Tanda-tanda kehancuran bangsa
Menjelang tengah malam, saya sempat menyaksikan sebuah tayangan yang memilukan di satu stasiun TV. Beberapa orang yang terkena penyakit kaki gajah (Filaria) di satu desa terpaksa bergulat dengan sakitnya selama belasan tahun – tanpa pengobatan yang berarti – karena tidak ada biaya pengobatan. Kondisi mereka sangat memprihatinkan. Dengan kaki yang terus membengkak – laksana kaki gajah – dan kondisi fisik yang terus melemah, para penderita penyakit itu tampak terlihat pasrah dengan kondisinya. Beberapa hari sebelumnya, di satu kawasan di Papua, juga ditemukan orang-orang yang menderita kekurangan pangan. Di berbagai daerah lain, terdapat kondisi yang serupa. Penyakit, kekurangan biaya pengobatan, kesulitan hidup, dan berbagai masalah sosial-ekonomi, terus melilit sebuah banga muslim terbesar bernama Indonesia ini.
Sering orang mengatakan, bahwa kondisi ini sangat serius, ironis, dan memilukan. Sulit lagi menggunakan kata-kata untuk menggambarkan kesedihan bangsa ini. Apakah ada harapan ke depan? Pemerintah datang silih berganti. Sistem pemerintahan dibolak-balik. Partai-partai tak henti-hentinya berteriak tentang harapan kesejahteraan rakyat, jika partainya yang memegang kekuasaan. Reshuffle kabinet terbatas yang dilakukan Presiden SBY, yang sebelumnya menyita halaman-halaman muka media massa, telah sirna, pupus, seperti angin lalu. Nyaris tak terdengar lagi beritanya. Apatisme menyebar. Putus asa. Tidak memiliki semangat perubahan lagi.
Lagi-lagi, rutinitas hidup dan kesulitan masyarakat luas, menjadi pemandangan sehari-hari. Rintihan orang tua yang sulit menyekolahkan anaknya sudah bukan berita lagi. Sudah biasa. Komersialisasi pendidikan tinggi – akibat berlepastangannya pemerintah dan DPR – semakin memakan korban masyarakat luas. Hanya untuk bisa kuliah di fakultas kedokteran universitas negeri atau wasta terkenal, seseorang harus menyetor dana puluhan juta rupiah. Pendidikan memang semakin tidak bersahabat untuk orang miskin. Sekolah-sekolah unggulan dibuka, dengan harapan akan menghasilkan anak-anak bangsa yang unggul, lebih bersahabat dengan orang kaya. Orang miskin semakin tidak ada tempat di negeri ini.
Pada sisi lain, kemaksiatan, kemunkaran, kezaliman masih terus merajalela. Bahkan, berada di depan mata para penguasa, ulama, dan tokoh-tokoh partai politik yang berjanji memperjuangkan kepentingan rakyat, jika masuk dalam struktur kekuasaan. Lihatlah, di saat berbagai kesulitan melanda masyarakat, harga BBM mencekik, inflasi melonjak tajam, kelaparan dan kesulitan hidup, saat itu pula, di Jalan Diponegoro Jakarta, sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat dengan bangganya mempersembahkan sebuah Patung Pangeran Diponegoro, seharga sekitar Rp 10 milyar. Tidak tampak rasa bersalah pada orang-orang yang membuat dan meresmikan patung itu. Mereka tersenyum, dan membukanya, dengan satu upacara megah, disaksikan jutaan mata rakyat. Tidak ada demo dari para aktivis partai yang ketika kampanye rajin menjanjikan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat. Tidak terdengar nyaring suara dari kelompok-kelompok anti-korupsi. Aneh! Fenomena itu aneh. Padahal itu lebih dari korupsi. Aneh, karena seolah-olah bangsa ini bangga dengan tindakan mereka. Seolah-olah negara ini sedang membutuhkan sebuah patung Diponegoro untuk menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi. Seolah-olah almarhum Pangeran Diponegoro akan berterimakasih kepada pemerintah Jakarta karena telah membuatkan patungnya. Untuk siapa patung itu dipersembahkan di saat perut rakyat sedang kelaparan dan jutaan rakyat lain terhimpit biaya pengobatan dan pendidikan? Mengapa uang Rp 10 milyar itu tidak digunakan untuk membantu ribuan anak-anak SD yang kesulitan hidup? Atau untuk membantu pedagang-pedagang kecil yang tak henti-hentinya dikejar dan digusur oleh pelaku-pelaku ekonomi raksasa yang semakin leluasa menjerat dan menjepit pasar-pasar dan toko-toko kecil milik masyarakat?
Kini, patung Diponegoro itu bertengger kokoh dan megah. Patung itu seperti sedang tersenyum, menertawakan pikiran dan tindakan sebagian pemimpin dan elite yang tidak sadar apa makna amanah kepemimpinan. Rakyat telah memilih mereka melalui pemilihan umum, dengan biaya trilyunan rupiah. Sebuah tindakan yang sangat tidak adil dalam mengalokasikan uang rakyat, dibiarkan berlalu di depan mata. Uang yang terbatas – bahkan hasil pinjaman – digunakan tidak sesuai dengan skala prioritas untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat (pangan, papan, sandang, kesehatan, pendidikan). Patung Diponegoro di Jalan Diponegoro Jakarta, menambah deretan panjang sebuah fenomena kenaifan dan ketidakadilan dalam cara berpikir.
Bangsa ini sudah terlalu banyak diperingatkan oleh Allah SWT, melalui berbagai aneka ragam bencana. Demam berdarah, Flu burung, AIDS, anthrax, dan berbagai bencana penyakit lainnya, masih terus mengancam dan mencengekram kehidupan masyarakat. Baru setahun lalu, bangsa ini diguncang musibah besar berupa gelombang tsunami di Aceh, yang melululantakkan segala macam kesombongan manusia. Ketika itu, aneka doa dipanjatkan. Tuhan diingat-ingat terus. Kini, setelah setahun, suasana kembali seperti sedia kala, seolah-olah tsunami di Aceh itu tidak pernah tejadi.
Mau kemana perginya bangsa ini? Fa aina tadzhabuuna ? Allah SWT telah banyak mengingatkan dalam al-Quran tentang sebab-sebab kehancuran umat terdahulu.
Allah SWT berfirman:
Maka apabila mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba (sekonyong-konyong), maka ketika itu mereka terdiam dan berputus asa. (QS al-An’am:44).
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepatutnya berlaku keputusan Kami terhadap mereka, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS al-Isra’:16)
Dua ayat dalam al-Quran yang menjelaskan tentang kehancuran suatu negeri itu bercerita, bahwa kehancuran suatu kaum berhubungan dengan hal-hal: (1) sikap kaum yang melupakan peringatan Allah SWT, sehingga mereka lupa diri dan hidupnya dihabiskan untuk sekedar mencari kesenangan demi kesenangan (hedonisme). Hal ini juga disebutkan dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 24. (2) tindakan elite-elite atau pembesar masyarakat yang melupakan Allah SWT dan membuat kerusakan di muka bumi. Apabila di dalam suatu tamadun sudah tampak dominan adanya para pembesar, tokoh masyarakat, orang-orang kaya yang bergaya hidup mewah, atau siapa saja yang bermewah-mewah dalam hidupnya, maka itu pertanda kehancuran peradaban sudah dekat.
Akan tetapi, dari kedua hal tersebut, inti dari kehancuran tamadun atau bangsa, adalah kehancuran iman dan kehancuran akhlak. Apabila iman kepada Allah SWT sudah rosak, maka secara otomatis pula akan terjadi pembangkangan terhadap aturan-aturan Allah SWT. Rasulullah saw berkata: “Apabila perzinahan dan riba sudah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri.” (HR Thabrani dan al-Hakim).
Dalam sejarah manusia, berbagai kehancuran peradaban di muka bumi sudah begitu banyak terjadi. Dan Allah SWT menganjurkan kaum Muslimin agar mengambil pelajaran (hikmah) dari peristiwa-peristiwa sejarah tersebut. “Maka berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana hasilnya orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul Allah SWT) (QS an-Nahl:36)
Sebagai misal, Kaum ‘Ad, telah dihancurkan oleh Allah SWT karena berlaku takabbur dan merasa paling berkuasa dan paling kuat. Mereka merasa tiada siapa saja yang dapat mengalahkan mereka, sehingga mereka berkata: “Siapa yang lebih hebat kekuatannya dari kami?” (QS Fusshhilat:15). Begitu juga kehancuran yang menimpa Fir’aun, Namrudz, dan sebagainya. Di masa Rasuullah saw, kaum Muslim yang jumlahnya sangat besar dan berlipat-lipat daripada kaum kuffar, hampir saja dikalahkan dalam Perang Hunain (QS at-Taubah:25).
Dalam pandangan Islam, merajalelanya kemaksiatan, keangkuhan, dan kezaliman ada kaitannya dengan kondisi masyarakat, apakah Allah akan menurunkan rahmat atau azab kepada masyarakat tertentu. Inilah pandangan hidup setiap muslim, yang semestinya menjadi dasar bagi pengambilan kebijakan para pejabat, tokoh-tokoh, dan pimpinan kaum Muslim. Wallahu a’lam. (Jakarta, 16 Desember 2005).
sumber: adianhusaini.com
/@cwi Tweet
0 komentar:
Posting Komentar