Sekali Pelacur Tetap Pelacur, Tak Perlu Perhalus dengan Istilah PSK


Belakangan ini ramai polemik tentang istilah pelacur
menjadi PSK. Dalam setiap forum,
kelompok liberal dan para pezinah kerap
menggunakan istilah PSK dengan dalih
berempati dengan wanita yang mencari
nafkah untuk diri dan keluarganya. Sementara, kaum religius, menolak istilah
PSK untuk mengganti dari kata pelacur. Kupu-kupu malam, lonte, ayam kampus,
jablay, perek, adalah sedikit banyak di
antara istilah yang kerap terdengar
dimasyarakat ketika menunjuk pada
sesosok perempuan berprofesi pelacur.
Bahkan (alm) Penyair W.S. Rendra pernah menulis puisi tentang pelacur, yang diberi
judul: "Bersatulah Pelacur-pelacur Kota
Jakarta!" Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1989), pelacur adalah perempuan yang
melacur. Istilah pelacur menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1989) berkata
dasar lacur yang berarti malang, celaka,
gagal, sial atau tidak jadi. Sedang pelacur menurut Pheterson (1996)
mengacu kepada mereka yang secara
terbuka menawarkan dan menyediakan seks,
adalah sebuah status sosial yang telah
terstigmasi dan bersifat kriminal. Dengan
demikian, pelacuran bisa disetarakan dengan pencurian, dan perampokan,
dimana perbuatan itu menjadi bagian dari
kriminal. Perkins & Bannet (dalam Koentjoro 2004)
juga mendefinisikan bahwa pelacuran
sebagai transaksi bisnis yang disepakati
oleh pihak yang terlibat sebagai sesuatu
yang bersifat kontrak jangka pendek yang
memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode
yang beraneka ragam.
Sebagai catatan, kosakata bahasa
Indonesia bertambah sekitar 13.000 buah
kosakata. Semula diperkirakan hanya ada
sekitar 78.000, saat ini diperkirakan sudah
menjadi sekitar 91.000 kosakata. Kosakata
tersebut kebanyakan merupakan serapan yang berasal dari bahasa asing, Melayu dan
bahasa Daerah. Bahkan kini berkembang
dari bahasa alay atau pergaulan anak
zaman sekarang. Selain pelacur, kini muncul istilah baru
yakni Pekerja Seks Komersial (PSK)
sebagaimana kerap dipakai oleh para
pakar (Koentjoro, 2004). Istilah PSK ditolak
oleh pemerintah, terutama berkenaan
dengan statistik tenaga kerja. Dengan menggunakan PSK, berarti sama dengan
memasukkan sektor pelacuran kedalam
ruang lingkup lapangan pekerjaan yang
sah, sehingga mereka harus didata dan
dimasukkan kedalam statistik tenaga kerja
(Wagner & Yatim, 1997). Selain pelacur dan PSK, kemudian
berkembang istilah WTS (wanita tuna susila)
karena menganggap bahwa perempuan yang
melacurkan diri tidak menuruti aturan
susila yang berlaku di masyarakat. Secara
legal, pemerintah Indonesia mengeluarkan surat Keputusan Menteri Sosial No. 23/
HUK/96 (dalam Koentjoro, 2004) yang
menyebut pelacur dengan istilah WTS.
Namun menurut Koentjoro (2004) upaya
pemerintah saat itu sebenarnya tidak lain
untuk melebihhaluskan istilah pelacur. Menarik, Ketua Indonesia Tanpa JIL (ITJ)
Akmal Sjafril sampai menyebut
penghalusan kata pelacur menjadi PSK sebagai bentuk ‘Konspirasi” . Ia mempertanyakan, siapa sebenarnya yang
pertama kali menggunakan istilah PSK ,
namun yang jelas, nampaknya semua media
sudah bersepakat (atau berkonspirasi )
untuk menggunakannya secara konsisten.
Kata PSK adalah sebuah istilah yang sangat kontradiktif. Bukan merupakan
penghalusan, melainkan pengaburan makna
yang sebenarnya. Secara lebih tegas, Koentjoro (2004)
menolak istilah WTS atau PSK dan memilih
untuk menggunakan pelacur. Hal ini
disebabkan karena: 1. Arti pelacur baik secara denotatif
maupun konotatif lebih lengkap dan lebih
spesifik 2. Istilah pekerja seks berlaku terlalu luas,
tidak spesifik dan bermakna ganda 3. Istilah pekerja seks dapat diartikan
sebagai pengakuan bahwa melacur
merupakan pekerjaan. Berdasarkan semua definisi diatas
Koentjoro (2004) mengatakan bahwa
seorang pelacur adalah seorang yang
berjenis kelamin wanita/perempuan yang
digunakan sebagai alat untuk memberi
kepuasan seks kepada kaum laki-laki. Perempuan berperan sebagai budak dan
dibayar oleh laki-laki atas jasa seks
mereka. Penghalusan yang Tak Pantas Sejak kapan istilah WTS dipakai? Konon,
istilah itu dimunculkan pada era Orde Baru.
Jaman itu banyak pula istilah di tengah
masyarakat yang diperhalus. Misalnya
ditangkap polisi karena mengritik
pemerintah diistilahkan dengan diamankan. Kenaikan harga bahan bakar
minyak diistilahkan dengan penyesuaian
harga. Penjara sebagai tempat para
penjahat menjalani hukuman diistilahkan
dengan Lembaga Pemasyarakatan. Kini
istilah WTS lebih diperhalus lagi dengan Pekerja Seks Komersial (PSK). Ketika pers semakin bebas, banyak ide dan
gagasan dalam memberi istilah baru,
termasuk menghaluskan bahasa (Eufimisme)
. Sangat aneh dan ironis, jika pelacur
dianggap bagian dari pekerjaan. Bahkan
disetarakan dengan buruh, petani, nelayan, pedagang. Atau mungkin meningkat pula
menjadi profesi semacam dengan dokter,
notaris, dosen, dan guru. Peraturan Daerah seperti di Kabupaten
Bantul dan Kota Sambas dalam menyebut
pelaku perbuatan seks guna memperoleh
uang adalah tetap pelacur. Maka, apapun
bentuk jasa layanan seks komersial, entah
itu di pinggir jalan, rel kereta api, gubuk reot, beralas tikar, lokalisasi, layanan
internet, online, hotel-hotel berbintang,
tetap saja tak bisa menaikkan derajat
kaum pezinah atau pelacur. Baik laki-laki
atau perempuan yang menjajakan tubuhnya
dengan yang bukan muhrimnya, mereka adalah pelacur. Sekali pelacur tetap pelacur. Tak perlu
berempati dengan para pezinah dengan
dalih mencari nafkah. Juga tak perlu
memperhaluskan kata dari pelacur menjadi
PSK, seperti yang disosialisasikan
kelompok liberal dan pendukungnya. Yang pasti, ulama tidak sepakat dengan
penyebutan PSK. Dalam syariat Islam,
mereka (pezinah) seharusnya mendapat hukuman cambuk./@cwi

pengunjung membaca ini juga:



0 komentar:

Posting Komentar


Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |