Intel Mengintai Dakwah

Ironis. Meski Islam adalah agama mayoritas di negeri ini, tapi para pendakwahnya malah dicurigai. Orang-orang yang berusaha mengamalkannya secara kaaffah pun kerap mendapat picingan mata.

Ya, setelah ledakan bom di Mega Kuningan, Jakarta, tengah Juli 2009 lalu, gerakan-gerakan Islam dan para pendakwahnya menjadi sorotan. Sejumlah ajaran dan amalan Islam yang “asing” di masyarakat awam disimbolkan sebagai ciri-ciri pelaku terror, seperti jenggot, jilbab besar plus cadar, celana gantung, baju gamis, surban, dan semboyan hidup mulia atau mati syahid.

Alasannya sederhana, karena katanya para tersangka teroris juga identik dengan hal-hal tadi. Padahal, foto-foto tersangka teroris yang dilansir polisi tidak mirip seperti ciri-ciri yang disebutkan di awal.




Tapi anehnya, wacana itu terus saja bergulir memakan “korban”. Misalnya, entah karena tak tahu atau memang disengaja, Panglima Daerah Militer IV Diponegoro beberapa bulan lalu menghimbau masyarakat agar melapor kepada aparat jika melihat orang asing berciri-ciri seperti di atas.

Sekjen Forum Umat Islam, Muhammad al-Khaththath, menilai sang Pangdam lupa akan sejarah Pangeran Diponegoro. Kata Khaththath, Pangeran Diponegoro adalah pahlawan Islam Tanah Jawa yang gagah berani melawan Belanda bersama para mujahidin. “Pakaian Pangeran Diponegoro jubah dan sorban, bukan topi Belanda!”

Wacana ini belakangan semakin bergulir jauh. Polisi berencana mengawasi kegiatan-kegiatan dakwah selama Ramadhan.

Lantas apa reaksi para ulama atas fenomena ini? Ternyata jawabnya santai saja, ”Silahkan inteli kami, kau akan kudakwahi!” Selamat membaca! *

Intel Beraksi, Dakwah Jalan Terus

Aparat yang mengawasi terkadang diajak diskusi oleh sang dai

Siang selepas Zuhur di awal Ramadhan 1430 hijriyah. KH Cholil Ridwan, Ketua Majelis Ulama Indonesia, berceramah di sebuah masjid di Jakarta Timur. Ceramah itu dihadiri puluhan jamaah. Sebagian di antaranya berjenggot, berjidat hitam, dan bercelana menggantung di atas mata kaki.

Setelah membaca mukadimah, memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT), dan bersalawat, Cholil berkata, “Kalau ada pihak yang sedang mengawasi, saya persilahkan. Karena kebetulan saya juga berjenggot, celana saya juga digulung ke atas (mata kaki).”

Ucapan ini disambut tawa ringan para jamaah masjid di komplek kantor Badan Kepegawaian Negara, Jakarta , siang itu. Cholil melontarkan hal itu untuk menanggapi pernyataan Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Nanan Sukarna, bahwa Polri akan mengawasi kegiatan dakwah selama bulan Ramadhan.

Tepat sehari sebelum Ramadhan lalu, Nanan menggelar jumpa pers di kantornya. Saat itu Nanan mengatakan, operasi yang dinamakannya “Cipta Kondisi” itu bertujuan untuk meminimalisir dakwah yang memprovokasi tindak terorisme.

"Seandainya dakwah berkait dengan provokasi, dengan melanggar hukum, pasti akan ditindak," kata Nanan kepada para wartawan di kantornya kala itu.

Pernyataan Nanan malah menuai kritik. Protes mengalir deras, mulai dari politisi, ulama, tokoh ormas Islam, aktivis dakwah, bahkan aktivis HAM.

Anggota Komisi III DPR-RI, Patrialis Akbar, meminta Polri jangan salah kaprah dan overacting. Dia khawatir upaya itu justru meresahkan masyarakat karena para pendakwah diposisikan sebagai orang yang dicurigai.

Hal senada dikemukakan Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim. Ia berpendapat, sikap Polri itu merupakan langkah mundur ke Orde Baru. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, juga menyatakan hal yang sama. Katanya, jika dakwah sampai diawasi, itu merupakan kemunduran.

Hujan kritik tersebut memaksa Kapolri, Jendral (Pol) Bambang Hendarso Danuri meralat ucapan sang Kadiv Humas. Tiga hari setelah wacana itu bergulir, Kapolri menggelar jumpa pers bersama Menteri Agama, Maftuh Basyuni dan Menkominfo, Muhammad Nuh. Kapolri mengatakan, polisi tidak akan mengawasi kegiatan dakwah.

"Dakwah itu bukan otoritas Polri. Polri tidak ikut-ikutan. Itu sepenuhnya diserahkan ke Depag (Departemen Agama)," katanya.

Meski demikian, ralat dari sang Kapolri masih belum bisa diterima semua pihak. Menurut Cholil Ridwan, tanpa diumumkan pun, pengawasan terhadap kegiatan dakwah sudah berlangsung sejak lama. Cholil, yang juga menjabat salah satu ketua di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) ini mengatakan, DDII sudah sering bersinggungan dengan hal-hal yang demikian.

Sebenarnya, kata Cholil lagi, jika pengawasan dilakukan secara tertutup atau rahasia, tidak terlalu berbahaya. Yang berbahaya, jika aparat melakukan pengawasan secara terbuka dengan memakai seragam. “Itu membuat masyarakat jadi takut datang ke pengajian.”

Awasi dakwah, salah alamat

Suara Hidayatullah sempat bertanya kepada Dirjen Bimas Islam Depag RI, Nasaruddin Umar, apakah Depag sudah mulai melakukan pegawasan terhadap kegiatan-kegiatan dakwah selama Ramadhan? “Nggak, nggak! Hari gini masih ada pengawasan, nggak lah,” jawabnya.

Nasaruddin mengatakan, Indonesia adalah negara hukum yang taat aturan, tetapi juga kritis. Namun, jangan sampai kekritisan ulama, kiai, dan mubaligh terkurangi dengan adanya pengawasan yang berlebihan.

“Berdakwah secara kritis, no problem. Kita punya ayat asy-syidda u 'alal kuffari ruhama u bainahum (keras terhadap orang kafir, lemah-lembut kepada sesama Muslim),” ujar Nasarudin mengutip ayat terakhir dari surat al-Fath.

Nasaruddin menambahkan, Depag memberikan kebebasan berdakwah sejauh tidak menghasut umat untuk saling menyerang. Materi dakwah pun bebas, termasuk tentang jihad. “Materi jihad itu kan ayat, dan itu harus didakwahkan. Jihad itu betul-betul sangat mulia tujuannya, bukan untuk membuat semacam terorisme. Saya kira umat Islam di Indonesia tidak ada yang sepakat dengan terorisme.”

Namun, Nasaruddin juga mengingatkan, tidak semua mubaligh benar-benar mubaligh. Jadi, pegawasan masih diperlukan, dan Depag akan membantu melakukan pembinaan.

Pengamat dunia intelijen, Suripto, menilai langkah aparat mengawasi dakwah untuk membendung terorisme salah alamat. Sebab, terorisme adalah gerakan asimetris. Suatu gerakan yang membentuk sel, dan sel itu terpencar-pencar.

Proses rekrutmen seorang calon pelaku terorisme, kata Suripto, butuh waktu yang tidak sebentar dan tidak mudah. Seorang target rekrutmen mungkin akan diamati selama setahun. Diselidiki latar belakang sosial dan pendidikannya, punya masalah atau tidak. Setelah dipelajari, baru kemudian direkrut.

“Nah, proses rekrutmen itu tidak mungkin melalui mimbar terbuka,” ujar anggota DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini.

Suripto mengatakan, sebagai negara Pancasila yang mengakui kebebasan beragama, tidak ada satu pun gerakan dakwah di negeri ini yang patut diawasi. “Kecuali kalau ajaran-ajarannya sesat, seperti Ahmadiyah,” katanya.

Suripto menyarankan, sebaiknya polisi melakukan kontra intelijen atau kontra terorisme. Yakni, dengan mengamati dan mengawasi kegiatan-kegiatan yang tertutup.

Dakwah tetap jalan

Meski wacana pengawasan terhadap kegiatan dakwah santer diberitakan, nyatanya kegiatan dakwah di bulan Ramadhan lalu tetap marak. Bahkan, sejumlah juru dakwah yang kerap dilekatkan dengan aksi terorisme dan kekerasan, seperti Ustadz Abu Bakar Baasyir, Ustadz Abu Jibril, dan Ketua Front Pembela Islam, Habib Rizieq Shihab, tetap vokal berdakwah selama Ramadhan.

Ketika mengisi acara pengajian di Surakarta, Jawa Tengah, awal Ramadhan lalu, sesekali Ustadz Abu Bakar Baasyir menyindir polisi yang mengawasi majelisnya.

Pada kesempatan lain, Habib Rizieq bahkan mengatakan siap mengerahkan laskarnya untuk membantu dan membela para juru dakwah dari aksi represif aparat.

Ketua Pos Dai Hidayatullah, Ustadz Akib Junaid, mengatakan hingga saat ini belum ada laporan dari para dai di daerah tentang operasi pengawasan dakwah. Pos Dai Hidayatullah adalah lembaga otonom di bawah DPP Hidayatullah yang salah satu tugasnya mendata dan memonitoring para dai Hidayatullah dan non-Hidayatullah di daerah. “(Sampai saat ini) program dakwah tetap jalan,” kata Ustadz Akib.

Namun, ada cerita lain dari Pesantren Hidayatullah, Kudus, Jawa Tengah. Tanpa sepengetahuan Ustadz Akib, cabang Hidayatullah yang satu ini disatroni aparat.

Kabar ini datang dari Ustadz Sholih Hasyim, salah seorang pengasuh pondok pesantren setempat. Sayangnya Ustadz Hasyim tidak menyebutkan dari unsur mana aparat yang menyambanginya.

Ustadz Hasyim mengatakan, mereka sempat datang mendengarkan ceramah. Isi ceramah adalah himbauan kepada aparat untuk tidak berlebih-lebihan dalam melakukan tugas. ”Jika umat Islam ditekan terus maka itu akan semakin menambah ghiroh (kecemburuan, semangat perlawanan) mereka,” ujar Ust Hasyim yang sempat berdiskusi sekitar satu jam dengan aparat tersebut.

Ia masih menaruh harapan positif kepada para intel itu. Sebab, boleh jadi hidayah Allah SWT turun justru setelah mereka mendengar ceramah atau mengamati sang mubaligh.

Ini pernah terjadi pada dua orang polisi yang menyaksikan eksekusi hukuman mati Sayyid Quthb, tokoh Ikhwanul Muslimin, yang digantung rezim sekuler Mesir, Jamal Abdul Naser, pada tahun 1966.

Kala itu mereka setiap hari melihat Quthb bersikap ramah, murah senyum dalam sel tahanan. Bahkan, hingga menjelang eksekusi mati pun masih terlihat tenang.

Puncaknya adalah saat eksekusi. Dua polisi tersebut bergetar menyaksikan ketegaran Quthb di tiang gantungan yang menolak tawaran remisi jika dia sudi meminta maaf kepada sang presiden.

Setelah eksekusi, keduanya bertaubat. ”Dua orang inilah yang kemudian menjadi pembela Quthb,” kata Ust. Hasyim. *

* Artilkel dan tulisan lain yang lebih lengkap baca di Majalah Suara Hidayatullah Esisi Oktober 2009.


/@cwi

pengunjung membaca ini juga:



0 komentar:

Posting Komentar


Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |