Menikah dengan Niat Cerai


Ada sebuah kasus, seorang laki-laki Mesir
yang sudah mempunyai istri dan anak pergi
ke Negara Arab Saudi untuk bekerja selama
dua tahun. Untuk menghindari perzinaan,
akhirnya dia menikah dengan wanita yang
berasal dari Pilipina yang kebetulan juga mempunyai kontrak kerja di Negara
tersebut. Laki-laki Mesir tersebut ketika
menikah, ada niat dalam dirinya, jika telah
selesai kontrak kerjanya di Arab Saudi,
maka istrinya yang dari Pilipina tersebut
akan diceraikan, boleh jadi istrinya yang dari Pilipina tersebut mengetahui niat
tersebut, boleh jadi juga dia tidak
mengetahuinyaBagaimana hukum pernikahan tersebut
menurut pandangan Islam? Jawaban: Para ulama berbeda pendapat tentang
hukum menikah dengan niat cerai,
sebagaimana dalam kasus di atas: Pendapat Pertama menyatakan bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya boleh. Ini
adalah pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Al Zurqani dari madzhab
Maliki di dalam Syarh Al Muwaththa’: “Dan
mereka sepakat bahwasanya siapa yang
menikah secara mutlak, sedangkan dia
berniat untuk tidak bersamanya (istrinya)
kecuali sebatas waktu yang dia niatkan, maka hal itu dibolehkan dan bukan
merupakan nikah mut’ah.” Berkata Imam Nawawi dari madzhab
Syafi’i di dalam Syarh Shahih Muslim
(9/182): “Berkata Al Qadhi: “Mereka
sepakat bahwa seseorang yang menikah
dengan akad nikah mutlak (akad yang telah
memenuhi rukun dan syaratnya), tetapi di dalam hatinya ada niat untuk tidak
bersama istrinya kecuali dalam jangka
waktu tertentu sesuai dengan niatnya, maka
nikah tersebut sah, dan bukan termasuk
nikah mut’ah.” Berkata Ibnu Qudamah dari madzhab
Hambali di dalam Al Mughni (7/537): “Jika
seseorang menikahi perempuan tanpa ada
syarat, hanyasaja di dalam hatinya ada
niat untuk menceraikan setelah satu bulan ,
atau menceraikannya jika dia telah menyelesaikan pekerjaannya di kota ini,
maka jika seperti itu, maka pernikahannya
tetap sah menurut pendapat mayoritas
ulama, kecuali Al Auza’i yang mengatakan
bahwa hal tersebut termasuk nikah mut’ah.
Tetapi pendapat yang benar bahwa hal tersebut tidaklah apa-apa, dan niat
tersebut tidak berpengaruh.”.
Mereka beralasan bahwa pernikahan
tersebut telah memenuhi syarat dan
rukunnya, sehingga secara lahir hukumnya
sah. Adapun hati dan niat diserahkan
urusannya kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, selama itu tidak tertulis di dalam akad nikah. Karena, barangkali calon suami
ada niat untuk menceraikannya, tapi
ternyata setelah menikah dia senang dan
merasa cocok dengan istrinya tersebut,
atau karena pertimbangan lain, sehingga
dia tidak jadi menceraikannya. Pendapat Kedua menyatakan bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya haram. Ini
adalah pendapat madzhab Ahmad dalam
riwayat yang masyhur dan pendapat Imam
Auza’i, serta Al Majma’ Al Fiqh Al Islami,
Rabithah Al Ulama Al Islami pada
pertemuannya yang ke- 18 yang diadakan di Mekkah pada tanggal 10-14 Rabi’ul Awal
1427 H / 8-12 April 2006 M. Maksud dari haram disini adalah tidak
boleh dilakukan, tetapi jika seseorang
tetap melakukannya, maka ia berdosa,
karena di dalamnya mengandung unsur
penipuan, tetapi walaupun begitu
pernikahan tersebut tetap sah, sedang niatnya batil dan niat tersebut harus
diurungkan. Mereka beralasan bahwa tujuan pernikahan
adalah mendapatkan ketenangan, kasih
sayang, dan ketentraman, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya
adalah Dia menciptakan untukmu istri-
istrimu dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tentram kepadanya
dan menjadikan diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-
orang yang mau berfikir.” (QS Ar Rum: 31) Menikah dengan niat cerai telah menyalahi
tujuan dari pernikahan sebagaimana yang
tersebut pada ayat di atas. Selain itu, bahwa pada dasarnya
kehormatan (kemaluan) seorang wanita
adalah haram, kecuali melalui pernikahaan
yang sah prosesnya dan benar maksudnya.
Di dalam pernikahan yang ada niat untuk
menceraikan istrinya adalah pernikahan yang maksudnya sudah tidak benar dahulu,
sehingga menjadi tidak boleh. Ini sesuai
dengan hukum nikah muhalil, yaitu
pernikahan dengan maksud hanya ingin
menghalalkan wanita yang telah diceraikan
suaminya tiga kali, dan suami ingin kembali lagi kepada istri tersebut, tetapi syaratnya
dia harus dinikahi oleh lelaki lain dan
keduanya telah melakukan hubungan suami
istri, setelah itu istri itu diceraikan, agar
suami yang pertama bisa menikahinya
kembali. Pernikahan semacam ini hukumnya haram, karena niatnya tidak benar, yaitu
hanya sekedar untuk menghalalkan wanita
tersebut. Kalau nikah muhalil diharamkan,
maka begitu juga halnya dengan menikah
dengan niat cerai. Niat dalam masalah ini
sangat berpengaruh di dalam pernikahan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya perbuatan itu tergantung
kepada niatnya.” (HR Bukhari) Pendapat ketiga menyatakan bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya boleh tapi
makruh. Ini pendapat Abul Khair Al Imrani
dan Ibnu Taimiyah, sebagaimana di dalam
(Majmu’ Fatawa: 32/107-108), tetapi di
tempat lain Ibnu Taimiyah berpendapat
boleh (Majmu’ Fatawa: 32/ 147) Berkata Abu Al Khair Al Imran yang wafat
pada tahun 558 H, di dalam bukunya Al
Bayan, (Dar Al Minhaj): 9/ 279: “Jika ia
menikahinya dan berniat di dalam hatinya
akan hal tersebut (yaitu ingin
menceraikannya), kemudian ia menikahinya dengan pernikahan mutlak, maka hal
tersebut makruh, tetapi tetap sah. “ (Bisa
dirujuk pula dalam Mujib Al Muthi’i,
Takmilah Al Majmu’: 17/ 352) Kalau dikatakan nikah ini seperti nikah
mut’ah, maka penyamaan seperti ini tidak
benar, karena keduanya ada perbedaan
yang sangat menyolok diantaranya: 1. Nikah Mut’ah menyebutkan syarat
tersebut di dalam akad pernikahan,
sedang nikah ini (nikah dengan niat
talak) tidak disebutkan. 2. Nikah Mut’ah tidak ada perceraian
dan tidak ada masa iddah, jika
masanya habis, pernikahan tersebut
dengan sendirinya bubar. Sedang
dalam nikah ini ada perceraian dan
ada iddahnya juga, sebagaimana pernikahan pada umumnya. 3. Nikah Mut’ah jika masa kontraknya
habis, maka pernikahan tersebut harus
dibubarkan. Kalau keduanya ingin
melangsungkan pernikahannya lagi,
harus dengan akad baru. Sedang
dalam pernikahan dengan niat cerai, bisa jadi tidak terjadi perceraian
sebagaimana diniatkan, bahkan
mungkin berlangsung terus
sebagaimana pernikahan pada
umumnya. Kesimpulan dari keterangan di atas, bahwa
menikah dengan niat cerai hukumnya boleh
menurut pendapat mayoritas ulama, tetapi
makruh, maka sebaiknya ditinggalkan.
Maksud dari boleh dan sah di sini adalah
bahwa hasil dari pernikahan tersebut diakui oleh Islam, yaitu anak yang lahir
dari pernikahan tersebut adalah anak yang
sah dan dinisbatkan kepada orang tuanya,
suami diwajibkan untuk memberikan nafkah
kepada istri dan anak-anaknya, jika salah
satu dari kedua orangtuanya meninggal dunia, maka anak-anaknya berhak
mendapatkan warisan darinya, dan hal-hal
lainnya. Dan ini berlaku bagi orang-orang yang
sedang dalam perjalan keluar negri atau
tempat yang jauh dalam suatu tugas atau
berdagang atau belajar ilmu, sedangkan dia
takut untuk terjerumus di dalam maksiat
atau perzinaan. Dalam keadaan seperti ini, mayoritas ulama memberikan jalan keluar
yaitu membolehkan menikah dengan niat
cerai jika telah menyelesaikan tugasnya.
Dan ini lebih baik dari pada terjerumus di
dalam maksiat atau perzinaan. Walaupun
demikian, para ulama menganjurkan untuk menikah sebagaimana biasanya, tanpa
harus berniat untuk menceraikannya,
karena tanpa itupun, dibolehkan baginya
untuk menceraikan istrinya. Kenapa harus
mempersulit diri sendiri dengan
menyertakan niat cerai dan menjerumuskan diri pada hal-hal yang para ulama masih
berselisih tentang hukumnya. Nikah Kontrak di Puncak Adapun kasus yang terjadi di puncak Bogor,
atau tepatnya di daerah Cisarua, yaitu
banyaknya perempuan Indonesia yang
melakukan pernikahan dengan sebagian
orang asing yang berasal dari Timur
Tengah dengan nikah kontrak, bukanlah termasuk dalam pembahasan kita. Karena
pernikahan tersebut hanyalah untuk
membungkus tindakan tercela mereka untuk
melampiaskan syahwat seksual dan syahwat
materi. Dalam nikah kontrak tersebut, tidak
ada sama sekali terdetik di dalam hati kedua mempelai tersebut untuk tinggal dan
hidup bersama pasangannya dalam waktu
yang panjang atau selama-lamanya.
Bahkan keduanya sudah mengetahui bahwa
pernikahan yang berlangsung tersebut
hanyalah bersifat sementara antara satu minggu sampai satu bulan saja. Setelah sampai batas waktu yang mereka
sepakati bersama, maka mereka berpisah,
mungkin dengan cara suaminya
menceraikan istrinya atau sekedar
berpisah begitu saja. Dengan pernikahan
tersebut seorang laki-laki bisa melampiaskan syahwat seksualnya sesuka
hatinya, dan sebaliknya seorang wanita bisa
melampiaskan syahwat materinya dengan
mendapatkan harta yang melimpah dari
laki-laki tersebut. Oleh karenanya, kadang
kita dapatkan seorang wanita bisa menikah dalam satu tahun dengan sepuluh laki-laki,
atau seperti yang diungkap oleh salah satu
sumber yang dipercaya bahwa seorang laki-
laki yang masih sangat muda sudah
melakukan pernikahan dengan 100 wanita
lebih dengan cara nikah kontrak sepert ini. Sampai sekarang belum kita dengar satu
ulamapun yang membolehkan pernikahan
kontrak seperti yang terjadi di Cisarua ini,
karena kerusakan yang ditimbulkan darinya
sangat banyak dan dahsyat serta
membahayakan generasi Islam. Wallahu A’lam. Jakarta Pusat, 6 Muharram 1431 H/ 23
Desember 2009 M Oleh: DR Ahmad Zain An Najah DR. Ahmad Zain An Najah merupakan
lulusan Universitas Al Azhar pada Fakultas
Studi Islam. Saat ini aktif sebagai Direktur
Sekolah Tinggi Al Islam Bekasi, Pengurus
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat,
dan Peneliti INSIST./@cwi

pengunjung membaca ini juga:



0 komentar:

Posting Komentar


Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |