Pesona Sultan Al-Malikz Zahir (Raja Samudera Pasai)

Dalam kitab Dairatul maarif jilid.2 ustadz Farid Wajdi menceritakan seorang tentang sufi pengembara Ibnu Baitutah . Ia lahir pada tahu 1304 di Tenger yg terletak di bibir selat Jiblatar dalam wilayah kerajaan Maroko. Diceritakan pula dalam kitab itu, Ibnu Batutah bukan seorang musafir petualang yg berkelana hanya utk melihat berbagai negeri termasuk daratan China. Ia juga menuliskan kesan-kesannya yg kemaudian kerap dijadikan tawanan sejarah.

Tahun 1345 Ibnu Batutah sempat singgah dikerajaan Samudera Pasai dalam pelayaran menuju Tiongkok. Salah satu kesannya yg tertuang dalam kitab Tuhfatun Najhar fi Gharaibil Amshor mengisyaratkan bahwa sufi yg bermazhab Maliki ini sangat mengagumi sultan jawa (yg dimaksud adalah raja Samuderaw Pasai) Sulta Al-Malikuz Zahir. Padahal Sultan Jawa itu bermazhab Syafi'i yg taat.




Ia menceritakan ketika Sulatn itu berkenan menerima kedatangannya, terasa suasana yg berbeda dari istana-istana lainnya. Waktu itu Sultan memakai jubah fukaha (pakaian para ahli fikih) dan sedang berbincang-bincang mengenai fikih Syafi'i dg Qadhi AmirRasyid "Dibandingkan dg kerajaan-kerajaan Islam yg saya datangi, baik di Hindustan maupun di Turkisan, di Bukhara maupun di Mesir Sultan "Jawa" itulah yg banyak wawasannya, dan paling dalam Ilmunya," Ujar Ibnu Baitutah dalam keterang di kitabnya.

Tampaknya ia begitu terpikat dg peringai sultan Jawa ketika ia melanjutkan "Dg jubah Fukaha itulah Sultan Jawa berjalan kaki ke Mesjid tiap kali melaksanakan Shalat Jumat. Sesudah itu, dalam acara-acara resmi barulah ia mengenakan pakaian kebesarannya selaku seoran raja yg adil dan kaya-rayaw." Kesufian menurut jalan pikiran Ibnu Baitutah menang tidak cuma terpancang pada satu tolak ukur, meninggalkan sama sekali gebyar-gebyar keduniawian lantaran kerufian adalah hakikatnya berakar pada kesedian mengendalikan diri sebatas kemampuan, sesuai dg zaman, keadaan dan lingkungan.

Kekaguman Ibnu Baitutah kepada Sultan Al-Malikuz zahir bukan karena Sultan Jawa itu berjubah tambal-tambalan seperti yg dikenakan Umar bin Khatab semasa menjabt Khalifah, melainkan kepiawaiannya sebagai ahli agama, justru pada waktu raja-raja di sentero negeri Islam lainnya menumpukan perhatiannya untuk membangun Istana dan monumen seindah indahnya. Mereka menyerahkan agama hanya kepada para ulama yg mendapat gaji dari kerajaan, dan melepas tangan dari semua perkara urusan Samawiyah walaupun banyak diantaranya yg menyandang gelar Amirulmukminin, pemimpin orang-orang yg beriman.

Dibandingkan pula Sulta Jawa itu dg suasana yg serba megah di kerajaan Majapahit. Yg waktu itu di perintah oleh raja Hayam wuruk dg mahapatihnya Gajah Mada. Mana mungkin raja Gung Binathara itu keluar dari istananya tanpa pengiring dan payung yg kebesarannya. Untuk menjaga keamanannya, mengingat musuhnya yg begitu banyak, selalu dikawal oleh pasukan Bhayangkara, yg tersohol anal itu. Dan memang demikianlah seharusnya, sebab negara akan kacau dan berkabung dalam perpecahan apabila rajanya tiba-tiba terbunuh dan terluka.

Maka ketidakwajaran Sultan Al-Malikuz Zahir itulah yg memantulkan kebenarannya selaku raja yg tidak membutuhkan pengawalan. Ia bisa muncul sewaktu-waktu ditengah rakyatnya tanpa gentar karena ia menerapkan ajaran kesufian Umar bin Khatab pada nilai-nilai hidupnya yaitu bahwa pemimpin adalah pelayan masyarakat yg dipimpinnya. Meskipun begitu, rakyat justru akan sukarela sepakat akan membela dan mendukungnya sehingga kerajaan Majapahit dibawah pimpinan Gajah Mada sendiri gagal menaklukan kerajaannya tatkala pada tahun 1339 Masehi melakukan serangan besar-besaran.

Bagi Al-Malikuz Zahir membangun benteng seperti "tembok besar" Tiongkok belum bisa menjamin ketahanan negaranya. Juga menyusun ketentaraan yg serba kuat dan garang belum tentu pemerintahannya kokoh dan di segani. Baginya lebih penting membangun benteng yg kuat di dalam hati rakyat dg menampilkan dirinya sebagai raja yg bukan menguasai, melainkan mengayomi.

Ia juga tidak bernafsu untuk melakukan kerajaan-kerajaan lain karena ia lebih cenderung untuk senantiasa berusaha menaklukan hawa nafsunya sendiri. Dan itulah keyakinannya, bahwa kekaguman seorang pemimpin jika ia berhasil menaklukan syahwatnya ditengah kebesaran kekuasannya. Lantaran baginya, kekuasannya bukanlah hak turun temurun, melainkan amanat Tuhan dan kepercayaan rakyat.

Maka keadilan yg dilaksanakannya adalah keadilan dalam makna kesufian sesuai dg ketentuan:"Keadilan adalah meleletakan sesuatu pada tempatnya, dan kelaliman adalah meletakan sesuatu bukan pada tempatnya," Sejak ia berikrar hendak mengikuti sunahSAW, iapun harus bertanggung jawab untuk memikul amanat kepemimpinanannya selaras dg ajarannya, karena nabi, tatkala memimpin daulah Islamiyah bertindak selaku pemimpin negara sekaligus pemimpin agama, ia juga harus berupaya agar tugas kesultannya dapat mencakup dua kepentingan tersebut kenegaraan dan keagamaan.

Barangkali tidak semua pemimpin negara mampu mengambil kedua fungsi itu mengingat keterbatasan kemampuan dan perkembangan keadaan. Namun, tetap kedua fungsi tersebut dapat diembannya dg menuangkannya lewat undang-undang dan peraturan-peraturan, yg tentu saja harus terbuktikan lewat pelaksanaannya./@bhu

pengunjung membaca ini juga:



0 komentar:

Posting Komentar


Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |