Prajurit Tuhan

Oleh: Arawinda


Aku adalah seekor anjing dari bangsa Israel. Aku lahir di sini, besar di sini. Ya, di kota yang sebenarnya bukan milik Israel inilah aku belajar tentang sebuah tatacara menyerang dan mencari jejak para teroris Hamas serta menakut-nakuti para penduduk Palestina agar mereka hengkang dari negeri ini, atau kalau mereka tak mau menyingkir maka tuanku yang akan mengucapkan salam perpisahannya lewat mulut senapan yang memuntahkan timah panas. Selanjutnya, pemandangan yang sama selama berpuluh-puluh tahun yakni jerit tangis mereka, airmata mereka yang deras menghujani mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah itu di kota itu. Yang sebelum ia terkapar, sempat pula menyebut nama Allah.

Sebagai anjing, keberadaanku di tanah Palestina ini selalu dihalau oleh Umat Islam. Aku menyadari bahwa menjadi anjing sangat tidak enak. Aku selalu berderajat rendah di mata mereka. Seperti yang Allah firmankan dalam al-Qur’an. Allah menjadikan aku sebagai perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya. Kalau kamu halau, anjing itu akan menjulurkan lidahnya. Dan jika kamu biarkan, ia pun tetap menjulurkan lidahnya . Aku terima perumpamaan itu, setidaknya aku disebut oleh Allah dalam kitab-Nya.
Lagipula, tidak semua anjing itu hina. Ada anjing yang dijanjikan surga yakni anjingnya para ashabul kahfi. Anjing yang setia menemani tujuh pemuda yang mengasingkan diri demi menjaga iman mereka. Ratusan tahun mereka ditidurkan, dan jasadnya masih untuh dijaga Allah.



Tapi namanya anjing ya tetap saja anjing. Makhluk yang selalu dihinakan. Bahkan jika terkena buluku atau air liurku saja, umat Islam mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah. Najis yang paling besar!
***
Beberapa tentara Israel hari ini kembali melakukan penyerangan ke Gaza. Sejak 27 Desember 2008 mereka membombardir kota ini hingga tinggal puing-puing dan banyak nyawa melayang. Sebagian besar malah perempuan dan anak-anak. Aku mengikuti lima orang yang menyandang senapan dan berjalan dengan pongahnya di antara reruntuhan, memasuki rumah-rumah penduduk sipil yang masih aman. Leherku dicekik oleh kalung rantai yang ditarik-tarik mereka, memaksaku mengikuti langkah mereka. Seminggu lamanya aku hanya bisa menjulurkan lidahku, aku kelaparan. Aku tak diberi makan oleh tuanku itu dan akan terjadilah sesuatu yang mengerikan nanti.

Seorang prajurit bernama Aaron mendobrak pintu rumah penduduk sipil, yang di dalamnya sebuah keluarga sedang duduk melingkar dalam suatu kajian. Setiap mereka memegang al-Qur’an. Sama sekali tak tampak rona ketakutan dalam wajah mereka. Di antara mereka bahkan ada anak kecil yang terasa sekali ia menyimpan kebencian pada para tentara yang memasuki rumahnya tanpa izin itu.

Aaron dan empat prajurit lainnya mulai menembaki orang-orang dalam lingkaran itu. Tanpa sempat bagi mereka untuk bangkit menghalau mereka. Darah muncrat di mana-mana. Anak kecil yang belum sempat ditembaki mereka itu lari bersama seorang anak perempuan yang lebih kecil darinya. Edna, salah satu prajurit itu tak membiarkan dua bocah incarannya kabur. Betapa tidak, para tentara Israel ini amat sangat ketakutan pada seorang anak kecil penghafal al-Qur’an. Kalau masih kecil saja sudah hafal al-Qur’an, apa yang akan terjadi dua puluh tahun yang akan datang?!! Demikian mereka begitu ketakutan, makanya yang mereka incar adalah anak-anak kecil hafidz Qur’an ini.

Edna mengejar dengan beringas, diikuti empat kawannya dan tentu saja aku yang diseret-seret tanpa ampun. Meninggalkan sebuah keluarga bersimbah darah, nyawanya menghadap Allah disambut para bidadari surga. Dua anak kecil itu terus berlari dengan hujan peluru di belakang mereka.

Perempuan kecil terjatuh, si lelaki berdiri agak di depannya. Peluru tanpa ampun mengejar mereka dan tepat mengenai kepala perempuan kecil ketika ia bangkit. Si lelaki menatapnya nanar, tubuh perempuan kecil—mungkin saja adiknya—telah terkulai lemah dan sesaat kemudian kaku tak bergerak. Si lelaki segera berlari secepat kilat, sambil sesekali terlihat tangannya menyeka matanya. Ia terus berlari dan tak membiarkan peluru tentara tuanku mengenai tubuhnya.

Sementara jasad beku perempuan kecil itu terbaring di tanah, Aaron melepaskan rantaiku. Ini pertanda makan siang bagiku. Segera aku menghampiri mayat perempuan kecil itu, kuendus-endus tubuhnya kemudian meneteslan air liurku di atas wajahnya. Aku paling suka hati. Rasanya sangat enak. Sebagai binatang, aku tak takut jika nanti Allah menanyaiku tentang perbuatanku. Aku tidak salah. Yang salah adalah tuanku. Mereka tak memberiku makan berhari-hari, lalu membunuh anak kecil ini lantas menyuruhku memakannya. Aku ini binatang, sedangkan mereka manusia. Seharusnya manusia bisa lebih berderajat daripada binatang sepertiku. Aku ini hanya seekor anjing yang tak punya akal dan hati nurani. Sedangkan mereka manusia, yang dimuliakan oleh Allah sebagai makhluk yang derajatnya paling tinggi di antara makhluk Allah lainnya. Lebih tinggi dari binatang, tumbuhan, jin bahkan malaikat. Tapi entah kenapa, Israel, senang sekali membantai penduduk Palestina ini. Padahal tanah yang mereka pijak bukan tanahnya. Tanah yang mereka akui sebagai negaranya bukanlah miliknya.

Tapi persetan pada mereka. Yang kutahu, aku sedang kelaparan. Semoga saja, roh perempuan kecil ini bisa tenang di sisi Allah meski jasadnya tercabik-cabik olehku. Semoga Allah memberinya ganti kehidupan yang lebih baik di surga.

Tubuhnya semakin tak berbentuk. Hatinya sudah kudapatkan, dan kini dadanya robek berlapis darah. Kujilati pipinya yang empuk, aku juga suka pipinya. Tak lama kemudian aku kenyang, sementara Aaron, Edna, Simon dan dua prajurit lainnya terbahak-bahak di atas puing-puing bangunan. Sempat kulirik beberapa pasang mata penduduk sipil memerhatikanku, namun aku hanya menjulurkan lidahku.

Aaron bersiul, pertanda makan siang telah usai. Perutku telah penuh terisi makanan, yang bisa mengganjal perut selama beberapa hari ke depan. Sejak peperangan ini, aku selalu makan bangkai manusia-manusia Gaza. Minumnya, ya darah mereka.
***
Aaron sedang memakan daging ayam kesukaannya malam itu, sambil memain-mainkan pahanya seolah akan diberikannya padaku. Aku menjulurkan lidahku, berharap ia akan memberikannya padaku walau sedikit. Ini sudah lewat dua hari sejak aku makan bangkai perempuan kecil itu. Perutku sangat lapar, dan Aaron sama sekali tak memedulikanku! Aku menggonggong. Dia melemparkan tulang padaku yang langsung kutangkap kemudian berjongkok pada kedua kaki depanku dengan tetap menggeram dan menggigit erat tulang tersebut.

Malam kian tinggi. Dari arah Gaza terdengar dentuman bom yang memekakkan telinga. Pasti hancur lagi rumah-rumah mereka. Langit pun pastinya cerah oleh kilatan cahaya dari bom-bom yang dijatuhkan di kota itu. Serupa kembang api tahun baru. Selesai makan, Aaron menarik rantai di leherku dan mengajakku berjalan ke arah kota Gaza. Entah apa yang akan dilakukannya malam-malam begini. Aku menjulurkan lidah di belakangnya, seraya menggonggong pelan beberapa kali.

Aaron memasuki sebuah rumah penduduk sipil, yang kali ini para penghuninya adalah dua orang wanita muda. Aaron menyeringai dan mendekati salah seorang di antara dua orang itu. Yang seorang tanpa basa-basi lagi segera ditembaknya dengan pistol yang terselip di pinggangnya, sementara yang seorang lagi menjerit di sampingnya berusaha menolong wanita yang ditembak itu.

Aaron menarik wanita yang jauh lebih muda itu, kemudian memaksanya melepaskan pakaiannya. Wanita itu menolak, menjerit, meronta dan sekuat tenaga melawan Aaron. Tak mau melepaskan kehormatannya, bahkan disentuhnya pun tak sudi. Namun kekuatannya tak sebanding dengan kekuatan Aaron. Ia kalah. Aaron mulai
menggagahinya.

Aku menyalak. Menggonggong. Berjalan hilir mudik kebingungan. Aaron memang satu spesies denganku. Perbuatannya tak jauh berbeda denganku ketika ingin melampiaskan nafsu. Aaron memang sahabatku, saudaraku, yang terperangkap dalam tubuh manusia. Kasihan sekali....

Tiba-tiba dari luar, masuklah seorang anak kecil yang waktu itu kabur bersama anak perempuan yang jasadnya kukoyak-koyak. Ia membawa ketapel yang langsung ditembakkannya ke arah Aaron. Batu melayang tepat mengenai kepala Aaron. Anak kecil itu segera menyerangnya lagi dengan besi panjang yang ia bawa. Robohlah Aaron. Darah di kepalanya muncrat ke mana-mana. Tak lama kemudian ia kaku. Sedangkan wanita yang kehormatannya hampir direnggut itu menangis di sudut ruangan. Tergugu pilu.

Aku menyalak ke arah anak kecil itu.

“Kul!” aku membayangkan anak itu berkata demikian, meskipun dia hanya menatapku tajam tanpa bicara apa-apa. Tetapi aku langsung menganggapnya sebagai isyarat agar aku memakan bangkai Aaron. Tak buang waktu, perutku yang kelaparan dua hari ini segera terpuaskan. Aku paling suka hati. Yeah. Hati Aaron akan kumakan dengan nikmat malam ini...
***

/@cwi

pengunjung membaca ini juga:



0 komentar:

Posting Komentar


Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |