Basis theologi dialog antar-agama

Oleh. Nasrudin syarif

Dialog antar agama merupakan ajaran yg harus dikedepankan ketika berhadapan dengan penganut agama Yahudi dan Nasrani. Ajaran ini secera jelas disebutkan oleh Alquran surat Al-Ankabut:46 "Dan janganlah kamu berdebat dg ahli kitab, melainkan dg cara yg paling baik."


Dalam hal ini, para pemikir islam menyampaikan persetujuannya. Azyumardi Azra misalnya merespon positif dialog ini dengan mengajukan trilog peradaban. Ulil Abshar Abdalla memastikan bahwa wacana benturan peradaban yg dipopulerkan Huntington. Demikian pula Daud Rasyid dan Adian Husaini yg dikenal getol mengkritisi pemikiran dua tokoh di atas. Menurut mereka Alquran telah mengajarkan dialog yg 'allati hiya ahsan; terbaik. Bukan sekedar mencukupkan pada metode yg di anggap baik, tetapi menurut adanya metode yg terbaik.


Akan tetapi perdebatan senantiasa muncul ketika dialog ini di tarik ke dalam basis teologi. Itu dikarenakan sebagai pihak menilai bhw basis teologi yg ada saat ini sangat bermasalah. Keyakinan bhw keselamatan hanya ada pada Islam dan tidak pada agama selain islam, telah menghambat dialog itu sendiri.
Akhir Desember 2007, misalnya, ummat disibukan dg polemik pemikiran Islam seiring sikap Din Syamsudin, Ketua Umum PP. Muhammadiyah, yg menyetujui perayaan Natal bersama. Di awal tahun 2000-an, Budhi Munawar Rahman via gerbong JIL mengutarakan pentingnya merekonstruksi basis teologi yg ada selama ini dg mengajaukak ide "Kesetaraan kaum beriman di hadapan Allah. Hal itu menurutnya di karenakan QS. 2:62 dan 5:69 adalah dua ayat yg menyatakan bahwa kebenaran juga ada pada agama selain Islam. Dua ayat yg dimaksud adalah:
Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yg benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran diantara mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 62)

"Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yg benar-benar Shaleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS. Al-Ma'idah: 69).


Abd. Moqsith Ghazali malah lebih berterus terang lagi menyatakan keharusan merombak basis teologi tersebut dg mengajukan cetak biru toleransi beragama dalam konteks Indonesia. Menurutnya sejumlah konsep purba konvensional seperti murtad, kafir, ahl al-kitab, ahl al-dzimmah, musyrik, perlu mendapatkan pemaknaan baru dan pembacan krisis ditengah pluralitas Indonesia.
Sementara itu, Cak nur, dkk. Sebagaimana tercermin dalam buku "Fiqh Lintas Agama", menghendaki dialog lintas agama yg inklusif dan pluralis, didasarkan pada afinitas bahwa Islam, Yahudi, dan Kristen berasal dari satu tradisi agama yg sama, Yaitu tradisi agama Ibrahim (millah Ibrahim). Cak Nur dan kawan-kawan, secara provokatif menyatakan bhw jika umat islam menyatakan kebenaran itu hanya ada pada Islam, berarti mereka telah keluar dari millah Ibrahim. Karena Yahudi dan Nasrani dinyatakan keluar dari millah Ibrahim pun disebabkan sikap sektarianisme seperti itu (QS. 2: 113)

Antara Toleransi dan Pluralisme
Reinterprestasi terhadap basis teologi seperti diusulkan oleh kalangan pemikir muslim yg menamakan dirinya Liberal, Inklusif, dan Pluralis seperti diatas, tampak sekali terlalu dipaksakan. Hal itu dikarenakan Islam hanya mengajarkan toleransi; sebatas menghormati agama lain. Bukan pluralisme, dalam arti mengakui kebenaran agama lain. Adanya hambatan teologis seperti dilakukan oleh mereka, sebenarnya tidak berdasar sama sekali. Itu dikarenakan, sejarah Islam dan Ummat Islam dari sekak zama Nabi SAW hingga beberapa abada sesudahnya, termasuk hari ini, tidak pernah menemukan hambatan teologis ketika berinteraksi dg ummat antar-agama. Karena memang basis teologi yg diajarkan Islam sudah cukup jelas dan mudah untuk diaplikasikan.
Menurut Yusuf al-Qaradlawi, al-Quran memang telah menempatkan Yahudi dan Nasrani dalam hubungan "keturunan" dan "kekerabatan", berakar pada agama yg satu, yg dengannya seluruh nabi diutus oleh Allai SWT. Oleh karena itu Alquran sering memanggil mereka, "Wahai ahli kitab", atau "Wahai orang-orang yg diberi kitab." Para ahli kitab pun jika mereka membaca Alquran pasti akan mendapati pujian terhadap kitab suci, rosul-rosul, dan nabi-nabi mereka. Karenananya, apabila kaum muslimain berdiskusi dg mereka hendaklah mereka menghindari kecongkakan yg hanya akan menyakitkan hati dan membangkitkan permusuhan.
Senada dg Yusuf al-Qaradlawiy, M. Quraish Shihab juga menekankan pentingnya diaolog dg metode yg paling baik tersebut. Ia menegaskan sebenarnya yg diharapkan dari semua pihak termasuk ahli kitab adalah 'kalimat sawa (kata sepakat). Dan kalau ini tidak ditemukan, maka cukuplah mengakui kaum muslim sebagai umat beragama Islam, jangan diganggu dan di halangi dalam melaksanakan ibadahnya.
Kata sawa' itu sendiri sebagaimamana dijelaskan QS. 3: 64 adalah pengakuan akan kemahatunggalan Allah SWT yg tidak ada sekutu baginya. Maka Alquran mengingatkan akan pelanggaran ahli kitab mengenai hal tersebut dalam beberapa ayat. Diantaranya:
"Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan thp Allah kecuali yg benar,sesungguhnya Al Masih,Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yg diciptakan) dg kalimat-Nya yg disampaikan-Nya kepada Maryiam . . .(QS.4: 171).
_next/@bhu

pengunjung membaca ini juga:



0 komentar:

Posting Komentar


Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |