Ayat Al-Quran yang Dikagumi Yahudi

Oleh: E Hamdani
Bagi kaum Muslim, mengagumi Al Quran barangkali menjadi hal yang biasa. Apalagi dengan penemuan-penemuan terakhir dari para ilmuwan yang kian mengokohkan kebenaran Al Quran. Di antaranya, bulan yang pernah terbelah, adanya sungai bawah laut hingga penemuan jejak arkeologi kaum-kaum terdahulu. Memang semua tidak disebutkan, karena Al Quran menerangkan hanya sebagian dari kisah kaum terdahulu yang akan ditampakkan bekas-bekasnya. “Itu adalah sebagian dari berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu (Muhammad); di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah.” (QS. Huud, 11: 100) Ternyata, bukan hanya kaum Muslimin dan ilmuwan berakal saja yang mengagumi Al Quran, sebagai kitab yang tetap terjaga keshahihannya. Bahkan sejak dulu kaum Yahudi juga mengagumi Al Quran. Dalam sebuah riwayat dikisahkan perbincangan antara ‘Umar bin Khattab dan Yahudi. Dari Thariq bin Syihab, ia mengatakan bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada Umar bin Khattab: “Kalian membaca sebuah ayat dalam Kitab (al-Qur’an) kalian. Sungguh apabila ayat itu turun kepada kami bangsa Yahudi, tentu hari turunnya ayat itu akan kami jadikan sebagai hari raya.” Umar bertanya: “Ayat yang mana?” Mereka menjawab, “Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku untukmu.” (Al-Maidah: 3) Umar berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku betul-betul mengetahui hari apa ayat itu turun kepada Rasulullah dan saat apa ayat itu turun. Ayat itu turun kepada Rasulullah pada sore hari Arafah, hari Jum’at.” Percakapan di atas juga menegaskan, semestinya seorang muslim, bangga dengan keislamannya, sebab Allah telah menjamin kesempurnaan Islam. Dengan kebenaran dan kesempurnaan Islam, seorang muslim tidak perlu lagi bingung mencari sistem yang lebih baik ketimbang Islam. Imam Thabrani telah mengeluarkan riwayat hadits dari Abu Dzar al-Ghifari yang menyatakan, “Rasulullah telah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepakkan sayapnya di udara melainkan beliau telah menyebutkan ilmu kepada kami setiap kali kepakan sayap burung itu.” Dengan kebenaran dan kesempurnaan Islam, dunia pernah merasakan buahnya kurang lebih seribu tahun, sejak Rasulullah hingga kekhilafahan Turki Utsmani pecah pada tahun 1924 masehi. Jika orang Yahudi saja bisa berkata seperti itu, apakah sebagai muslim kita tidak bangga dengan Islam? Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/10/23493/ayat-al-quran-yang-dikagumi-yahudi/#ixzz2DDWsUGEh /@cwi

selengkapnya...

Negara Dalam Islam

Oleh: Nur Afilin
Apakah Islam mengatur perihal negara? Atau mungkinkah sebenarnya Islam tidak menganjurkan adanya negara? Pertanyaan ini nampaknya akan tetap menjadi perdebatan di kalangan internal harakah Islam. Ada yang jelas-jelas menolak adanya konsep negara. Mereka berdalih bahwa bagaimana pun bentuk pemerintahan yang sah dalam Islam sejatinya ialah khilafah. Sementara di pihak lain, ada pula yang berkeyakinan akan bolehnya bentuk negara apa saja asalkan tetap ada upaya menerapkan syariat Islam di dalamnya. Karenanya, pembahasan ini merupakan wilayah kajian kontemporer yang cukup sensitif. Terlepas dari perbedaan tersebut, Ust. Yusuf Mustofa, Lc. mengaku lebih meyakini pendapat kedua. Ia menilai meski bentuk pemerintahan paling ideal ialah khilafah islamiyah, namun ketika kita belum cukup syarat, maka apapun bentuk negaranya tak jadi masalah. Hal ini karena esensi adanya sebuah pemerintahan (dalam hal ini negara) lebih penting dibandingkan bentuk pemerintahan itu sendiri. Dengan adanya negara, maqashidusy syari’ah (tujuan adanya syariat) seperti hifzul maal, hifzhun nafs, hifzhun nasl, hifzhud diin, dan hifzhul ‘aql (menjaga harta, jiwa, keturunan, agama, dan akal) akan lebih terjamin keberadaannya. Pemerintah yang beriman dan adil dalam sebuah negara tentu akan memperhatikan hal-hal terkait hak-hak warganya tersebut. Sebaliknya, jika kita memilih tidak bernegara lantaran tidak cocok dengan prinsip khilafah, maka dikhawatirkan maqashidusy syari’ah itu pun terbengkalai. Selain itu, tuntunan bernegara sebenarnya telah Allah SWT dan Rasul-Nya nyatakan secara implisit maupun eksplisit dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Perintah bermusyawarah (Q.S. Asy-Syura: 38), berlaku adil (Q.S. Al-Maidah: 8), taat kepada pemimpin (Q.S. An-Nisa’: 59), dsb, menyiratkan kemestian adanya kepemimpinan di tengah umat (negara). Pun begitu dengan isyarat hadits Nabi Muhammad SAW dalam hadits berikut sebagai contoh: “Jika ada 3 orang yang mengadakan perjalanan maka hendaknya mereka menjadikan salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud no. 2609) Kalau untuk sebuah perjalanan (safar) saja Rasulullah memerintahkan kita mengangkat pimpinan, bagaimana dengan perjalanan hidup kumpulan orang banyak yang tentu lebih kompleks persoalannya? Tentu mutlak diperlukan adanya negara dengan perangkatnya demi mengatur hak dan kewajiban di antara mereka. Demi lebih menegaskan perlunya ada negara (meskipun belum 100% khilafah), maka ada baiknya kita cermati pula kaidah ushul fiqih berikut: “Sesuatu yang dapat menyempurnakan suatu kewajiban, maka hukumnya wajib” Mengingat perintah Allah dan Rasul-Nya pada dasarnya bersifat wajib hukumnya (kecuali ada dalil lain yang memalingkan hukumnya), maka adanya sebuah negara untuk menerapkan apa yang menjadi perintah juga wajib hukumnya. Lalu, apa saja yang menjadi syarat terbentuknya sebuah negara? Sebagaimana banyak diketahui, setidaknya ada empat syarat kita bisa mendirikan sebuah negara, yaitu adanya tanah/ wilayah, rakyat, pemerintah, dan pengakuan dari negara lain. Maka, ketika sudah terpenuhi syarat-syarat ini, alangkah lebih baik jika pembentukan negara tidak lagi ditunda demi terjaminnya hak dan kewajiban masyarakat yang hidup di dalamnya. “Adapun mengenai sistem yang mengatur sebuah negara memang akan tetap menimbulkan pro dan kontra” masih kata Ust. Yusuf. Namun, hal yang lebih baik menurutnya ialah tetap tak berhenti di satu masalah itu. Kalaulah karena beberapa sebab janji Rasulullah SAW bahwa kita akan kembali kepada fase khilafah ala minhajin nubuwah (kekhalifahan berdasarkan manhaj kenabian) belum bisa terealisasi, penerapan sistem apapun selama tak bertentangan dengan prinsip Islam tak jadi soal. Hal yang lebih penting daripada sistem formal tersebut sebenarnya ialah orang yang diserahi amanah. Begitu kata Anis Matta dalam bukunya “Dari Gerakan ke Negara”. Prinsip ini pula yang dianut Imam Syahid Hasan Al-Banna, pendiri harakah Ikhwanul Muslimin. Walhasil, kaidah maratibul ‘amal (urutan amal) pun ia rumuskan demi mencapai ustadziyatul ‘alam (Islam sebagai soko guru/ pemimpin peradaban dunia). Sebagai kesimpulan, terlepas dari perbedaan pandangan mengenai metode menuju tujuan yang sama dalam hal kepemimpinan dan negara Islam, hendaknya ukhuwah islamiyyah harus dikedepankan. Jangan sampai kita terlalu disibukkan dengan perbedaan ini, sementara musuh-musuh kita sebenarnya merapatkan barisan bersiap menghancurkan kita. — * Diringkas dari materi “Konsep Negara dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah” dalam even Daurah Marhalah II (DM II) KAMMI Daerah Garut pada Sabtu, 31 Agustus 2012 di Hotel Empang Asri, Tarogong Kaler, Kab. Garut. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/09/22966/negara-dalam-islam/#ixzz2DDW4DE1w /@cwi

selengkapnya...

Gabung bersama kami

About Me

admin jg menerima pelayanan jasa

admin jg menerima pelayanan jasa
Jasa arsitek rumah; desain arsitek / desain rumah, gambar denah rumah, bangun rumah baru, renovasi rumah dan pembangunan mesjid, mushola, ruko, disaign taman, dll. klik gambar utk kontak personal.

Syiar Islam On Twitter

Site info

Kalkulator Zakat Fitrah

  © Syiar islam Intisari Muslim by Dede Suhaya (@putra_f4jar) 2015

Back to TOP  

Share |