Ramadhan Terindah di Bumi Sakura
Hari hari Ramadhan di negeri Sakura biasa kulalui sendiri. Bangun di penghujung malam saat suami sedang tertidur pulas, menyeruput teh hangat dan menyantap hidangan dalam kesendirian adalah hal yang tak pernah ku terbiasa dengannya. Walau bertahun-tahun mengalami hal yang sama, tak pernah ku terbiasa dengan keadaan itu. Selalu hadir rasa sepi, rasa sedih, rasa khawatir tentang bagaimana dengan suamiku?
Bagaimana nasibnya di akhirat kelak, aku tak ingin bersama hanya di dunia, aku ingin cinta ini sampai ke surga. Walau bertahun-tahun ku alami rasa sepi tak terkira setiap Ramadhan, berpuasa sendiri, tidak, tak pernah aku terbiasa tanpanya. Dan aku tak mau terbiasa dengan keadaan ini. Karena jika ku tak sedih, tak merasa sepi, terbiasa berpuasa tanpanya, berarti hatiku telah mati. Mati untuk mencintai suamiku dengan cinta yang sebenarnya. Yaitu mencinta dengan cinta yang dicintaiNya.
Merenung kembali, seakan menahkodai kapal besar nan berat. Tidak ada jalan lain, kecuali aku nahkodanya. Tidak ada jalan lain, kecuali aku harus kuat. Agar kapal ini sampai di tujuannya. Istana abadi, dimana kita sekeluarga bertelekan di atas dipan-dipannya.
Tweet



0 komentar:
Posting Komentar