Ramadhan & Sirah Nabawwiyah #1: Ramadhan, tonggak perubahan sejarah dunia
selengkapnya...
selengkapnya...
Dalam hal penyebaran Islam ke seluruh dunia, tidak ada khalifah Rasyidah yang lebih sukses daripada Umar bin Khathab radiyallahu 'anhu. Selama sepuluh tahun masa pemerintahannya, kaum muslimin telah meruntuhkan kekuasaan imperium Persia di Irak dan Iran, dan meruntuhkan kekuasaan imperium Romawi Timur di Syam dan Mesir.
Pada masa tersebut, para ulama dan juru dakwah Islam mengajarkan Islam ke seantero wilayah khilafah rasyidah. Jutaan orang Mesir, Syam, Irak dan Iran memeluk Islam pada masa dakwah tersebut.
Setelah selesai menunaikan ibadah haji tahun 23 H, Umar bin Khathab pulang ke Madinah. Dalam perjalanan pulang tersebut, ia singgah di Abthah. Di tempat itu Umar mengadu dan berdoa kepada Allah. Ia merasa telah tua, kekuatan fisiknya telah melemah, sementara wilayah kekuasaannya semakin luas dan rakyatnya bertambah sangat banyak. Ia khawatir tidak mampu memimpin dan melayani seluruh rakyatnya dengan baik.
Di sinilah ia berdoa agar segera diwafatkan oleh Allah sebagai seorang yang syahid. Bukan sembarang gugur di medan perang, melainkan gugur di negeri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam.
Dari Hafshah binti Umar bin Khathab radiyallahu 'anha berkata, "Saya mendengar Umar bin Khathab berdoa:
«اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي شَهَادَةً فِي سَبِيلِكَ، وَاجْعَلْ مَوْتِي فِي بَلَدِ رَسُولِكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
"Ya Allah, karuniakanlah kepadaku mati syahid di jalan-Mu dan jadikanlah kematianku di negeri Rasul-Mu Shallallahu 'alaihi wa salam." (HR. Bukhari no. 1890)
Doa itu sempat menjadi pertanyaan sebagian sahabat. Bagaimana mungkin khalifah bisa gugur sebagai seorang syahid di jantung kekhilafahan, sementara pasukan Islam sendiri sukses menaklukkan pusat kekuasaan musuh Islam di Irak, Iran, Syam dan Mesir?
Namun Allah mengabulkan doanya dengan cara yang sulit dibayangkan oleh kebanyakan manusia.
Pagi itu, hari Rabu tanggal 26 Dzulhijah 23 H, kaum muslimin telah selesai menunaikan shalat sunah dua raka'at sebelum Subuh. Khalifah Umar bin Khathab lalu maju ke mihrab untuk mengimami shalat di masjid nabawi, sebagaimana kebiasaan yang telah dilakukannya selama sepuluh tahun menjadi khalifah.
Umar bertakbir diikuti jama'ah shalat yang memenuhi masjid. Setelah membaca doa iftitah dan surat Al-Fatihah yang diaminkan oleh seluruh jama'ah, Umar membaca surat. Dalam shalat Subuh, Umar biasa membaca surat yang panjang, paling sering adalah surat Yusuf atau surat An-Nahl.
Baru beberapa ayat Umar membaca surat, tiba-tiba seorang laki-laki yang berada di shaf pertama melompat ke mihrab, mendekati Umar bin Khathab kemudian mencabut sebuah khanjar (semacam belati yang kedua sisinya tajam) dan menghunjamkannya ke perut dan pinggang Umar bin Khathab. Tidak tanggung-tanggung, tiga sampai enam tusukan ia hunjamkan kepada khalifah. Salah satu tusukan itu mengenai bagian di bawah pusar khalifah.
Mendapat serangan mendadak secara keji dan bertubi-tubi tersebut, khalifah terjatuh. Suara bacaan imam terputus. Para jama'ah yang berada di shaf pertama begitu terkejut oleh peristiwa yang terjadi sangat cepat tersebut. Mereka langsung menghambur ke arah si penyerang, untuk meringkusnya. Sayang sekali, khanjar beracun di tangan si penyerang membabat dan menusuk ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang, melukai setiap orang yang mendekat dan mencoba meringkusnya.
Si penyerang berusaha keras menerobos barisan shalat dan meloloskan dirinya. Tiga belas orang telah ia robohkan dengan tikaman dan sabetan khanjar, enam orang di antaranya bahkan syahid akibat racun ganas di bilah khanjar itu. Pada akhirnya, Abdurrahman bin Auf berhasil menjerat si penyerang dengan kain sarungnya. Orang-orang segera mengerubuti si penyerang untuk meringkusnya. Melihat gelagat dirinya tidak mungkin lagi meloloskan diri, si penyerang memilih bunuh diri dengan menghunjamkan khanjar ke perutnya sendiri.
Lantai masjid berlumuran darah. Belasan jama'ah terkapar bersama di penyerang yang bunuh diri itu. Sebelum pingsan akibat luka-luka serius yang dialaminya, Umar sempat melambaikan tangannya ke arah Abdurrahman bin Auf. Sahabat senior yang selama sepuluh tahun menjadi penasehat khalifah itu pun maju ke mihrab dan meneruskan shalat kaum muslimin. Ia membaca surat pendek dan mempercepat shalat. Di shaf-shaf bagian belakang, jama'ah shalat sempat kebingungan karena suara bacaan imam terhenti beberapa saat lamanya. Mereka tidak mengetahui peristiwa yang baru saja terjadi di mihrab dan shaf awal.
Selesai shalat, jama'ah membawa khalifah Umar bin Khathab ke rumahnya. Luka bekas tusukan di perut dan pinggangnya masih mengalirkan darah. Ia sempat sadar, namun kemudian pingsan kembali. Jama'ah kebingungan untuk menyadarkan kembali Umar. Ibnu Abbas lantas mengumandangkan adzan di dekat telinga Umar. Suara adzan itulah yang membangunkan kembali khalifah dari pingsannya.
Kalimat pertama yang keluar dari mulut khalifah ternyata adalah, "Apakah orang-orang sudah melakukan shalat?"
"Sudah, wahai amirul mukminin. Tinggal Anda yang belum selesai shalat." jawab Mendengar hal itu, Umar berkata:
نَعَمْ، وَلَا حَظَّ فِي الْإِسْلَامِ لِمَنْ تَرَكَهَا
"Ya, tidak ada bagian sedikit pun dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat."
Umar melaksanakan shalat Subuh dengan kondisi darah yang masih mengucur. Selesai shalat, ia bertanya kepada jama'ah, "Siapakah orang yang menusukku tadi?"
"Abu Lu'luah, budak milik Mughirah bin Syu'bah."
Mengetahui penyerangnya adalah Abu Lu'luah Fairuz Al-Majusi, seorang Persia beragama Majusi yang menjadi tawanan kaum muslimin dan kemudian menjadi budak bagi sahabat Mughirah bin Syu'bah, Umar bersyukur kepada Allah.
Umar berkata,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَجْعَلْ مَنِيَّتِي عَلَى يَدَيْ رَجُلٍ يَدَّعِي الْإِيمَانَ، وَلَمْ يَسْجُدْ لِلَّهِ سَجْدَةً
"Segala puji bagi Allah Yang tidak menjadikan kematianku melalui tangan seorang laki-laki yang mengaku beriman dan belum pernah bersujud kepada Allah walau sekali saja."
Abu Lu'luah Fairuz Al-Majusi ditawan oleh kaum muslimin dalam jihad di Irak. Saat para tawanan dibagikan kepada para mujahidin Islam, Mughirah bin Syu'bah yang kemudian menjadi gubernur Kufah mendapat bagian Abu Lu'luah Al-Majuzi. Berhubung Abu Lu'luah Al-Majuzi adalah seorang tukang kayu, tukang besi dan tukang pahat, ia dibawa ke Madinah untuk dipekerjakan dalam beberapa pekerjaan kaum muslimin.
Berada di jantung ibukota pemerintahan Islam dan melihat Umar tidak pernah dikawal seorang prajurit pun, Abu Lu'luah Al-Majusi merencanakan dengan detail pembunuhan terhadap khalifah Umar. Ia menaruh dendam dan kebencian yang sangat kepada khalifah, karena pada masa pemerintahannyalah imperium Persia dan agama Majusi yang ia anut dikalahkan oleh kaum muslimin.
Khalifah Umar sendiri wafat tiga hari setelah peristiwa penusukan tersebut akibat luka-luka dalam yang tidak bisa diobati lagi. Beliau dimakamkan pada Ahad pagi, tanggal 1 Muharram 24 H dalam usia 63 tahun. Jenazahnya dimakamkan di kamar ibunda Aisyah radhiyallahu 'anha, disamping makam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam dan Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallahu 'anhu. Beliau memerintah selama 10 tahun 5 bulan 21 hari.
Saudaraku seiman dan seislam…
Saat mendapati khalifah Umar bin Khathab kembali pingsan, para sahabat memikirkan khalifah belum melaksanakan shalat Subuh. Saat hendak menyadarkan khalifah dari pingsannya, adzanlah yang mereka kumandangkan. Dan saat siuman dari pingsannya, hal pertama yang dipikirkan khalifah juga masalah shalat.
Begitulah perhatian besar kaum muslimin generasi awal Islam terhadap shalat. Dalam suasana paling genting sekalipun, hal pertama yang mereka ingat adalah shalat. Shalat tidak pernah mereka lalaikan, baik dalam suasana damai maupun perang, suasana aman maupun ketakutan, sehat maupun sakit.
Selama ia masih muslim, maka ia melaksanakan shalat. Shalat adalah rukun pokok dan tiang agama Islam. Siapa meninggalkan shalat, maka keislamannya dipertanyakan. Sebagaimana dikatakan oleh khalifah Umar, "Ya, tidak ada bagian sedikit pun dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat."
Allah Ta'ala menegaskan dalam firman-Nya,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
"Maka datanglah setelah mereka generasi penerus yang menelantarkan shalat dan memperturutkan nafsu syahwat, maka mereka pasti akan mendapatkan kesesatan." (QS. Maryam [19]: 59)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam sendiri telah bersabda:
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
"Perjanjian (batas) antara kami dan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat, maka barangsiapa meninggalkan shalat niscaya ia telah kafir." (HR. Tirmidzi no. 2621, An-Nasai no. 463, Ibnu Majah no. 1079, Ahmad no. 22937, Ibnu Abi Syaibah no. 30396, Ibnu Hibban no. 1454, Al-Hakim no. 11 dan Al-Baihaqi no. 6499. Hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi, Ahmad, Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan lain-lain)
Maka marilah bulan suci Ramadhan ini menjadi pemacu bagi kita semua untuk senantiasa menjaga shalat wajib lima waktu secara istiqamah. Tentu akan sangat baik apabila dikerjakan secara berjama'ah di awal waktu bersama kaum muslimin lainnya di masjid atau mushala terdekat.
Wallahu a'lam bish-shawab
Sumber:
Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Al-Bidayah wan Nihayah, 10/188-191, Kairo: Dar Hajar, cet. 1, 1418 H.
(muhib almajdi/arrahmah.com)
/@cwi

selengkapnya...
selengkapnya...
selengkapnya...
Bulan Ramadhan 1432 H yang penuh berkah akan datang menemui kaum muslimin dalam hitungan beberapa jam lagi. Bulan suci yang penuh dengan limpahan rahmat, ampunan, dan karunia Allah SWt ini merupakan ladang amal shalih yang mampu mengantarkan kaum muslimin kepada derajat ketakwaan. Tentu sangat wajar apabila seluruh kaum muslimin menyambut kedatangan bulan mulia ini dengan sukacita. Persiapan jasmani dan ruhani menjadi bagian penting dalam menyambut kedatangannya.
Sayangnya, masih banyak umat Islam di tanah air yang salah persepsi dan salah aksi dalam menyambut kedatangan bulan suci ini. Mereka terjebak dalam arus tradisi yang tidak memiliki landasan syar'i yang shahih. Sebagian besar melakukan tradisi-tradisi tersebut atas dasar warisan budaya orang-orang tua terdahulu, sebagian lainnya melakukannya atas dasar ikut-ikutan biar ramai atau gaul, sebagian lain untuk melampiaskan nafsu syahwat, dan bahkan ada juga yang memanfaatkannya untuk meraup keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Menurut anggapan mereka, amal shalih di bulan Ramadhan kurang afdhal kalau tidak diawali dengan melakukan tradisi-tradisi tersebut.
Di antara contoh tradisi penyambutan bulan Ramadhan yang populer di tengah masyarakat padahal tidak memiliki landasan syar'i yang shahih adalah tradisi-tradisi berikut ini:
Pertama: Padusan dan Balimau
Padusan berasal dari kata dasar adus, yang artinya mandi. Dengan demikian secara sederhana padusan dapat diartikan laku atau tindakan mandi dengan maksud penyucian diri agar dapat menjalani peribadahan di bulan suci Ramadhan dalam kondisi suci. Dengan keadaan suci ini, khususnya suci lahir, diharapkan tujuan peribadahan untuk mencapai ketaqwaan akan lebih terkondisi dengan lebih baik.
Padusan dilakukan dengan adus kramas, mandi besar, untuk menghilangkan hadast besar dan kecil. Pada awalnya, padusan dapat dilakukan dimanapun dengan menggunakan air suci dan yang menyucikan. Dengan demikian tidaklah perlu untuk melakukan padusan harus di suatu belik atau sumber air tertentu, harus memakai air tujuh rupa, air tujuh sumber dll.
Adapun sebagian besar masyarakat padang menyambut datangnya ramadhan dengan melakukan acara "BALIMAU". Balimau yang dalam bahasa Minang berarti mandi dengan disertai keramas merupakan salah satu tradisi yang selalu hadir mewarnai datangnya bulan puasa.
Sebagian besar masyarakat terutama kaum muda-mudi melakukan tradisi ini dengan mandi di pemandian umum, sungai dan danau. Semua berbaur, baik muda maupun mudi, dewasa maupun anak-anak. Salah satu tempat BALIMAU yang paling ramai dikunjungi masyarakat di kota Padang adalah kawasan pemandian Lubuk Minturun
Dalam perkembangannya saat ini, tradisi ini telah dilakukan oleh banyak kaum muslimin secara salah kaprah. Terjadi berbagai kemungkaran serius dalam melakukan tradisi ini, antara lain:
1.
Meyakini padusan sebagai sebuah kewajiban agama yang harus dilakukan sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Padahal tidak ada dalil syar'i dari Al-Qur'an, hadits Nabi SAW, dan contoh dari para shahabat yang menyebutkan tradisi padusan sebagai amal ibadah yang mesti dilakukan di akhir bulan Sya'ban. Hal ini bisa berakibat fatal, menganggap tradisi lokal yang notabenenya bukan ajaran syariat Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam.
2.
Meyakini bahwa tanpa melakukan laku padusan, persiapan lahir dan batin untuk memasuki bulan Ramadhan tidak sempurna sehingga timbul keragu-raguan dan kekhawatiran yang tidak berdasar dalil dalam menjalani amal shalih di bulan Ramadhan.
3.
Banyak orang yang meyakini bahwa padusan harus dilakukan di tempat yang wingit, angker ataupun bertuah. Hal tersebut sebenarnya lebih banyak bersifat gugon tuhon semata. Akhirnya, tradisi lokal ini dirasuki oleh unsur khurafat dan rawan mengarah kepada syirik.
4.
Orientasi materi sangat kuat terasa dalam pelaksanaan tradisi ini, di mana banyak pihak mengembangkannya menjadi obyek wisata dan sumber pendapatan. Banyak pemda, pengusaha dan masyarakat biasa yang melestarikan dan memolesnya lebih cantik untuk menarik wisatawan sebanyak mungkin. Tarif retribusi, sarana angkutan, hotel/tempat penginapan, tempat pemandian, tempat parkir, toko souvenir, atraksi kesenian, dan lainnya membuat mereka menangguk untung besar. Masyarakat yang melakukan tradisi ini rela menghamburkan rejekinya untuk hal itu. Bahkan, banyak sekali wisatawan yang datang dari jauh (Jakarta, Surabaya, Semarang, dan lain-lain) yang rela melakukan padusan di tempat yang sangat jauh lagi memakan biaya, seperti di pantai-pantai Bantul dan Gunung Kidul. Jelas biaya ini adalah tabdzir yang diharamkan, yaitu membelanjakan harta dalam perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh syariat.
5.
Masyarakat berbondong-bondong melakukan padusan massal berbau wisata dan maksiat di tempat-tempat umum seperti umbul, telaga, kolam renang, pantai, dan lokasi-lokasi lain yang bisa digunakan umum untuk mandi bersama. Pemandian Pengging di Boyolali dan Cokrotulung di Klaten, pantai Parangtritis dan lokasi-lokasi pemandian di kawasan Bantul, Gunung Kidul, Magelang, Temanggung, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga dan lain-lain penuh dengan laki-laki dan perempuan, tua dan muda,yang bukan mahram, yang berenang, mandi, telanjang bulat, dan membuka (baca:mempertontonkan aurat) di muka umum. Ini merupakan kemungkaran besar yang melicinkan jalan bagi perzinahan.
Dari Abu Hurairah R.A dari Nabi SAW bersabda: "Telah ditulis bagi manusia bagian dari dosa zina, dan ia tidak bisa menghindarinya. Zina kedua mata adalah dengan melihat (hal yang diharamkan syariat untuk dilihat). Zina kedua telinga adalah mendengarkan (hal yang diharamkan oleh syariat untuk didengar). Zina lisan adalah dengan berbicara (hal yang diharamkan untuk dibicarakan). Zina tangan adalah dengan memegang (hal yang diharamkan untuk dipegang). Zina kaki adalah dengan melangkah (ke arah yang diharamkan). Zina hati adalah dengan berangan-angan dan menginginkan (hal yang diharamkan). Sedangkan kemaluan akan merealisasikannya atau membatalkannya." (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657, dengan lafal Muslim).
Kedua: Meugang atau Megengan
Di beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian Selatan dikenal luas tradisi megengan, yaitu kendurian dengan memotong ayam atau kambing sehari sebelum masuk bulan Ramadhan dengan tujuan bersyukur kepada Allah SWT dan sedekah kepada kaum fakir miskin. Di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) atau yang akrab disebut dengan kota "Serambi Mekah", warganya menyambut datangnya bulan suci Ramadhan dengan menyembelih kambing atau kerbau. Tradisi ini disebut "Meugang", konon kabarnya tradisi "Meugang" sudah ada sejak tahun 1400 Masehi, atau sejak jaman raja-raja Aceh.
Tradisi "meugang" merupakan kegiatan kekeluargaan. Pada hari itu, semua keluarga dekat berkumpul di rumah orangtua sambil menikmati masakan daging yang disediakan. Anak cucu menyisihkan waktu untuk pulang ke rumah orangtua atau mertua di hari 'meugang' seperti ini.
Tradisi ini dalam praktiknya juga mengandung beberapa kemungkaran, seperti:
1.
Meyakini bahwa tradisi adalah suatu acara selamatan yang harus dikerjakan, sehingga orang yang tidak melakukannya dianggap menentang adat istiadat, meninggalkan tradisi luhur nenek moyang, dan bisa terkena bencana. Tidak jarang orang yang tidak melakukannya dikucilkan oleh masyarakat. Padahal sama sekali syariat Islam tidak menganjurkan apalagi mewajibkan tradisi ini. Bahkan, tradisi ini hanya dikenal di beberapa daerah pesisir selatan Jawa yang kental dengan aliran kejawen dan kebatinannya. Sementara daerah-daerah muslim yang lain tidak mengenalnya. Tidak ada dalil syar'I dari Al-Qur'an, hadits Nabi SAW, atau contoh dari generasi shahabat yang menganjurkan atau mewajibkan tradisi ini.
2.
Bersyukur kepada Allah SWT dan bersedekah kepada kaum fakir miskin diperintahkan oleh Islam kapan pun dan di manapun. Namun Islam tidak memberi persyaratan harus menyembelih ayam, kambing, sapi, atau kerbau pada hari terakhir bulan Sya'ban. Persyaratan-persyaratan yang berasal dari tradisi lokal seperti ini justru mempersempit tatacara syukur dan sedekah yang telah diajarkan oleh Islam secara luas sesuai kemampuan kaum muslimin.
3.
Pada hari pelaksanaan tradisi ini, semua keluarga menyembelih hewan sembelihan dan mengadakan acara kendurian untuk dibagi-bagikan kepada tetangga, kerabat, dan kaum miskin. Tujuan sedekah untuk memberi santunan kepada orang yang membutuhkan justru tidak tercapai, karena semua keluarga telah memiliki makanan dan lauk pauk yang layak, bahkan mendapat makanan dan lauk pauk serupa dari para tetangga. Banyak makanan dan lauk pauk yang akhirnya terbuang dan tidak termakan karena jumlahnya yang berlebihan. Walhasil, yang terjadi adalah tabdzir, pemborosan yang dilarang oleh agama.
4.
Keluarga yang miskin memaksakan diri untuk mengadakan acara kendurian ini, kerabat dan sanak saudara yang miskin dan tinggal di daerah yang jauh juga terpaksa pulang kampung, walau untuk itu harus berhutang kesana-kemari. Ini jelas takalluf, tindakan memaksakan diri di luar kemampuan. Islam melarang umatnya dari melakukan takalluf, terlebih dalam amalan yang tidak ada landasan dalil syar'inya yang shahih.
Allah SWT berfirman:
"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan:dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya." (QS. Al-Isra' (17): 26-27)
Ketiga: Bermaaf-maafan
Di masyarakat kita berkembang tradisi bermaaf-maafan pada hari terakhir bulan Sya'ban, dengan tujuan memasuki bulan suci Ramadhan dalam keadaan kosong, yaitu bersih dari segala dosa dan kesalahan kepada sesama manusia. "Mohon maaf lahir-batin" atau "sama-sama kosong ya" sudah biasa mereka ucapkan kepada sesama muslim.
Meminta maaf dan memberi maaf kepada sesama muslim adalah hal yang diperintahkan dalam Islam. Namun meyakini tradisi maaf-maafan sebagai ritual yang mesti dilakukan sehari sebelum tiba bulan Ramadhan demi menggapai kesempurnaan ibadah di bulan suci Ramadhan adalah keyakinan yang keliru dan mempersempit keluasan ajaran Islam.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk meminta ampunan kepada Allah dan meminta maaf kepada sesama manusia setiap kali melakukan sebuah dosa dan kesalahan. Meminta ampunan Allah adalah dengan istighfar, taubat nashuha, dan shalat taubah. Meminta maaf kepada sesama manusia adalah dengan mengakui kesalahan kita kepadanya, meminta maafnya, dan mengembalikan haknya yang kita ambil secara zalim dan curang.
Meminta ampunan Allah dan maaf manusia selayaknya dilakukan setiap kali kita berbuat dosa, tidak perlu ditunda-tunda. Makin cepat makin baik, sebab boleh jadi kita lupa, sakit, atau mati sebelum sempat meminta ampunan dan maaf. Akibatnya, kita mati dengan membawa dosa kezaliman. Maka tidak selayaknya kita menabung dosa dan kesalahan selama satu tahun penuh, lalu baru meminta ampunan Allah dan maaf manusia pada hari terakhir bulan Sya'ban atau hari idul fithri!
Allah berfirman,
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui." (QS. Ali Imran (3): 135)
"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. An-Nisa' (4): 17)
Keempat: Nyadran
Nyadran, tradisi yang biasa dilakukan menjelang bulan puasa. Tradisi berziarah ke makam leluhur ini sudah dilakukan sebagian masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa sejak zaman dahulu hingga sekarang.Nyadran atau sadranan berasal dari bahasa Jawa yang artinya berziarah. Pada mulanya nyadran dilakukan ke makam tokoh masyarakat yang sangat dihormati maupun nenek moyang keturunannya. Namun kini, beberapa masyarakat hanya berziarah ke makam famili atau sanak saudaranya.
Dalam prosesi nyadran biasanya para peziarah membawa tiga jenis bunga. Bunga kantil, kenanga dan mawar. Setiap bunga memiliki makna tersendiri. Kantil agar hati peziarah terkait dengan orang yang sudah meninggal. Kenanga sebagai tanda agar semua kenangan selalu diingat. Dan terakhir mawar sebagai permohonan agar dosa arwah dihapus.
Para peziarah juga membakar kemenyan. Membakar kemenyan dianggap sebuah simbol keagungan. Asap kemenyan yang membumbung ke atas diyakini sebagai sebuah perumpamaan doa peziarah ke atas sehingga menghubungkan diri kepada Tuhan. Itu adalah simbol perjalanan doa peziarah supaya bisa diterima.
Selain tiga bunga tadi, biasanya prosesi nyadran diwarnai beberapa makanan sebagai sesajen yakni apem dan ketan. Kedua makanan ini juga memiliki makna tersendiri.
Ketan adalah simbol untuk merekatkan hubungan persaudaraan (ketan:ikatan). Semua orang datang bersama-sama dan merapatkan garis sosial. Sementara apem supaya mereka diampuni (apem:afwun;ampunan). Setelah diampuni dosanya kemudian merekatkan hubungan saudara maka peziarah akan ingat kepada Tuhan. Acara Nyadran akan berakhir dengan makan bersama, dengan saling menukarkan makanan yang dibawa setiap keluarga. Budayawan Jawa, Suwardi Endraswara, menambahkan tradisi ini biasa dilakukan oleh orang Jawa yang masih puritan atau asli yang masih menganut paham kejawen.
Tak diragukan lagi bahwa berziarah ke kuburan orang tua dan kerabat termasuk ajaran Islam. Islam menganjurkan umatnya untuk banyak-banyak mengingat kematian, dan ziarah kubur merupakan sarana yang efektif untuk mengingat kehidupan akhirat. Meski demikian, tatacara ziarah kubur dalam tradisi nyadran kental dengan nuansa ajaran kebatinan dan kejawen. Perbedaan mendasar ziarah kubur dalam Islam dengan tradisi nyadran adalah sebagai berikut:
- Nyadran hanya dilakukan pada bulan Sya'ban, terutama sekali di akhir Sya'ban. Adapun ziarah kubur dalam Islam dianjurkan dalam semua bulan dalam satu tahun, tidak ada pengkhususan atau keutamaan khusus pada bulan Sya'ban semata.
* Nyadran dipersyaratkan membawa bunga Kantil, Kenanga, dan Mawar, sesajen berupa apem dan ketan, serta membakar kemenyan. Simbolisasi seperti ini adalah warisan agama Hindu dan kejawen. Adapun Islam sama sekali tidak memerintahkan umatnya membawa bunga, sesajen, dan kemenyan dalam ziarah kubur. Menurut Islam, orang yang telah mati tidak membutuhkan bunga, sesajen atau kemenyan. Kebutuhannya adalah doa dari anak yang shalih dan kaum muslimin.
* Proses nyadran meliputi menabur tiga jenis bunga, memberikan sesajen, membakar kemenyan, doa dan makan bersama. Adapun proses ziarah kubur dalam Islam adalah berdoa ketika masuk areal makam (arti doanya:Semoga keselamatan dilimpahkan kepada kalian wahai penduduk kuburan, dari kalangan muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat. Insya Allah, kami akan menyusul kalian. Kami memohon keselamatan kepada Allah untuk diri kami dan diri kalian), mendoakan orang yang telah mati, dan mengambil pelajaran agar senantiasa ingat dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat. Tidak ada makan-makan bersama atau tukar-menukar makanan.
* Proses nyadran mengaitkan dikabulkannya doa dengan tiga jenis bunga, sesajen, dan kemenyan. Adapun Islam mengaitkan terkabulnya doa dengan waktu-waktu, tempat-tempat, keadaan-keadaan, dan syarat-syarat yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-sunnah. Tiga jenis bunga, dua makanan sesajen, kemenyan, dan kuburan bukanlah unsur-unsur yang menyebabkan terkabulnya doa.
* Proses nyadran rawan menimbulkan bid'ah (meyakini doa di kuburan lebih mustajab) dan syirik (meyakini orang yang mati bisa mengabulkan permohonan orang yang hidup), melalaikan dari kehidupan akhirat (ramai-ramai makan dan tukar-menukar makanan, disertai canda-ria, dan campur baur laki-laki dengan wanita yang bukan mahram), dan tabdzir (mengeluarkan biaya tinggi untuk masakan yang sebenarnya kurang dibutuhkan). Hal-hal mungkar seperti ini tidak terdapat dalam ziarah kubur yang sesuai dengan syariat Islam.
Akhirnya…
Menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan dengan jiwa yang suci, jasmani yang sehat dan bersih, dan perasaan gembira adalah bagian dari keimanan dan keislaman. Sebagaimana firman Allah SWT,
"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati." (QS. A-Hajj (22): 32)
Namun sudah selayaknya tata cara penyambutan Ramadhan dilakukan sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan hadits Nabi SAW. Bukan hanya dengan mengikuti tradisi, budaya, atau latah mengikuti prilaku kebanyakan manusia yang sebenarnya tidak mengenal ajaran Islam dengan baik. Beberapa waktu yang lalu, situs arrahmah.com telah menurunkan sebuah tulisan tentang langkah-langkah persiapan menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan. Semoga kita bisa melaksanakannya sehingga tidak terjebak dalam arus tradisi yang populer namun kurang tepat. Wallahu a'lam bish-shawab.
Risalah Ramadhan Arrahmah.com
Oleh: Muhib Al Majdi
http://arrahmah.com
/@cwi
selengkapnya...
William Henry Quilliam menurut laman Wikipedia adalah pria
kelahiran Liverpool, 10 April 1856 yang
berasal dari keluarga kaya raya.
Ayahnya, Robert Quilliam, adalah
seorang pembuat jam. Sejak kecil William sudah
mendapatkan pendidikan yang
memadai, dan oleh kedua orang
tuanya disekolahkan di Liverpool
Institute dan King William’s College.
Pada kedua lembaga pendidikan ini, ia mempelajari bidang hukum, dan pada
1878, William memulai karier sebagai
seorang pengacara. William tumbuh
dan dibesarkan sebagai seorang
Kristen. Agama Islam baru dikenalnya ketika ia
mengunjungi wilayah Prancis selatan
pada 1882.
Sejak saat itu, dia mulai banyak
mempelajari mengenai Islam dan
ajarannya. Ketertarikannya terhadap Islam
semakin bertambah saat ia
berkunjung ke Aljazair dan Tunisia. Sekembalinya dari mengunjungi
Maroko, William merealisasikan
keinginannya untuk berpindah
keyakinan ke agama Islam. Setelah
masuk Islam, ia mengganti namanya
menjadi Abdullah Quilliam.
Usai menyandang nama baru ini,
William gencar mempromosikan
ajaran Islam kepada masyarakat
Liverpool. Untuk mendukung syiar
Islam di kota tempat kelahiran The
Beatles itu, William mendirikan lembaga bagi mereka yang ingin
mengetahui dan belajar tentang
Islam.
Pada 1889, ia pun mendirikan Liverpool
Muslim Institute. Tak hanya sebatas menjadi pusat
informasi Islam, Abdullah kemudian
memfungsikan bangunan Liverpool
Muslim Institute menjadi tempat
beribadah bagi komunitas Muslim
Liverpool. Bangunan itu mampu menampung
sekitar seratus orang jamaah. Pendirian masjid ini kemudian diikuti
oleh pendirian sebuah perguruan tinggi
Islam di Kota Liverpool, dan sebuah
panti asuhan bernama Madina House.
Pimpinan perguruan tinggi Islam itu,
Abdullah menunjuk Haschem Wilde dan Nasrullah Warren.
Sebagaimana pujangga Inggris
William Shakespeare, William Henry
Quilliam/Abdullah Quilliam ini dikenal
aktif sebagai penulis sastra, dan
berupaya menarik simpati masyarakat non-Muslim di Liverpool
melalui karyanya. Dalam rentang waktu sepuluh tahun,
dia berhasil mengislamkan lebih dari
150 warga asli Inggris, baik dari
kalangan ilmuwan, intelektual,
maupun para pemuka masyarakat
termasuk ibunya yang semula seorang aktivis Kristen. Berbagai tulisannya mengenai Islam
diterbitkan melalui media The Islamic
Review dan The Crescent yang terbit
dari 1893 hingga 1908 dan beredar luas
secara internasional.
Harian The Independent menulis bahwa William memanfaatkan ruang bawah
tanah masjid sebagai tempat untuk
mencetak karya-karya tulisnya. William menerbitkan tiga edisi buku
dengan judul The Faith of Islam pada
1899. Bukunya ini sudah diterjemahkan
ke dalam 13 bahasa dunia. Ratu
Victoria dan penguasa Mesir termasuk
di antara tokoh dunia yang pernah membaca bukunya. Berkat The Faith of Islam, dalam
waktu singkat nama Abdullah Quilliam
dikenal luas di seluruh negeri-negeri
Muslim. Dia juga menjalin hubungan
dengan komunitas Muslim di Afrika
Barat, dan mendapatkan penghargaan dari pemimpin dunia
Islam. Bahkan, ia mendapat gelar
Syekh al-Islam dari Sultan Ottoman
(Turki Usmani), Abdul Hamid II, pada
©dakta.com /@cwi

Puasa di bulan Ramadan bagi Muslim yang tinggal di Lingkaran Arktik
atau kutub utara adalah cobaan besar
bagi keimanan mereka. Betapa tidak,
di wilayah ini matahari hanya
tenggelam beberapa jam saja,
membuat puasa menjadi sangat lama. Diberitakan Al-Arabiya, Selasa, hal ini
terjadi di hampir seluruh negara Eropa
bagian utara. Salah satunya adalah
kota Rovaniemi di Finlandia yang
terletak 66 derajat di Lingkaran Arktik.
Di kota ini, matahari terbit pukul 3.20 dini hari dan tenggelam pukul 11.20
malam. Berarti, antara shubuh dan magrib
terbentang waktu yang sangat lama.
Muslim di wilayah ini bisa berpuasa
hingga 20 jam saat Ramadan. Apalagi
jika Ramadan jatuh di musim panas,
matahari hampir tidak pernah terbenam. /@cwiMuslim di wilayah ini terbagi dua dalam
berpendapat soal ini. Sebagian
mengikuti laju matahari, sebagian
lainnya pilih ikut waktu di negara
terdekat. Mahmoud Said, 27, warga
Finlandia yang berasal dari Kenya pilih opsi kedua. Dia mengikuti jadwal puasa
di negara tetangga, yaitu Turki. "Kita harus gunakan akal sehat. Kami
berpuasa 14-15 jam sehari," kata Said
yang memperkirakan terdapat lebih
dari 100 Muslim di Rovaniemi,
kebanyakan berasal dari Irak, Somalia
dan Afganistan. Hal serupa juga dilakukan di negara
Arktik lainnya, yaitu Alaska di Amerika
Serikat. Setelah debat panjang, para
cendekiawan Muslim di kota Anchorage,
Alaska, pilih ikut jadwal puasa di Mekah. Namun, hal berbeda disampaikan oleh
Dewan Fatwa Eropa di Dublin. Para
ulama di negara ini mengatakan
jadwal puasa harus mengikut terbit-
terbenam matahari, termasuk bagi
mereka di utara Bumi. Tidak ada alasan. "Debat masalah ini telah berlangsung
bertahun-tahun. Kami berpuasa
berdasarkan matahari, dari terbit
sampai tenggelam. Ini dilakukan oleh 90
persen Muslim Swedia," kata Omar
Mustafa, ketua Asosiasi Islam di Swedia. Hal ini diterapkan oleh Kaltouma
Abubakar dan sembilan anggota
keluarganya di kota Rovaniemi. Tidak
seperti Said, keluarga imigran Sudan ini
berpuasa selama 20 jam sehari. "Puasa di bulan Ramadan sangat lama.
Berbuka sekitar pukul 11.30 malam.
Sahur sekitar pukul 2 pagi," kata wanita
31 tahun ini yang mengaku mulai masak
untuk berbuka pada pukul 5 sore. Perhitungan Ramadan berdasarkan
kalender bulan berlangsung di saat
yang berbeda setiap tahunnya. Pada
2015 nanti, Ramadan diperkirakan akan
jatuh pada titik balik matahari di
Arktik, saat siang hari sangat lama. "Saat itu, kami hanya akan punya
waktu 10 menit untuk berbuka puasa,"
kata Abubakar. Kendati demikian, Abubakar sekeluarga
menjalani puasa di utara dengan
senang hati dan ikhlas. Terutama
karena wilayah ini dingin, sehingga
mereka tidak mudah kehausan. "Tidak
seperti di Afrika, di Finlandia kau tidak akan cepat haus. Tidak peduli seberapa
lama kau puasa, kau tidak terlalu ingin
minum," kata dia. (ren) © VIVA.co.id

catatan akhir pekan Adian Husaini Jurnal pemikiran Islam, Islamia,
(Insists-Republika) edisi 19 Juli 2012
menurunkan laporan utama tentang
“puasa dan tazkiyyatun nafs” (Puasa
dan penyucian jiwa). Dalam artikelnya
berjudul “Puasa: Tazkiyatun Nafs dan Jasad”, Dr. Samsuddin Arif mengutip
penjelasan Fakhruddin ar-Razi yang
menyatakan, bahwa orang yang
ibadah puasa Ramadhan merupakan
bukti ke-Islam-an seseorang.
Berpuasa merupakan bukti pengokohan ke-Islam-an dan
keimanan seorang Muslim.
Selain itu, tulis Dr. Syamsuddin, puasa
Ramadhan juga merupakan upaya
penyucian jiwa (tazkiyyatun nafs).
“Orang yang berpuasa sesungguhnya mensucikan dirinya. Puasa adalah
instrumen pembersih kotoran-
kotoran jiwa, seperti halnya shalat.
Orang yang berpuasa tidak hanya
menolak yang haram dan menjauhi
yang belum-tentu-halal dan belum- tentu-haram. Jangankan yang
syubhat dan yang haram, sedangkan
yang jelas halal pun tak dijamahnya.
Puasa berfungsi mematahkan dua
syahwat sekaligus: yakni syahwat
perut dan syahwat kemaluan. Demikian kata Imam ar-Razi dalam
kitab tafsirnya (Mafatih al-Ghayb,
cetakan Darul Fikr Lebanon 1426/2005,
juz 4, jilid 2, hlm. 68).” Masih mengutip artikel Dr. Syamsuddin
Arif, disebutkan juga bahwa Syah
Waliyyullah ad-Dihlawi menyatakan,
puasa itu ibarat tiryaq (penawar) bagi
racun-racun syaitan; atau semacam
detoksifikasi spiritual. Dengan puasa, terpukullah naluri kebinatangan (al-
bahimiyyah) yang mungkin selama ini
menguasai seseorang. Puasa sejati
melumpuhkan syaitan dan membuka
gerbang malakut (Hujjatullah al-
Balighah, cetakan Kairo 1355 H, juz 1, hlm. 48-50). Itulah sebabnya mengapa
dalam suatu riwayat disebutkan
bahwa mereka yang berhasil
menamatkan puasa sebulan
Ramadhan disertai iman dan
pengharapan bakal dihapus dosa- dosanya sehingga kembali suci fitri
bagaikan bayi baru dilahirkan dari
rahim ibunya. Demikian kutipan artikel Dr.
Syamsuddin Arif tentang makna dan
tujuan puasa Ramadhan yang begitu
mulia. Pada edisi yang sama, Jurnal
Islamia-Republika juga menurunkan
artikel Adnin Armas, Direktur Eksekutif Insists, yang berjudul “Ar-
Razi dan Konsep Manusia Mulia”. Artikel
ini sangat penting untuk kit abaca dan
renungkan. Kata Fakhruddin Ar-Razi:
“Manusia mulia adalah manusia yang
mengutamakan wahyu Allah dan akalnya dibanding mengikuti hawa
nafsunya.” (Dikutip dari karya ar-Razi:
Kitab an-Nafs wa ar-Ruh wa as-Syarh
Quwahuma; Buku Mengenai Jiwa dan
Ruh dan Komentar Terhadap Kedua
Potensinya). Fakhruddin ar-Razi adalah seorang
ulama-intelek yang berwibawa (m. 610
H/ 1210 M). Ia menulis ratusan kitab
dalam bidang Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqih,
Fisika, Filsafat, dan sebagainya.
Menurut ar-Razi, manusia memiliki hawa nafsu dan tabiat yang selalu
berusaha menggiringnya untuk
memiliki sifat-sifat buruk. Tapi, jika
manusia lebih mengutamakan
bimbingan wahyu Allah dan akal
dibanding hawa nafsunya, maka ia akan jadi mulia. Bahkan, manusia bisa
lebih mulia dari malaikat. Mengapa?
Malaikat selalu bertasbih karena tidak
memiliki hawa nafsu, sementara
manusia harus berjuang melawan
hawa nafsunya. Demikian pendapat Fakhruddin ar-Razi. Bagi Fakhruddin ar-Razi, kebahagiaan
jiwa atau kenikmatan ruhani lebih
tinggi martabatnya dibanding
kebahagiaan fisik atau kenikmatan
jasmani, semisal kenikamatan
makanan, seks dan hasrat memiliki materi.
Ar-Razi, seperti dikutip Adin Armas,
mengemukakan beberapa
argumentasi. Diantaranya adalah
sebagai berikut: (1) Jika kebahagiaan manusia
terkait dengan hawa nafsu dan
mengikuti amarah, maka hewan-
hewan tertentu — yang amarah dan
nafsunya lebih hebat – akan lebih
tinggi martabatnya dibanding manusia. Singa lebih kuat nafsu
amarahnya dibanding manusia; burung
yang lebih kuat daya seksualnya
ketimbang manusia. Tapi, faktanya,
singa dan burung tidak lebih mulia dari
nmanusia. (2) Jika makanan atau seksualitas
menjadi sebab diraihnya kebahagiaan
dan kesempurnaan, maka seseorang
yang makan terus menerus akan
menjadi manusia paling sempurna
atau paling bahagia. Tapi, seorang yang makan terus menerus dalam
jumlah berlebihan, justru akan
membahayakan dirinya. Jadi,
sebenarnya makan adalah sekadar
untuk memenuhi kebutuhan jasmani,
bukan menjadi penyebab pada kebahagiaan atau pun kesempurnaan
manusia. (3) Kenikmatan jasmani sejatinya
bukanlah kenikmatan yang
sebenarnya. Seseorang yang sangat
lapar, akan segera merasakan nikmat
yang tinggi jika ia segera makan.
Sebaliknya, seseorang yang sedikit laparnya, sedikit pula rasa nikmatnya
ketika ia makan. Seseorang
merasakan kenikmatan berpakaian
saat ia merasa terlindung dari rasa
dingin dan panas. Ini menunjukkan,
nikmat jasmani bukanlah kenikmatan yang sesungguhnya. Jiwanyalah yang
merasakan kebahagiaan; dan
kebahagiaan jiwa bukanlah
kenikmatan jasmani. (4) Hewan yang kerjanya hanya
makan dan minum serta malas untuk
berlatih, maka ia akan dijual murah.
Sebaliknya, hewan yang makan dan
minum serta mau berlatih keras,
maka akan dijual dengan harga yang tinggi. Kuda yang ramping, berlari
kencang, lebih mahal harganya
dibanding kuda yang gemuk dan malas
untuk berjalan. Jika kuda yang berlatih
dihargai lebih mahal, apalagi kepada
makhluk hidup yang berakal. Jika manusia berlatih, berkerja dan
melakukan kebajikan, pasti lebih
tinggi nilainya. Menurut Fakhruddin ar-Razi, jika
manusia hanya sibuk dengan
kenikmatan jasmani, maka daya
spiritualitasnya akan rendah dan
intelektualitasnya tertutup. Ia akan
tetap diliputi dengan nafsu kebinatangan, bukan dengan
kemanusiaan. Padahal, esensi
kemanusiaan yang sebenarnya adalah
menyibukkan diri kepada Allah, Yang
Maha Agung, supaya ia menyembah-
Nya, mencintai-Nya dengan sepenuh jiwa raganya. Kesibukan dengan
kenikmatan duniawi akan
menghalanginya dari beribadah dan
mengingat-Nya. Cinta kepada
kenikmatan jasmani akan
menghalanginya untuk meraih Cinta kepada Sang Khalik. Pemikiran Fakhruddin ar-Razi tentang
konsep manusia yang mulia — seperti
diuraikan oleh Adin Armas tersebut –
sungguh sangat inspiratif. Di tengah-
tengah merebaknya pemujaan
terhadap budaya kuliner, hedonis, materialis, pornoaksi dan pornografi,
pemikirannya mengingatkan kita
bahwa kenikmatan ruhani,
kebahagiaan jiwa, kecintaan untuk
meraih ilmu pengetahuan, melakukan
ibadah, menjauhi kemaksiatan, melakukan kebajikan dan mencintai
Allah dengan segenap jiwa dan raga.
Itulah esensi kemanusiaan. Sebaliknya, cengkeraman hawa nafsu
yang menjebak manusia hanya
memperbanyak kenikmatan jasmani
akan menjauhkannya dari Sang Maha
Pencipta. Pemikiran ar-Razi mudah-
mudahan bisa menginspirasi kita untuk melakukan yang terbaik dalam
kehidupan yang fana ini. **** Rasulullah SAW bersabda: “Al-Mujahid
man jahada nafsahu fil-Laahi ‘Azza
wa-Jalla”. (Mujahid adalah seseorang
yang melakukan jihad melawan hawa
nafsunya di jalan Allah). (Hadis
Shahih, riwayat Imam Tirmidzi). Berjihad melawan hawa nafsu
merupakan perjuangan yang sangat
berat. Karena itu, perjuangan ini
memerlukan kesungguhan, ilmu, dan
pertolongan Allah SWT. Di dalam al-
Quran ditegaskan, bahwa orang- orang yang berhasil mensucikan
jiwanya, adalah orang-orang yang
beruntung, yang meraih kemenangan
(qad- aflaha man tazakka). Pada tahun 1950, Prof. Dr. Hamka,
seorang ulama dan sastrawan
terkenal Indonesia, telah menulis
sebuah buku berjudul Pribadi, (Jakarta:
Bulan Bintang. 1982, cet. Ke-10).
Menurut Hamka, seorang dihargai karena pribadinya, bukan karena
tubuhnya. Hamka menulis:
“Dua puluh ekor kerbau pedati, yang
sama gemuknya dan sama kuatnya,
sama pula kepandaiannya menghela
pedati, tentu harganya tidak pula berlebih kurang. Tetapi 20 orang
manusia yang sama tingginya, sama
kuatnya, belum tentu sama
“harganya”, sebab bagi kerbau
tubuhnya yang berharga. Bagi
manusia, pribadinya. Berilmu saja, walaupun bagaimana ahlinya dalam
suatu jurusan, belum tentu berharga,
belum tentu beroleh kekayaan dalam
hidup, kalau sekiranya bahan
pribadinya yang lain tidak lengkap,
tidak kuat, terutama budi dan akhlak.” Fisik memang wajib dijaga dan
diperkuat. Haram hukumnya menyakiti
tubuh. Tetapi, menurut Hamka,
kadangkala, bagi orang-orang
tertentu, kekurangan dalam
kesehatan dan kesempurnaan fisiknya, tidak mempengaruhi untuk
menjadi pribadi yang hebat. Socrates,
seorang ahli filafat Yunani kuno,
tidaklah bagus tampang mukanya.
Kepala sulah, perut gendut, dan
terkenal hidungnya pesek. Pendeknya tidak ada yang menarik hati kalau
hanya dipandang lahir. Tetapi
bilamana dia telah mengupas suatu
soal dengan murid-muridnya maka
seluruh murid itu akan lekat
kepadanya. Contoh lain, sebut Hamka, adalah
pribadi hebat dari Panglima
Soedirman. Pribadi yang satu ini
sungguh luar biasa. Biar pun paru-
parunya tinggal sebelah, Jenderal
Soedirman memimpin gerilya dengan ditandu; keluar masuk hutan; hujan
kehujanan, panas kepanasan.
Kelemahan fisiknya tidak menghalangi
semangat juang dan
kepemimpinannya.
Jadi, kata Hamka, dalam rangka membentuk pribadi, jagalah
kesehatan! Dan jika terdapat
kekurangan pada badan, pada
kesehatan janganlah putus asa
membangunkan pribadi yang sejati.
Sebab, pribadi yang sejati ada pada jiwa manusia. Bukan pada fisiknya.
Pepatah Arab menyatakan:
Aqbil ’alan nafsi wastakmil
fadhailaha,
Fa-anta bin nafsi la biljismi insanu. (Hadapkan perhatian pada jiwa,
sempurnakan keutamaannya, Sebab
dengan jiwamu, dan bukan dengan
badanmu, engkau disebut insan) ***** Jadi, begitu pentingnya pembangunan
jiwa manusia. Bangsa Indonesia pun
mengakuinya, sehingga dinyanyikan
pula dalam syair lagu kebangsaan
Indonesia Raya: ”Bangunlah jiwanya,
bangunlah badannya!” Tapi, marilah kita jujur, apakah
pembangunan jiwa ini benar-benar
menjadi prioritas pembangunan di
Indonesia. Pemerintah memang
sedang menggalakkan program
Pendidikan Karakter bangsa, tetapi pada saat yang sama, pemerintah
juga secara sistematis membiarkan
proyek-proyek penghancuran karakter
bangsa. Lihatlah, bagaimana semakin
maraknya media massa melakukan
pemujaan terhadap selebritis- selebritis yang jelas-jelas melakukan
tindakan tidak bermoral. Harian
Republika (24 Juli 2012), memberitakan
pernyataan Sekjen Komnas Anak, Aris
Merdeka Sirait, yang menyatakan
keprihatinannya atas sambutan yang berlebihan dari sekelompok orang
terhadap bebasnya Ariel Peter Pan dari
penjara di Bandung. Padahal, tindakan
Ariel yang menyeretnya ke penjara
adalah tindakan amoral yang sangat
tidak patut dijadikan teladan bagi siapa pun. Sebenarnya, media massa pun –
terutama sejumlah stasiun televisi –
telah melakukan kesalahan yang
sangat besar, dengan melakukan
pemberitaan yang berlebihan
terhadap kebebasan seorang Ariel dari penjara. Padahal, betapa banyak
berita-berita lain yang lebih penting
untuk disajikan kepada masyarakat. Betapa banyak anak-anak bangsa
yang berprestasi tinggi di berbagai
bidang ilmu pengetahuan, yang lebih
patut disajikan beritanya kepada
masyarakat kita.
Apa pun yang terjadidi sekitar kita, tanggung jawabnya ada pada pelaku
dan pemegang kuasa negara. Tugas
kita hanyalah melakukan taushiyah;
menyampaikan nasehat dengan cara-
cara bijak. Yang penting, diri kita,
keluarga, dan sadara-saudara kita mudah-mudahan bisa memanfaatkan
bulan Ramadhan 1433 Hijriah ini
dengan semaksimal mungkin untuk
beribadah kepada Allah; dalam rangka
meraih derajat utama, yaitu derajat
taqwa, melalui puasa dan penyujian jiwa. Amin. (Depok, 4 Ramadhan 1433 /@cwi

Kesultanan Utsmaniyah (1299–1923), atau dikenal juga dengan sebutan Kekaisaran Turki Ottoman atau Osmanlı İmparatorluğu adalah nega...
© Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015
Back to TOP