Alih Salur

“Pasukan yang tidak punya tugas,” kata para pujangga klasik, “Sangat potensial membuat kegaduhan.”

Begitulah secarik ungkapan indah yang menggambarkan tentang keniscayaan sebuah pasukan yang di dalamnya berhimpun banyak sumberdaya. Sumberdaya pasukan itu pada dasarnya terdiri dari dua elemen utama, yakni pemimpin dan prajurit. Pemimpin, dalam konsep ini, dapat berdiri secara individual ataupun kolektif. Sedangkan prajurit pada umumnya merupakan kumpulan individu yang membentuk kesatuan kolektif. Pemimpin adalah pengambil keputusan strategis untuk mencapai tujuan pasukan, dan prajurit adalah pelaksana teknis dari keputusan strategis yang diputuskan oleh sang pemimpin tersebut.

Pasukan memiliki potensi gerak yang sangat luar biasa dikarenakan oleh kesatuan tujuan dan kolektifitas sumberdaya yang ada di dalamnya. Sumberdaya potensial ini adalah kekuatan besar yang seyogyanya dimanfaat oleh pemimpin pasukan dengan sebaikbaiknya. Jika potensi kekuatan itu tidak didayaupayakan seoptimal mungkin, maka akan terjadi kemudharatan yang timbul, minimal adalah pencapaian maslahat yang tidak sempurna. Jadi, sumberdaya dalam sebuah pasukan adalah pisau belati bermata dua. Bisa menyayat lawan, atau malah membisat diri sendiri. Terlebih lagi dalam pasukan yang sumberdaya kolektifnya besar.

Karena itu, konsep pasukan yang efektif adalah adanya pemimpin yang ikhlas dan prajurit yang taat. Konsep ini membawa pasukan pada tujuan yang hendak dicapainya dengan kelempangan jalan dan kemulusan jejak langkah. Akan tetapi, menumbuhkan keikhalasan pada pemimpin dan ketaatan dalam diri prajurit ini secara berkesinambungan bukanlah perkara yang mudah. Layaknya iman, konsep ikhlas dan taat senantiasa berubahubah sesuai dengan keyakinan dan ketersambungan jiwa dari masingmasing elemen pasukan itu secara vertikal pada Allah dan pemahaman mereka terhadap disiplin ilmu yang menaunginya.

Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid dalam Al Awa’iq memaparkan bahwa kepemimpinan harus benarbenar menumbuhkan iklim amal bagi anggotanya sejak awal, sesuai perkembangan kemampuan mereka, pertumbuhan cita-cita mereka, dan keluasan wawasan mereka. Jika iklim keberamalan ini tidak tercipta, maka anggota yang potensinya tidak tersalurkan pada deru langkah kebaikan pasti akan menhabiskan potensinya pada hal yang tidak baik. Atau bahkan menghancurkan pasukan dan sang pemimpin sendiri!

Potensi pasukan yang tidak tersalurkan akan memberikan tekanan yang kuat dan sewaktu waktu bisa meledak. Lantas menimbulkan fitnah di kalangan pasukan. Yang ujungnya adalah ketidakterkendalian yang menghancurkan pasukan.

“Siapapun pemimpin yang mengurusi kaum muslimin,” kata Rasulullah dalam Shahih Muslim, “Kemudian tidak berupaya keras untuk kemaslahatan mereka dan tidak pula menasihati mereka, maka ia tidak akan masuk surga bersama mereka.”

Karena itulah, seorang khalifah zahid yang mendapatkan petunjuk Allah, Umar bin Abdul Aziz, yang menyadari pentingnya hal tersebut, dalam pemerintahannya sangat menekankan pemberantasan dua penyakit utama masyarakat: kekosongan waktu dan cinta kekuasaan.

Umar yang hatinya dipenuhi cahaya sangat menyadari akan bahaya kekosongan waktu bagi masyarakat. Kekosongan waktu tanpa pekerjaan dan amalan akan memberikan efek yang buruk dari tidak tersalurkannya potensi masyarakat. Oleh karena itu, Umar menciptakan program pembangunan fisik yang baik dan kegiatan lain yang akan menghindarkan anggota masyarakat dari halhal negatif. Ia juga banyak memberikan kegiatan ruhani dan penyucian jiwa hingga mampu menggerakkan denyut nadi penyempurnaan kemanusiaan.

Dalam pidato perdananya sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz menyebutkan berbagai kerusakan dan penyakit jiwa. Ia juga menyebutkan terapi penyembuhan dari berbagai penyakit jiwa tersebut. Ia juga mengingatkan masyarakatnya tentang kesadaran kematian, pengharapan akan nikmat Allah, dan takut pada adzab Allah. Selanjutnya ia mengundang kaum Khawarij yang selama ini memisahkan diri dari masyarakat umum agar turut bermasyarakat dalam jamaah muslimin. Hal ini mendorong masyarakat pada masa itu benarbenar berada dalam iklim kerja atau amal. Baik kerja duniawi maupun ukhrawi.

Terhadap anggota masyarakat yang cinta kekuasaan, ia mengingatkan mereka secara terusmenerus dalam kata dan realita untuk berlaku uhud terhadap jabatan. Menurutnya, zuhud terhadap jabatan lebih penting daripada zuhud pada harta. Sejarah masa lalu telah membuktikan munculnya berbagai fitnah karena cinta kekuasaan ini. Ia menasihati semua orang yang berambisi pada kekuasaan hingga mematikan rasa cinta mereka kepadanya.

Al Qur’an mengisyaratkan bahwa potensi pasukan yang tidak tersalurkan akan menjadi salah satu jalan azab. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah saat menafsirkan ayat ke-39 dalam Surat At Taubah yang berbunyi, “Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih. Dan digantiNya kamu dengan kaum yang lain,” mengatakan bahwa kadangkala siksaan datang dari Allah, dan kadangkala dari tangan manusia.

“Apabila manusia meninggalkan jihad fi sabilillah,” lanjutnya dalam Majmu’ Fatawa, “Maka bisa jadi Allah akan menguji manusia dengan cara menimpakan permusuhan sesama mereka sehingga terjadilah kekacauan di tengah kehidupan mereka sebagaimana kenyataan yang sering kita lihat. Sebenarnya, apabila umat telah sibuk berjihad fi sabilillah, maka Allah akan mempersatukan hati mereka dan menjadikan potensi kekerasan yang ada pada mereka terarah kepada musuh mereka dan musuh Allah. Akan tetapi, bila mereka tidak mau berjuang di jalan Allah, maka Allah akan mengadzab mereka dengan cara membuat mereka berpecah belah, sehingga mereka saling bermusuhan.”

Maka, tidaklah mengherankan saat Rasulullah, dalam Peristiwa Perang Bani Musthaliq, memutuskan bersegera memberangkatkan pasukannya saat mulai muncul tandatanda permusuhan diantara sesama anggota pasukannya karena diprovokasi dedengkot kaum munafikin, Abdullah bin Ubay.

Abdullah bin Ubay mengatakan, “Demi Allah, jika kita telah sampai di Madinah, orang yang mulia pasti akan mengusir kaum yang hina.”

Umar bin Khathab yang mendengar kabar itu pun berang. “Wahai Rasulullah, perintahkan saja Ibbad bin Bisyir untuk membunuhnya!”

“Wahai Umar,” kata Rasulullah, “Bagaimana jika orang orang berbicara bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya? Tidak.”

Saat itu pasukan Islam diperintahkan sesegera mungkin berangkat, meskipun bukan di waktu yang umum untuk melakukan perjalanan. Tujuannya agar mereka tidak terlibat dalam pembicaraan yang menghancurkan mental karena adanya kekosongan waktu yang ada.

Pada hari itu, sebagaimana tercantum dalam Fiqhus Sirah, Rasulullah dan pasukannya meneruskan perjalanan sampai keesokan harinya. Esok harinya, ketika mereka berhenti di suatu tempat, tidak seorang pun yang dapat menahan rasa kantuknya. Semua tertidur di tanah. Rasulullah sengaja melakukan hal ini, mengajak berjalan sehari semalam, agar orang orang melupakan ucapan yang telah diucapkan oleh Abdullah bin Ubay. Pada peristiwa ini muncul pula hukum tentang keterlambatan shalat subuh karena bangun kesiangan.

Rasulullah mengalihkan potensi keburukan pasukannya dengan mengejawantahkannya pada langkah kebaikan secara nyata, menyalurkannya pada kerja fisik. Dan hasilnya, perpecahan di internal pasukan Islam itu dapat dihilangkan, fitnah dapat disingkirkan, persatuan dapat dipertahankan, dan hikmah dapat dipetikkan, meski kelelahan merajai fisik pasukan...

Penulis : Shabra Syatila
/@cwi

pengunjung membaca ini juga:



0 komentar:

Posting Komentar


Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |