat Barat secara umum dan AS, khususnya, sebagai musuh Islam yang abadi; penghalang utama menerapkan keimanan dan hukum Tuhan. Maka, cara satu-satunya dalam menghadapi Barat adalah perang. (2) kalangan Muslim yang tetap berpegang kepada kepercayaan dan budayanya, tetapi mau bergabung dengan Barat untuk menciptakan dunia yang lebih bebas dan lebih baik. (3) Muslim yang melihat Barat sebagai musuh utama. Tapi, karena sadar terhadap kekuatan Barat, mereka melakukan akomodasi sesaat, untuk mempersiapkan ?perjuangan akhir? (final struggle). Lewis mengingatkan, agar Barat tidak salah dalam mengidentifikasi kelompok ke-2 dan ke-3. (We would be wise not to confuse the second and the third).

Dengan tegas, Lewis menyebut Muslim fundamentalis sebagai musuh Barat. Ia menyebut sejumlah ciri Muslim fundamentalis: (1) menganggap masalah yang dihadapi Muslim sebagai dampak dari modernisasi yang berlebihan dan mengkhianati nilai-nilai Islam yang murni (2) menganggap obat dari ?penyakit? itu adalah kembali kepada Islam sejati dan sekaligus menghapuskan semua hukum dan aspek sosial yang dipinjam dari Barat, serta menggantikannya dengan syariat, (3) menganggap bahwa perjuangan tertinggi adalah melawan pengkhianat di dunia Islam yang melakukan Westernisasi.

Menempatkan dirinya sebagai penasehat Barat, maka tidaklah aneh jika Lewis melakukan berbagai legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan politik Barat dan AS. Dalam soal Israel-Palestina, misalnya, Lewis lebih banyak mengkritik sikap Muslim ketimbang kebijakan AS. Ia mengritik, mengapa pihak Arab dan Palestina pada 1930-an justru bersekutu dengan Jerman yang banyak mengirim orang Yahudi ke Palestina, dibanding Inggris, yang justru ingin mengeluarkan orang-orang Yahudi. Ia pun mempertanyakan, mengapa Arab lebih banyak memusuhi AS ketimbang Soviet, padahal Soviet memainkan peranan penting dalam pendirian negara Israel. Kritik Lewis jelas tidak fair. Sejumlah fakta penting tentang peranan Inggris dan AS dalam pendirian negara Israel, tidak diungkapnya. Ia tidak menyebut Deklarasi Balfour yang merupakan satu diantara tiga pijakan berdirinya negara Israel. Benar, Soviet banyak membantu senjata kepada Israel dalam perang tahun 1948-1949. Tapi, AS adalah arsitek keluarnya Resolusi 181 MU-PBB, 1947, yang membagi Palestina menjadi tiga bagian, dan memberi Yahudi hak 50 persen wilayah Palestina. Lewis tidak menyebut soal ini. Pun, ia membuang fakta AS adalah pelindung dan pembantu setia Israel. Apalagi, dengan menguatnya peran lobi-lobi Yahudi sayap kanan di sana.

Hendrick Smith, pemenang Hadiah Pulitzer, menulis dalam bukunya The Power Games: How Washington Works, sederet fakta tentang soal ini. Berkat peran AIPAC (American-Israel Public Affairs Committee), bantuan AS kepada Israel melonjak dari 2,1 milyar USD (1980) ke 3,8 milyar USD pada 1986. Buku-buku yang mengulas tentang ?hubungan spesial? antara Israel-AS ini begitu banyak bertebaran. Namun, Lewis sama sekali tidak menghiraukannya. Malah, ia menulis, bahwa hubungan strategis antara AS dan Israel adalah akibat dari penetrasi Soviet, bukan sebab.

Lewis secara jujur menyatakan, perhatian utama semua pemerintah AS adalah untuk menjamin kepentingan-kepentingan AS. Pasca Perang Dingin, kebijakan utama AS di Timur Tengah, ditujukan untuk mencegah munculnya hegemoni tunggal di wilayah itu, yang akan memonopoli minyak. Untuk itu, ia tidak menyoal, mengapa Barat dan AS mendukung rezim-rezim otoriter di Timur Tengah yang melakukan berbagai tindak kejahatan kemanusiaan. Sebab, itu dilakukan untuk mengejar kepentingan. Maka, tulis Lewis, sikap Eropa dan AS terhadap rezim-rezim semacam ini adalah: ?We don?t care what you do your own people at home, so long as you are cooperative in meeting our needs and protecting our interests?.

Buku Lewis ini sebenarnya tidak terlalu ?serius? dibandingkan buku-buku yang dia tulis sebelumnya, seperti buku Islam and the West, (New York: Oxford University Press, 1993). Namun, buku The Crisis of Islam, lebih praktis dan mudah dibaca sebagai panduan politik penguasa Barat. Itulah yang terjadi di Iraq. Sebelum serangan AS, Lewis sudah menulis, bahwa di Iraq dan Iran, penguasanya sangat anti-AS. Maka, kata dia, ?Kita? dapat membantu kekuatan-kekuatan oposisi demokratis untuk mengambil oper dan membentuk pemerintahan baru.

Ia juga menasehati, agar AS dan Barat pada umumnya, membantu atau tidak menjauhi kalangan Muslim yang memiliki pandangan yang sama dengan mereka. Maka, jangan heran, jika AS sekarang rajin membantu sebagian kalangan sekular-liberal yang dipandang sejalan dengan mereka. Dan mendorong kelompok-kelompok ini untuk ?nggebuki? (menghantam) saudara-saudara Muslimnya sendiri.

Ilmuwan-ilmuwan sejenis Lewis inilah yang membuat persoalan Palestina dan dunia pada umumnya sulit terpecahkan. Ia tidak mau melakukan koreksi yang substansial terhadap politik Barat, khususnya AS, dalam masalah Palestina. Padahal, dunia begitu jelas melihat duduk persoalannya. Bahwa yang terjadi di Palestina adalah pendudukan Israel, pengusiran warga Palestina, kekejaman-demi kekejaman yang dilakukan Israel, dan dukungan yang terus-menerus dari AS.

Semenntara dunia pun makin terbuka, dan kejahatan Israel semakin tersingkap. Ujung-ujungnya justru berakibat pada ketakutan kaum Yahudi sendiri di berbagai belahan dunia. Itu memang ulah mereka sendiri. Kita dapat membaca fenomena Yahudi kontemporer sekarang ini dan menelaah, bagaimana Al-Quran telah banyak bercerita tentang sifat kaum Yahudi. Diantaranya, sifat serakah pada dunia dan ingkar nikmat Allah. Wallahu a?lam. (KL, 30 April 2004)

/@cwi

selengkapnya...

Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |