Rohingya, Korban Sejarah?

PEMBERITAAN kasus Rohingya muncul
diberbagai media. Bahkan, Komisi I DPR
RI mendesak Presiden SBY untuk segera
membebaskan dan memberikan suaka
politik terhadap pengungsi etnis muslim
Rohingya di Indonesia (Serambi, 26 Juli 2012). Ada apa dengan etnik Rohingya
di Myanmar? Dalam beberapa tahun terakhir,
perlakuan kejam, brutal, minoritas dan
diskriminatif dialami oleh etnis
Rohingya. Kondisi kehidupan mereka
benar-benar sangat memprihatinkan.
Kekerasan kemanusiaan yang dilakukan oleh etnis lain dan
Pemerintah Myanmar benar-benar
sudah keterlaluan. Karenanya, banyak
warga Rohingya yang terpaksa migrasi
keluar dari negerinya untuk
menyelamatkan diri. Etnik Rohingya berbeda dengan etnik-
etnik lain yang mendiami wilayah
Myanmar. Mereka berkulit gelap (kaum
Benggali) dan mayoritas beragama
Islam. Sedangkan etnik-etnik lain
berkulit kuning langsat dan menganut agama Buddha Therravada. Etnik
Rohingya mendiami wilayah Arakan, di
bagian Barat dan Utara Myanmar.
Mereka merupakan suku asli yang
mendiami wilayah tersebut sejak abad
ke 8 Masehi. Dulu daerah tersebut merupakan wilayah Kerajaan Arakan
yang muslim. Namun pada abad ke-17
Masehi, bangsa Burma menginvasi
wilayah tersebut dan mengeksekusi
ribuan penduduk Arakan sehingga etnis
Rohingya yang tersisa menjadi minim. Saat itu banyak warga Rohingya yang
melarikan diri meninggalkan wilayah
Arakan. Kedatangan Inggris Kedatangan tentara British yang
bermaksud menduduki Burma,
menimbulkan harapan bagi etnik
Rohingya yang tersisa. Sehingga, kaum
Rohingya yang dulunya melarikan diri
saat invasi bangsa Burma, kembali pulang ke kampung halamannya.
Penjajah British mendatangkan
imigran Benggali dari wilayah
Chittagong yang berbatasan langsung
dengan Myanmar bagian barat untuk
bekerja sebagai pekerja pertanian dan perkebunan di wilayah Arakan yang
subur.
Kebijakan British tersebut
memberikan dampak besar kepada
populasi bangsa Benggali dan kaum
Rohingya di Myanmar yang menjadikan
mereka sebagai kaum mayoritas di
beberapa kota besar seperti Rangoon (Yangoon), Akyab (Sittwe), Bassein
(Pathein), dan Moulmein. Pada masa
itu, kaum Burma di bawah penguasaan
Inggris merasa tidak berdaya terhadap
imigrasi besar-besaran tersebut dan
hanya dapat merespons dengan sentimen rasial antara superioritas
dan ketakutan. Keadaan menjadi sulit ketika perang
dunia kedua. Inggris yang berusaha
mempertahankan eksistensinya di
Burma menggunakan pejuang-pejuang
Rohingya dan kaum imigran Benggali
untuk melawan Jepang dan kaum nasionalis Burma. Namun, pada
akhirnya Burma mampu meraih
kemerdekaannya pada 1948. Sejak saat
itulah konflik dan penderitaan etnik
Rohingya kembali terjadi lagi. Terlebih
lagi, kebijakan pemerintahan saat itu yang menginginkan populasi yang
homogen, yaitu ras indocina yang
bewarna kulit sama dan menganut
agama yang sama. Akibat sentimen masa lalu maka kaum
Rohingya dimarjinalkan,
didiskriminasikan, dan dizalimi. Bahkan,
Pemerintah Myanmar tidak
memberikan kewarganegaraan
kepada warga etnik Rohingya (stateless person), sehingga dapat
dikatakan mereka tidak memiliki hak
sebagai manusia yang dilindungi oleh
negara. Bukan hanya secara legalitas
diabaikan, kaum Rohingya juga tidak
memiliki hubungan social yang baik dengan etnik-etnik yang lain di
Myanmar. Karenanya, seringkali timbul
konflik komunal yang berujung pada
tindakan-tindakan kejahatan brutal
dan tidak berperikemanusiaan. Sentimen kebangsaan Konflik yang terjadi antara kaum
minoritas Rohingya dengan etnik-etnik
lain serta Pemerintah Myanmar
merupakan kelanjutan dari sentimen
kebangsaan yang berakar dari sejarah
kelam mereka. Sehingga, pertikaiannya bukan hanya karena perbedaan warna
kulit, bahasa dan kepercayaan semata,
namun berasal dari kompleksitas
permasalahan yang tidak bisa dengan
mudah diselesaikan begitu saja. Dari perspektif historis, permasalahan
Rohingya memiliki persamaan dengan
kasus genocide di Rwanda pada tahun
1994. Belgia yang menjajah Rwanda
sebelum kemerdekaannya menerapkan
kebijakan sistem pemisahan penduduk terhadap dua kaum yang mendiami
negeri tersebut: yaitu kaum Hutu dan
kaum Tutsi. Kaum Hutu merupakan
bangsa asli Rwanda namun memiliki
strata sosial lebih rendah. Sedangkan
kaum Tutsi merupakan pendatang dari Afrika Timur, memiliki strata social
yang lebih tinggi dan menguasai hampir
90% perekonomian Rwanda. Kebijakan
pemisahan ini pada akhirnya
menimbulkan sentiment akut disertai
pembantaian (Genocide) yang dilakukan oleh kaum Hutu terhadap
kaum Tutsi. Kaum Hutu bermaksud
menguasai Rwanda dari pengaruh
kaum Tutsi. Perbedaan kasus Rwanda dan Myanmar
adalah Pemerintah Belgia di Rwanda
dengan sengaja menciptakan sistem
pemisahan penduduk terhadap kaum
pribumi sehingga akan mudah bagi
pemerintah jajahan untuk mengatur dan mengelola tanah jajahannya.
Sedangkan yang terjadi di Myanmar
adalah British meninggalkan Myanmar
setelah perang dunia kedua dengan
terpaksa melepaskan beberapa tanah
jajahannya kepada kaum nationalis tanpa memberikan legalitas
perlindungan kepada kaum Rohingya
yang banyak membantu British pada
perang dunia kedua. Hal ini semakin
memberi konstribusi yang besar
terhadap krisis kemanusiaan kaum Rohingya hingga sekarang ini. Permasalahan Rohingya sedemikian
kompleks, sehingga pemecahannya
bagaikan mengurai benang kusut yang
sulit dicari titik pangkalnya.
Demokratisasi yang mulai dilakukan
junta militer tahun 2010, berhasil membuka tabir tentang keadaan yang
sebenarnya terjadi di Myanmar kepada
dunia luar. Isu-isu berkaitan HAM
Rohingya baru akhir-akhir ini diketahui
oleh masyarakat internasional setelah
maraknya pemberitaan mengenai kondisi kamp-kamp pengungsian
Rohingya yang memprihatinkan di
perbatasan Bangladesh dan Thailand. ‘Trending topics’ Adanya boat people (manusia perahu)
kaum Rohingya yang melintasi perairan
Indonesia dan Malaysia juga menjadi
trending topics, akhir-akhir ini yang
menjadikan isu Rohingya semakin
menginternasional. Namun sayangnya, pada saat pembebasan pejuang HAM
Myanmar Aung Saan Suu Kyi dan
kedatangan Menlu AS, Hillary Clinton
tahun lalu, ternyata tidak menjadikan
kasus Rohingya sebagai agenda
demokratisasi Myanmar. Walaupun begitu, hemat saya kemajuan
signifikan telah dicapai setelah
beberapa negara dan forum
internasional seperti ASEAN
mengangkat isu-isu kaum Rohingya
sehingga menarik perhatian publik terhadap krisis kemanusiaan yang
tengah terjadi sekarang ini. Idealnya, pemecahan masalah Rohingya
harus pula menjadi fokus perhatian
Pemerintah SBY dalam merespons isu-
isu internasional. Hal ini sesuai dengan
amanat UUD 1945, “maka dibentuklah
Pemerintah Negara Indonesia yang ... ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Dengan demikian, membantu Rohingya
merupakan kewajiban konstitusional
yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah RI. * Danil Akbar Taqwaddin, Lulusan International Affair, University Utara
Malaysia. /@cwi

pengunjung membaca ini juga:



0 komentar:

Posting Komentar


Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |