Khutbah Idul Fitri 1433 H: Kunci Kebahagiaan dan Kesejahteraan
| Oleh: Drs. Ahmad Yani |
selengkapnya...
| Oleh: Drs. Ahmad Yani |
selengkapnya...
gus-makmunOleh : Muhammad Makmun, M.HI
(Dosen Fakultas Agama Islam Unipdu Jombang)
Ketika mendengar kata Idul Fitri, tentu dalam benak setiap orang yang ada adalah kebahagiaan dan kemenangan. Dimana pada hari itu, semua manusia merasa gembira dan senang karena telah melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.
Dalam Idul Fitri juga ditandai dengan adanya ”mudik (pulang kampung)” yang notabene hanya ada di Indonesia. Selain itu, hari raya Idul Fitri juga kerap ditandai dengan hampir 90% mereka memakai sesuatu yang baru, mulai dari pakaian baru, sepatu baru, sepeda baru, mobil baru, atau bahkan istri baru (bagi yang baru menikah). Maklum saja karena perputaran uang terbesar ada pada saat Lebaran. Kalau sudah demikian, bagaimana sebenarnya makna dari Idul Fitri itu sendiri. Apakah Idul Fitri cukup ditandai dengan sesuatu yang baru, atau dengan mudik untuk bersilaturrahim kepada sanak saudara dan kerabat?.
Idul Fitri (kembali ke fitrah), ya suatu hari raya yang dirayakan setelah umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan satu bulan penuh. Dinamakan Idul Fitri karena manusia pada hari itu laksana seorang bayi yang baru keluar dari dalam kandungan yang tidak mempunyai dosa dan salah.
Idul Fitri juga diartikan dengan kembali ke fitrah (awal kejadian). Dalam arti mulai hari itu dan seterusnya, diharapkan kita semua kembali pada fitrah. Di mana pada awal kejadian, semua manusia dalam keadaan mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Dalam istilah sekarang ini dikenal dengan ”Perjanjian Primordial” sebuah perjanjian antara manusia dengan Allah yang berisi pengakuan ke Tuhan an, sebagaimana yang terekam dalam surah al-A’raf (7) ayat 172 :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
(Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhan-mu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”).
Seiring dengan perkembangan itu sendiri, banyak di antara manusia dalam perjalanan hidupnya yang melupakan Allah serta telah melakukan dosa dan salah kepada Allah dan kepada sesama manusia. Untuk itu, memahami kembali makna Idul Fitri (kembali ke fitrah) dengan membangun kembali pengabdian hanya kepada Allah adalah sebuah keharusan sehingga kita semua dapat menjadi hamba-hamba muttaqin dan hamba yang tidak mempunyai dosa. Dosa kepada Allah terhapus dengan jalan bertaubat dan dosa kepada sesama manusia dapat terhapus dengan silaturrahim.
Cara Menghapus Dosa Kepada Allah Adalah dengan Taubat
Dosa merupakan catatan keburukan di sisi Allah yang telah dilakukan oleh setiap manusia karena mereka tidak menjalankan perintah atau karena mereka melanggar larangan Allah dan RasulNya.
Bulan Ramadhan merupakan bulan khusus yang dikhususkan Allah untuk Umat Islam. Di bulan ini terdapat maghfirah, rahmah dan itqun minan nar. Selain itu, bulan Ramadhan juga menjadi sarana umat manusia untuk memohon dan meminta pengampunan dari Allah dengan jalan melaksanakan ibadah puasa dan shalat tarawih. Sebagaimana hadis Rasul:
أخرج البخاري: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلاَمٍ قَالَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
(Dari Muhammad bin Salam dari Muhammad bin Faudhail dari Yahya bin Sa’id dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : Barangsiapa yang berpuasa pada bulan ramadhan dengan kepercayaan bahwa perintah puasa itu dari Allah dan hanya mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosanya).
Begitu juga Allah menyediakan Qiyam Ramadhan (Tarawih) sebagai sarana penghapusan dosa apabila dilakukan karena Allah dan hanya mengharap pahala dari Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam hadis shahih pada kitab Sunan Abi Dawud
أخرج ابي داود : حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُتَوَكِّلِ قَالاَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ بِعَزِيمَةٍ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ كَانَ اْلأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ فِي خِلاَفَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَصَدْرًا مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
(Dari al-Hasan bin Ali dan Muhammad bin al-Mutawakkil keduanya dari Abd al-Razaq dari al-Ma’mar dari al-Hasan dan Malik bin Anas dari al-Zuhri dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW senang melaksanakan Qiyam Ramadhan (Tarawih) meskipun tidak mewajibkannya. Kemudian bersabda :”Barangsiapa melaksanakan Qiyam ramadhan (tarawih) karena Allah dan mencari pahala dari Allah akan diampuni dosanya yang telah lalu. Kemudian Rasulullah wafat, sedang masalah Qiyam Ramadhan tetap seperti sediakala pada pemerintahan Abu Bakar dan pada awal pemerintahan Umar bin Khattab).
Dengan rajin dan tekun melaksanakan puasa dan shalat tarawih dengan tulus mencari ridho dan pahala dari Allah, niscaya dosa dan kesalahan kita kepada Allah telah terampuni kecuali dosa syirik sehingga kita menjadi hamba yang bersih dari dosa. Setelah dosa kita diampuni Allah, maka tahapan selanjutnya adalah membersihkan dosa kita kepada sesama manusia.
Idul Fitri atau kembali ke fitrah akan sempurna tatkala terhapusnya dosa kita kepada Allah diikuti dengan terhapusnya dosa kita kepada sesama manusia. Terhapusnya dosa kepada sesama manusia dengan jalan kita memohon maaf dan memaafkan orang lain.
Nah, dengan momentum Idul Fitri ini kita mari jadikan sebagai sarana meminta maaf dan memaafkan orang lain dengan bersilaturrahim (menyambung kasih sayang) baik kepada suami atau istri, kedua orang tua, anak, keluarga, sanak kerabat, tetangga serta teman dan relasi kita ketika ada kebencian terhadap mereka. Sebab kasih sayang merupakan lawan dari kebencian. Sehingga orang yang dalam dirinya ada kebencian pada suami atau istri, orang tua, anak, keluarga, sanak kerabat, tetangga, teman dan relasi disebut dengan pemutus kasih sayang (Qathiul Rahim). Orang yang memutuskan kasih sayang (Qathiul Rahim) dalam hadis shahih dijelaskan bahwa mereka ini tidak akan masuk surga. Sebagaimana sabda Rasul:
أخرج البخاري: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ إِنَّ جُبَيْرَ بْنَ مُطْعِمٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
(Dari Yahya bin Bukair dari al-Lais dari Uqail dari Ibn Syihab bahwa Muhammad bin Jubair bin Muth’im berkata bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda : pemutus kasih sayang tidak akan masuk surga).
Di hadis lain juga dijelaskan:
أخرج أحمد: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنِي الْخَزْرَجُ يَعْنِي ابْنَ عُثْمَانَ السَّعْدِيَّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ يَعْنِي مَوْلَى عُثْمَانَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَعْمَالَ بَنِي آدَمَ تُعْرَضُ كُلَّ خَمِيسٍ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَلاَ يُقْبَلُ عَمَلُ قَاطِعِ رَحِمٍ
(Dari Yunus bin Muhammad dari al-Khazraj (Ibn Usman al-Sa’diy dari Abi Ayub (Maula Usman) dari Abi Hurairah berkata : aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sungguh perbuatan Bani Adam (manusia) dilaporkan setiap kamis malam jum’at, maka tidak akan diterima perbuatan (baik) orang yang memutuskan kasih sayang).
Di samping kita meminta maaf dan memberi maaf, kita juga harus dan wajib sebisa mungkin menjadi pribadi pemaaf. Memberi maaf berbeda dengan pemaaf. Kalau memberi maaf itu terjadi ketika ada orang yang meminta maaf, sedang pemaaf adalah orang yang memberi maaf atas kesalahan orang lain sebelum orang tersebut meminta maaf kepadanya. Hal ini dengan tegas ada dalam surah Ali-Imran (3) ayat 134 :
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(Penghuni surga adalah) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dengan demikian, mari kita jadikan Idul Fitri tahun ini berbeda dengan Idul Fitri di tahun-tahun sebelumnya karena kita telah memahami akan makna Idul Fitri. Dengan kita maksimalkan bersilaturahim untuk meminta maaf, memberi maaf dan menjadi seorang pemaaf. Jangan biarkan kedengkian dan kebencian merasuk kembali ke jiwa kita yang telah fitri (suci).
Dengan momentum ini pula, saya Muhammad Makmun sebagai mahluk yang banyak dan penuh dengan kesalahan dan dosa, baik yang saya sengaja atau tidak, dengan tulus saya memohon maaf lahir batin atas semua kesalahan dan dosa saya kepada anda semua. Begitu juga sebaliknya, jika ada kesalahan dan dosa anda semua kepada saya, dengan lapang dada saya memaafkan anda. Dengan harapan, semoga kita semua menjadi manusia bersih sebagaimana bayi yang baru dilahirkan dari kandungan yang tak punya salah dan dosa.
من العائدين والفائزين, كل عام وأنتم بخير“”
/@cwi
selengkapnya...
Termasuk perkara yang kebanyakan manusia jatuh terjerumus kepadanya adalah menunda-nunda perkara kebaikan. Karena merasa masih memiliki waktu luang. Terkadang kita membiarkan waktu dan kesempatan yang ada untuk melakukan suatu kebaikan, sehingga di belakang hari datang sakit, kesibukan dan sesuatu yang lain akhirnya kita tidak mampu melaksanakan kebaikan tersebut. Oleh karena itulah para ulama memperingatkan kepada kita untuk selalu menjaga perkara ini.
Rasulullah SAW mengingatkan kita semua akan artinya bersegera berbuat kebaikan dan jangan ditunda-tunda untuk berbuat kebaikan. Dari Uqbah bin Harits r.a, ia berkata, “Saya pernah salat Ashar di belakang Nabi SAW, di Madinah Munawwarah. Setelah salam, beliau berdiri dan berjalan dengan cepat melewati bahu orang-orang, kemudian beliau masuk ke kamar salah seorang istri beliau, sehingga orang-orang terkejut melihat perilaku beliau SAW. Ketika Rasulullah SAW keluar, beliau merasakan bahwa orang-orang merasa heran atas perilakunya, lalu beliau bersabda, “Aku teringat sekeping emas yang tertinggal di rumahku. Aku tidak suka kalau ajalku tiba nanti, emas tersebut masih ada padaku sehingga menjadi penghalang bagiku ketika aku ditanya pada hari Hisab nanti. Oleh karena itu, aku memerintahkan agar emas itu segera dibagi-bagikan.” (HR Bukhari).
Jika kita bisa bersegera untuk menunaikannya, mengapa harus ditunda-tunda? Demikian sikap Rasulullah SAW dalam berbuat kebaikan. Sehingga beliau terlihat tergesa-gesa untuk segera menunaikannya. Namun, kini kebanyakan orang justru suka menunda atau menahan-nahan kebaikan? Dan apa yang dicontohkan Rasulullah di atas patut kita renungkan. Sebab, dengan bersegera dalam kebaikan, kita juga bersegera meraih ridlo-Nya.
Harta yang dikeluarkan di jalan Allah, diganti dengan pahala yang berlipat ganda. Menundanya, kadang malah membuat kita terlena. Harta yang mestinya untuk kebaikan, bisa-bisa terseret habis untuk memenuhi keinginan konsumtif belaka. Jadi kalau ingin beruntung, bersegeralah menuju kebaikan.
Jangan menunda atau menahan-nahan sebuah pekerjaan. Demikian petuah yang sangat popular di telinga kita. Menunda pekerjaan akan banyak membawa bahaya pada pekerjaan yang akan kita lakukan. Bila menunda pekerjaan akan berdampak buruk, maka sebaliknya dengan menyegerakan pekerjaan akan membuahkan kenikmatan dan keberkahan. Menyegerakan akan memperluas pintu rizki.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/07/21958/bersegera-dalam-membayar-zakat-jangan-ditahan-saat-ramadhan/#ixzz23VkfCjOz
Itulah alasan mengapa setiap mukmin harus mengambil kesempatan pertama untuk melaksanakan sebuah pekerjaan, seperti bersegera melaksanakan salat, bersegera istighfar, bersegera berbuka puasa, termasuk bersegera dalam berzakat dan jangan ditahan-tahan. Allah SWT berfirman memerintahkan kepada kita untuk bersegera kepada maghfirohNya bersegera berbuat kebaikan dan jangan ditunda-tunda untuk berbuat kebaikan. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. (QS Ali Imran: 133)
Bersegera, bergegas, bercepat-cepat dan jangan ditahan-tahan inilah yang seharusnya menjadi salah satu ciri pelaksanaan zakat, yaitu dengan menyegerakan pembayaran zakat pada saat memperoleh penghasilan, gaji, komisi, barang temuan dan lain sebagainya. Sebagaimana para petani yang mengeluarkan zakat pada saat panen, atau para peternak yang menunaikan kewajibannya saat memasuki haul dan hisab.
Hal itu pula yang harus dilakukan oleh profesi manapun, apakah dia seorang dokter, insinyur, atlet, pesepakbola, akuntan, direktur, manager dan lain sebagainya dengan bersegera dan jangan ditahan-tahan untuk mengeluarkan zakat, infak-sedekah saat menerima penghasilan, gaji, bonus, komisi, honor, dan lainnya. Allah SWT berfirman: “…dan tunaikanlah haknya pada waktu memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)…”. (QS Al An’am: 141)
Karena pada hakekat membayar zakat adalah untuk membersihkan harta, karena kita semua meyakini bahwa harta yang didapatkan tidak semuanya suci. Bisa jadi masih ada harta atau hak orang lain dalam harta kita, sehingga ini menjadi kewajiban untuk membersihkan harta kita.
Rasulullah SAW selalu bersegera dalam kebaikan karena hati beliau memang benar-benar yakin bahwa berzakat, infak-sedekah akan mengundang rahmatNya. Dan beliau tak mau menunda-nundanya karena khawatir akan murkaNya.
Bagi mereka yang suka menunda-nunda mengeluarkan hartanya, sebenarnya bukan keuntungan yang didapat. Justru harta yang demikian itu bisa kehilangan berkahnya. Bukannya membuat hati ini menjadi tenteram dan bahagia, justru semakin gundah gulana.
Oleh karena itu, dalam hal kebaikan, janganlah menunda atau menahan-nahan. Bersegeralah dalam menunaikan zakat, infak-sedekah. Bahkan kita diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Lihatlah orang yang lebih bersegera dari kita, agar diri termotivasi untuk lebih baik lagi. Lebih bersegera, lebih bergegas. Itulah yang telah dicontohkan Rasulullah SAW dalam hal melakukan kebaikan. “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan”. (QS Al Baqarah: 148)
Sungguh sama sekali tidak kerugian untuk bersegera dalam kebaikan, justru akan dapat banyak keuntungan. Dengan menyebar rahmatNya kepada sesama, Allah yang Maha Pemurah tak akan terlambat mengganti dan mengalirkan rahmat dan berkah-Nya pada harta kita. Wallahua’lam.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/07/21958/bersegera-dalam-membayar-zakat-jangan-ditahan-saat-ramadhan/#ixzz23Vl16LLM
/@cwi
selengkapnya...
Maha Suci Allah yang tidak pernah keliru di dalam merencanakan segala sesuatu. Skenario yang diciptakannya sangat sempurna, tidak terdapat cacat sedikitpun. Setiap risalah yang Dia turunkan kepada umat manusia senantiasa selaras dengan fitrahnya sehingga sungguh tidak masuk akal ketika terdapat penentangan atau mosi tidak percaya yang ditujukan kepada kalam-Nya yang suci. Satu hal yang perlu diketahui bahwa semua aturan yang diciptakan oleh-Nya dilandasi oleh rasa yang merupakan perpaduan antara cinta, kasih sayang, kelembutan, dan perhatian-Nya. Perlakuan-Nya yang indah untuk hamba-hambaNya ini tidak terdikotomikan oleh hal apapun, pun dalam masalah jilbab. Sungguh luar biasa Allah, telah memberikan aturan yang apabila dicermati, maka aturan tersebut justru akan semakin meningkatkan derajat wanita. Aturan itu adalah bagaimana wanita harus menutupi auratnya. “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri orang-orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu.” – (Al-Ahzab: 59)
Penggalan ayat di atas merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah untuk kaum Hawa. Paras yang rupawan dan penampilan yang dapat menimbulkan ketertarikan merupakan sunnatullah yang terdapat di dalam diri kaum wanita. Keindahan yang Allah berikan secara khusus kepada wanita ini dapat menimbulkan fitnah dan bencana apabila diletakkan di tempat yang salah. Di zaman Jahiliyyah dahulu, banyak sekali wanita yang dilecehkan bak binatang. Hal tersebut terjadi karena wanita yang tidak pandai menjaga auratnya dengan baik. Perintah berjilbab justru bentuk perhatian Allah pada kaum Hawa agar kaum Hawa terhindar dari pelecehan dan perlakuan kurang senonoh.
Di zaman kekhalifahan Abbasiyah, Khalifah al-Mu’tashim menunjukkan pada dunia saat itu bahwa betapa Islam sangat meninggikan kedudukan seorang wanita. Izzah yang ditunjukkan oleh al-Mu’tashim saat itu sangat terasa, bahkan membuat pihak kawan dan lawan segan terhadapnya. Dikisahkan ada seorang wanita yang roknya sengaja dikaitkan pada paku oleh seorang Romawi sehingga membuat aurat wanita tersebut tersingkap saat ia hendak beranjak berdiri. Wanita tersebut tidak menerima perlakuan seperti itu kemudian ia melaporkan hal tersebut kepada khalifah. Mendengar wanita tersebut dilecehkan seperti itu, khalifah dengan segera mengumpulkan pasukan untuk menyerang Romawi. Hal yang membuat siapapun gemetar kala itu adalah pasukan yang al-Mu’tashim kirim sangat banyak jumlahnya, bahkan tidak terputus sejak pintu luar istana hingga masuk daerah kekuasaan Romawi. Semua itu dilakukan oleh al-Mu’tashim hanya karena ia tidak ingin melihat kemuliaan wanita yang seharusnya terselimuti jilbab itu terampas secara hina. Subhanallah.
Kecantikan fisik pada wanita merupakan sebuah harta yang sangat berharga karena Allah sendiri yang mengistilahkan bahwa aurat wanita adalah perhiasan. Perhiasan wanita ini akan sangat tinggi nilainya manakala keotentikan serta keindahannya tetap dijaga dan dilindungi. Semakin baik seorang wanita menjaga perhiasannya, semakin mulia pula kedudukan seorang wanita. Kecantikan ini juga merupakan salah satu nikmat dan anugerah yang diberikan Allah untuk kaum wanita. Oleh karena itu, salah satu bentuk syukur atas nikmat ini adalah dengan cara menjaga perhiasan itu dengan baik. Proses menjaganya pun tidak hanya sekedar menjaga, namun dengan cara yang disukai Allah. Allah berfirman,
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” – (An-Nur: 31)
Ayat tersebut menekankan 2 hal tentang jilbab :
Larangan untuk menampakkan perhiasan (aurat) kecuali yang boleh tampak
Perintah untuk menjulurkan jilbab hingga ke dada
Rasulullah menegaskan batasan bagian tubuh wanita yang boleh tampak di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu anha,
“Dari Aisyah RA, bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah berpaling darinya dan berkata : Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haidh (akil baligh) maka tak ada yang layak terlihat kecuali ini (sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan)” (HR. Abu Daud dan Baihaqi)
Dengan tertutupnya aurat dengan jilbab, wanita tidak akan terjerumus menjadi media bagi setan untuk menggoda dan melecehkan akhlaq manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Pakaian yang sesuai dengan anjuran Allah akan melindungi pemakainya dari godaan setan dimanapun ia berada. Bagi wanita yang memakai jilbab, pada umumnya dapat merasakan adanya semacam pengingat diri untuk tidak melakukan hal-hal yang terlarang dan dicela oleh syara. Dengan kata lain, jilbab dapat dikategorikan sebagai pengontrol perilaku wanita guna menyelamatkan kehormatan dirinya dari berbagai macam godaan setan.
Hal terakhir yang menjadi buah manis dari pengenaan jilbab sadar ataupun tidak adalah bertambahnya level kecantikan. Tidak hanya terlihat cantik di mata manusia, namun terlihat elok juga di mata Allah. Tiada kebahagiaan yang paling indah dirasa selain terlihat mulia di mata Allah hingga Allah secara pribadi mengeluarkan pujian indah-Nya. Kedudukan yang tinggi di mata Allah akan menjadikan kedudukan di mata manusia menjadi tidak berarti sama sekali. Oleh karena itu, sungguh beruntung bagi wanita yang mendapatkan lirikan khusus dari Allah karena kerendahan hatinya untuk tunduk patuh pada anjuran yang telah Allah tawarkan dalam mengenakan jilbab.
Berbahagialah bagi wanita yang telah rapi dalam mengenakan jilbabnya. Ketenangan hati, perlindungan khusus dari Allah, kemuliaan di mata manusia dan di mata-Nya, nikmat yang melimpah, jiwa yang bersih, petunjuk dan hidayah-Nya yang mahal, dan syurga-Nya yang indah insya Allah akan ia dapatkan manakala wanita mengindahkan anjuran yang Allah tawarkan ini.
Semoga Allah senantiasa merahmati dan memuliakan kedudukan wanita yang senantiasa menjaga dirinya dengan menutupi tubuhnya dengan jilbab yang dianjurkan-Nya.
Wallahu’alam bisshawab
Oleh: Fauzi Achmad Zaky, Cimahi
/@cwi
selengkapnya...
Meski orang banyak menyebut istilah “zakat fitrah”, sebenarnya yang tepat penyebutannya adalah Zakat Fithr, tidak pakai..”ah” di belakangnya. Karena mengacu kepada Fithr, bukan hari Fithrah. Bukankah kita menyebut ‘Idul Fithr dan bukan ‘Idul Fithrah?
Terkadang juga digunakan istilah shadaqah al-fithr. Karena zakat terkadang disebut juga dengan istilah shadaqah di dalam Al-Quran. Dasar pensyariatannya adalah dalil berikut iniRasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memfardhukan Zakat Fithr bulan Ramadhan kepada manusia sebesar satu shaa’ kurma atau sya’ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim. (HR Jamaah kecuali Ibnu Majah dari hadits Ibnu Umar)
Maka dari dalil di atas, jelas sekali bahwa zakat ini dikaitkan dengan bulan Ramadhan. Zakat Fithr sebenarnya diutamakan untuk diberikan pada malam 1 Syawwal hingga shalat ‘Idul Fithr, sebagaimana hadits berikut ini.
Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan Zakat Fithr sebesar 1 sha’ kurma atau 1 sha’ tepung (syair), atas setiap hamba atau tuan, laki atau perempuan, kecil atau besar yang beragama Islam. Dan memerintahkan agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat. (HR Muttafaq ‘alaihi)
Namun para ulama mengatakan bahwa meski waktu yang utama adalah pagi hari sebelum shalat hari raya, tetapi pelaksanaannyaboleh dimajukan dua tiga hari sebelum itu. Dengan pertimbangan adanya kesibukan dan sedikitnya waktu penyalurannya. Sehingga ditakutkan bila zakat itu malah tidak sampai kepada yang berhak tepat pada waktunya.
Bahkan ada juga para ulama lain yang berijtihad untuk membolehkan pembayaran Zakat Fithr ini dilakukan sejak awal Ramadhan. Karena mengingat hadits di atas tidak membatasi masa awal mula mulai berlakunya pemberian zakat ini. Yang disebutkan di hadits itu hanya masa akhir berlakunya sekaligus merupakan masa yang paling utama (afdhal).
Ukuran dan Bentuk Zakat
Kalau kita bicara ukuran dan bentuk zakat ini, sesungguhnya kembali kepada tujuan dasar disyariatkannya, yaitu untuk mencukupkan kekurangan orang-orang faqir pada hari Raya Fithr. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Cukupkanlah makan mereka untuk hari ini.”
Maka esensi Zakat Fithr adalah bagaimana memastikan tidak ada orang yang kelaparan hari itu karena tidak bisa makan lantaran miskin. Pokoknya upayakan bagaimana agar pada hari itu semua orang miskin bisa makan dan tidak perlu puasa. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan puasa di hari itu.
Kemudian tentang ukuran dan bentuk makanannya, tentu kita kembalikan kepada masing-masing negeri. Kalau melihat hadits nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, sudah bisa dipastikan bahwa ukurannya adalah ukuran untuk makan satu hari menurut kebiasaan penduduk Madinah.
Dari Abi Said Al-Khudhri radhiyallahu ‘anh, “Kami mengeluarkan Zakat Fithr ketika dahulu Rasulullah bersama kami sebanyak satu shaa’ tha’aam (hinthah), atau satu shaa’ kurma, atau satu shaa’ sya’ir, atau satu shaa’ zabib, atau satu shaa’ aqith. Dan aku terus mengeluarkan Zakat Fithr sedemikian itu selama hidupku.” (HR Jamaah – Nailul Authar)
Jelas sekali hadits ini menceritakan bahwa makanan sehari-hari orang Madinah di zaman nabi adalah seperti disebutkan di atas. Akan tetapi masalahnya, apakah ukuran dan jenis makanan yang sama harus diterapkan di negeri di mana masyarakatnya tidak memakan jenis bahan pangan itu?
Apakah orang Papua yang makanan pokoknya sagu harus menerima zakat dalam bentuk kurma? Apakah bangsa Amerika yang makanannya kentang harus makan hinthah? Pertanyaanya, apakah mereka doyan makan makanan yang bukan makanan pokok mereka sehar-hari?
Oleh karena itu, mujtahid mutlak pertama, Al Imam Abu Hanifah jauh-jauh hari sudah memikirkan hal ini. Beliau mencoba mengambil esensi hadits-hadits tentang Zakat Fithr ini dan menuliskan kerangkanya. Initnya menurut beliau, ukurannya adalah ukuran yang cukup agar seseorang tidak lapar di hari itu.
Bahkan dalam mazhab Hanafi, pembayarannya boleh dikonversikan dalam bentuk uang seharga 1 sha‘ itu sesuai dengan jenis makanan di negeri masing-masing.
Lalu para mujtahid di negeri kita berupaya juga untuk mengkonversikan ke bentuk makanan pokok bangsa kita, yaitu beras. Sudah pasti ada perbedaan pendapat ketika mengkonversikannya. Namanya saja konversi.
Maka jangan heran kalau ada yang mengatakan bahwa satu sha’ dzabib, kurma, hinthah, sya’ir atau ‘athiq setara dengan 2, 176 kg. Tetapi ada juga yang membulatkan menjadi 2, 5 kg. Bahkan ada juga yang mengukurnya dengan volume bukan dengan berat, sehingga menjadi 3, 5 liter beras. Sebab menurut mereka, ukuran 1 sha’ itu bukan ukuran berat melainkan ukuran volume.
Tentu saja melebihkan ukurannya menjadi lebih utama dan lebih berpahala. Bahkan ada yang mengatakan seharusnya jenis berasnya disesuaikan dengan jenis beras yang kita makan sehari-hari. Janganlah kita memberi berat untuk zakat dari jenis yang bau apek, berkutu dan full batu, padahal yang kita makan sehari-hari dari jenis yang bermutu.
Tetapi pendeknya, makanan itu cukup untuk membuat seseorang tidak kelaparan dalam sehari itu, yaitu Hari Raya Fithr.
Kapan Zakat Fithr Diberikan?
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan Zakat Fithr sebesar 1 sha’ kurma atau 1 sha’ tepung (syair), atas setiap hamba atau tuan, laki atau perempuan, kecil atau besar yang beragama Islam. Dan memerintahkan agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat. (HR Muttafaq ‘alaihi)
Dengan berdasarkan hadits ini, memang benar sebaiknya Zakat Fithr itu diberikan sebelum shalat Idul Fithr dilaksanakan. Sebab tujuannya adalah agar fakir miskin pada hari raya itu tidak kelaparan. Kalau diberikan jauh sebelum waktunya, mungkin dikhawatirkan kehilangan momentumnya.
Namun para ulama sepakat mengatakan bahwa waktu untuk mengeluarkan Zakat Fithr bukan hanya boleh sebelum shalat Idul Fithri. Waktu itu hanya yang paling afdhal, tetapi tidak melarang bila diberikan pada malam 1 Syawwal hingga shalat Iedul Fitri. Juga boleh dimajukan pembayarannya dua tiga hari sebelum itu. Bahkan ada juga yang membolehkan sejak awal Ramadhan.
Kalau membagikan Zakat Fithr di pagi hari sebelum shalat Idul Fithr dilaksanakan dirasa sulit, karena berbagai pertimbangan dan faktor, boleh saja dilakukan pada malam harinya. Atau boleh dua tiga hari sebelumnya.
Kecuali anda punya team amil zakat yang solid dan bisa bekerja cepat sejak selesai shubuh hingga menjelang jam pelaksanaan shalat Ied. Yang pasti teamnya harus banyak, karena kalau terlambat akan sia-sia.
Atau bisa juga disiasati agar para mustahik zakat mengambil haknya di tempat pelaksanaan shalat dan waktunya sebelum shalat dimulai. Sehingga baik panitia shalat maupun para mustahik zakat sudah berdatangan sejak shubuh untuk pendistribusian.
Akan tetapi cara seperti ini barangkali masih terasa aneh dan kurang populer. Kalau tidak terbiasa, pasti merepotkan. Misalnya, kalau seorang mustahiq menerima beras sebelum shalat dimulai, maka selama shalat dan mendengarkan khutbah, dia harus membawa-bawa beras ke sana ke mari.
Kalau diantar ke rumah masing-masing, bisa jadi mustahik zakatnya tidak ada di rumah, karena sudah pergi untuk shalat Ied.
Maka kalau mau diberikan setelah shubuh dan sebelum shalat Ied, perlu dipikirkan teknis pendistribusiannya yang paling efektif, cepat dan tepat.
Jangan ditanya bagaimana dengan yang terjadi di masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebab penduduk Madinah di masa itu hanya sedikit. Konon menurut para ahli sejarah, luas kota Madinah di masa itu hanya seluas masjid Nabawi di hari ini. Maka mendistribusikan zakat ke sebuah wilayah yang hanya seluas masjid Nabawi, pasti tidak terlalu sulit.
Sedangkan di masa sekarang ini, terkadang coverage area distribusi zakat bisa sangat luas dan kompleks, sehingga membutuhkan trik khusus agar bisa tepat sampai sasaran pada waktunya.
Wallahu a’lam bish shawab.
Rep/Red: Shabra Syatila
Sumber: rumahfiqih.com
/@cwi
selengkapnya...
Ada beberapa bentuk pelaksanaan syariat zakat di tengah masyarakat yang terlanjur sulit diluruskan, kecuali lewat berbagai edukasi yang tidak pernah berhenti.
Dan ini menjadi sebuah proyek besar yang butuh keseriusan, dalam rangka meluruskan persepsi umat secara menyeluruh.
Di antara contoh pelurusan yang harus mendapatkan porsi agak lebih besar antara lain karena adanya beberapa kekuran akuratan.
1. Zakat Dibayarkan Langsung Kepada Mustahik
Seorang kaya secara langsung mengeluarkan hartanya diberikan kepada orang miskin dengan niat ibadah zakat, bukan berarti zakatnya tidak sah. Namun kalau kita merujuk kepada contoh nyata apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, nampak jelas sekali perbedaannya.Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah mengangkat beberapa shahabat yang cakap dan mumpuni, untuk diserahkan tanggung jawab memanage zakat secara profesional. Ibnu Sa’ad menerangkan nama nama petugas zakat itu dan juga nama nama suku suku yang diatanginya, yaitu :
Uyayinah bin Hisn di utus ke Banu Tamim
Buraidah bin Hasib, ada juga yang menyatakan Ka’ab bin Malik, di utus ke Banu Aslam dan Banu Ghifar,
Abbad Ibnu Bisyr Asyhali diutus ke banu Sulaim dan Banu Muzainah
Rafi’ bin Makis diutus ke Bani Juhainah
Amr bin Ash diutus ke Banu Fazarah
Dhahhak bin Syufyan al kilabi diutus ke Banu Kilab
Burs bin Sufyan al Ka’bi diutus ka Banu Ka’ab
Ibnu Lutibah Azdi Azdi di utus ke Banu Zibyan
Seorang laki laki dari Banu Sa’ad Huzaim diutus untuk mengambil zakat banu Sa’ad Huzaim.
Ibnu Ishaq mengemukakan tentang adanya golongan lain yang diutus Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam ke daerah dan suku lain di Jazirah Arabia, seperti :
Muhajir bin Umayyah yang diutus ke Sana’,
Zaid bin Labid ke Hadramaut,
‘Adi bin Hatim ke Banu Thay dan Banu As’ad,
Malik bin Nuwairah ke Banu Hanzalah, Zabraqan bin Nadr,
Qais bin Ashim ke Banu Sa’ad,
Ala’ bin Hadrami ke Bahrain dan Ali di utus ke Najran.
Beberapa hadits dan periwayatan diatas menunjukkan bahwa pengelolaan zakat oleh Negara sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan diikuti oleh pemerintah pemerintah Islam sesudahnya dan masih banyak lagi hadits dan periwayatan yang menunjukkan akan hal itu.
Tapi alasan sebagian kalangan yang tidak mau menyalurkan zakat lewat amil zakat kalau direnungkan, memang beralasan juga. Misalnya, zakat lewat amil itu kadang meninggalkan kekhawatiran apabila amil itu tidak amanah.
Selain itu juga seringkali amil zakat kurang bijaksana, mereka hanya menyedot dana zakat dari tengah masyarakat untuk disetorkan ke pusat, sementara orang orang miskin di daerah itu sendiri malah tidak mendapatkan harta zakat.
Padahal prinsip zakat itu bukan dana daerah disedot ke pusat, sebaliknya zakat adalah menarik sebagian harta milik orang kaya dan langsung dikembalikan kepada orang miskin, dalam satu lingkungan, komunitas atau lingkungan.
Inilah yang ditekankan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika beliau mengutus Muadz bin Jabal ke negeri Yaman :
خُذْهَا مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِهِمْ
“Ambillah harta zakat itu dari orang orang kaya diantara mereka dan kembalikan kepada orang orang faqir di antara mereka juga.” (HR. Bukhari)
2. Zakat Dibayarkan Bukan Pada Waktunya
Fenomena datangnya bulan Ramadhan memang menarik, karena dimana mana begitu banyak bermunculan stand dan outlet penerimaan zakat, khususnya di berbagai mal dan pusat perbelanjaan.
Keberadaan stand atau outlet zakat itu tentu menggembirakan, karena selain memudahkan mereka yang mau bayar zakat, nampak kesan bahwa bulan Ramadhan itu sedemikian syiar dan penuh suasana religi.
Tetapi di balik dari fenomena menarik itu, ada tertinggal sebuah pertanyaan, kenapa outlet outlet zakat itu hanya bermunculan di bulan Ramadhan saja? Kenapa selesai lebaran dan 11 bulan berikutnya, kita tidak menemukan outlet outlet seperti itu? Apakah hal itu berarti bahwa membayar zakat hanya dilakukan di bulan Ramadhan saja?
Dan sayang sekali, ternyata kekhawatiran itu terbukti. Mereka yang bayar zakat di bulan Ramadhan ternyata memang tidak tahu menahu kalau ternyata zakat itu bukan hanya wajib dikeluarkan di bulan Ramadhan, tetapi tergantung jenis zakatnya, dan kapan mulai jatuh tempo haul dan nishab dari harta itu.
3. Zakat Dibayarkan Tidak Sesuai Besarannya
Dan sedikit sekali yang tahu tentang jenis jenis zakat dari harta yang mana yang harus dikeluarkannya. Umumnya mereka hanya bilang bahwa zakat yang dikeluarkan adalah zakat mal.
Adapun bagaimana hitung hitungannya, dan berapa yang harus dikeluarkan, ternyata yang bayar dan yang menerima pembayaran, sama sama gelap alias tidak tahu.
Petugas yang menerima zakat pun menerima begitu saja dan memberi tanda terima sambil tidak lupa membaca doa.
Lucunya, dalam prakteknya pembacaan doa dan serah terima itu malah nyaris mirip orang lagi akad nikah, karena pakai acara bersalaman segala. Sesuatu yang sama sekali tidak penting untuk dikerjakan. Sementara yang jauh lebih penting, yaitu syarat dan ketentuan zakat, malah ditinggalkan begitu saja.
Ibarat orang shalat, tetap saja ada ketentuan dan syarat. Kita tidak boleh asal main shalat secara sembarangan. Shalat Dhuhur misalnya, tidak boleh dikerjakan di waktu Dhuha’, dan kalau dikerjakan juga, tentu shalat itu tidak sah.
Shalat Dzhuhur juga tidak sah bila dikerjakan kurang atau malah lebih dari empat rakaat. Tidak mentang mentang dikerjakan 12 rakaat, lantas dianggap shalat Dhuhur itu lebih besar pahalanya.
Demikian juga dengan zakat. Bila belum mencapai nisab dan haul, tentu belum mewajibkan zakat. Bila ada orang kebelet ingin bersedekah, tentu tidak boleh dilarang, tetapi bukan berarti disalurkan sebagai zakat.
Seharusnya disalurkan lewat jalur sedekah yang lain, seperti wakaf, sumbangan sosial, sedekah sunnah, dan sejenisnya, yang penting bukan zakat. Sebab zakat punya ketentuan ketentuan yang unik, yang hanya boleh dikerjakan bila semua syarat dan ketentuan itu terpenuhi.
4. Zakat Dijadikan Pencucian Harta
Kekeliruan persepsi yang juga sering melanda umat ini antara lain adalah menganggap berzakat itu sebagai bentuk pensucian harta. Sekilas pandangan ini kelihatannya benar, namun kalau ditelusuri lebih dalam, sesungguhnya ini merupakan sebuah kekeliruan fatal.
Sebab kalau dikatakan bahwa zakat itu mensucikan harta kita, akan terselip sebuah pesan bahwa harta yang kita miliki ini tidak bersih, alias harta yang haram. Dan karena harta itu haram, untuk membersihkannya lantas dikeluarkan zakatnya.
Akibatnya, zakat menjadi sebuah legalitas untuk upaya jahat dan licik, money laundring.
Padahal sejatinya zakat itu bukan mesin pencuci harta haram, zakat bukan money laundring. Zakat tidak berfungsi sebagai pembersihkan harta yang haram agar menajdi halal. Sebaliknya, harta yang tidak halal justru hukumnya haram untuk dizakati.
Yang benar adalah bahwa zakat itu berfungsi untuk membersihkan diri dan jiwa orang yang melakukannya. Orang dapat mensucikan jiwa dan membersihkan hatinya dengan cara menunaikan zakat. Hal itu ditegaskan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman Nya :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا
“Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan diri mereka.” (QS. At Taubah :103).
Ayat ini tidak mengatakan bahwa harta zakat berfungsi untuk mensucikan harta yang kita miliki, sebab harta yang kita miliki itu seharusnya memang sudah suci, karena kita dapat dengan jalan yang halal. Yang dimaksud di dalam ayat ini adalah disucikannya diri dan jiwa kita dengan cara berzakat.
5. Zakat Penentu Diterimanya Puasa Ramadhan?
Di tengah keawaman masyarakat Islam, beredar hadits palsu yang terlanjur dianggap sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, yaitu tentang pahala puasa yang menggantung di antara langit dan bumi, maksudnya tidak diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala, selama seorang hamba belum membayar zakat fithr.
Lafadz hadits palsu itu kurang lebih demikian :
أَنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ مُتَعَلِّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لاَ يَرْفَعُ إِلاَّ بِزَكاَةِ الفِطْرِ
“(Pahala puasa di) bulan Ramadhan itu menggantung di antara langit dan bumi, tidak terangkat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala kecuali dengan ditunaikannya zakat fihr.”
a. Kritik Sanad
Al Imam As Suyuthi, seorang muhaddits besar dalam kitabnya, Al Jami’ Ash Shaghir, menuturkan bahwa hadits ini adalah hadits yang dhaif meski tanpa menyebutkan alasannya.
Lafadz hadits diriwayatkan oleh Imam Ibnu Syahin dalam kitabnya, At Targhib. Juga diriwayatkan oleh Imam Al Dhiya”. Kedua orang ini meriwayatkan dari Jabir. Ibnul Jauzi dalam kitabnya, Al Wahiyat, mengatakan bahwa di dalam sanad hadits itu adalah seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ubaid Al Bishri. Orang ini termasuk orang yang tidak dikenal identitasnya.
Ibnu Hajar Al Asqalani menguatkan penjelasan dari Ibnul Jauzi bahwa hadits ini tidak memiliki muttabi’. Maksudnya, tidak ada hadits lain yang senada dengan hadits itu secara esensi namun dengan sanad yang berbeda.
Prof. Ali Mustafa Ya’qub, MA menyebutkan bahwa dirinya juga tidak menemukan penjelasan tentang orang ini. Jadi kesimpulan hadits ini tidak dapat dinilai karena ada perawi yang tidak dikenal alias majhul.
b. Kritik Matan Hadits
Selain lewat kritik sanad hadits, kita bisa melakukan kritik suatu hadits lewat matannya. Bila matannya bertentangan dengan ushul dan aqidah atau dengan dalil dalil qoth’i yang lain secara berseberangan dan tajam, maka kritik dari segi matan bisa dilakukan.
Secara matan hadits ini bertentangan dengan pendapat para ulama. Dan memang belum pernah kita mendengar ada ulama yang mengatakan bahwa amal amal di bulan Ramadhan menjadi sia sia selama belum mengeluarkan zakat fithr.
Hubungan antara zakat dengan puasa tidak terkait sebagaimana hubungan antara wudhu’ dengan shalat.
Kalau dalam masalah shalat, kita memang mengakui bahwa salah satu syarat sah nya adalah suci dari hadats. Sehingga bila seseorang shalat dalam keadaan hadats kecil tanpa berwudhu’, para ulama sepakat bahwa shalat itu tidak sah.
Namun hubungan antara zakat dengan puasa tidak terjalin sebagai hubungan syarat dan masyrut. Masing masing berdiri sendiri dan tidak saling menjadi syarat atas sah nya ibadah yang lain.
Artinya, seorang yang melakukan berbagai aktifitas ibadah di bulan Ramadhan, asalkan dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya, insya Allah telah sah secara hukum di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tidak ada kaitannya apakah dirinya sudah menunaikan zakat atau belum.
Wallahu ‘alam
Rep/Red: Shabra Syatila
Sumber: Ustadz Ahmad Sarwat
/@cwi
selengkapnya...
selengkapnya...
selengkapnya...
selengkapnya...
selengkapnya...
selengkapnya...
Kesultanan Utsmaniyah (1299–1923), atau dikenal juga dengan sebutan Kekaisaran Turki Ottoman atau Osmanlı İmparatorluğu adalah nega...
© Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015
Back to TOP